Don't be jealous, guys
//
Rani memeluk tubuh Farel dengan erat, ia begitu menyayangi laki-laki itu lebih dari apapun.
Bahkan ada atau tanpa Zulfa, ia masih sesayang ini dan menaruh seluruh hatinya untuk Farel. Banyak orang yang tidak tahu dengan perjuangannya untuk mendapatkan laki-laki ini.
Setelah mereka berdua makan siang bersama, Farel terus menerus bersikap manja kepadanya. Seperti saat ini, laki-laki itu sudah memeluk dirinya dan memendam wajah di leher jenjang miliknya. Nyaman, itu yang ia rasakan. Dan ia akan selalu merasa nyaman apapun keadaan yang kini sedang menimpa hubungan mereka.
"Kamu kenapa sih, sayang?" tanya Rani sambil mengacak gemas rambut Farel, pasalnya sudah hampir satu jam laki-laki itu tidak ingin mengubah posisinya. Tidak, ia tidak keberatan sama sekali. Justru hal ini sangat lah manis mengingat Farel adalah laki-laki berwibawa yang terkesan dingin di hadapan banyak orang.
Farel menggeram rendah merasa enggan untuk menjawab pertanyaan Rani, ia semakin memeluk tubuh gadisnya. "Sebentar aja, Rani kesayangan Farel." gumamnya sambil mengeratkan pelukan pada tubuh Rani.
Selalu saja seperti itu jawabannya, Farel terlalu payah untuk menutupi sebuah permasalahan. Pada akhirnya, Rani terkekeh lalu membiarkan bayi besar itu memeluk tubuhnya. "Kamu lagi ada masalah?" tanyanya sekali lagi karena merasa penasaran dengan apa yang dialami laki-laki ini. Memangnya siapa yang tidak penasaran disaat kekasihnya datang secara tiba-tiba ke apartemen dengan raut wajah kaku menahan amarah?
Untung saja ia selalu mempunyai sihir yang paling ampuh untuk meredakan emosi Farel.
"Masalah dengan siapa?" tanya Farel dengan menaikkan sebelah alisnya. Bukannya menjawab pertanyaan Rani, ia malah melontarkan pertanyaan lain untuk gadis itu.
Rani terkekeh kecil, pasti Farel tengah berpura-pura tidak tahu. "Istri kamu," ucapnya sambil mengusap kening Farel yang masih memeluk tubuhnya. Menyapu jambul yang menambah poin tampan pada laki-laki itu.
Farel mendengus. "Memangnya aku punya istri? Aku hanya punya kamu," ucapnya dengan nada yang bersungguh-sungguh. Toh, memangnya cinta bisa di paksa begitu saja? Tidak, kan?
Ya setidaknya seperti itu ucapan Farel yang membuat Rani masih dengan kekeuh nya mempertahankan hubungan mereka. Bahkan Farel masih memprioritaskan gadisnya ini daripada Zulfa. Ah, laki-laki mana yang mau dengan gadis dengan penampilan tertutup seperti itu? Bahkan jika dipikir-pikir, Farel yang notabenenya seorang direktur pun jika di sandingkan dengan Zulfa tidaklah cocok saat mengadakan pertemuan besar dengan para kolega bisnis.
Yang cocok untuk Farel adalah Rani seorang. Bukan Zulfa, ataupun gadis lain.
"Kalau nanti kamu mencintai dia, bagaimana?" tanya Rani dengan sorot mata yang menerawang. Ia bahkan tidak pernah bisa membayangkan jika hal itu terjadi suatu saat nanti.
Farel mendongakkan kepalanya, menatap dalam sorot mata Rani yang terlihat sedikit kekhawatiran disana. "Jangan seperti itu, hati aku hanya untuk kamu, Rani. Bahkan Zulfa tidak ada tandingannya dengan kamu." ucapnya yang meluncurkan sederet kalimat penenang untuk Rani. Ia berbicara dengan serius untuk hal ini. Melepaskan yang sudah nyaman di hati, bukanlah hal yang mudah, begitu juga menerima seseorang yang baru masuk ke dalam hidupnya berstatus sebagai seorang istri.
Jelas saja, tubuh Rani jauh lebih bagus dan terbentuk daripada Zulfa. Gadis itu sangat mengatur pola makannya, bahkan menghindari makanan dengan minyak dan lemak berlebih. Rani juga melakukan gym teratur setiap dua kali seminggu, tidak dapat dipungkiri tubuhnya yang sangat goals itu menjadi daya tarik tersendiri. Belum lagi dengan wajah cantiknya, yang tanpa polesan make up pun sudah sangat mempesona. Ah, Farel tidak bisa membayangkan lebih jauh lagi bagaimana tentang Rani. Menurutnya, gadis itu adalah yang terbaik dan paling sempurna.
"Siapa tahu Tuhan berkata lain." ucap Rani sambil mengangkat bahunya.
Farel tidak mempedulikan ucapan gadisnya, ia kembali menyembunyikan wajahnya pada leher Rani membuat gadis itu menggeleng tidak habis pikir. Laki-laki ini, masih menjadi miliknya, apapun keadaannya. Lihat saja ia akan memberi perhitungan pada keluarga Brahmana, keluarga yang menolak kehadirannya di hidup Farel. Mereka menganggap Rani sebagai benalu yang tidak akan pernah pantas untuk bersanding dengan putranya.
Tidak lama kemudian, Rani mendengar dengkuran halus dari Farel. Ia tersenyum manis, lalu mengecup singkat kepala kekasihnya itu. Percayalah, ia sangat menyayangi laki-laki itu.
Ting
Ting
Ting
Pandangan Rani jatuh pada ponsel Farel yang tergeletak di atas meja yang beruntung sekali masih bisa di jangkau oleh tangannya. Ia segera saja membuka ponsel Farel, ia sudah biasa memegang ponsel kekasihnya ini tanpa izin darinya. Toh ia tidak berbuat macam-macam kok.
ruang chat |
Zulfa
Assalamualaikum, mas?
Zulfa
Mas kemana? Kok belum pulang?
Zulfa
Aku hari ini masakin mas ayam rica-rica dan tumis kangkung
ruang chat berakhir |
Rani menaikkan alisnya sambil tertawa remeh ketika membaca pesan dari Zulfa. Apa tadi? Ayam rica-rica dan tumis kangkung? Ia yakin seratus persen jika Farel tidak akan pernah menyentuh masakan gadis itu. Selera Farel sangat jauh di atas makanan yang sangat tidak selevel dengan dirinya dan juga laki-laki itu. Memangnya keturunan keluarga besar mana yang masih memilih makanan sederhana? Ya ada sih, tapi bukan keluarga Brahmana yang bernotabene selalu mengatur pola menu dengan olahan seperti makanan barat.
Tidak, bukan tidak mencintai makanan lokal. Sebagian keluarga Brahmana adalah orang luar yang sampai sekarang belum cocok dengan lidah Indonesia. Dan untuk mengatasi kondisi seperti itu, mereka yang berdarah Indonesia lebih memilih untuk mengalah dan membiasakan makanan menu olahan barat.
Niatnya ia hanya ingin membaca pesan dari Zulfa saja, ia penasaran karena sudah lebih dari 300 notifikasi chat dari Zulfa yang tidak pernah di baca sama sekali oleh Farel. Dan ia selalu bersyukur jika kontaknya masih berada di urutan paling atas, di beri pin oleh Farel dengan emoticon love sebagai pemanis. Menggemaskan sekali. Tiba-tiba ponsel Farel berdering, dengan penasaran ia akhirnya menjawab telpon dari Zulfa.
"Assalamualaikum. Akhirnya mas baca pesan aku, terlebih lagi mas jawab panggilan telfon aku." ucap Zulfa di seberang telepon sana sambil menghembuskan napas lega.
Rani tersenyum miring. "Ini aku, Rani." ucapnya dengan alis yang terangkat satu. Ia berlagak seperti apa yang dicari Zulfa itu berada di tangannya. Semua kendali Farel menjadi miliknya, sampai kapanpun.
Hening sesaat, hanya terdengar suara napas teratur yang terdengar pelan.
"Halo?" ucap Rani supaya menginterupsi suasana. Ia seperti sedang berbicara dengan angin kalau lawan bicaranya saja bergeming tidak menjawab.
"Mas Farel mana?" tanya Zulfa to the point. Kini, nada kesal terdengar jelas dari seberang sana. Ia yakin seratus persen jika wanita tersebut tidak akan pernah suka dengan kehadirannya.
Ya konsekuensi, menikah dengan laki-laki yang masih memiliki pacar dan sangat sayang terhadap pacarnya tersebut. Lain kali, kenali dulu asal usulnya baru deh setuju untuk menikah.
"Ada ini lagi tiduran di pelukan aku." ucap Rani sambil mengulum sebuah senyuman jahat. Ia sama sekali tidak pernah peduli dengan apa yang di rasakan Zulfa. Entah itu sesak, ataupun kesedihan.
Sengaja, niat Rani memang ingin memanas-manasi Zulfa. Wanita itu terlihat pura-pura tegar dan baiklah, ia akan menghancurkan dinding pertahanan Zulfa yang sama sekali tidak kokoh itu. Kita lihat saja siapa yang akan kalah nantinya.
"Tolong bangunkan dia, suruh dia pulang." balas Zulfa dengan nada yang mulai meninggi. Suaminya meninggalkan rumah dan ternyata berada satu ruangan dengan seorang gadis lain dan sedekat itu tentu saja membuat dirinya marah.
"Loh kamu siapa nyuruh aku?" Rani tertawa meremehkan. Ia tidak habis pikir, Zulfa sangat hebat membuat dirinya terlihat seperti pelakor. Padahal dirinya adalah pemeran utama yang sesungguhnya sebelum wanita itu dengan wajah tidak berdosa masuk ke dalam hidupnya. Sayang sekali, Rani pun harus merasakan imbas dari datangnya Zulfa.
"Saya istri sah-nya Mas Farel, dan kamu bukan siapa-siapa." sargah Zulfa di seberang sana. Nada bicaranya kian menguat, tidak ada rasa takut.
"Tapi tadi barusan Farel bilang sama aku, kalau yang bukan siapa-siapa itu adalah kamu. Buktinya dia masih memprioritaskan aku." ucap Rani yang masih tidak mau kalah. Toh dia menyampaikan kebenaran dan kebetulan Zulfa menelpon ke ponsel Farel, jadi di beri bocoran sedikit tentu bukanlah masalah yang besar.
Hanya ingin bermain-main dengan wanita yang sudah dengan tidal sopannya masuk ke dalam hidup sang kekasih yang sialnya merebut status 'istri' dari dirinya. Harusnya dia yang menjadi menantu keluarga Brahmana dan menjalin kasih dengan Farel, tapi tiba-tiba kandas begitu saja.
Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. "Jangan berbohong, Rani. Tolong biarkan suami saya pulang." ucap Zulfa dengan nada yang kian mengecil. Sepertinya percuma berbicara dengan nada tinggi pada Rani, karena tidak berefek apapun yang dapat mengubah jalan pikir gadis itu.
Rani mengelus puncak kepala Farel dengan lembut, bagaimana pun juga ia akan mempertahankan apa yang menjadi miliknya. "Berbohong? Untuk apa? Farel sendiri yang cerita kepada ku. Ups, jelas lah dia tidak menganggap kehadiran mu. Kamu saja orang asing yang dijodohkan dengan kekasih ku." ucapnya dengan nada ketus. Kalau dirinya boleh menjadi seorang antagonis, ia akan selalu menyalahkan Zulfa untuk apa yang terjadi dalam hidupnya.
"Jika suatu saat Farel membuang mu, jangan menyesal karena pernah membangga-banggakan seorang laki-laki yang tidak setakdir dengan mu?"
"Lalu? Bagaimana dengan mu? Apa Farel juga takdir untuk dirimu? Jangan menjadi wanita paling suci, padahal masih menelan ludahnya sendiri."
Pip
Rani melihat layar ponselnya yang sudah menghitam, ternyata panggilan teleponnya diputuskan sepihak oleh Zulfa. Ia tersenyum senang, ternyata menyingkirkan hama semudah membalikkan telapak tangan.
"Sebentar lagi Farel akan menjadi suamiku. Dan aku akan melihat kehancuran Zulfa. Siapa yang suruh merebut apa yang sudah menjadi milik Rania Cantika? Dasar jalang." Gumam Rani sambil terus mengusap sayang kepala Farel.
Banyak sekali perjalanan yang sudah di lalui oleh Rani dan Farel. Jika kandas begitu saja, ia tidak akan segan-segan untuk mengganggu seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke hidup kekasihnya ini.
Karena apa yang telah menjadi hak milik, tidak dapat dimiliki oleh orang lain juga.
...
Next chapter