Hari-hari terus berjalan seperti semestinya. Meski Kar tau kebenaran yang sesungguhnya tidak ada satupun hal berubah dalam hidupnya. Ia tetap berpura pura tak tahu di depan Nuha dan Ray. Sampai sekarangpun Kar tak pernah memastikan itu kepada Ray. Bukan karena takut hanya saja ia tak mau merubah keadaan menjadi buruk. Hari hari ia habiskan untuk magang, ke kampus dan pulang kerumah. Sesekali mengunjugi orang tuanya secara diam diam, sesekali pula pergi ke rumah sakit karena kondisi Kar yang makin buruk. Meski Re, Batak, Nadev dan Nuha melarang untuk magang Kar tetap melakukannya dengan dalih bosan di rumah. Padahal ia Cuma tak mau melihat mereka kasihan padanya.
Oiya, soal Ara entah mengapa setelah kejadian itu ia tak pernah melihat pria itu lagi selain di laman portal berita online dan media social. Kar tidak tertarik lagi pada pria itu meski Re telah memberi tau siapa Ara di kehidupan dirinya. Atau mungkin gadis ini hanya mencoba untuk tidak peduli pada pria itu.
''Kara nanti tolong gantiin gue di laborat ya. Soalnya gue ada urusan mendadak'' pinta salah satu teman magang Kar dengan wajah memelas.
''Oke sih. Emang laborat ada apaan sih?'' jawab Kar yang mash sibuk merepihkan beberapa file di computer kerjanya. Hari ini cukup sibuk namun semuanya berjalan lancer bagi Kar.
''Visit direktur biasa kok. Paling quality control aja sih sama kadang tuh ada arahan dikit buat pengembangan produk selanjutnya.''
Kar mengangguk paham. Tak lama setelahnya ia tersenyum mengiyakan. Sayang senyum itu pudar beberapa saat. Setetes darah jatuh menodai kertas di depannya. Sontak membuat lawan bicara Kar panik.
''Are you okay?'' ucapnya khwatir. ''Kok lo mimisan sih?'' lanjutnya penuh panik. Untung di ruangan mereka hanya ada mereka berdua. Kar mengusap darah di hidungnya. Mengambil tisu lantas mengembangkan senyum meneduhkan.
''Kayaknya gara gara begadang ngitung formula buat produk baru deh hehe…Sorry ya udah bikin lo khawatir'' balas Kar dengan senyum di matanya. Sungguh Kar tak ingin orang lain mengkhawatirkannya.
''Serius Kar? Jangan becanda deh. Kalo ngga bisa gantiin juga nggak papa. Nanti dari kita kosongin aja.'' Raut wajah perempuan itu makin panik.
''Mana bisa kosong yang ada nanti anak magang kena imbasnya semua. Terus nama kampus jadi jelek deh.''
''tapi Kar lo kan sakit''
Kar mengulum senyum, '' Udah nggak usah parno gitu. Kebanyakan nonton drama si sampe sampe mimisan aja di jadiin masalah besar. Anak kimia mimisan udah biasa kali ya kan begadang tiap malem''
''Tapi…''
Belum sempat perempuan itu menjawab sebuah terfon berbunyi memecah keheningan. Kar bergegas mengangkatnya. Itu terlfon dari divisi laborat yang memberitahu kalo visik direktur segera dilakukan. Tanpa pikir panjang setelah menutup telfon, Kar meraih jas laorat dan peralatan tulis untuk bergegas menuju laboratorium.
''Gue nggak papa kok. Lo ati ati di jalan. Have a good day'' ucap Kar meninggalkan teman magangnya.
*
Sebagai anak magang yang baik, selama visit direktur Kar banyak mencatat masukan dari atasannya. Sejauh ini visit direktur berjalan dengan sangat lancar satu satu hal yang Kar khawatirkan adalah dirinya sendiri. Sedari tadi ia menahan agar hidungnya tak memecahkan pembuluh darah lagi. Menahan dirinya agar tetap focus dan menjaga keseimbangan saat di laboratorium. Sampai akhirnya detik detik arahan tentang pengembangan produk datang. Kar tak mampu menahan dirinya lagi. Ia mengambil langkah mundur, mengarahkan dirinya di barisan paling belakang.
Sial.
Tes.
Tepat tepuk tangan terdengar saat itu pula darah jatuh dari hidungnya. Segera mungkin Kar mengusapnya. Sialnya ia lupa membawa tisu yang ada di rak meja kerjanya. Tetes tetes kecil itu tak terbendungkan. Mereka jatuh menodai lantai. Syukur tak ada yang peduli dan sadar. Kar masih menahannya dengan kedua tangan di bantu dengan papan kertas untuk menutupinya. Sialnya ketika ia berhasil menutupinya, pandangan matanya mengarah pada seseorang di depan sana. Seseorang yang melihat ke arahnya tanpa rasa peduli. Orang itu tau apa yang terjadi pada Kar. Tapi sayang orang itu tidak peduli sama sekali.
Cakra Luksa Wijaya.
Orang itu telah datang menjadi orang lain dalam kehidupan Kar. Setelah malam itu sama seperti katanya bawa dia akan menjalani hari hari dia tanpa Kar sama seperti Kar menjalani hari hari tanpa dirinya.
Kar menelan ludah. Tanpa pikir panjang ia membalik badan dan keluar untuk mencari toilet terdekat untuk membasuh darah di hidungnya. Persetan dengan semua darah yang ada di lantai laborat.
*
Ting!
Suara bir beradu menjadi satu ketika pemiliknya terlah bersulang satu sama lain. Malam ini rooftop rumah Rehan ditaburi oleh gemerlap bintang. Beberapa orang dengn bir di tangan mereka sedang merayakan itu semua sembari menghirup udara malam kota Jakarta.
''Gue udah bilang semuanya sama Kar'' ucap Re setelah menenggak sekaleng bir di tangannya. Sontak membuat Batak dan Rehan mengarahkan padangan ke arah Re secara bersamaan. Mereka berdua menarik senyum semringah.
''Good job baby'' balas Rehan sambil mengusap puncak kepala gadis itu.
Di sisi lain batak Nampak tidak terima. Ia menangkup wajah gadis itu lantas bicara. ''Lo melakukan yang terbaik'' ucapnya penuh senyum. Sayang itu tak berselang lama karena Re melepaskan dirinya dari Batak. Ia lebih memilih menenggak bir tangannya sambil beberapa kali menghela napas.
''Pasti berat buat lo'' ucap Rehan dengan ragu.
''Nggak kok'' balas Re dengan senyuman. Ia mengalihkan wajahnya pada Rehan. Sepersekian detik mata mereka saling menguci satu sama lain. ''cuma dengan liat lo semuanya terasa gampang buat gue'' lanjutnya di barengi dengan senyum masam.
Di sisi lain Rehan hanya bisa membalas dengan senyum terbaiknya. Ia mengalihkan tatapan ke arah bintang. ''Orang sebaik lo pasti akan menemukan seseorang yang lebih dari gue'' ucap Rehan penuh pengikhlasan.
Re bergeming. Ia tak menjawab hanya memandangi Rehan. Di sisi lain Batak memandangi Re dengan tatapan yang begitu dalam. Dua orang di depannya entah mengapa bisa membuatnya menomorbelakangkan semua ego dalam dirinya. Meski ia tau ia juga menyanyangi Re tapi rasa sayang keduanya melebihi apa yang dia punya. Batak mengalah pada perasaanya. Untuk kesekian kalinya ia kagum pada sosok Rehan.
''Re…'' celetuk Batak menghancurkan segala keheningan. Gadis itu antusias dengan apa yang akan keluar dari mulur Batak begitu pula Rehan.
''You know what..'' Batak menenggak bir.
Re menyernyit, ''Apaan?''
''You deserve better than him so you can deserve me right? I beter than him''
''Apa?''
Re hampir saja melempar kaleng birnya ke wajah Batak kalo saja tidak keduluan Nadev yang muncul dari pintu secara tiba tiba. ''Ngimpi lo'' ucap Nadev dengan nada menyindir. Lantas ia mengambil duduk menggeser Batak dari sisi Batak.
''Apa apaan ih es serut susu" gerutu Batak. Rehan hanya tertawa kecil.
''Lo pikir Re mau sama batak jerman kayak lo?'' Nadev sinis
''Ya lo pikir Re juga mau sama es serut susu kaya lo?''
Keduanya makin nyolot. Re hanya bisa tertawa sambil menengguk habis bir di tanggannya. Ia tak menanggapi apa apa. Nyatanya baik Nadev maupun Batak adalah dua orang yang berarti dalam hidup Re. Jadi kalo di pikir siapa yang paling pantas untuk Re keduanya memang pantas. Hanya saja soal hati tetap Rehan juaranya. Sayang pria itu tak mersepon sama sekali.
Re hanya bisa mengulum senyum sambil mengusap dirinya yang diam diam melihat Rehan dari sisi paling luas dalam dirinya. Ia tau kalau pria itu memang semesta cipta hanya untuk menjadi seseorang yang mengajarkan seluas apa itu semesta.
''Udah sih jangan berantem gitu. Kalo bisa dua kenapa harus satu sih hehe'' Re terkekeh.
Batak dan Nadev nyolot sementara itu tiba tiba Rehan merangkul tubuh Re. Ia tersenyum manis. ''Gue nggak dianggep nih?'' tanyanya ambigu.
''Maksud lo?'' Re menyernyit.
'''Cuma dua nih nggak mau tiga?'' ucap Rehan menggoda tanpa dosa. Praktis membuat Re sebisa mungkin menyembunyikan itu semua. Ia menelan ludah sebanyak yang ia bisa. Belum sempat ia membalas Batak sudah nyembur kayak mbah dukun. Bocah itu kesurupan cemburu. Segera batak ingin mengajak domba itu untuk di baptis kembali. Mungkin saja dengan di baptis ia akan waras sepenuhnya.
''Jangan ngadi ngadi lo lele domba!'' ucap Batak penuh emosi.
Sontak itu membuat semua orang tertawa puas karena tanpa sengaja setelah mengucapkan hal tersebut Tai burung jatuh di kepala Batak.
''Demi nama bapa deh ada tai burung di malam hari. Sial!''
Batak terus mengggerutu. Ia Nampak kesal sementara tiga lainnya puas menertawakan domba yang kena tai burung itu. Malam terus bergerak dan mereka berempat tetap menghabiskan malam di rooftop. Berbincang kesana kemari dan mengabaikan perasaan masing masing. Malam terus mengganti waktu. Bersama dengan bir mereka mengingat segala hal yang telah mereka terima dari masa lalu.
Benar, sudah lama sekali mereka tidak begini dan akhirnya pada malam ini segalanya mulai muncul kembali. Benar kata orang sesulit apapun hidup hari ini akan selalu ada langit hari ini yang membuat kita selalu punya alasan untuk tetap hidup kembali.
*
Bang Nuha : Hari ini abang agak telat pulang rumah. Maaf nggak bisa jemput nanti naik taxi aja. Jangan lupa beli makan di luar. Abang lupa belum masak.
Khariskara Renoir : siap bang. Semangat lembur!!
Bang Nuha : -_0 pengen pulang
Khariskara Renoir : hahaha
Bang Nuha : Ati ati di jalan 😊
Khariskara Renoir : okidoki komandan!
Kar memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Meski sedikit telat tetap saja Kar bersyukur karena Nuha memberitahu dirinya lewat pesan. Belakangan ini Nuha memang banyak menghabiskan waktu dengan berlembur. Tanpa dia bilang alasannya pun Kar tau kalo itu semua demi dirinya. Biaya untuk menebus obat jelas mahal, belum lagi kalo Kar mendadak tak sadarkan diri. Untuk itu semua maka Kar selalu memaklumi jika Nuha selalu menginkari janjinya, termasuk malam ini.
''Bang mi godognya satu yang bang, pake sayur makan sini''
Kar menjatuhkan pantantnya di tempat duduk sebuah Warmindo yang tak jauh dari kantor magangnya. Malam ini pengunjung ramai seperti biasanya. Banyak mahasiswa keluar masuk menikmati semangkuk mi untuk mengisi perut yang lapar sambil menghangatkan diri dari dinginnya angin malam.
''Mi godognya siap''
Ucap salah satu penjawa warung sambil mengntarkan mangkuk mi dengan senyum semringah. Rupanya tak butuh waktu lama untuk menyajikan semangkuk mi padahal suasana sedang ramai begini.
''Makasih pak''
Balas kar penuh senyum. Baru saja ia akan memasukkan suap pertama seseorang membuat Kar harus menghentikannya. Kar menyernyit ketika orang itu dengan tidak sopan memakan mi godog yang ia pesan. Sayangnya Kar tidak bisa marah karena orang itu adalah Ara. Kar mendengus, daripada meladeni pria di sebelahnya ia kini telah bersiap memesan mi godog untuk kedua kalinya.
''Pa mi godognya sa..'' ucapan Kar terhenti.
''Nggak jadi pak'' teriakan Ara membuat seisi warung menatap ke arah mereka berdua. Kar sudah melotot penuh, sedang Ara masih setenang biasanya.
''Rese banget sih lo'' ucap Kar sewot.
Ara tak menanggapi tatapan mematikan Kar. Ia memilih menghabisakan mangkuk mi godog dengan hikmat sambil sesekali mengawasi Kar agar tidak memesan kembali. Sialnya, ia malah merasa gemas dengan wajah gadis itu saat sedang sebal begini.
''Laper ya?'' ledek Ara setelah menghabiskan semangkuk mi godog milik Kar.
Kar memutar bola matanya jengah, ''kalo udah tau jawabannya kenapa tanya bos?'' Kar nyolot
''Gue masakin mau nggak?'' pertanyaan Ara sontak membuat Kar makin memincingkan kedua alisnya. Kar heran.
''Nggak deh makasih. Gue bisa beli makan sendiri''
''Yakin semalem ini bisa beli makan sendiri'' Ara menilik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. ''Udah mau jam 11 loh'' lanjutnya
''gampanglah pesen disini juga bisa'' ketus Kar.
''Tapi lo nggak boleh makan mie''
''Kata siapa?''
Ara terlihat ragu. Beberapa detik ia memikirkan jawaban yang tepat sampai akhirnya ia harus berbohong lagi. ''Kata Ray lo nggak boleh makan mi'' Ara menelan ludah.
''Dih sok akrab'' sarkas Kar
''Serius…Lo tuh makannya harus yang sehat sehat. Nggak boleh makan beginian. Terus kalo beli jam segini emang ada yang sehat?''
''Nasi goreng pake sawi kali ya. Sehat kan sawinya?'
''Sehat sih tapi minyaknya?'' Ara tersenyum. Ia membereskan mangkuk di depannya lantas menatap Kar dengan tatapan teduh. ''Izinin gue buat memastikan lo makan makanan yang sehat ya Kar?''
Kar menyernyit, ''tapi bukannya lo udah nggak mau berurusan sama gue lagi?''
Ara mengangguk pelan, ia membasahi bibirnya. ''Tadinya gue juga mau begitu tapi gue lakuin ini bukan buat lo tapi buat adik gue.''
''Maksud lo gue adik lo? Tapi kan gue bukan dik lo'' Kar mendesah frutasi. "Re banget tau nggak sih lo''
Ara mengacak puncak kepala gadis itu. Membuat Kar makin kesal. ''Udah deh lo kalo laper makin nakal.''
''Yaudah kasih gue makan'' Kar menerengek.
''Boleh tapi gue yang masakin''
''Tapi…''
Belum sempat Kar menolak Ara sudah menarik tangan gadis itu untuk mengikuti keinginannya dan entah mengapa Kar tidak bisa menolak. Tangan Ara itu serupa permohonan. Tubuh Ara dengan magisnya membuat Kar mengiyakan. Sebenarnya jauh dari lubuk hati gadis itu ia melakukan ini semua karena teringat fakta yang diberitahu Re. Sampai detik ini ia belum menemukan Ara dalam ingatannya. Meski ia tau Ara adalah orang yang pantas ia ingat.
Tadinya gue juga mau begitu tapi gue lakuin ini bukan buat lo tapi buat adik gue.
Kalimat itu terus berputar dalam kepala Kara. Mengapa juga sampai detik ini Ara masih mengenggam tangannya meskipun ia tau bahwa tangan yang ia genggam pernah menghilangkan hidup seseorang yang begitu ia sayang.
Kara dengan kebingunagnnya dan Ara dengan genggam tangannya disertai dengan Lilis yang diam diam mempersatukan mereka berdua.
''Gue pengin liat lo bahagia bang" ucap Lilis penuh dengan senyuman.
*
Seperti hari hari lo tanpa gue, gue akan belajar untuk terus menjalani hari hari gue tanpa lo
Kalimat itu masih berputar di kepala Kar. Matanya masih memandangi Ara yang sedang mencuci piring. Selepas makan yang terlalu malam tadi Kar masih belum menemukan alasan mengapa ia mengizinkan Ara memasakan makan malam untuknya. Bahkan kehadiran Ara di rumahnya masih menjadi tanda tanya setelah apa yang ia lakukan ke Kar. Perkataan yang dia ucapkan benar benar sebuah kebohongan, nyatanya masih kembali dan muncul di depannya lagi.
Kar menelan ludah selanjutnya mengucapkan terimakasih hambar. Bukan karena tak menghargai Ara hanya saja ada sesuatu yang lebih penting dari pada sekedar terimakasih atas makan malam. Ini tentang kebenaran yang Re katakana tempo hari yang lalu dan juga perlakukan Ara di laborat perusahaan tempo hari yang lalu.
Memberanikan diri Kar buka suara dengan keraguan. ''Ra…emangnya lo nggak sibuk ya?''
Selang beberapa detik hanya terdengar suara piring gelas yang di letakan ke rak. Kemudian Ara membalik badan sambil melepas apron di badannya. Lantas tersenyum kaku. ''Abis ini gue langsung balik kok. Tadi gue nggak sengaja lewat kantor lo dan liat lo lagi di Warmindo."
''Sok peduli'' decik Kar.
''Makan mi instan malem malem itu nggak baik buat lo'' Ara mengulum senyum
Kar menelan kecut. ''Gue tuh bingung sama lo. Kadang baik, kadang perhatian tapi seketika juga lo bisa jadi orang asing yang nggak kenal gue.''
Ara diam. Ia lebih memilih melepas apron yang melingkari tubuhnya. Lantas mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Pelan ia menggaknya smbil mendengarkan Kar yang sibuk berbicara.
''Tempo hari gue liat lo visit ke kantor gue dan sikap lo ke gue seakan akan lo nggak kenal sama gue. Oke fine gue masih mikir kalo lo memang udah nggak mau berurusan lagi sama gue seperti apa yang lo katakan. But today you come to me dan cook some food for me dengan alasan mi instan nggak baik buat kesehatan gue. Apa ini masuk akal Ra?''
''Nggak masuk akal gimana?''
''Ya gue butuh penjelasan aja Ra. Lo bilang nggak mau peduli sama gue lagi tapi kenapa lo gini?''
Helaan napas Ara terdengar memecah keheningan malam. Kebetulan Nuha belum pulang sehingga hanya tersisa mereka berdua dalam percakapan yang seharusnya menemukan titik terang.
''Sepenting itukah penjelasan buat lo?''
Kar mengangguk. ''Kata orang lo adalah orang yang pantas gue ingat dalam hidup gue. Gue yakin lo sudah banyak berkorban buat gue di masa lalu tapi dengan ingatan gue yang payah ini gue nggak tau pengorbanan apa aja yang udah lo lakuin ke gue. Gue perlu tau itu semua Ra, gue perlu tau perasaan lo yang sebenarnya di saat perasaan, ingatan dan tubuh gue bahkan nggak bisa memvalidasi perasaan gue ke lo.''
Tangan Ara mengepal sempurna. Ia menahan dirinya untuk tidak melakukan hal hal diluar kendali ke gadis di depannya. Lagian ia sudah berjanji bahwa malam ini sebatas memastikan gadis itu makan makanan yang sehat dan layak untuk tubuhnya.
''Persaaan gue nggak penting Kar'' ucap Ara dengan lembut. "Apa yang di tubuh kamu itu lebih penting''
Kar menggigit bibirnya, Ia beranjak dari kursi menghampiri Ara. Ia tatap mata Ara dengan tatapan yang paling dalam. Malam ini Kara tak mau kehilangan kebenaran dari Ara. Ia ingin melohat seberapa payahnya pria itu menyembunyikan banyak hal hanya dengan melihat tatap mata pria itu.
''Re udah cerita semuanya ke gue. Apa lo masih mau boong juga?''
Ara diam. Jujur ia kaget dengan apa yang baru saja Kar katakan
''Perasaan lo penting buat gue yang bahkan nggak tau apa apa tentang perasaan gue. Alasan kenapa lo masih ada disisi gue sampai ini, itu penting buat gue. Orang datang dan pergi karena banyak alasan dan dari banyak alasan gue pengen lo jelasin alasan lo tetap genggam tangan gue padahal lo tau kalo gue adalah penyebab kematian adik lo. Lilis.'' Nada bicara Kar begetar. Ia masih mengunci pandangan mata Ara. Disisi lain Ara berusaha mengatur napas.
''oke'' ucap Ara sambil mengulum senyum. Ia tatap Kar dengan tatapan meneduhkan. Tangannya perlahan mengusap puncak pudak Kar dengan lembut. Seperti memberi energi untuk menguatkan gadis itu. '''Lilis pergi bukan karena salah lo. Dia pergi karena Tuhan udah kasih pintu lain yang jelas jelas nyediain semua keinginan dia. Dia pergi untuk menemukan kebahagiaan yang nggak bisa dia dapat di dunia ini. Meski gitu kehadiran lo tetap jadi hal yang paling dia syukuri selama hidup di dunia ini''
Kar tediam. Matanya sudah berkaca-kaca.
''Nggak ada alasan kenapa gue masih ada di samping lo sampai saat ini. Gue selalu peduli sama lo meski lo merasa asing dengan gue. Gue selalu bertahan meski lo terus menghancurkan perasaan gue. Perasaan gue nggak penting karena buat gue hal yang terpenting saat ini adalah lo masih bisa menerima kehadiran gue di samping lo meski dengan perasaan yang asing. Normal kok, perasaan nggak bisa di paksa.''
Ara tersenyum.
''Jadi semua yang Re bilang bener?'' Kar ragu mengucapkan.
Pertanyaan itu hanya Ara balas dengan anggukan kepala. ''Gue menemukan lo di titik terendah hidup lo dan gue nggak mau membawa lo ada di titik itu lagi. Lo nggak boleh menyalahkan diri lo hanya karena masa lalu.''
''Ra…'' ucap Kar frustasi.
''You deserve to be happy. Cause in the end of the story turtle was found that home is not about ocean but home its about herself. You have your home since you came in the world and you didn't realize it''
Tangan Ara mengusap lembut puncak kepala gadis itu. Ia benar benar menahan diri agar tetap menepati janji yang sudah ia buat hari ini dengan dirinya sendiri. ''Anggaplah gue sama seperti lautan yang selalu menemani kura kura untuk menemukan dirinya sendiri, sama seperti itulah gue yang selalu menemani lo untuk menemukan diri lo sendiri. Lo nggak perlu pergi terlalu jauh karena gue akan selalu ada dimanapun lo berada''
Ucapan Ara praktis membuat Kar meraih kedua tangan pria itu. Lantas mencengkramnya erat hingga jarak mereka berdua begitu dekat. Pertahanan Kar pecah, ada bulir bening yang menggulir di sana. Beberapa kali ia menarik napas dan mencoba menahan tangis namun gagal. Hingga akhirnya ia bisa membuka suara dengan tetap menatap wajah Ara dengan seksama.
''Home is not always about self, home its something that teach you how to see the world from another point of view. No matter how long you go, no matter how far we go, home is something that teach us to took a best picture on our journey''
Ara terdiam masih mencerna. ''Maksud lo?''
'' Its not all about ourself and I think Ra, I was found my home in your soul. I found you Ra meski gue nggak tau ini benar atau salah. Kasih gue waktu buat cari lo diingatan gue and I promise I will back to you.''
Pria itu kehabisan kata-kata. Ia hanya membasahi bibirnya sambil mencoba menahan dirinya. ''Don't be so hard on yourself, Kar.''
''No. I should do this. Walopun lo menolak, gue akan tetap melakukan ini buat lilis. Mungkin gue nggak bisa jadi Kar yang lo kenal 2 tahun yang lalu. Mungkin gue juga nggak bisa membalas perasaan lo karena perasaan gue juga sudah berubah. Tapi tiap kali gue lihat lo gue selalu merasa bahwa lo bukan orang yang harus gue hilangkan dari ingatan gue. Tiap kali gue liat lo, gue merasa bahwa gue punya rumah di diri lo.''
''…''
''Gue akui gue egois.'' Kar bergetar. ''But let try a second chance that god gave to me.''
Ara menggigit bibirnya, ia tersenyum tipis. Kemudian menggenggam erat tangan Kar. Ia tatap mata gadis itu dengan segala keseriusan. ''Kar…'' nadanya lembut. ''Lilis maunya lo bahagia, dan bahagia kan nggak harus sama gue'' Ara tersenyum bibirnya menahan getar.
'''Gue terus yang bahagia. Lo kapan?'' balas Kar dengan mata yang berkaca kaca.
Ara menghela napas. Ia mengigit bibirnya ketara sedang menyusun kalimat dan menahan getar di bibir. Tangannya mempererat genggaman pada tangan Kar. ''Kapan pun gue liat lo bahagia saat itu pula gue bahagia.'' Ucapnya dengan senyuman getir.
Di sisi lain Kar hanya bisa memandangi pria di depannya sambil berharap satu persatu memori datang menyapa. Sayang tak satupun datang. Gadis itu hanya bisa menelan ludah. Hingga akhirnya ia memilih untuk memeluk pria di depannya.
''Kenapa ya Ra ada orang bego kayak lo? '' Kar mengusap punggung pria itu dengan lembut. Perlahan namun pasti ruang waktu hanya diisi dengan kehangatan pelukan.
Tanpa di sadari seseorang telah menyaksikan pertunjukan itu dengan wajah dingin. Sialnya seseorang itu adalah Ray. Ray, ia masih terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia memutuskan meninggalkan Kar dan Ara dengan amarah yang tak terbendungkan. Monster telah menguasai dirinya. Padahal yang terlihat belum tentu seperti apa yang ada di kepala pria itu. Nyatanya Kar masih belum bisa menemukan Ara dan nyatanya Ray masih jadi rumah berpulang bagi Kar. Sayangnya api cemburu telah membakar monster di dalam dirinya.
''Brengsek!''
Lirih Ray.