Sesering apapun lo bilang pengen menyerah. Sesering apapun lo bilang nggak pantas buat hidup. Dan sesering apapun lo bilang lo pengen meninggalkan hidup ini dan memilih untuk mati. Tapi kenyataanya lo masih disini hari ini, detik ini dan pada aksara ini
Gue sangat yakin bahwa lo masih bisa menunggu, masih bisa percaya bahwa masih ada hal hal kecil yang membuat lo percaya bahwa lo masih berharga. Meski pada akhirnya lo juga harus meletakkan standar hidup dan ekspektasi lo jauh dari keinginan lo. Tapi gue yakin, gue, lo dan kita semua akan banyak belajar bagaimana cara untuk hidup bahagia dengan kehidupan yang rata-rata dan yang paling penting dalam hidup yang rata rata ini kita semua belajar bagaimana cara untuk tetap terus mempertahankan hidup kita.
Katanya hidup ini berharga, kan?
*
"Lo yakin mau dateng?" suara Nadev terlihat sendu. Tatap matanya pada Kar begitu prihatin.
''Yakin, Kar?" tanya Rehan mengungi keheningan. Setelah melempar tatapan pada Kar kini matanya berbicara dengan mata Nadev. Keduanya mungkin sedang meragukan Kar yang akan datang ke pengadilan orang tuanya esok hari.
''Kar…'' Lirih Nadev prihatin. ''jangan paksain diri lo buat dateng kalo emang ini terlalu berat buat lo. Lagian ini bukan sepenuhnya salah orang tua lo. Gue dan Rehan sudah mengurus sisanya. Jangan khawatir kalopun lo nggak dateng gue pastikan orang tua lo bakal dapet hukuman yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Its not like a monster in your mind.'' Lanjut Nadev menenangkan.
Kar mengalihkan pandangannya. Ia remas surat undangan pengadilan ''Gue nggak bisa biarin bang Nuha sendirian di sana padahal gue tau apa yang sebenarnya terjadi. Maybe it will be hurt for him''
Kedua tangan Rehan praktis merengkuh pundak gadis itu. ''No…you didn't hurt him. Justru dengan lo nggak dateng ke sana Nuha mungkin akan lebih lega. Gue tau banget kalo dia Cuma ngga pengen lo kepikiran ini semua.''
''Tapi…''
Rehan mengembangkan senyumnya begitu pula Nadev. ''Kesehatan lo lebih penting dan kalopun lo memaksakan untuk datang tapi hati dan fisik lo nggak siap, apa lo nggak kasihan sama orang tua dan abang lo?''
''Lo nggak kasihan juga sama kita?'' tambah Nadev.
Kar menelan ludah. Ia menghela napas panjang untuk menghilangkan semua resah yang menyesaki dadanya. Lantas mengulum senyum di wajahnya. Dingin menyelimuti dirinya padahal hari ini matahari begitu terik. Gadis itu sungguh tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Padahal hatinya berontak untuk tetap menghadiri sidang esok hari tanpa pengetahuan Nuha.
''You deserve to be happy , Kar. Tuhan udah kasih lo kesempatan kedua untuk hidup dan itu tandanya lo harus berusaha sebaik mungkin menjalani kehidupan ini. Salah satu cara untuk menjalani hidup yang baik adalah dengan bahagia.'' Nadev mengusap rambut gadis itu.
''Inget ya lo harus bahagia, bahagiakan diri lo dulu baru orang lain'' lanjut Nadev penuh dengan kelembutan.
''Jangan jadi gelas kosong yang berusaha memenuhi gelas lain, paham?'' tanya Rehan menggantung di udara sebab gadis itu hanya terdiam. Perlahan namun pasti bulir air mata jatuh. Jujur Kar tak tau harus menanggapi seperti apa. Di kelilingi dua manusia yang ada di depannya selain menyajikan beribu keraguan dan tanya, mereka juga menyajikan beribu kehangatan yang begitu familiar.
Kar menelan ludah. Tubuhnya sudah tenggelam. Ia dipeluk oleh dua raksasa. Sesekali ia sesegukan dan menyembunyikan diri pada tubuh Rehan dan Nadev secara bergantian. Hari ini mendadak jadi teduh. Meski tetap saja kesepian selalu melunakkan diri gadis itu. Untungnya pelukan kedua raksasa ini dapat mengikis sedikit demi sedikit rasa kesepian gadis itu.
*
Kriettt..
Pintu rumah terbuka menampakkan sosok Ara dengan peluh yang membasahi wajah pria itu. Di sisi lain Batak yang entah sejak kapan di dalam rumah Ara dengan santainya duduk di ruang tamu sambil membaca koran dan nyemil gorengan. Ia tampak tidak peduli dengan tatapan Ara yang begitu menusuk tajam. Sejujurnya Batak sadar akan semua ketidaksopanannya pada Ara hanya saja ia berusaha untuk tidak peduli dengan itu semua. Anggaplah seperti rumah sendiri.
''Sejak kapan lo disini?'' tanya Ara begitu tajam dan dingin.
Hari masih terlalu pagi untuk seorang tamu datang ke rumahnya. Lagian ia sudah tak menerima tamu semenjak ia pindah ke rumah ini. Ya selain Kar itu beda cerita.
''Wehhh…udah balik bos?'' Batak tak menjawab malah balik tanya seenaknya. Ia masih sibuk mengunyah gorengan di mulutnya.
Ara mencoba bersabar dengan kelakukan Batak. Pria itu memutar bola matanya jengah. ''Iya gue baru balik. Ada yang mau lo omongin sama gue?'' sarkas Ara.
Sayangnya batak tak menjawab bocah itu masih asik dengan gorengan jawa kesayangannya. Ia terus mengunyah hingga sulit untuk bicara. Lagi-lagi Ara menghela napas pasrah.
''Oke kalo nggak ada urusan, abis kelar makan gorengan langsung balik ya. Gue sibuk nggak ada waktu buat ngurusin lo'' ucap Ara dengan dingin. Tak butuh waktu lama pria itu bergegas meninggalkan Batak. Belum genap lima langkah kaki Ara bergerak suara Batak terdengar begitu menghipnotis.
''Pantes aja Kar nggak inget lo. Orang lo orangnya gampang nyerah begini. Lagian apa salahnya sih sarapan dulu baru ngomong?''
Ara membalik tubunya. Ia menyernyit meminta penjelasan berhubung Batak membawa-bawa nama gadis yang ia suka itu. ''Lo lagi ngomongin gue? For Your information aja gue nggak biasa sarapan pake gorengan'' Ara dingin.
Batak mengangguk penuh yakin. ''Iya lo, Cakra Luksa Wijaya kan? Adiknya bang Rehan yang kaya dajjal itu.''
Ara tak menganggapi, hampir ia kembali mengabaikan joke Batak namun lagi-lagi ucapan bocah itu berhasil menarik langkah kakinya untuk diam di tempat.
'' Gue suka Kar'' celetuk Batak membuat Ara hampir mengeluarkan seisi bola matanya. Sayang pria itu sangat matang menguasai emosinya. Ara cepat tanggap untuk mengubur semua keegoisan dirinya hanya dengan satu helaan napas.
''Gue nggak peduli'' jawab Ara dengan datar.
Giliran Batak yang menghela napas, lantas ia tersenyum sinis. ''Pantes lo nggak pernah muncul diingatan Kar. Lo nggak mengizinkan diri lo untuk muncul.''
''Tau apa lo tentang gue?''
Batak mengulum senyum. ''Nggak atau apa apa sih. Gue kesini cuma mau bilang kalo gue suka sama Kara.''
''Gue nggak peduli'' ulang pria itu untuk kedua kalinya. ''Lo mau suka sama siapa gue nggak akan peduli''
''Tapi kalo gue bilang gue sayang sama Kara, lo masih nggak peduli?''
Ara bergeming. Ia menelan ludah. Terdiam beberapa saat sambil membiarkan segala kata-kata batak menghilang termakan udara pagi hari ini. Seluruh keringatnya mendadak dingin menusuk tubuhnya. Tapi jika benar pria bernama William menyayangi Kara bukan kah itu lebih baik daripada dirinya? Ya setidaknya ia lebih mampu untuk menjaga gadis itu daripada dirinya. Namun lagi lagi hati kecil itu terlalu pengecut. Ia tetap ingin memiliki gadis bernama Kara walau harus berdiri pada atas nama luka.
''Itu hak lo'' suara Ara terdengar begitu stabil.
Jawaban Ara sontak membuat Batak menyudahi sarapan paginya dengan senyuman kecut. Entah mengapa di mata batak Ara akan selalu menjadi manusia yang pandai dalam menyembunyikan segala perasaan dalam dirinya.
''Apa gue bisa menghentikan lo buat menyukai seseorang? Nggak, kan? Lagian gue pikir dia bakal lebih bahagia sama lo daripada gue''
Batak menyernyit.
''Apapun, dimanapun, dan dengan siapapun dia bahagia, disaat itu pula gue akan bahagia. I know that its seem so stupid. Tapi buat gue ngeliat dia bahagia udah lebih dari cukup buat gue daripada harus memaksa dia mengingat siapa gue.''
''Tapi lo bisa memperjuangkan lebih..'' ucap Batak frustasi.
''Apa menurut lo menyerah itu gampang?''
''Ra…'' Batak enggan memberi balasan, ia tetap ingin melihat reaksi yang lebih jujur dari seoarang Cakra Luksa Wijaya. ''Gue nggak bilang menyerah itu gampang, tapi bisa nggak sih lo lebih jujur sama diri lo sendiri.''
Ck. Ara berdecik. Ia menyandarkan tubuhnya pada dinding ruang tamu. Menghempaskan napas berat sambil menatap William dengan tatapan tidak terdefinisikan. ''Lo pikir gue nggak cemburu liat Kar nemenin lo ke gereja, lo pikir gue nggak cemburu liat Rehan dan Nadev bisa peluk Kar dengan tenang, Lo pikir gue nggak marah liat Kar ingat Ray daripada gue ?''
Ara berdecik kecut.
''Nggak, Will, gue cemburu, gue akui gue iri dengan kalian semua, tapi terlepas dari itu asal dia bahagia gue akan selalu belajar buat bahagia. Gue jujur sama perasaan gue, gue jujur sama diri gue sendiri, dan gue rasa gue nggak perlu teriak ke semesta buat ngasih tau itu semua. Sama seperti laut yang nggak pernah teriak sedalam apa dirinya, manusia dan semesta juga tau sedalam apa itu laut''
Hening. William sibuk menyusun kata dalam pikirannya.
''I see…sangat menyenangkan melihat orang lain bahagia, tapi apa lo nggak mau jadi alasan buat dia bahagia juga?''
''Apa gue bisa?'' jawab Ara sambil mengalihkan pandangan ke luar rumah. Kebetulan pintunya masih terbuka. ''Apa gue masih bisa jadi alasan kebahagiaan seseorang yang sudah pernah gue kecewakan? Apa masih bisa gue membahagiakan seseorang keluarganya dihancurkan oleh dosa keluarga gue?''
Jawaban Ara membuat William mengigit bibirnya. Kesepuluh jarinya menaut jadi satu meredakan segala emosi dalam dirinya.
''Kebahagian itu letaknya di hati Ra, bukan di mata. Kalo selama ini cara lo membahagian orang lain hanya dengan menyaksikan mereka bahagia, itu mungkin lo salah. Apa yang lo lihat belum tentu apa yang mereka rasakan. Kalo lo pikir gue lebih bisa bikin bahagia Kar daripada lo, lo salah. Lo bahkan nggak tau kalo digereja dia nangis karena dia takut mati karena penyakitnya. Dia takut mati, tapi lebih takut kalo dia nggak inget apa yang seharusnya dia ingat. Lo mungkin nggak tau kalo Cuma sama lo dia bisa versi diri dia yang paling kuat.''
William beralih dari posisinya, ia menghampiri Ara lantas menepuk pundak pria itu. ''Dia selalu jadi wanita yang kuat ketika bersama lo. Nggak peduli sedingin dan sekeras apapun lo, dia selalu berusaha untuk cari tau lo diingatan dia. Dari Re, gue, Rehan dan Nadev, kita semua berusaha untuk ngasih tau siapa lo buat dia. Hidup dia udah cukup menderita, kalo lo masih punya hati berusahalah buat jadi alasan dia untuk bahagia.''
''Semua orang punya dosa, Ra. Kalo Tuhan aja bisa memaafkan kenapa lo harus begitu keras sama diri lo sendiri?'' William dengan melengkungkan senyum. ''Bahagia itu dihati Ra, bukan dimata. Maaf itu dari diri sendiri bukan dari orang lain, jadi jangan terlalu keras sama diri sendiri ya…''
''Siapa lagi yang mau nolong lo kalo bukan diri lo sendiri?''
Dalam kata katanya William tesenyum tulus. Ia kembali menepuk pundak pria itu, lantas lantas pergi meninggalkan Ara. Di sisi lain Ara hanya bisa tersenyum kecut. Kemudian ia terdiam sesaat sampai akhirnya sebuah pesan menderingkan ponselnya.
Georgio Ray Ibrahim: Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan dengan. Bisa?
*
Jakarta, 2021
''Karena gue sayang sama lo, gue nggak mau lo mengingat apa yang seharusnya lo nggak ingat. Gue abang lo, gue yang paling peduli sama lo. Gue yang paling tau apa yang baik dan buruk buat lo dan menurut gue… Ara bukan hal baik buat lo, Kara…''
''Tapi kenapa?''
''Apa masih perlu alasan ?''
''Perlu bang. Gue perlu tau siapa Ara karena gue nggak mau jadi manusia yang nggak tau terimakasih'' gue terus berontak kepada bang Nuha. Ini kali pertama gue membentak bang Nuha. Alasannya hanya gue ingin tau siapa Ara. Gila memang tapi ini semua gue lakukan karena gue telah ada di titik frustasi dengan diri gue sendiri. Semua masalah menumpuk dalam kepala. Membludak sampai sampai rasanya ingin pecah.
Gue perlu tau Ara, setidaknya agar satu masalh bisa gue selesaikan sebelum masalah lain datang dan menyapa. Gue perlu tau itu semua sebelum Nuha makin marah karena gue akan datang ke sidang bunda dan ayah minggu depan tanpa sepengehatuan dia. Gue akui Nuha adalah abang terbaik, namun sebaik apapun abang gue, dia tetap manusia yang selalu menyimpan masalah untuk dirinya sendiri. Ia pandai berbohong untuk kepentingan orang yang ia sayangi. Salah satunya adalah gue. Dia abang gue tapi nggak semua masalah gue bisa dia selesaikan.
''Gue perlu tau bang'' ucap gue parau.
''Ara buruk buruk buat lo.'' Jawabnnya dingin.
''Kenapa?'' tanya gue sambil membasahi bibir.
''Karena lo sayang dia. Puas!'' nada bicara Nuha meninggi.
Gue menyernyit, jawaban Nuha diluar konteks pembicaraan kami berdua. Gue masih tidak mengerti mengapa rasa sayang gue buruk untuk eksistensi Ara di ingatan gue. Menelan ludah gue memberanikan diri untuk bicara. ''Gue juga sayang lo, gue sayang bunda dan ayah, tapi apa mereka buruk buat gue? Apa lo buruk buat gue?'' tanya gue penuh kebingungan.
Nuha tampak menghela napas. Tanpa sadar tangannya memukul sofa dengan keras. Ia masih mengalihkan pandangan penuh emosinya. Nuha sama sekali tidak mau memandang mata gue yang sudah sempurna penuh kaca.
''Jawab bang…apa lo juga buruk buat gue?kenapa bang kenapa?''
Pertanyaan gue lagi lagi membuat abang hanya bisa menjambak rambut makin frustasi. Setelah memejam mata beberapa saat akhirnya menjawab, ''Karena lo kalo udah sayang sama seseorang bego anjing.''
Giliran gue menelan ludah kasar. Baru kali ini gue mendengar bang Nuha berkata anjing ke gue. Rasanya sakit namun lebih dari sakit gue malah merasa bahwa apa yang ia katakan memang ada benarnya. Bagaimanapun akhir-akhir ini gue sedikit ingat bagaimana bodohnya gue menghabiskan malam-malam dengan pil penenang dan pil tidur hanya untuk menyamai langkah Nuha di masa lalu.
Semarang, dua tahun silam gue pernah menyakiti diri gue dengan rutin menyayat lengan gue menggunakan benda tajam tiap kali gue gagal ujian di perkuliahan. Lima tahun yang lalu setelah gue mendengar pertengkaran orang tua gue secara tidak sengaja gue hampir bunuh diri di toilet salah satu rumah sakit dengan menenggak semua obat-obatan yang dokter berikan ke gue. Gue yang selalu mematahkan harapan kedua orang tua gue, gue yang selalu mengejar pencapaian orang, tanpa sadar semua rasa sayang gue telah menjadikan gue berada di titik sekarang ini. Gue menyakiti diri gue hanya untuk membuktikan seberapa orang lain berharga di hidup gue. Tanpa sadar sakit yang gue alami hari ini adalah segala hasil dari hal yang gue tanam di masa lalu.
Gue rasa gue telah menyayangi orang lain dengan cara yang salah. Gue rasa gue terlalu focus dengan orang lain sampai gue lupa bahwa gue kehilangan diri gue sendiri. Akhirnya perkataan Nuha membuat gue menemukan siapa gue di masa lalu. Gue yang ternyata tidak bisa menerima diri gue sendiri.
Sejenak gue menelan ludah. Membasahi bibir sambil menahannya agar tidak bergetar. Kepala gue pusing, satu persatu ingatan tentang masa lalu terputar bagai sebuah klise film kusut yang perlu diurai. Gue bersyukur walopun harus melalui rasa sakit, Nuha perlaham membuka ingatan diri gue.
''Jadi bener, lilis mati karena gue?''
Ucap gue dengan tersedu. Di sisi lain mendadak Nuha membeku. Perkataan gue seperti hal yang tak terduga dalam pikirannya. Mungkin Nuha mengira bahwa gue belum tau tragedy apa yang telah terjadi dua tahun yang lalu.
''Bener, kalo sayang gue ke Ara yang buat dia harus kehilangan adiknya?''
Nuha tampak membasahi bibirnya, ia mengalihkan pandangan ke langit langit rumah. Sesekali mengatur napasnya yang ketara. ''Yang salah dia bukan lo, Kar…Kalo aja Ara nggak dateng ke kehidupan lo mungkin kita semua nggak akan seperti ini. Gue nggak mau lo ingat Ara lagi karena gue nggak mau hal kayak gini terulang kembali. Tuhan udah ngasih jalan buat lo lupain dia, that all, enough for us. Jalan tuhan yang terbaik buat lo adalah melupakan dia.''
''Tapi bang…''Kar menyeka air matanya, lantas menarik senyum manis dalam tangisnya. ''Itu nggak adil buat Ara. Dari semua orang yang ada, Cuma dia yang nggak bisa gue inget. Ini bukan jalan yang Tuhan mau. Ini nggak adil buat kita semua''
Nuha meraih bahu gue. Tatapan matanya menusuk ke dalam diri gue. Intens sampai sampai gue berhenti sesenggukan. ''Terserah ini adil atau enggak, tapi abang nggak mau kamu ngalamin hal buruk lagi. Abang udah banyak berjuang buat kamu, kalo kamu bener bener sayang sama abang, please…nggak ada nama Ara di hidup kamu lagi. Seingin apapun kamu ingat, nggak ada nama Ara di hidup kamu lagi. Abang nggak mau liat kamu terluka, Kar…''
''Tapi….bang…''
Nuha merengkuh tubuh gue dalam pelukannya. ''Kara sayang kan sama abang?''
Gue mengangguk pelan. ''Sayang'' ucap gue lemah.
''Kalo kamu sayang sama abang, jangan pernah coba buat jatuh cinta sama manusia yang belum selesai sama diri mereka sendiri.''
''Tapi manusia nggak akan pernah yang selesai sama diri mereka sendiri. Bunda pernah bilang bahkan krisna yang dewa saja punya sesuatu yang nggak bisa dia selesaikan sendiri, selalu harus ada campur tangan orang lain.''
Gue tau ini salah. Salah untuk menyangkal kata-kata Nuha. Tapi dari lubuk hati gue, hal ini adalah yang paling kecang menyeruak.
''Tapi nggak harus tangan kamu juga kan Kar…''
Balasan Nuha membuat gue terdiam beberapa saat hingga berujung mematung.
''Nggak semua orang pantas dapat kesempatan kedua. Buat abang Ara bukan orang yang pantas untuk itu semua setelah apa yang dia lakukan buat keluarga kita. Jadi… jangan pernah kasih tangan kamu buat dia karena dia emang nggak pantes dapet itu semua.''
Deg.
Gue menelan ludah. Tatapan Nuha membuat gue terdiam tanpa penyangkalan. Demi Tuhan meski begitu gue akan tetap mencoba mengingat siapa Ara dalam hidup gue. Daripada rasa takut gue terhadap kematian, gue lebih takut tidak bisa berterimakasih pada pria itu. Gue sayang bang Nuha tapi disisi lain gue juga tidak ingin menjadi manusia yang tidak tau diri.
''Gue sayang lo bang'' ucap gue sambil mengusap lembut punggung Nuha.
Hening, pelukan kami makin erat. Syukurnya meski kami berdua semakin erat, Nuha tetap tak bisa mendengar suara hati gue yang berkhianat.
Cakra Luksa Wijaya, gue berjanji untuk terus bisa jadi utusan Neptunus yang mengarungi dalamnya Samudra. Gue janji Ra 😊