Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 32 - 23.58

Chapter 32 - 23.58

Bandung 2021

Waktu menunjukkan pukul satu pagi dini hari. Dua orang sedang mengayuh sepeda di jalanan bandung yang sepi tanpa satu pun kendaraan yang melintas kecuali mereka berdua. Suara napas mereka mengisi keheningan malam ini.

''Cuma dedemit sama setan yang sepeda di jam segini'' celetuk Batak yang tampak kesal karena Re terlalu cepat mengayuh sepeda. Ia kewalahan untuk mengimbangi gadis itu.

''Reana Ibrahim!!'' Teriak Batak kesal.

Sayang gadis itu tak menanggapi. Ia menambah kecepatan kayuhan sehingga mau tidak mau Batak harus menggunakan sisa tenganya agar bisa menghentikan gadis itu. Butuh lima belas menit agar ia bisa menhentikan gadis itu.

''Anjing!'' ucap batak muncrat. Jelas ia ngos-ngosan menahan laju sepeda Re. ''Lo kalo ada masalah lari kepelukan gue jangan sepedaan anjir capek!''

Re tak menggubris. Keringatnya mengucur begitu deras. Sesekali ia menyeka sambil mengatur napas.

''Sumpah Re Cuma setan doang yang ngajakin sepedaan malem malem gini'' keluh batak untuk kesekian kalinya.

''Brarti lo setan juga kan?'' Re membalas dengan sarkas.

''Iya sih setan tapi kalo jalur sepedaan mah ogah Re. Lagian lo gila juga ya tiba-tiba udah di Bandung padahal beberapa jam yang lalu masih di Bogor. Ada masalah apa?'' Batak menyernyit.

Re mengatur napasnya. ''Keliatan banget ya?''

Batak mengangguk. ''Berkas nyokap lo aman kan buat pengajuan sidang minggu depan?''

''aman kok.''

''Terus kenapa?''

Lagi-lagi Re menghela napas. Ia menatap langit malam ini. Gelap. Segelap hatinya malam ini. ''Sebelum gue cerita kenapa, boleh nggak gue tanya satu hal?''

Batak menyernyit, ''aneh'' celetuknya. ''Biasanya juga ga pake izin. Jangan-jangan lo mau…..''

Plak!

''Gausah ngaco!!''

''heuhhh… terus apaan dong?'' Sebal batak. Padahal ia sudah memikirkan rencana kalo saja Re meminta pertanggung jwaban Hubungan mereka berdua. Ia bahkan sudah memikirkan konsep pernikahan sampai catering makanan kalo saja Re sungguh sungguh ingin menyatakan perasaannya malam ini. Memang fantasi bocah itu teralu gila, sering kali ia tak melihat kenyataan.

''Menurut lo takdir itu apa?''

''Ketentuan Tuhan''

Re menyernyit.

''Iya ketentuan tuhan yang kadang terlalu lucu untuk diperjuangkan. I mean takdir itu berjalan secara effortless. Semakin dikejar semakin lari, semakin diharap semakin hilang, semakin diperjuangkan semakin tidak menghasilkan. Lucu nggak sih Tuhan pengen ngelihat usaha kita tapi ujung-ujungnya takdir yang datang nggak perlu pake usaha.''

Re tersenyum.

''Biarin aja hari ini berlalu. Kalopun lo ngga berhasil dengan usaha lo hari ini nggak papa Re. Karena mungkin hal yang lo perjuangkan saat ini emang seharusnya nggak perlu lo perjuangkan. Cukup terima, simpan dan pelajari. Takdir sedang bekerja buat lo''

''Terus usaha jatuhnya Cuma sia-sia dong?''

Giliran Batak tersenyum. Ia tak langsung menjawab, bocah itu malah beralih dengan sepedanya. Mulai mengayuhnya dengan pelan membuat Re yang terdiam beranjak mengikutinya. Angin dingin menyertai keduanya. Hanya terdengar napas dan kayuh sepeda yang bersautan satu sama lain. Batak masih mempersiapkan diri untuk mejawab pertanyaan gadis di sisinya.

''Jadi semua usaha gue selama ini sia-sia tak?'' tanya Re untuk kedua kalinya.

Batak mengigit bibir. Menghela napas lalu membalas pertanyaan Re dengan tenang. ''Sebenarnya nggak ada yang sia-sia di dunia ini. Semua hal datang karena punya alasan itu juga berlaku buat semua usaha yang udah kita lakukan meskipun ujungnya kita juga tau kalau takdir tuh se effortless itu. Usaha yang lo lakukan, usaha yang lo perjuangkan mungkin saja bentuk keadilan tuhan biar lo nggak menyesal karena nggak pernah mencoba itu di masa lalu. Biar lo nggak terlalu memaki Tuhan karena hal-hal buruk terus terjadi di hidup.''

Re mengulum senyum. Ia hela napasnya dengan kasar. Kakinya mulai kehilangan daya untuk mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga. Maklum ini sudah terlalu pagi untuk menerjang jalanan Bandung setelah melakukan perjalanan gila dari Bogor untuk sampai di sini. Saat ini Re Cuma butuh teman, dan bagi Re batak adalah teman yang ia butuhkan di saat seperti ini.

''Serius lo kenapa?''

Ucapan Batak memecah keheningan.

''Lo inget kan dulu gue pernah di terror selama tiga tahun sama seseorang?''

''Ibrahim bokap lo sendiri?'' batak menyernyit.

'''Bukan'' Re menggeleng.

''Ada lagi?'' Batak sudah siap emosi.

''Ada, tapi dia udah nggak neror lagi. Lo inget gue pernah cerita kebakaran galeri lukis di Bogor dua tahun yang lalu?''

''Yang ninggalin inisial terror ''S'' "?

Re mengangguk. Di sisi lain Batak merasakan emosinya memuncak. Sungguh ia tidak ingin melihat Re kembali ke masa-masa itu. Ia tidak ingin beban gadis itu terus bertambah dan terlebih ia tak ingin melihat Re terluka untuk kesekian kalinya hanya karena dendam seseorang terhadap ibunya yang biadab. Re tidak salah apa-apa.

''Jangan emosi dulu tak'' Re menghentikan sepeda disusul Batak yang menoleh dari depan sana. ''I was fine'' lanjutnya dengan senyum parau.

''Fine matamu goblok Re. Lo udah di terror selama tiga tahun sama orang biadab kaya dia masih bisa bilang fine? Kalo lo kenapa-napa lagi apa gue masih bisa tinggal diam?! Sekarang lo kasih tau siapa dia dan malam ini juga gue jamin idup dia nggak akan baik baik aja atau paling minim dia udah nggak bisa ngerasain napas gratis di dunia. Kasih tau gue!''

''Tak… tenang'' ucap Re dengan senyumnya. ''Orang yang lo bilang biadab itu udah nggak melakukan terror lagi. Sekarang gue bener bener udah aman kok. Nggak ada yang terror gue lagi, dan yang terpenting gue sudah tau siapa ''S'' itu''

Re menelan ludah melihat bola mata Batak yang hampir keluar. Ia mengerti kalau bocah itu sedang dikuasai amarah.

''Siapa Re?'' tanya batak sarkas. ''Siapa orang brengsek itu?''

Re menarik senyum lebar. ''Lo pasti nggak nyangka tak''

''Siapa?''

Re membasahi bibirnya. Entah datang dari mana keberanian itu tapi pada akhirnya Re berhasil jujur pada Batak. '' Sanjaya. Orang itu adalah ayah dari cowo yang selama ini selalu di sisi gue. Orang yang neror gue adalah bokap Nadev''

BRAK!! Batak menjatuhkan sepedanya, lantas berlari dan meraih bahu Re. Ia cengkram bahu gadis itu dengan kuat.

''SUMPAH?!!'' teriak Batak

Re hanya membalasnya dengan anggukan tipis sambil tersenyum.

''ANJING! NGGAK REHAN, NGGAK RAY, NGGAK NADEV SEMUA BERMASALAH. SELAMA INI GUE PIKIR CUMA NADEV YANG BISA DI ANDALIN TAPI TERNYATA SAMA AJA SAMPAH! BRENGSEK!''

Batak terus menyumpah serapah. Semua kata-kata kasar keluar dari sana namun Re tak menghentikan Batak. Ia biarkan emosi batak meluap semua. Ia biarkan sampai batak punya ruang untuk bicara dengan tenang. Barulah ia ingin menjelaskan isi kepalanya saat ini.

''Udah makinya?'' tanya re saat batak mulai tenang.

Bocah itu hanya melirik sarkas pada Re. Berusaha menenangkan emosi dengan mengepalkan telapak tangannya yang terasa panas.

''Ini alasan kenapa gue ragu buat kasih tau ini ke lo. Karena reaksi lo pasti akan lebih marah daripada gue.''

''Gue sayang lo, jadi wajar gue marah''

Re menelan ludah. Ia pandangi batak dengan perasaan penuh salah. Re tidak tau bahwa ia telah menitipkan banyak beban hidup kepada batak selama ini. Jadi wajar kalo bocah itu marah seakan akan dirinya telah dihina dan diserang oleh kenyataan. Padahal kenyataan itu hanya berlaku untuk Re.

''Yang brengsek bokap dia bukan dia. Lo nggak bisa menyalahkan Nadev, tak. Selama ini dia udah banyak nyelamatin gue dari kegilaan bokap dia. Dia bahkan merelakan turnamen musim dingin Cuma gara-gara dia tau kalo bokapnya bakal balas dendam ke gue. Dia bukan orang yang tepat buat disalahin''

''Tapi Re gue udah nggak bisa percaya sama Nadev. Gue…''

''he was so kind. Keberanian dia buat jujur gue tentang ini membuat gue makin yakin kalo dia benar-benar baik. Dia orang yang tulus dan baik, jadi jangan salahin dia''

''Fine'' helaan kasar terdengar begitu ketara. Lagi-lagi Batak sedang mengontrol emosinya, ''Kalo lo tau dia baik buat lo, kenapa lo masih ragu dan datang ke sini?''

Skakmat. Batak memang pintar membaca situasi. Ia bahkan tau kalo Re memang masih meragukan semua kenyataan ini.

''Gue bingung Tak, mau mulai menerima dari mana. Gue bingung dan gue pikir gue butuh waktu sendiri buat memikirkan ini. Kejadiannya terlalu mendadak dan kalo gue tetap berada di sekeliling Nadev , gue takut melakukan hal bodoh yang menyalahkan dia. Nadev orang yang baik dan gue nggak mau jadi manusia bodoh yang menyalahkan orang baik.''

''Re….''

Batak mengenggam kelima jari Re dengan erat. Tatapan matanya meneduhkan. Gejolak amarah yang tadi menyulut perlahan padam hanya menyisakan bara-bara yang menghangatkan. Re terlihat begitu tegar dengan kenyataan ini. Tak sedikitpun ia menunjukan sedih di wajahnya. Benar kalau gadis itu hanya butuh waktu untuk mencerna semua kenyataan ini. Dia gadis kuat yang sudah mengalami banyak badai di hidupnya, wajar bila kenyataan sekejam ini hanya membuat gadis itu sedikit kebingungan.

'' Terus setelah lo tau kalo Sanjaya pelakukanya apa yang akan lo lakukan?''

Re mengulum senyum. Membasahi bibir ia berucap dengan bibirnya yang bergetar, ''Nggak tau, sekarang yang ada di pikiran gue cuma hidup sahabat gue.''

''Tapi Re apa lo nggak mau bawa kasus ini ke jalur hukum. Apa lo nggak…''

''Nggak'' Dalam sekejap tatapan Re dapat membuat Batak membisu. ''Gue nggak mau meneruskan lingkaran setan ini. Gue capek, gue pengen kita semua hidup damai dan mencari kebahagiaan masing-masing. Kalau gue menuntut Sanjaya sama aja gue perlahan menghancurkan Nadev dan keluarganya. Nadev sudah banyak berkorban buat ngejagain gue dan keluarganya, dia udah banyak berkorban untuk menghentikan Sanjaya melakukan hal-hal gila Cuma karena kematian adiknya. Jadi, daripada gue menghancurkan semua keluarga dalam pertemanan kita, gue memutuskan untuk menghentikan lingkaran setan ini''

Gadis itu tersenyum mengakhiri kalimatnya. Di sisi lain Batak berulang kali menelan ludah, menelan makian dan kecewa karena jujur dari lubuk hatinya ia ingin semua orang dapat diadili sesuai dosa mereka. Seperti Tuhan yang mengakhiri umatnya dengan seenaknya.

''Gue harap lo bisa menghargai keputusan gue. Gue harap lo bisa terus mendukung apapun pilihan gue, karena Cuma lo satu-satunya orang yang gue percaya'' lanjut Re memecah keheningan.

Butuh waktu lama hingga akhirnya batak mengangguk mengiyakan. Lagi-lagi pergulatan batin memaksa dirinya untuk mengabulkan semua permohonan perempuan di depannya.

''Gue janji'' ucap batak

''Makasih'' balas Re dengan senyum.

''Re…''

Batak melepas genggaman jemarinya yang tertaut pada Re, lantas mengalihkan tatapan yang tak terdefinisikan.

''Lo tau kan perasaan gue ke lo?''

Re mengangguk tanpa ragu.

''Apa… masih ada sedikit ruang buat gue masuk ke hati lo?''

Giliran Re yang menggenggam tangan Batak. Membuat jantung pria itu berdegup tak beraturan.

'''Jawaban gue nggak akan berubah'' balas Re dengan tenang. Ia tatap Batak dengan tulus. ''Gue nggak bisa membiarkan lo masuk ke rumah yang udah rusak. Daripada masuk untuk memperbaiki gue lebih senang kalo lo tetap jadi teman lari dari rumah ini. Nggak papa kan? Nggak semua orang ingin menetap di rumahnya kan?''

''Iya'' kata-kata itu keluar dengan begitu kecewa dari mulut Batak.

"Makasih tak…'' ucap Re dengan senyum terkembang sempurna.

Batak mengigit bibirnya. Tangannya balik menggenggam tangan Re. Lantas membuang pandangan ke langit hitam di atas sana. Dari semua ketentuan Tuhan terhadap hidupnya, penolakan Re dan ketidak berdayaan dia memperjuangkan perasaanya adalah hal yang paling ia benci. Penolakan yang entah kesekian kali namun rasa sakitnya akan tetap seperti yang pertama kali.

Sambil merasakan dingin yang menusuk tubuh, isi kepalanya terus berputar mengeliling jagad bumi disampingnya. Rasanya tetap saja ada yang kurang walaupun mereka selalu bersama. Rasanya semakin gelap padahal sang bulan sudah ada dalam pelukannya.

''Tuhan, malam ini gelap sekali. Padahal saya sudah menggenggam bulan?''

*

Jakarta, 2021

''Hatchiiii''

''Hatchiiii''

Suara bersin terdengar tumpang tindih dengan suara pisau yang mengetuk wortel. Masih terlalu pagi untuk memasak sebab ini masih subuh dini hari. Nuha tidak memasak ia hanya sedang memandangi bocah tengil di depannya yang sedang memasak. Bocah tengil itu adalah Ara.

Subuh tadi ia baru saja sampai di rumah ini setelah ia tau bahwa adiknya di rumah ini. Di dalam kepalanya masih hangat ingatan dimana Kar tertidur pulas di samping bocah tengil itu. Entah Nuha sendiri belum bisa memastikan apa yang telah mereka lalui di malam tadi sehingga mereka berakhir menghabiskan malam dengan tidur di sofa layaknya pasangan yang sedang melepas rindu. Persetan dengan alasan, Nuha tetap membenci bocah tengil di depannya.

''Minum dulu bang''

Ara meletakan secangkir teh di hadapan Nuha. Pria itu hanya membalas dengan tatapan dingin miliknya.

''Duduk'' suara Nuha keluar dengan menintimidasi. ''Ada yang perlu gue omongin sama lo'' lanjutnya penuh penekanan sehingga mau tidak mau Ara spontan menuruti semua keinginan Nuha.

Hening.

Helaan napas Nuha terdengar begitu ketara. Ia mulai meletakkan tangannya di sisi cangkir teh di depannya. Lantas menatap Ara makin dalam. Ia mencoba mencari kejujuran dari mata bocah tengil di depannya. Kemudian senyum terkembang begitu miris. Semua hal buruk yang Ara lakukan untuk adiknya masih terputar dengan baik di kepala Nuha. Detik saat bocah itu mencampakkan adiknya di halte bus saat hujan begitu deras, detik dimana adiknya menyayat tangannya hanya untuk berharap belas kasih dari Ara, itu semua masih hangat di kepala Nuha.

''Gue yakin lo tau kalau gue benci sama lo.'''ucap Nuha

Ara hanya membalas dengan senyum tipis. Sebisa mungkin ia bersikap tenang walopun pada kenyataanya ia begitu menyesal.

''Permintaan gue Cuma satu buat lo, dan itu akan selalu sama buat lo Ra. Tolong jangan bawa adik gue masuk ke dunia lo lagi. Tolong jangan paksa dia buat ingat siapa kalian di kehidupan lalu. Lo udah terlalu banyak menyakiti dia, lo udah terlalu berdosa buat dia, jadi tolong jangan bawa masuk dia ke dunia lo lagi. Gue mohon…''

Ara menelan ludah. Ia masih mempertahankan senyum di bibirnya sampai kalimat itu terdengar begitu menusuk di hati pria itu. Daripada menyangkal permohonan Nuha yang tidak masuk akal itu, Ara ingin tau alasannya.

''Kenapa bang, kenapa itu Cuma berlaku buat gue?''

Nuha terdiam sebentar, senyum kecut tergambar jelas di wajahnya. Beberapa kali napas terdengar terhela dengan berat. Nuha benci pertanyaan semacam ini.

''Kenapa Cuma gue?'' ulang Ara.

Tatapan Nuha tampaknya sudah bisa membalas semua pertanyaan di kepala Ara. Tatapan yang sarat akan kecewa. Tatapan yang penuh dengan kemarahan yag bercampur dengan keputusaan.

''Lo tanya sama diri lo sendiri Ra!''

''Tapi kenapa Cuma gue yang nggak punya kesempatan kedua? Gue… udah ngorbanin banyak hal buat Kara. Gue udah…ngorbanin saat terakhir bersama lilis. Apa gue masih belum pantas menerima kesempatan kedua?''

''Orang yang ngerasa pantas adalah orang yang sebenarnya nggak pantas untuk itu semua.''

Ara menahan dirinya untuk berteriak karena Kar masih terlelap di atas sofa. Di sisi lain Nuha berusaha menahan amarahnya dengan mengepalkan tangannya. Berulang kali ia menelan ludah untuk menelan kekesalan.

''Daripada lo terus memaksa gue ngasih kesempatan yang nggak mungkin buat lo mending lo dengerin kata gue Ra.''

Ara menelan ludah. Ia tatap Nuha dengan serius.

''Satu tahun yang lalu apa yang ada di pikiran lo saat membiarkan adik gue mengiris tangannya sendiri. Satu tahun yang lalu apa yang ada di pikiran lo saat lo berani masuk ke kehidupan adik gue dan ngehancurin hidup dia dengan seenaknya?''

Ara terdiam. Ia tak tau harus menanggapi bagaimana lagi. Selain kata maaf tidak ada lagi-kata kata yang pantas ia ucapkan. Semua yang Nuha katakan benar. Masuk akal jika Nuha membenci Ara sebesar dosa apa yang telah dirinya lakukan untuk Kara.

''Maaf'' kalimat itu keluar dengar getar penuh penyesalan.

Nuha hanya menanggapi dengan senyum sinis. Ia mengecup cangkir dan merasakan cairan hangat di dalamnya memenuhi seisi mulut. Berharap itu bisa menenangkan dirinya agar tidak menyumpah serapah kepada bocah tengil di depannya ini.

''Buat apa lo minta maaf kalo lo masih meminta kesempatan kedua?'' Dahi Nuha berkerut.

Tangan Ara terkepal sempurna.

''Gue minta maaf karena gue udah terlalu jauh menyakiti Kara. Gue meminta kesempatan karena gue nggak mau jadi pecundang untuk kedua kalinya. Gue emang nggak bisa berharap semuanya kembali seperti dulu. Kondisi kita semua udah berubah, tapi satu hal yang perlu bang Nuha tau kalo gue akan selalu berusaha menjaga adik lo dengan tulus. Sampai kapan pun dia tetap jadi adik kesayangan gue. Sama kayak pertama kali kita ketemu, sama seperti itu pula perasaan gue ke dia. Lo nggak akan paham bang''

Ck. Nuha bergeming. Ucapan Ara bak angin lalu di telinga pria itu. Nuha menolak untuk mendengar, ia sibuk merapihkan kemeja kerjanya. Sekarang hampir menjelang pukul enam pagi. Sebentar lagi gadis itu akan bangun.

''Gue gagal menggengam tangan adik gue untuk terakhir kalinya hanya untuk mengenggam tangan adik lo. Sejauh ini gue nggak pernah menyesal dengan pilihan gue. Karena kalo lilis tau pun dia akan ngedukung apa yang gue lakukan.'' Ara menjeda waktu bicaranya. Ia mengambil napas dalam dalam. Sejenak ia memejam napas sambil merasakan udara dingin bercampur dengan sesak menyerang dadanya.

''Bang Nuha mungkin nggak akan pernah sudi kasih gue kesempatan kedua, tapi maaf bang kali ini gue bisa nurutin kemauan abang. Gue akan tetap berada di sisi Kar.''

Brak!

Belum sempat Nuha memukulkan tangannya ke atas meja suara itu lebih tahulu terdengar. Praktis membuat kedua pria itu mengalihkan pandangan ke sumber suara. Suara itu berasal dari Zoya yang tiba-tiba menjatuhkan kargo miliknya. Besar kemungkinan Kar pun bisa mendengar suara itu. Nuha dan Ara menelan ludah bersamaan. Mereka berdua bergegas memastikan keberadaan Kar.

Nuha menghela napas lega. Adiknya masih terlelap di atas sofa. Sekelibat ia melihat senyum Ara terkembang lega di sisinya. Tatapan mata bocah itu tampak tulus saat menatap adiknya namun begitu rapuh di sisi lain.

''Ra'' ucap Nuha memudarkan senyum di bibir Ara.

''Gue nggak bisa maafin lo, gue juga nggak bisa menerima lo ada di sisi Kar. Kalo lo tanya kenapa alasannya, gue nggak tau juga harus jawab apa. Permintaan gue Cuma satu dan itu akan selalu sama buat lo. Jangan bawa masuk Kara ke hidup lo.''

Senyum tipis Ara terlihat frustasi. Kepala menunduk menyembunyikan kecewa. Tampaknya ia sudah kehabisan kata untuk meyakinkan Nuha. Mungkin benar kata orang bahwa tak semua kesalahan punya maaf dan mungkin memang benar bahwa semua kesalahan akan sulit dilupakan. Sulit untuk menghapus noda hitam di lembaran putih yang begitu luas. Apalagi jika noda itu terlalu lama di diamkan.

''Nggak mudah buat melupakan orang yang berarti buat hidup kita. But one day if you try to let her go, its mean you try to let her found happiness. You should try to let my sister go…''

Ara mengigit bibirnya kuat. Ia menahan semua keputusasaan dalam dirinya. Lantas ia beranikan diri menatap Nuha di sampingnya.

''Maybe I let her go…but if one day she came to me, can I just talk to her?''

''…''

''You told me that you want she found her happines right?'' Ara menjeda kalimatnya, ia tatap Nuha dengan tatapan penuh makna. ''I let her found her happiness .. as you wish'' lanjutnya dengan senyuman.

Di sisi lain Nuha terdiam. Ia tak tau harus bereaksi apa. Setengah dirinya merayakan kemenangan tapi setengahnya merasa menyesal. Sebab ia tau persis bagaimana rasanya menjadi seorang pecundang untuk memenangkan kebahagiaan orang lain.

''I give up.''

Nuha terdiam.

''But for my sister wish I never give up to keep her safe. Cause I was promise with my sister to keep your sister safe. Dan dengan semua ini gue harap bang Nuha bisa melihat bahwa alasan gue tidak seegois yang bang Nuha pikirkan. Keberadaan gue untuk Kara bukan untuk diri gue sendiri, gue disini hanya untuk memenuhi keinginan Lilis.''

Bibir Nuha terangkat meremehkan. Belum sempat ia membalas kelopak mata Kar telah terbuka. Gadis itu bangun dan mungkin sebenarnya ia sengaja bangun untuk mengakhiri keras kepala abangnya sendiri.

''Bang Nuha…?'' senyum Kar terkembang sempurna. ''Kok abang tau adek disini?'' lanjutnya sambil merapihkan rambutnya.

Nuha menelan ludah begitu pula dengan Ara yang mendadak membuang pandangan matanya ke arah Zoya yang di sisi Kara. Keduanya tampak khawatir dengan kemungkinan gadis itu mendengar perdebatan mereka berdua sejak pagi tadi.

''Kok diem?''

Nuha masih terdiam. Ia hanya membingkai wajahnya dengan senyum. Ara mengambil inisiatif bicara untuk memecah suasana canggung ini.

''Bang Nuha dateng subuh. Lo ketiduran di atas sofa waktu abang lo dateng. Semalem gue nggak bisa anter lo pulang karena hujannya makin deras. Rea juga bilang lo dirumah sendirian jadi...gue biarin lo tidur di sofa. Oiya gue juga ketiduran… sorry''

Kar tampak mengiyakan dengan senyum tipid. Ia mengambil Zoya dan mendekapnya sambil mengelus lembut bulu kucing betina itu. Selanjutnya hening melanda.

''Udah jam setengah 7 bentar lagi gue harus kerja.'' Ucap Ara lagi-lagi memecah keheningan.

''Eh iya udah jam tujuh. Kita balik aja deh bang, aku udah laper...''

Belum sempat Nuha menjawab Ara lebih dahulu bicara. ''Kalian sarapan dulu di sini, baru pulang. Gue udah masak sop.''

''Serius?'' Kar tampak ragu.

''Iya''

''Makasih Ara…'' ucap Kar penuh dengan bahagia. Ia menarik paksa Nuha ke meja makan. Wajah masam Nuha hanya Kar abaikan. Ia tau kalau Nuha tidak akan pernah menyukai pria di depannya ini. Sebaik apapun yang Ara lakukan untuk dirinya, Nuha akan tetap membenci Ara.

Kar menelan ludah. Ia pandangi punggung Ara. Pria itu sibuk menyiapkaan sarapan untuk mereka berdua. Nuha sibuk memainkan ponselnya. Ia tampak enggan untuk menghargai niat baik Ara untuknya dan Kara. Mungkin kalau Kara tak ada meja makan ini, sudah ia tonjok Ara. Tapi lagi-lagi Kara menyelamatkan Ara dari kemarahan Nuha. Kara masih mempertahankan senyumnya meski diam diam kepalanya terasa begitu pusing.

Tahan Kar, tahan lo nggak boleh kelihatan lemah

Tahan kar, sebentar kok. Cuma sebentar kok. Tahan lo pasti bisa

*

Mobil berheti di depan garasi persis. Nuha hampir keluar dari mobil setelah melepas seat beltnya kalau saja Kar tidak bicara.

''Kenapa dek?'' ucap Nuha begitu lembut.

''Aku pengen ngomong ke abang''

Nuha menyernyit. ''Ngomong apaan? Bukannya dari tadi kamu udah banyak ngomong?'' Nuha menghilangkan keraguannya dengan mengacak rambut adiknya sambil tersenyum lebar.

Kar merespon dengan membasahi bibirnya berulang kali. Ia jelas tak ingin membawa suasana canggung dari rumah Ara ke rumahnya. Hanya saja ia benar-benar ingin membicarakan ini dengan Nuha.

''Sebenernya tadi aku denger apa yang kalian berdua omongin sejak subuh'' ucap Kar dengan ragu. ''Tapi aku milih buat pura-pura nggak tau…'' lanjutnya hati-hati tak mau membuat Nuha emosi.

Bukannya emosi Nuha malah membalas dengan senyum semanis madu. Ini bukan hal mengejutkan bagi Nuha karena ini ada dalam prediksinya. Daripada marah pria itu lagi-lagi mengusap rambut adiknya dengan lembut.

''bagus dong kamu jadi tau sebenci apa abang sama Ara''

Mendadak Kar tesenyum masam mendengar jawaban Nuha.

''I know he is the good person but for me he just bad luck in our life. No reason.''

Kar menelan ludah. Kehabisan kata untuk membantah Nuha yang keras kepala itu. Nuha meraih bahu adiknya, lalu ditatapnya mata kecil gadis itu dengan penuh kesabaran dan ketulusan.

''Kamu mungkin akan ngira kalo abang jahat banget sama kamu, tapi asal kamu tau orang yang paling pengen liat kamu bahagia itu abang.''

Kar mengangguk, senyumnya terkembang sempurna. Ia mengusap lengan Nuha dengan lembut. ''Tadi malem aku ke sana buat ambil Zoya, aku harap abang nggak salah paham sama Ara'' Kar menelan ludah menjelaskan.

''He told me before you told me'' jawab Nuha tenang. ''Lain kali jangan begitu ya'' lanjutnya dengan penekanan. ''Kamu tau kan abang paling nggak suka liat kamu sama Ara''

Kar menelan ludah. Lagi-lagi ingin membantah namun lagi-lagi harus tertahan di tenggorokan. Ia tak mau merusak mood Nuha pagi ini. ''Aku tau kok abang nggak suka Ara. Tapi abang juga perlu tau kalo aku nggak pulang bukan gara-gara hujan, aku disana karena aku pengen tau Lilis'' lanjut Kar penuh keraguan.

''Boleh kan aku pengen tau lilis?''

Kali ini Nuha tampak menghela napas panjang. Ia mengalihkan pandangan matanya dari mata Kar. Ketara ia tak suka pada topik ini. Ketara juga ia sedang mengatur emosinya. Setelah tenang ia kembali menatap Kar dengan tatapan kecewa bercampur marah.

''Kamu nggak perlu ingat hal-hal yang menyakitkan. Itu nggak baik buat kesehatan kamu. Abang nggak suka itu''

Kar mengigit bibirnya. Diam.

''Sejujurnnya abang nggak suka bahas ini karena abang tau kamu akan merasa bersalah. Kejadian Lilis meninggal bukan salah kamu. Jadi jangan menyalahkan diri kamu dan merasa perlu balas budi buat Lilis. She was gone, and everything just end. ''

Kar menarik senyum, giliran tangannya menangkup jemari tangan Nuha. Lembut.

''She was gone but its not the end. Aku percaya kalo dia belum pergi jauh. Dia belum pergi dengan tenang setelah dia tau apa yang terjadi di antara kita semua.''

''Tapi itu bukan urusan kamu Kara…''

''Bukan urusan aku tapi urusan kita bang.''

Nuha menepis tangan adiknya. Membuka pintu dan hampir keluar karena sudah tidak tahan dengan obrolan tentang lilis. Ia butuh sedikit udara. Dadanya sesak. Kecewa dan marah. ''Kamu ngaco'' sarkasnya tehenti dengan tautan tangan Kara.

''Aku percaya pasti ada acara buat memperbaiki hubungan kita semua.''

''Buat apa?'' Nuha frustasi

Kar mengulum senyum. ''Aku nggak bisa jelasin sekarang. Aku…''

''Kamu mau balik sama Ara lagi…iya…?!''pekik Nuha mulai kehilangan kontrol emosi. Sontak membuat Kar melepas tautan tangannya dengan Nuha. ''Segitu bodohnya kamu gara-gara dia sampai kamu bikin abang kecewa. Kamu…''

Belum sempat Nuha melanjutkan makiannya Kara menyerahkan sebuah amplop berwarna biru kusam. Air mukanya sudah di penuhi dengan air mata karena ucapan Nuha benar-benar menyakiti hatinya.

''something there I cant expain to you mungkin bisa abang temukan di surat ini. Aku percaya bang Nuha orang baik. Aku percaya bang Nuha punya hati… Sama seperti Lilis aku juga pengin lihat kakak nya berdamai dengan semesta yang sialan ini.''

''Bang… I want go to Bogor. I want see my past. Aku pengen liat lilis. ''

''Aku mohon bang…''

Nuha terdiam. Ia tatap surat biru kusam ini dengan tatapan nanar. Lilis?

*

Bogor, 2019

Dari Lilis untuk Malaikat cantik (Khariskara Renoir)

Halo kak apa kabar di sana? Semoga baik baik selalu ya kak hehe.

Kak, sekarang aku lagi duduk di depan minimarket dekat rumahku karena malem ini papa sama mama berantem lagi. Uang saku aku nggak cukup buat beli makanan lain selain susu strawbery. Aku nggak sedih sih cuma laper dikit terus jariku juga pegel karena aku harus main piano hari ini. Kalo kakak hari ini lagi ngapain? Lagi sama kak Luksa ya? Kalo iya pasti seneng deh soalnya kak Luksa baik banget jadi orang, nggak kaya bang Rehan yang nyebelin hehe. Kadang aku iri sama kakak, bisa ya disayang sama orang kayak kak luksa. Bisa ya jadi semestanya kak luksa. Aku yang dari dulu jadi adiknya nggak pernah bisa jadi semesta buat kakak kakak ku. Mungkin karena aku asik sama duniaku sendiri kali ya? Hehe tapi nggak papa aku ikhlas kak luksa sama kakak. Bukan karena kakak cantik dan baik tapi karena kakak memang pantas buat kak luksa. Hehe

Kak, jangan pernah menyerah buat kak Luksa ya… sama kayak kakak nggak meyerah sama hidup kakak. Makasih udah jagain kak Luksa dengan sangat baik. Makasih juga udah mau peluk lilis waktu lilis butuh tempat buat tetap merasa punya nyawa. Kakak itu malaikat baik yang Tuhan kirim buat Lilis. Jadi selayaknya malaikat kakak nggak boleh sakit. Kakak harus kuat, kakak harus sehat dan kakak harus bahagia gimanapun kondisinya hehe.

Sejujurnya aku nggak tau kenapa aku nulis surat ini buat kakak. Tapi tiap kali capek aku selalu pengen nulis sesuatu buat kakak karena aku pengin kakak tau kalo aku pasti bisa loncat dari satu bukit ke bukit lain tanpa harus jatuh ke jurang. Tapi seandainya kakak bisa baca surat ini itu tandanya aku udah gagal.

Kak maaf ya… mungkin kalo surat ini sampai ke kakak itu tandanya aku udah nggak bisa jagain kakak lagi. Maaf ya, mungkin aku bakal cari cara lain buat ngelindungin kakak.

Seperti kata kakak, ''Selama lagit masih biru itu artinya masih ada harapan''. Aku akan selalu muncul dilangit tiap kali kakak sedih. Aku akan cari cara buat kakak bahagia walopun aku udah bisa di sisi kakak.

Kak Kara… jangan pernah nyerah ya kak…langitnya masih biru…

Kak kara… makasih

Kak kara… lilis sayang kakak.