Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 34 - 23. 59 (Detik Akhir)

Chapter 34 - 23. 59 (Detik Akhir)

Hari-hari menjelang persidangan semua orang sibuk. Rehan selalu pulang malam begitu pula Nadev dan Nuha. Semua orang berusaha menyembunyikan urusan mereka masing-masing dari Kar. Tersisa Ara, Batak, Rhea dan Kar di rumah. Ara lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar daripada mengobrol dengan Batak dan Rhea. Sikapnya ke Kar pun sudah jauh berbeda semejak malam itu. Ada bentangan jarak yang ia buat sehingga Kar enggan bicara. Tembok penghalang ia bangun begitu cepat sehingga tidak satupun bisa membuat keduanya saling menyapa.

Bang Rehan : Gue harus pergi pagi buat ngurus sidang kasus Ratih mungkin malem baru pulang, pintu depan jangan di kunci

Cakra Luksa Wijaya : Oke bang

Jovian Nadev Sanjaya : Ara tolong liatin Rhea di kamarnya, gue lagi sama abang lo

Cakra Luksa Wijaya : oke

Williamayomain : Gue lagi di laundry deket kampus. Ara mau nitip cewe nggak?

Cakra Luksa Wijaya : oke

Williamayomain : asik ada kemajuan. Gas kita ke clubb

Cakra Luksa Wijaya : oke

Detik selanjutnya ia meletakkan ponselnya di atas pantry dapur. Ia mengambil segelas iar putih dan beriat membangunkan Rhea di kamarnya. Langkahnya terhenti ketika Kar keluar dari balik pintu kamar. Sama seperti dirinya ia juga kaget melihat satu sama lain.

''Selamat pagi...'' ucapnya kaku.

Ara tak merespon. Ia hanya melayangkan tatapan dingin dan berlalu menuju kamar Rhea. Jelas, itu membuat wajah gadis itu masam seketika. Ia kesal namun lagi-lagi harus menahan semua konsekunsi yang telah ia buat.

''Bang Nuha mau kemana?'' tanya Kar seketika melihat abangnya keluar dari kamar.

''Selamat pagi…'''Nuha tak langsung menjawab. ''Adek baru bangun?'' ucapnya lembut sambil menghampiri adiknya.

''Iya'' balas sambil memeluk abangnya itu. ''Abang mau kemana?'' Kar bertanya untuk kedua kalinya. Meski bukan kali pertama abangnya pergi pagi buta namun ia tetap ingin tau kemana Nuha pergi.

''Hari ini abang ada janji ketemu clien jadi harus berangkat pagi''

''Lagi?''

''Iya'' jawab Nuha sambil tersenyum. ''Kenapa? Kan udah biasa begini?''

''Iya sih, eh jangan lupa makan ya bang. Kalo mau pulang kabarin''

Nuha tak membalas, ia membawa gadis kecil itu kepelukannya. Lantas mengusap rambut gadis itu dengan lembut. ''Maaf ya dek, nanti kalo semua urusan udah selesai abang janji ngga akan ninggalin kamu sendirian'' bisiknya pelan.

''Nggak papa, lagian di sini ada Rhea sama Batak kok. Oiya katanya Ray juga mau dateng pagi ini?''

Mendengar nama Ray, Nuha jadi menelan ludah. Ia melepas perlahan pelukan adiknya. Mengambil senyum kecut ia tatap adiknya. Ia jelas enggan menanggapi nama Ray. Sengaja ia mengalihkan topik. ''Jangan lupa minum obat…''

Kar tersenyum sambil mengangguk. Ia peluk abangnya untuk terakhir kali sebelum pria itu akhirnya pergi meninggalkan rumah ini untuk mengurus sidang ayah ibunya. Kar tau abangnya berbohong. Ia tatap kepergian abangnya dengan senyum hambar. Sekarang tersisa Rhea yang tertidur di kamar, Ara yang ada di dapur dan Kar yang duduk di meja makan menunggu kedatangan Ray.

Suasana rumah begitu hening sampai akhirnya Rhea datang memecahkan segala hening disana. Baru saja ia duduk di meja makan Ara sudah menyerahkan piring berisi sandwich dan susu hangat. Rhea menelan ludah.

''Thank's brother'' ucap Rhea praktis meraih sandwich di piring tanpa peduli dengan atmosfer aneh di meja makan. Sepersekian detik berikutnya Rhea baru sadar, sialan dua bocah ini kesambet apa sampai jadi jelmaan limbad.

''Lo kok nggak buatin juga buat Kara?'' tanya Rea memecah suasana.

Ara tak merepon ia sibuk memainkan ponselnya. Rea berdecik sebal mengalihkan pandangan ke arah sahabatnya yang entah sejak kapan terlihat mengamati bocah sialan bernama Ara.

''Lo udah makan?'' tanya Rea membuyarkan Kar.

'Gadis itu menggeleng menggemaskan. ''Belum, masih nunggu bang Ray'' lanjutnya.

''Bang ray?''

''Iya. Maaf gue lupa tadi malem mau ngasih tau lo tapi gue ketiduran. Bang ray bilang hari ini mau ke sini sekalian nganter obat gue. Ngga papa kan?''

''Nggak papa'' balas Re setengah hati. Jelas ia malas membalas nama Ray di waktu sarapan. Sebisa mungkin ia ingin menjaga moodnya di hari ini. Jangan sampai Cuma karena keberadaan ray semuanya berantakan.

''Makasih''

Tak berselang lama suara mobil memasuki pekarangan rumah. Kar yakin itu Ray. Ia bergegas menyambut kedatangan Ray sedangkan Ara tampak ingin meninggalkan meja makan karena benci melihat wajah Ray. Ia tak munafik jika ia cemburu dengan nasib pria itu. Namun tangan Rea lebih cepat dari kehendak Ara, ia menghentikan langkah Ara dengan sekali bicara.

''Jangan bertindak kayak pengecut.''

Ara menyernyit.

''Dengan lo pergi itu sama aja lo nggak menghargai keputusan dia. Dia memilih orang lain bukan berarti dia nggak menghargai perasaan lo, justru dia nggak menghargai perasaan dia sendiri. Jangan terlalu sakit hati buat hal-hal yang nggak lo perjuangkan dengan sungguh-sungguh.''

Ara tak membalas. Ia duduk dan meresapi perkataan Rea bahkan sampai akhirnya ia menyaksikan sendiri Ray dan Kar di depan matanya. Sial.

*

Georgio Ray Ibrahim : Saya boleh minta tolong?

Cakra Luksa Wijaya : Ya

Georgio Ray Ibrahim : Mendadak Saya ada meeting, lo bisa kan jemput Kar? Lokasinya udah Saya share loc.

Cakra Luksa Wijaya : Ada taxi

Goergio Ray Ibrahim : saya cuma percaya sama lo. Tolong

Cakra Luksa Wijaya : oke

Melalui pesan itu akhirnya Ara menghabiskan perjalanan sore ini dengan Kar. Suasana mobil begitu hening. Radio dan lagu tidak terputar sebab Ara dan Kar saling enggan memulai mencairkan suasana. Di depan sana macet menjalar bagai rentetan semut di dinding gula.

Helaan napas Kar terdengar begitu jelas. Wajah gadis itu sempurna pucat. Itu semua memaksa Ara membuka mulutnya untuk bicara.

''Muka lo pucet'' ucapnya dingin.

Kar membalas dengan senyum. ''Gue seneng lo mau ngomong lagi sama gue'' lanjutnya pelan.

Ara terdiam. Jawaban itu cukup menusuk dirinya. Ada bagian dari dirinya yang merasa terluka tanpa sepengetahuannya.

''Gue udah biasa kok gini. Tidur sebentar nanti juga sembuh.'' Ucap Kar menenangkan.

''Lo udah minum obat? Udah makan?''

Lagi-lagi Kar Cuma bisa membalas dengan senyuman manisnya. Bibirnya walau pucat masih bisa melukis senyum paling indah di semesta Ara. ''Gue nggak papa Ra..'' balasnya manis. ''Makasih ya udah mau ngomong lagi sama gue'' tangan Kar meraih pipi Ara. Pelan ia mengusapnya.

''Lo pasti capek banget sama gue'' lanjut Kar parau. ''Maaf ya nyusahin lo terus.''

Ara pelan melepas tangan Kar dari wajahnya. Ia butuh beberapa detik sampai akhirnya Ara membangun tembok itu kembali. Ia masih tidak tau kalimat apa yang pantas untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Yang jelas hatinya begitu sakit melihat mata gadis itu.

''Kayaknya lo kecapean. Tidur aja nanti gue bangunin kalo udah nyampe'' sebisa mungkin Ara bicara dengan normal. Ia tak mau memperlihatkan perasaan sedihnya.

''Nggak gue nggak ngantuk''

Gadis itu kepalanya lantas memandang nanar rentetan mobil di depan sana. ''Macetnya masih lama ya Ra?'' tanya Kar dengan helaan napas lelahnya.

''Masih'' jawab Ara dingin.

''Yaudah sambil nunggu macetnya selesai, gue mau ngomong sesuatu yang mungkin belum pernah lo denger sebelumnya.'' suara Kar terdengar makin pelan. Sementara itu Ara bergeming.

'' Lo punya ideal date nggak?''

Ara tak menanggapi namun Kar juga tak begitu kecewa ia sudah tau seperti apa pria di sampingnya. Ia memiih melanjutkan ceritanya dan menganggap Ara mendengarkannya.

''Gue pernah cerita ideal date gue sama temen temen cewek gue waktu kuliah mereka bilang ideal date gue terlalu biasa. Kata Re tipe ideal date gue macem anak SMP puber. Gue nggak tau sih kenapa mereka bilang begitu, tambah dewasa tambah umur bahkan sampai detik ini ideal date gue selalu sama. Mau sama siapapun pasangannya gue selalu pengen punya date time dimana gue bisa liat langit waktu subuh sambil dengerin suara ombak. Meskipun gue udah sering cerita gini ke temen cewe gue, gue belum pernah bilang ini ke pasangan gue termasuk Ray.''

Ara menyernyit tak paham.

Kar tersenyum. ''Lo cowok pertama yang tau ideal date gue dan tanpa lo sadari lo adalah orang pertama yang bisa mewujudkan itu meskipun status lo bukan pasangan gue.''

Ara terdiam, ia menginjak pelan pedal gas melajukan mobil ketika deret mobil depan mulai merayap. Ia berusaha untuk biasa saja meskipun sejujurnya ada senang dan sedih yang sedang menari bersama dalam dirinya.

''Makasih ya Ra udah kasih itu semua, makasih udah dateng kekehidupan gue lagi…'' Kar menghela napas. Matanya pandangi wajah dingin manusia di sebelahnya. Sebuah senyum terukir manis di wajahnya.

''Ra…'' ucap Kar lembut.

''Ayo kita nikah di kehidupan selanjutnya. Ayo kita punya anak di kehidupan selanjutnya. Ayo kita ketemu lagi dan hidup bahagia selama-lamanya. Ayo kita….''

Mendadak kar berhenti bicara. Ara mendadak menginjak rem membuat seisi mobil tepental kedepan termasuk badan Kar. Helaan napas keduanya terdengar bergantian. Ara berusaha mengatur emosi dirinya.

''Kar gue nggakk bisa…'' ucapnya frustasi.

Kar tersenyum hambar

''Gue nggak punya banyak waktu di kehidupan sekarang, Ra. Lo liat gue yang sakit sakitan begini, lo liat kondisi gue yang merepotkan banyak orang, gue nggak mau lo sayang gue karena lo kasihan sama gue''

Ara terdiam, tangannya mencengkram kemudi dengan erat. Semua emosi terkumpul disana.

''gue selalu merasa gue akan terus jatuh cinta dengan lo apapun kondisinya jadi…ayo kita menikah di kehidupan selanjutnya. Saat gue dilahirkan lebih sehat, saat gue dilahirkan lebih cantik, dan saat gue memeluk semua kebahagiaan di dunia ayo kita menikah, Ra… gue…''

Belum sempat Kar melajutkan kalimatnya telapak tangan Ara menutup mulut gadis itu. Kemudian perlahan namun pasti jarak keduanya terpangkas. Napas kedua manusia itu berbaur jadi satu. Kar bahkan bisa melihat netra pria itu dengan begitu jelas. Pelan-pelan netra itu tertutup dan menyisakan raut wajah yang begitu teduh. Pelan-pelan Ara memberikan kecupan tak langsung ke bibir gadis itu.

''Maaf harusnya gue datang lebih cepat…'' bisiknya lembut.

Hangat menjalar di tubuh Kar. Kecupan itu seperti pengantar tidur bagi Kar. Tanpa sadar ia kehilangan separuh kesadarannya. Kini gadis itu jatuh tertidur dalam pelukan Ara. Sejenak Ara harap gadis itu melupakan apa yang baru saja ia ucapkan.

''Ayo kita menikah di kehidupan sekarang''

*

Hari itu akhirnya tiba. Kar membasuh wajahnya, ia pandangi pantulan dirinya dalam cermin. Pucat dan menyedihkan. Berulang kali ia membasahi bibirnya sambil berharap sedikit merah bisa Nampak disana. Sial, bukannya merah bibir gadis itu makin pucat. Segera ia mengambil lipstick dan mengoleskan di atas sana.

Hari ini hari persidangan ayah dan bunda. Sepuluh menit lagi sidang akan dimulai. Kar masih menyiapakan diri di dalam toilet wanita sambil berharap semuanya baik baik saja seperti yang bang Rehan katakan. Keputusan untuk datang kepersidangan adalah keputusan Kar. Sampai detik ini ia bahkan belum memberi tahu Nuha tentang kedatangannya. Ia bahkan belum memberi tau bahwa ia tau segala hal yang Nuha sembunyikan. Tentang orang tua mereka berdua, tentang Ray dan Ratih Ibrahim dan juga tentang gagalnya pernikahan Nuha dengan Binta.

Williamayomain : Ada yang perlu gue bantu? Ini gue masih di depan toilet, sidangnya lima menit lagi.. lo nggak papa kan?

Deting pesan itu Kar abaikan dengan menghela napas. Sekali lagi ia menyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tak perlu sampai menit berikutnya Kar keluar menghampiri Batak yang menunggu dirinya. Tanpa banyak bicara keduanya bergegas memasuki ruang sidang.

Kar mengambil duduk di kursi paling belakang. Tubuh mungilnya tertup oleh manusia manusia di depannya. Meski begitu ia masih bisa melihat punggung ayah bunda, dan yang terpenting ia bisa melihat Nuha dan Ray di sisi yang berlawanan.

Ray dan pengacaranya menggugat ayah bunda atas tuduhan pengedaran obat-obat illegal di masa lalu. Bang Nuha dengan pengacaranya berusaha membebaskan kasus ayah dan bunda.

''Take a deep breath baby'' ucap Batak menenangkan. ''Orang tua lo nggak akan mengecewakan lo. Kalopun mereka salah, itu wajar. Mereka manusia juga.'' Batak menggenggam tangan Kar.

''Trust me that God always make the best scenario for us.''

Senyum Kar terkembang sempurna. Ia tatap mata Batak penuh dengan terimakasih. Selanjutnya persidangan dimulai dengan penuh perdebatan. Bang Nuha melakukan yang terbaik untuk ayah dan bunda. Sampai detik ketika keputusan hakim diketuk Kar merasa bahwa ayah dan bunda tetap orang tua terbaik bagi dirinya.

''Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara 1 tahun 1 bulan dengan denda sebesar 50.000.000 rupiah. Dengan demikikan sidang kami akhiri.''

Tok. Tok. Tok

Ayah dan Bunda terlihat menguatkan satu sama lain. Ray Nampak tersenyum puas dan Nuha frustasi dengan jambakan rambutnya. Sementara itu genggaman tangan Batak makin mengerat. ''It's the best way that God give to us. Don't be sad baby girl…'' bisik Batak pelan.

Hakim terlihat meninggalkan ruangan. Orang-orang di dalam ruang persidangan juga mulai menginggalkan ruangan. Kursi kursi yang penuh dengan manusia kini terlihat begitu hampa. Kar bisa melihat Nuha dengan sangat jelas begitu pula Ray. Dengan seluruh keberaniannya Kar menghampiri Ayah dan Bunda sebelum polisi mengirim mereka ke ruang tahanan lagi.

''Bunda…Ayah…'' ucap Kar tegar.

''Kara?'' Nuha gelagapan begitu pula Ray yang merasa tertangkap basah memperlihatkan kejahatannya. ''Why you here?'' tanya Nuha memaksa.

Sayangnya gadis itu hanya membalas dengan senyum. Ia memlih memeluk Bunda dan Ayah sambil melepas rindu.

''Bunda nggak perlu jelasin semuanya. Ayah juga nggak perlu kasih pembelaan apapun. Kalian tetap orang tua Kara dan bang Nuha. Take a big mistake is part being human. Its okay Bun, Its okay Ayah. It will be fine, we will be fine.''

Tubuh kecil gadis itu dibawa dalam pelukan Renoir dan Dinda. Renoir tak banyak bicara sedangkan Dinda sibuk mengusap punggung anaknya itu.

''Maaf ya nak… gara-gara kami kalian semua harus menanggung ini semua.''

Dinda melepas pelukannya lantas menatap Nuha dengan tatapan penuh harap dan terimakasih.

''Nuha makasih banyak untuk semua yang sudah Nuha lakukan buat keluarga kita. Maaf karena banyak merepotkan kamu. Sekali lagi Bunda minta tolong jangain adek kamu selama kami nggak ada. Bunda percaya kamu bisa melakukan itu buat kami berdua.''

Nuha terdiam. Ia mati matian menahan air matanya agar tak jatuh. Ia tak sudi menampakan kesedihannya apalagi di depan seorang monster seperti Ray.

Renoir menepuk pundak putra sulungnya untuk terakhir kalinya sebelum polisi memborgol tangan mereka berdua. Sebelum waktu benar-banar habis, kepada anak laki-lakinya Renoir bicara.

''Terkadang kami berpikir bahwa hal yang kami anggap baik itu baik untuk orang lain juga. Tapi terkadang kami juga lupa bahwa tidak semua orang membutuhkan itu di saat yang sama.'' Senyum Renoir terkembang.

''Kamu anak laki-laki dan anak pertama saya. Kamu baik, kamu pintar, dan kamu menyayangi adik kamu dengan segenap perasaanmu. Satu hal yang sering kamu lupa, bahwa kamu ndak bisa selamanya memaksakan takaran kebaikan kamu buat orang lain. Jangan sibuk menjadi baik sampai kamu lupa bagaimana bahagia. Yang terpenting dari hidup ini adalah bahagia tanpa menyakiti orang lain…''

''Ayah akan selalu percaya dengan pilihanmu, tapi menjadi egois bukan pilihan yang tepat Nuha. Ayah tau kamu ingin Kara bahagia, tapi kamu perlu ingat kalau bahagia tiap orang selalu muncul jauh dari kata terpaksa.''

''Abang…''

Nuha terdiam. Belum sempat Nuha membalas, Ayah dan Bunda telah di bawa pergi polisi ke ruang tahanan sehingga ruangan ini tinggal menyisakan Nuha, Batak, Kar dan Ray yang saling diam.

Kar memeluk pria itu.

''Abang nggak perlu jelasin itu semua. Sekarang nggak ada lagi yang perlu abang tutupin dari Kara, karena Kara tau semuanya. Mulai saat ini seperti janji abang ke adek, abang nggak boleh ninggalin adek. Ngerti?''

Nuha cuma bisa tersenyum getir, di sisi lain Ray menatap nanar dan memutuskan meninggalkan dua kakak beradik itu sambil memenuhi kepalanya dengan berbagai sekenario. Sial, ia tidak tau harus berkata apa pada Kar setelah persidangan ini. Hal terburuk yang Ray bayangkan adalah gadis itu membencinya.

Ray mejambak rambutnya frustasi. Langkahnya terhenti beberapa menit setelah keluar ruang persidangan ketika melihat Re ada di depan dirinya. Lebih kaget lagi ia melihat Ratih Ibrahim yang keluar dari ruang persidangan dengan tangan terborgol besi. Ray menelan ludah, ia tak percaya bahwa ibu tirinya akan dijebloskan ke penjara oleh anaknya sendiri.

''Seorang anak mejebloskan ibu kandungnya ke penjara'' celetuk Ray sarkas.

Re hanya tersenyum miring.

''Lo nggak pernah berubah bang''

Ray menyernyit. ''Maksud lo?''

''Gue tau semua hal di balik persidangan keluarga Renoir. Gue juga tau semua hal yang lo sembunyikan dari gue. Dimata gue lo nggak akan berubah bang, masih tetap pecundang yang memberi makan monster dalam dirinya sendiri. Lo egois. Lo brengsek. Lo bajingan.''

''Rea'' nada Ray mulai tak tenang.

''Kenapa lo selalu bertindak bodoh sih? Lo tau gue benci ratih Ibrahim lebih dari apapun tapi kenapa lo datang ke dia untuk minta bantuan menghancurkan keluarga Renoir? Lo bilang lo sayang sama Kara tapi lo ancurin keluarga dia? Lo bilang lo….''

Rea berhenti bicara ketika Kara muncul diantara mereka.

''Re…'' ucap Kar lembut. Ia memilih berdiri di sisi Ray. Tangannya menggenggam tangan pria itu lantas tesenyum. ''Kejadian ini nggak ada hubunganya sama perasaan gue ke Ray. Gue tetep sayang dia seperti sebelum hari ini datang. Semua orang punya salah kan, Re…?''

Tanya gadis itu hanya membuat Re menelan ludah kelu. Entah berapa lama ia terdiam sampai akhirnya Rehan dan Nadev datang memecah suasana di sana.

'''Gue nggak papa Re.'' ucap Kar pelan.

Re tak percaya. Ia menggenggam tangannya erat, menahan amarah agar tidak meninju dan menyeret manusia bernama Ray. Entah mengapa di detik ini juga ia merasa bahwa manusia paling manipulative dan licik sepeti Ray perlu di beri pelajaran. Ia tak seharusnya melukai gadis baik seperti Kar. Sayangnya emosi itu tak bisa tersampaikan karena Rehan bersuara.

''Gue rasa semuanya sudah selesai'' suara Rehan memecah atmosfer diam. Di susul suara Nadev yang menenangkan.

''Setelah ini gue harap kita bisa focus sama kesehatan Kar. Dan lo…'' Nadev menatap Ray tajam. ''Shut up your mouth.Be nice cause I will watch you''

Ray hampir mebalas kalau saja Kar tidak memberikan pelukan. Dalam bisiknya ia bicara. ''Udah jangan marah. Ayok kita pulang..''

Untuk beberapa saat Ray hanya bisa mengerjap. Ia tak habis pikir bahwa gadis itu bisa baik-baik saja setelah apa yang ia lakukan kepada keluarganya. Tatapan mata gadis itu begitu tulus. ''Aku laper'' lanjut Kar membuyarkan lamunan Ray.

''Oke kita makan'' jawabnya cepat mengabaikan semua orang yang di sana. Kemudian keduanya pergi dan menyisakan tanda tanya di setiap manusia yang ada di sana. Tanda tanya terbesar datang dari Nuha. Ia jelas tak bisa menebak isi kepala adiknya. Tapi jika Cuma Ray yang bisa membahagiakan adiknya saat ini maka seperti kata Ayah ia akan mecoba menerimanya. Sementara itu..

''You did well''

Rehan menepuk pundak Nuha. ''Anak laki-laki pertama yang bisa diandalkan. Lo berhasil menjaga keluarga lo dengan sangat baik. Gue akui lo keren'' lanjutnya dengan senyum.

Nuha terdiam beberapa saat sampai akhirnya kalimat itu berani muncul dari mulutnya. ''Gue boleh ketemu sama Lilis?''

Tanpa banyak komando Rehan mengiyakan. ''As you wish, as her wish. Thank you Ha, lo sudah menurunkan ego lo untuk Lilis'' balas Rehan penuh terimakasih.

*

Malam sebelum persidangan

Nuha meletakkan segelas air di nakas. Merebahkan diri diatas kasur sambil berharap esok akan baik baik saja. Malam ini terasa begitu panjang. Ia mencoba untuk tidak memainkan ponselnya agar bisa tidur lebih cepat. Sialnya itu tak berhasil. Kepalanya penuh dengan hal-hal buruk. Untuk menghilangkan itu semua ia memilih duduk sambil memandangi keyboard kecil di sisi ruangan.Ia juga pandangi lukisan di pojok ruangan sampai akhirnya tiba pada rosario kecil yang terselip di antara keyboard dan lukisan. Karena penasaran Nuha mengambilnya.

Rosaria ini pasti milik adik Rehan, gumam Nuha.

Mata Nuha membulat ketika ia menemukan sebuah buku dari belakang keyboard yang baru saja ia pindahkan. Buku berwarna abu dengan tulisan khas milik anak SMP. Nuha yakin itu punya adik Rehan. Tanpa permisi dan dengan niat menghilangkan pikiran buruk dikepalanya ia mulai membuka buku tersebut. Ia telusuri aksara demi aksara, foto demi foto yang tertempel di sana hingga netranya sampai ada lembar yang membuat hatinya bekedut ngilu.

Bukan, ini bukan tentang Khariskara. Ini tentang dirinya.

Nama : Gaelen Ilithya Yeva Wijaya

Kelas : VII SMP

TTL : Jakarta, 25 Desember

Makanan favorit: Apa aja gratis

Minuman favorit: Susu beruang

Hobi : Menggambar

Hal paling disuka : koin gopay

Hal paling nggak disuka : Twice solnya gara gara twice abang rada gila

Dear buku ajaib….

Hari ini tempat les piano nyuruh cari biografi pemain piano local yang top markotop. Jujur gue bingung siapa aja tapi akhirnya gue menemukan juga. Voila.. fotonya gue tempel di sini. Namanya Ozric Nuha Renoir, cara dia mainin piano bikin gue ngerasa bahwa gue nggak seharusnye benci dengan piano. Tiap tust yang dia maikan tiap nada yang sampe ketelinga gue itu membuat gue berasa hidup walopun dalam keadaan menyedihkan.

Wkwk keren deh pokoknya someday gue harus ketemu Bang Ozric. Someday gue pengen foto bareng. Hehe sekiannn ya biografi pianist gantengkuu…

Dadah buku ajaib….

Kemudian pada lembar berikutnya Nuha menemukan not not balok yang berantakan. Ia tau kalau bocah itu belajar mati matian untuk memahami piano. Ia tau bocah itu begitu ingin membahagiakan orang tuanya. Sayang sebelum ia bisa membahagiakan dan bertemu dengan dirinya sebuah aksara memilukan tertulis di sana.

Dear buku ajaib

Gue benci piano. Gue benci hidup gue. Sorry, mungkin gue harus mengakhiri ini semuanya. Gue muak. Sampai jumpa dunia mengerikan. Sampai jumpa dengan hidup yang penuh dengan kesempurnaan. Gue pamit dulu. Sampai bertemu dengan Tuhan 😊 Semoga gue pergi dalam kedamaian 😊

Selamat malam semesta bajingan.

*

Sampai bertemu dengan Tuhan 😊 Semoga gue pergi dalam kedamaian 😊

Kepala Nuha tertunduk bersama dengan air mata yang tertahan di sudut sudut matanya. Di bawah sinar matahari sore ia terdiam begitu lama. Ia pandangi nisan bertuliskan Gaelen Ilitya Yeva Wijaya dengan tatapan nanar. Ada perasaan bersalah yang tumbuh di dalam dirinya. Ia mungkin terlambat menyadari bahwa gadis ini tak punya salah apapun atas masalah yang menimpa adiknya. Detik ini juga ia menjadi malu semalu malunya menyadari bahwa gadis kecil ini telah pergi dan jauh dari kata kedamaian karena dirinya.

Nuha menyesal, ia hanya pandangi bunga lili di atas makan Lilis sambil berharap bocah itu bersama Tuhan dan segala keajaibannya. Dan juga ia berharap dengan segala keajaiban itu Lilis tetap mendoakan agar Kar bisa hidup lebih lama.

''Sekarang kamu udah nggak sakit lagi, sekarang kamu bisa pergi dengan damai. Maafin saya karena telah menyalahkan kamu atas apa yang adik saya alami. Terimakasih sdah hadir di kehidupan Kara. Kamu perlu tau kalau kamu berharga lis'''

Bisik itu terlalu pelan. Namun lagi-lagi angin mampu meniupkan sampai telinga Rehan.

''Gue selalu yakin bahwa hari ini akan datang. Hari dimana kita semua belajar memaafkan rasa sakit kita masing-masing. '' Rehan mengambil posisi di sisi Nuha, lantas menepuk bahu pria itu sambil tersenyum.

''Lilis pernah bilang ke gue kalau memaafkan itu sebenarnya untuk diri kita sendiri, daripada buat menerima kesalahan orang lain, maaf mengajarkan kita untuk menerima dan berdamai dengan rasa sakit yang orang lain berikan ke kita. Thank you Ha sudah memaafkan diri lo sendiri, thank you sudah berhenti menyalahkah siapapun atas apa yang terjadi ke Kar.''

Nuha menelan ludah samar. Senyum tipis terkembang di sana, ''Kita semua sudah melalui fase panjang yang melelahkan. Seperti kata lo bahwa udah saatnya kita berdamai dengan masa lalu. Gue nggak mau jadi kakak egois, gue mau adik gue bahagia dengan cara dia.''

''untuk dapet itu semua lo juga harus bahagia, Ha'' jawab Rehan.

''Hm''

Kemudian hening menyelimuti keduanya. Nuha memilih melayangkan pikirannya pada kebahagiaan adiknya sedang Rehan masih mempertanyakan siapa Ray bagi kebahagiaan Kar. Pada akhirnya keduanya masih belajar bagaimana cara untuk tidak memikirkan kebahagiaan orang lain.

*

Kar melepas kepergian Ray dengan pelukan, ketika mobil itu keluar dari pekarangan rumah dan hilang di telan oleh batas mata barulah Kar menapakkan kakinya menuju rumah. Ia masih harus menginap beberapa hari di kediaman Wijaya, itu artinya ia masih punya beberapa hari untuk meminta maaf kepada manusia bernama Ara. Sayangnya pria itu makin membatasi diri. Ketara dengan wajahnya yang makin dingin ketika bertemu dengan dirinya.

Liat saja, belum genap Kar menapakkan kaki di ruang tamu pria itu menatapnya dengan begitu dingin. Kar Cuma bisa menelan ludah. Pria itu hening menikmati malam sambil menyesap rokok di tangannya. Kar tak berselera menyapa pria itu namun gara-gara koper-koper yang menyita pandangannya ia harus buka suara untuk bertanya. Ia ingin tau apakah sesalah itu keberadaannya di mata Ara.

''Lo ngerokok lagi?'' tanya Kar penuh sesal.

Ara tak menggubris ia cuma melirik sebentar lantas kembali dengan ponselnya.

Kar menggerutu lirij. Sial kenapa juga harus mengeluarkan pertanyaan basa basi. Ia seharusnya tau kalau pertanyaan macam itu tak akan punya jawaban. Apalgi kondisi mereka berdua sedang seperti ini. Ah… di tambah sepertinya ia melihat adegan memeluk Ray beberapa menit yang lalu. Mereka memang tak punya hubungan apa-apa, tapi Kar tau Ara sangat pencemburu.

''Ini koper gue atau koper lo?''

Akhirnya dengan segala usaha yang tersisa pertanyaan waras ini keluar. Meski masih terdengar basa basi busuk juga.

''Koper gue'' jawab Ara singkat.

''Terus kenapa di taruh di ruang tamu? Ada yang mau nginep lagi?''

Kali ini pertanyaan Kar berhasil meraup senyum tipis di bibir pria itu. ''Nggak ada. Malem ini gue balik ke Jakarta. Silahkan kalau kalian pengen pake kamar gue''

Giliran Kar menyernyit. ''Mendadak banget Ra, apa nggak bisa besok aja?''

Sial. Makin basa-basi untungnya pria itu berselera menanggapi.

''Nggak. Gue rasa udah nggak ada urusan disini. Lo udah punya bang Rehan dan kawan-kawan, gue rasa itu cukup dan lagi kasus orang tua lo udah selesai jadi gue nggak perlu ekstra lagi buat jagain lo.''

''Lo tau kasus bunda sama ayah?''

Ara mengangguk. Ia mematikan rokoknya, mulai serius bicara. ''Iya gue tau dan tugas gue mengantar lo sampai kebahagiaan kayakya udah sampai. Jadi izinin gue pamit ya…'' nada dingin itu mulai melembut.

Kar membasahi bibirnya. Matanya mendadak memanas. Sejak tadi pagi ia sudah menahan semuanya. Ia berusaha tegar di depan semua orang, sayangnya ini tidak berlaku tiap kali ia berada di sisi Ara. Pria itu entah mengapa dapat membuka selebar-lebar lebarnya kejujuran seorang Khariskara.

''Seperti yang orang-orang bilang, kalau setiap pertemuan pasti akan bertemu dengan titik perpisahan. Setiap sapaan pasti akan mengukir kata selamat tinggal. Kara…udah saatnya gue mengucapkan selamat tinggal buat semua pertemuan yang kita lalui. Gue nggak akan egois menahan lo di sisi gue. Gue pengen lo bahagia dengan pilihan lo''

Kar mengigit bibirnya erat hampir melukainya.

''Khariskara Renoir, hujan lo udah berhenti. Jadi jangan nangis lagi. Ngerti?''

Kar terdiam. Ia mengumpulkan keberanian untuk menatap pria itu. Sampai pada satu titik dimana mata mereka bertemu, Kar kehilangan kendalinya. Ia merobohkan pertahanan yang ia bangun dari tadi pagi. Ia menangis, dalam kesunyian. Pedih dan sesak menyelimuti dadanya. Lebih sedih lagi, pria itu hanya merespon dengan senyum tipis tanpa mau mengusapnya.

''Kok lo nangis sih? Nggak seharusnya lo nangis Kar…'' ucap Ara menenangkan.

''Kita semua percaya lo lebih kuat dari penyakit lo. Ada banyak orang yang sayang sama lo. Jangan merasa sendiri. Hujan lo udah berhenti kar. ''

Kar masih terdiam dan Ara mati-matian untuk tidak merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Butuh waktu lama sampai akhirnya gadis itu mereda dan mau bicara.

''Ra…kenapa melepas lo sesakit ini?''

''Kenapa ngomong selamat tinggal ke lo sesakit ini? Jelasin Ra…''

Tangis Kar pecah kembali. Suaranya mengisi keheningan rumah yang hanya diisi orleh dua manusia ini karena penghuni lainnya belum juga kembali. Ara menahan diri sambil mengutuk diri karena tak bisa berbuat apa -apa saat gadis itu menangis. Ia telah berjanji bahwa ia akan menahan perasaannya demi memenuhi keinginan gadis itu untuk tetap bersama dengan Ray. Percayalah bahwa pria itu telah hancur dan menelan semua sakit jauh sebelum gadis itu menangis sesenggukan didepannya.

Kar mereda, ia mulai bicara dengan tangan yang mecengram kemeja hitam milik Ara. Tubuhnya kehilangan kendali hingga menepis jarak yang sebelumnya ada. Di tatapnya Ara dengan tatapan paling putus asa. Lantas jatuh memeluknya sambil menumpahkan air mata kesedihan. Ara masih tak merespon. Ia ingin melerai pelukan itu namun ia tak kuasa.

''Gue pengen inget lo Ra. Pengen banget inget lo tapi otak gue yang busuk dan kecil ini nggak bisa nginget lo. Perasaan gue yang labil nggak bisa nentuin pilihan antara lo dan Ray. Gue pengen semua orang bahagia, tapi gue sendiri menderita begini Ra…. Gue… capek Ra…gue… nggak pengen lo pergi…''

Hening beberapa saat sampai akhirnya Ara dengan berani melerai pelukan keduanya. Ia menjauhkan Kara dari dirinya. Membalasnya dengan senyum sambil meraih koper koper dan berencana meninggalkan percakapan ini karena jujur saja ia tak bisa menanggapinya. Atau mungkin apabila ia menanggapinya maka hidupnya akan lebih hancur lagi. Melepas satu satunya harapan hidupnya saat ini bukanlah hal yang mudah.

''Ara…'' Kar merengek melihat Ara mengacuhkannya.

''Lo tau kan gue sayang lo. Lo tau kan Ra…?''

Ara tak menanggapi.

''Ra…''

''Ara…''

''Gue sayang lo Ra…''

''Ra….''

Ara menyeret kopernya keluar. Kar hampir gila melihat pria itu mengacuhkannya. Ia hampir saja menjedotkan kepalanya ke tembok kalau saja suara pecahan kaca tidak membuatnya berteriak histeris.

''Aaaaaaaaaaaaaaaaaa!!''

Teriaknya dibarengi pelukan Ara yang entah sejak kapan hinggap pada tubuhnya. Pria dingin itu mendadak peduli. Ia keliatan setengah frutasi dan khawatir.

''Lo nggak papa kan?'' tanya Ara

Kar mengangguk. Ia cengkaram bahu pria itu dengan kencang.

''This place its not safe''

Kar menyernyit.

''Gue ga bisa jelasin sekarang. Yang jelas kita harus cepat cepat pergi dari sini. Ada orang jahat yang…''

Belum sempat Ara melanjutkan bicaranya suara pecahan kaca terdengar kembali. Sial bisa dipastikan seseorang sedang mengintai mereka berdua. Parahnya mereka memberi sinyal keberadaan mereka dengan lesatan pistol yang bisa melukai Kara kapan pun saja.

Ara menelan ludah. Ia membawa gadis itu dalam pelukannya sambil dengan tenang mengoprasikan ponsel untuk meminta bantuan tanpa membuat orang yang mengintai mereka curiga. Satu dua tiga tak ada respon. Hanya deru napas Kar yang terdengar jelas.

''Lo takut Kar?'' tanya Ara pelan. Mereka berdua masih belum bergerak.

Pelan Kar hanya bisa mengangguk.

''Dengerin gue…'' Ara makin mendekatkan bibirnya ke telinga Kar. ''Gue nggak tau apa yang sebenarnya terjadi saat ini, tapi yang pasti rumah ini udah di intai sama orang jahat. Lo nggak perlu takut karena apapun alasannya lo harus selamat. Selama lo disisi gue, itu artinya lo aman.''

''oke'' Kar mendongak menatap Ara.

Tak berselang lama setelah kalimat itu keluar suara pistol kembali terdengar. Kali ini mendadak aliran rumah padam. Seisi ruangan gelap. Hampir Kar berteriak kalau saja Ara tidak membungkam mulut gadis itu dengan mendekap gadis itu dalam dadanya yang bidang.

''Lo harus tenang. Kita harus tenang.'' Lirih Ara pelan.

''Gue takut Ra…''

''jangan takut. Ada gue. Pegang tangan gue kalo lo takut.''

Kar tak membalas. Ia mempererat genggaman tangannya dengan Ara. Ara membalasnya dengan senyum.

''Nggak ada yang perlu lo takutin. Gue ada di sisi lo.'

Kar menganggapi dengan mengangguk takut. Ia bingung tak tau harus bereaksi apa. Padahal ponsel ditangannya tergenggam sempurna. Mungkin karena panik semuanya mendadak menjadi lupa. Kar bisa saja menghubungi polisi atau meminta bantuan tapi dalam kondisi seperti ini Cuma Ara yang bisa ia percaya.

Ara mengusap surai gadis itu, kemudian tangannya erat menggenggam tangan mungil Kar. Sambil berbisik ia mengedarkan mata mencari aman.

''Kita harus keluar dari rumah ini. Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah pergi tempat tergelap dirumah ini. Kita pergi kegudang bawah tangga balkon disana ada pintu keluar yang mungkin luput dari pengintaian mereka'' bisik Ara panjang dan diakhiri dengan suara lesatan pistol yang semakin mendekat.

Tubuh kar gemetar, ia menelan semua teriak dalam ludahnya. Entah berapa kali ia menelan salivanya. Ia tak pernah membayangkan dirinya berada di situasi seperti ini. Kar kira hal hal seperti terror hanya berlaku pada layar kaca dan kehidupan perfilman, tapi nyatanya dunia yang ia pijaki cukup kejam juga. Kar rasa kasus ayah dan bunda telah bayak melibatkan pihak pihak gelap di dalamnya.

''Gue takut Ra…'' ucap Kar gemetar.

''Lo punya gue. Gue nggak akan ninggalin lo. Nggak ada yang perlu lo takutin Kar…'' balas Ara lembut.

Kar Cuma bisa terdiam. Ia hangat dan merasa takut pada posisi yang sama. Selain takut mati tanpa menyapa keluarganya ia juga takut kehilangan Ara.

''Kita ngga punya waktu lagi.'' Bisik Ara. ''Lo pergi duluan ke Gudang bawah tangga nanti gue nyusul''

''Tapi Ra…'' Kar mengeratkan genggaman tangannya. Ia khawatir.

''that's okay, gue butuh mengalihkan fokus mereka. Sementara lo pergi ke Gudang bawah tangga gue akan mengecoh mereka dengan bersembunyi di kamar belakang. Jadi kita jalan ke arah yang sama dengan tujuan berbeda.''

Lagi-lagi Kar menelan ludah. Ia tidak yakin ini akan berhasil.

''Kar….'' Ara tau gadisnya sedang ragu dan ketakutan, sebisa mungkin ia menyakinkan dengan tatapannya. ''kasih waktu gue waktu sepulih menit buat mengecoh mereka. Gue janji gue ngga akan ninggalin lo lagi. Kita akan selamat. Kasih gue waktu 10 menit, okey?''

Kar mengigit bibirnya erat. Masih dengan keraguan ia hanya bisa menanggapi permintaan itu dengan anggukan samar. Akhirnya pada detik ketiga mereka sepakat, mereka mulai menjalakan rencana mereka. Dua menit berlalu dengan aman, gerak gerik mereka tak menimbulkan suara letupan pistol. Hingga akhirnya menit ke tujuh semuanya berubah menjadi ricuh karena suara pistol yang bersahut-sahutan. Kar sudah masuk kedalam gudang dan menemukan pintu keluar yang mengghubungkan dengan pekarangan rumah Wijaya dengan hutan kota. Sementara itu Ara masih berusaha hidup dengan bersembunyi di bawah meja makan. Suara pistol makin dekat.

To : Bang Rehan

Bantuin gue panggil polisi

To: Bang Rehan

Gue dalam bahaya

To: Bang Rehan

Rumah kita diteror

To: Bang Rehan

Gue mungkin akan mati tapi tolong selamatin Kar. Dia digudang bawah tangga.

Tolong.

To: Bang Rehan

Gue akan sangat bangga kalo lo bisa menyelamatkan Kar

Sent.

Tepat setelah pesan terkirim peluru-peluru itu mulai mengepung dapur. Ara terpaksa melemparkan ponselnya menuju ruang belakang rumah. Bagaimanapun ia harus membuat pergerakan yang mengecoh agar tak seorang pun menuju Gudang bawah tangga. Sementara itu, sepuluh menit berlalu dan Kar gusar menunggu Ara.

''Ra lo janji ngga akan ninggalin gue lagi. Lo janji Ra…''

Gumam Kar pelan. Kebiasaan buruknya muncul, ia mulai menggaruk lengannya dan bergantian mengigit jarinya. Ia sangat takut dan cemas. Tubuhnya diluar kendalinya. Ingin rasanya ia menangis dan berteriak meminta tolong tapi rasanya itu mustahil karena mungkin saja ia akan membahayakan Ara. Dan lagi daripada berteriak tubuhnya lebih menginginkan untuk membenturkan kepalanya di saat pegini. Kar ada dalam ketakutan terbesarnya, sepuluh menit berlalu dan pria itu tak muncul. Suara pistol membabi buta diluar sana.

Brakkk.

Gudang terbuka. Kar membulatkan matanya. Hampir ia pingsan kalo saja tak cepat menyadari bahwa manusia dengan luka di seluruh tangannya itu adalah Ara. Meski begitu senyumnya tetap sama. Ara menepati janjinya meskipun tubuhnya penuh dengan luka.

''Ara''

Kar langsung memeluk pria itu, begitu pula pria itu yang langsung merengkuh dan menghisap semua kehangatan dari gadis itu. Pelan pelan Ara merengganggan pelukan mereka. Lantas ia tatap mata basah milik Kara. Di usapnya pipi gadis iu dengan lembut.

''Sorry udah buat lo nangis lagi, tapi gue nepatin janji gue kan?'' tanya Ara dengan senyum tulusnya.

Sayangnya pertanyaan itu membuat Kar makin tersedu-sedu menangis layaknya anak kecil. Demi meredakan itu semua, Ara menarik Kar dalam pelukannya. Membungkan mulut gadis itu kedalam dadanya yang bidang. Tangannya mengusap kepala mungil gadis itu. Sayang suara tangis gadis itu tak kunjung mereda.

Cup.

Ara mengecup puncak kepala gadis itu, membuatnya seketika membisu dan menarik diri dari pelukan Ara. Mata polosnya membulat menggemaskan. Mungkin ada seribu tanda tanya di kepala Kar namun ia memilih membisu dan gagal mencerna kecupan Ara.

Cup.

Untuk kedua kalinya ia mengecup puncak kepala Kar dengan lancang.

''Ra…'' Kar memproses. ''Lo…'' ucapnya terbata.

Cup

Kecupan ketiga jatuh di bibir gadis itu dengan manis. ''Gue terpaksa melakukan ini karena lo nangis terus. Gue nggak mau tangisan mengundang perhatian mereka. Sorry, kalo gue kesannya lancang''

Ck. Sial. Dibalik kata-kata itu tersimpan kebohongan besar. Sebenarnya Ara melakukan ini tidak hanya untuk mendiamkan gadis itu, tapi juga karena ia telah gagal menahan dirinya.

''Ngga papa kan?'' Ara memaastikan.

Kar mengangguk pelan. Praktis membuat senyum Ara terkembang sempurna. Sekali lagi pria itu membawa gadisnya ke dalam pelukannya. Sambil mengusap lembur surai gadis itu, matanya kesana-kemari memastikan bahwa pintu di Gudang ini cukup aman dari intaian para peneror. Ara menelan ludah, ia menyudahi pelukan dengan bisikan lembut.

''Kita harus keluar sekarang'' ucapnya makin lembut.

''lo yakin Ra?''

Ara Cuma mengangguk.

''Ra… daripada kita keluar dan take a risk yang besar kita disini aja ya tunggu bantuan polisi dateng'' pinta Kar agak takut.

''No..'' lagi-lagi ucap ara begitu lembut. ''Rumah ini terlalu jauh dari pemukiman orang dan lagi jam segini ngga aka nada orang lewat sini Kar…Satu-satunya jalan keluar kita harus pergi dari sini. Gue yakin di balik pintu ini'''pria itu menunjuk pintu di belakangnya, ''mereka sedang cari keberadaan kita. Kita ngga seharusnya stak di satu tempat, cepat atau lambat mereka pasti bakal tau keberadaan kita. Gue…''

Ara menjeda kalimatnya. Ia pandangi Kar dengan tatapan selembut sutra. ''Gue nggak mau lo kenapa-napa Kar''

Kalimat itu diakhiri dengan usapan lembut di puncak kepala Kar. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menarik senyum pilu.

''oke'' kalimat itu keluar disela-sela bibir Kara.

Tak butuh waktu lama untuk Ara mengenggam erat tangan gadis pujaanya. Ia dengan segala usaha dan tenaga yang tersisa berusaha untuk keluar dari rumah terkutuk itu. Dan juga ia telah berjanji dengan dirinya sendiri bahwa jika diantara mereka berdua harus ada yang kehilangan nyawa maka Ara pastikan bahwa itu adalah nyawa miliknya. Demi semesta dan seisi ceritanya, ia hanya ingin mengantar gadis itu dengan selamat agar bisa melewati satu kebahagiaan ke kebahagiaan lain.

Gue mau liat lo bahagia lebih lama, Kar.

Batin Ara yang sudah lama terdiam akhirnya bersuara. Sambil mengendap pelan mereka berdua melewati belukar dan dinginnya malam dengan keheningan. Genggaman tangan keduanya begitu erat. Sebentar lagi mereka sampai di jalan raya. Sebentar lagi mereka aman. Keduanya saling mendoakan satu sama lain dalam keheningan.

Semesta, tolong selamatkan Ara apapun yang terjadi.

Batin Kar.

*

Sementara itu Ray memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi sesaat setelah menerima pesan dari wanita brengsek bernama Ratih.

From : Ratih

Untuk putra tiriku tersayang

Mama tidak pernah menyangka bahwa hari ini akan datang

Mama kira dengan mengikut sertakan kamu semuanya akan baik baik saja

Tapi lagi-lagi kamu mengacaukan semua rencana mama

Seharusnya mama tau itu sejak pertama kali kamu datang menemui mama untuk menghancurkan keluarga Wijaya dan Renoir

Tapi mama salah, monster yang selama ini mama besarkan tidak sehebat yang mama kira

Nyatanya kamu masih punya hati, kamu masih punya waktu untuk mencintai dan memaafkan manusia yang telah menyengasarakan hidup mu

Ray Ibrahim tetap Ray Ibrahim, putra tiri mama yang pengecut

Kamu bodoh dan tidak tau diri, orang yang kamu cintai tidak pernah mencintaimu dengan tulus. Dia hanya menganggapmu sebagai korban masa lalu menyedihkannya lalu kamu mengambil hati mencintai dan memaafkan keluarganya.

Ray Ibrahim kamu tidak lebih kuat dari adik tirimu.

Lihat Rea…Dia bahkan bisa menjebloskanku ke penjara . Rasanya tidak adil jika hanya aku yang menderita, jadi…untuk membawa putra tiriku masuk ke dalam neraka maka aku sudah siapkan kejutan untuk putraku tersayang.

Jangan pulang larut malam sayang, atau kekasihmu akan pulang selamanya.

Haha jangan terlalu membenci diriku, putraku pasti tau harga apa yang harus ia bayar karena tingkah konyol adik kesayangannya.

Ray putraku, mari bertemu di neraka. Mama menunggumu

''Ck Sial''

Ray terus mengeram marah, rasanya ia ingin mengutuk dan membunuh Ratih Ibrahim. Ia tak pernah berpikir bahwa keputusannya mengikutsertakan Ratih akan serumit ini. Gila, ternyata perempuan itu memang tak bisa memegang janjinya.

Ray menghentikan laju mobilnya tepat di depan kediaman Wijaya. Helaan napas keluar dengan amarah yang memuncak. Saat ini ia hanya takut dengan keadaan Kar. Melihat kondisi rumah yang berserakan dan penuh dengan runtuhan kaca, Ray bisa pastikan Kar tidak baik-baik saja. Terlebih mungkin gadisnya hanya sendiri di dalam sana.

''Gue ngga akan membiarkan lo menang brengsek!''

Ray meraih pistol dari jok belakang. Ia keluar mobil sambil mengintai sekitar. Nihil, tak sedikitpun ada pertanda tentang keberadaan manusia. Tapi Ray tak lengah ia terus berjalan waspada. Pistolnya siap membidik siapapun yang menyerang dirinya.

''Kara…'' panggil Ray pelan.

Ia berjalan hati-hati ditengah runtuhan kaca. Suasanya sangat kacau. Ruang tamu yang biasanya terlihat sangat rapih kini 180 derajat terlihat seperti kapal pecah. Belum lagi bekas-bekas peluru yang bersarang dimana mana. Dan ya…. Ray akhirnya menemukan darah di dapur keluarga Wijaya. Pria itu mengigit bibir mengontrol emosinya.

''Brengsek!!''

Makinya melebur dengan keheningan. Ia masih berusaha mengontrol dirinya untuk tidak melesatkan peluru di pistolnya. Sampai akhirnya mata hazel miliknya menemukan ponsel di dekat jendela kaca. Ponsel itu belum sepenuhnya mati. Ponsel itu berkedip memberikan sumber cahaya. Ck. Sial setelah menghidupkannya, Ray tau bahwa Ara selalu ada untuk Kar. Ponsel itu milik Ara dan darah itu pasti milik Ara.

Untuk beberapa detik Ray hanya bisa terdiam. Ia mulai menemukan titik terang dengan bercak darah yang ada di depannya. Bercak itu mengarah pada Gudang di bawah tangga. Sayangnya belum sempat ray bergerak menuju Gudang tersebut suara dentuman terdengar dari luar. Lesatan peluru mengepung rumah itu. Langkah kaki mulai terdengar mendekat.

Mati. Kemungkinan terbesar ia sudah terkepung. Ia lega sekaligus merasa bodoh karena telah menjebak dirinya dalam situasi bahaya seperti ini. Seharusnya ia lebih rasional dan matang dalam strategi sehingga hal ini tidak terjadi. Tapi lagi-lagi yang seharusnya memang tidak akan terjadi. Maka malam ini terpaksa Ray ada di ambang kematian.

Prang!!!

Foto Keluarga Wijaya jatuh terhempas hampir mengenai kepala Ray.

''Sial''

Celetuk ray. Belum sempat ia merapihkan dirinya seseorang telah menodong senjata tepat di depan kepalanya. Seseorang dengan tubuh kekar dan wajah bertopeng mengerikan diikuti dengan anak buah yang menyusul menodongkan senjatanya. Ray menelan ludah, sungguh ia menyadari hidupnya di ambang kematian.

''Ratih kan yang nyuruh lo semua melakukan ini?'' tanya ray santai.

Namun tak ada satupun yang mau menjawab dan bicara. Mereka semua terlihat lebih berselera untuk segera membunuh Ray dengan pistol mereka.

''Bilang ke dia kalo tidak semudah itu dia menghabisi gue. Dan well..'' Ray mengangkat pistolnya, ''Sebelum kalian menghabisi gue, maka izinkan gue mencari teman untuk pergi ke lahat sana''

Satu. Dua. Tiga.

Tanpa aba-aba peluru ray membabi buta. Satu dua tiga, beberapa manusia bertopeng telah tergeletak tewas, begitu pula manusia yang menodong kepalanya. Sayangnya tak butuh lima menit bagi mereka untuk mendatangkan pasukan lainnya. Mereka muncul dari segala penjuru arah dan membuat ray kewalahan mengarahkan pistolnya. Dan lagi peluru miliknya hampir habis.

''Brengsek!''

Dugg..

Seseorang melempar pistol Ray. Ia memukul Ray dari belakang. Lalu pasukan lainnya menendang perut Ray dengan kuat. Rasa sakit jelas menjalari tubuh Ray. Tapi.. ia tak semudah itu meyerah dengan sisa sisa tenaganya ia tetap melawan. Perkelahian berlangsung. Ray cukup sadar ia kewalahan dengan banyaknya orang suruhan satu-satunya pilihan saat ini adalah kabur.

Dug…

Ray tertahan di depan pintu. Bibirnya mengeluarkan darah. Wajahnya telah tidak karuan. Di depan pintu dia di hajar habis-habisan karena mereka tau Ray ingin kabur.

''Keparat. Kalian pikir gue akan mati secepat itu hah?''

''Hhahah… kalian salah…Gue nggak akan mati secepat…i…''

Brak!!

Bersamaan dengan bogeman yang mengenai wajah nya seseorang datang sebagi bala bantuan. Ray tersenyum sinis. Kenapa juga harus manusia bernama Ara yang datang. Dia…bukankan dia tak seharusnya ikut campur urusan neraka? Dia makhluk surga yang mencoba memberi neraka gelap ini dengan cahaya?

Bocah bodoh

Batin Ray.

Ara datang meleburkan diri dengan perlawanan yang masih berlangsung. Tujuannya saat ini hanya ingin menyelamatkan Ray. Bagaimanapun ray adalah pilihan kebahagiaan Kar. Dan Ara tak akan membiarkan Kar kehilangan kebahagiaannya.

Satu dua tiga, Ara berhasil mengalahkan orang suruhan Ratih meski dengan babak belur di wajahnya. Ia segera menghampiri ray dengan napas yang tergesa-gesa. Di samping pintu ia meraih Ray yang kehilangan banyak tenaganya.

''Are you okay?'' Ara merangkul tubuh Ray.

''Stupid!!'' ucap Ray kasar. Ia mendorong tubuh Ara tapi bocah itu lagi lai merangkul dirinya.

''Kita harus pergi sekarang''

Ara berusaha mengangkat Ray, namun lagi-lagi tertahan karena Ray menolak.

''I will die right now. Lo yang seharusnya pergi brengsek!''

''No..'' Ara masih berusaha membawa Ray. ''Gue nggak bisa biarin Kar kehilangan kebahagiaanya''

Tepat saat jawaban itu keluar tangan Ray menoyor kepala Ara. ''Stupid'' ucapnya entah keberapa. Meski bibirnya masih basah dengan darah Ray tetap memaksa tersenyum. ''She love you. Lo adalah kebahagiaan dia, bukan gue.''

Ara terdiam. Ia menelan ludah.

''Sorry karena udah merebut apa yang seharusnya jadi milik lo.''

Ara masih terdiam.

''Lo nggak bisa lihat kebahagiaan orang hanya dengan ucapannya. Lo nggak bisa liat kebahagiaan orang dari apa pancaran matanya. Setelah apa yang gue lalui dengan Kara…gue jadi tau kalau kebahagiaan itu ngga ada diantara kita berdua. Mata dan ucapannya semua adalah kebohongan.'' Ucap ray miris.

''Dia bahagia sama lo, dan lo adalah kebahagiaan terbesar dia. Nggak ada yang perlu gue jelasin lagi. Lo nggak perlu khawatirin lagi gue Ra.''

Ara megigit bibirnya.

''Pengecut kaya gue pantas mendapatkan ini, dan well maybe its time to rest well in this hell''

''No…''pangkas Ara. ''Kita harus keluar dari sini. Kar masih butuh lo''

Kini Ray hanya bisa tersenyum miris. ''Akan lebih baik gue mati daripada harus muncul lagi di kehidupan Kara. Im sick, problematic, I don't wanna take her for a risk. Gue percaya sama lo Ra….''

''Lo nggak boleh percaya sama manusia bang.''

Ray menyernyit.

''One day gua bisa aja merusak kepecayaan lo. Jadi lo harus tetap hidup buat memastikan bahwa gue menjaga apa yang lo kasih ke gue. Lo nggak boleh percaya sama manusia bang. Manusia itu licik.''

''Tapi lo cahaya Ra…''

''Lo beda sama yang lainnya. Gue ngga punya alasan buat ngga percaya sama lo''

Ara terdiam.

''Gue udah ngga ada keberanian buat bertemu Kar. Let me..''

Belum sempat Ray menyelesaikan ucapanya sebuah peluru melesat. Tatapan mata ray jeli melihat arah datangnya peluru. Ia dengan sisa tenaganya mengalihkan tubuh Ara agar tidak terkena lesatan peluru.

Dor.

Peluru itu bersarang pada pagar kayu di depan sana. Ray berhasil menyelamatkan Ara. Namun ketika ia hendak memastikan suara peluru kembali terdengar. Satu dua tiga, tanpa sepengetahuan Ray sebuah peluru susulan tengah mengincar dirinya. Ia kurang persiapan, tanpa ada tenaga perlawanan ia hanya bisa terdiam, sampai akhirnya ketika matanya tertutup dan siap tertembak tubuh Ara menadah peluru tersebut tanpa aba-aba.

Dor!!

Ray menelan ludah. Tubuhnya mendadak berat karena tubuh Ara di depannya.

''Ara…'' ucap ray memastikan namun bocah itu tak bersuara.

''Ra..''

Masih diam. Ray megigit bibirnya, ia meraih tubuh ara yang lunglai dan menemukan tangannya sudah penuh dengan darah.

'''Stupid'' ucapan itu terdengar pilu kali ini sebab ia tau kalau Ara telah merelakan tubuhnya menadah peluru yang sedang mengincarnya.

''Bang…'' suara ara terdengar serak. ''Kita harus selamat bang…'' lanjutnya penuh serak hingga akhirnya tak butuh tiga detik akhirnya Ara pergi ke alam tidak sadarnya.

''Ra…'' ucap Ray bergetar.

Kemudian sayup-sayup sirine terdengar sampai telinganya.

Ara lo nggak meninggal kan?