Bogor, 2021
Bunda pernah bilang kalau tugas seorang kakak adalah menjaga adiknya. Ayah selalu bicara kalau kakak yang baik adalah kakak yang tidak akan membiarkan adiknya menangis. Sayangnya sebagai seorang kakak gue belum bisa memenuhi kemauan bunda dan ayah. Gue adalah kakak yang berengsek dan pecundang.
Binta : Nuha, maaf aku hamil
Binta : Nuha maaf…
Selain menjadi seorang kakak yang brengsek gue juga menjadi pecundang di depan wanita yang gue cintai. Bukan, Binta bukan hamil dengan gue melainkan dia hamil dengan suaminya. Jelas ini kabar bahagia namun bagi gue tetap saja kabar ini menjadi cermin betapa busuknya seorang pecundang ini. Gue telah membuat waktu di hidup binta terbuang sia sia hanya karena Hubungan tanpa kepastian yang gue janjikan. Gue brengsek dan dia berhak tau sebusuk apa lelaki yang dulu ia cinta. Binta, memang pantas mendapat pria yang dapat menyempurnakannya dengan segala cinta dan kepastian. Dan itu tentu bukan gue.
Nuha : Selamat.
Gue memasukan ponsel ke dalam saku, mengakhiri lamunan dengan memandang Kara yang tengah menyeret koper menuju rumah minimalis di depan sana. Halaman rumahnya terlihat sedikit kotor karena pohon besar yang sedang menggugurkan daunya.
Rumah itu milik keluarga Wijaya.
Gue menghela napas, menyaut tas secara serampangan dari jok belakang dan bergegas keluar untuk menyusul Kara. Hari ini kami tiba di Bogor setelah semalam gadis itu merengek ingin pergi bertemu Lilis. Setengah hati gue memberi izin, akan tetapi surat yang gue baca sedikit banyak telah mempengaruhi penilaian gue terhadap keluarga Wijaya. Keluarga ini benar-benar menyedihkan.
''Kamu yakin mau nginep di sini?'' tanya gue ragu. Di depan sana keberadaan Rehan sedikit menyita mata gue.
''Iya, ini kan rumah lilis. Nggak papa, kan?'' jawabnya dengan memberikan tatapan seperti anak anjing. Gue menghormati keputusan adik gue. Gue mengiyakan dia dengan membiarkan Kara berlalu untuk pergi ke kamar yang telah di siapkan oleh tuan rumah.
Tersisa kami berdua. Gue dan Rehan hanya saling diam. Beberapa detik saja karena selanjutnya ia mengantar gue menuju kamar yang menjadi tempat tidur gue untuk sementara waktu di Bogor. Sebenarnya alasan lain gue mengiyakan pergi ke kota sialan ini juge karena persidangan Ayah Bunda akan dilaksanakan minggu ini di kota ini. Jadi akan lebih mudah untuk mengawasi Kar daripada ia tetap tinggal di Jakarta.
''Sorry, ini kamar lo. Agak sempit tapi Cuma ini yang tersisa'' ucap Rehan sambil membukakan pintu kamar.
''oke'' balas gue singkat.
Hening. Gue sibuk mengamati seisi kamar, meski sempit namun kamar ini lumayan bersih. Sebenarnya ketara juga kalau kamar ini baru di tata. Dindingnya terbuat dari kayu, ada berbagai foto alat music yang tertempel dan juga rak yang berisi buku-buku music klasik. Gue nggak yakin kalau Rehan pemilik ruang ini.
''Selera yang unik'' celetuk gue mulai menyeret diri masuk ke kamar.
''Well'' Rehan melipat tangan di depan dada. Lalu tubuhnya bersandar di pintu. ''Anak pertama keluarga Wijaya wajib mengikuti kepercayaan ayahnya, Anak kedua mengikuti kepercayaan ibunya dan yang ketiga ia bebas memilih kepercayaan mana yang membuatnya nyaman. This room is not usual room. Ini kamar berdoa papa dan gue'' lanjutnya kemudian mengeluarkan kalung rosaria dari balik bajunya.
gue terdiam, malas menanggapi.
''Mungkin lo merasa Lilis adalah manusia yang selalu punya hak memilih dalam hidupnya dan mungkin lo juga merasa bahwa lo adalah manusia yang nggak punya hak memilih dalam hidup lo. Hanya karena menjadi seorang kakak bukan berarti kita bisa menyepelekan perasaan adik kita. They maybe look happy outside but inside…? We don't know much her.''
''Rehan'' balas gue ketus. ''Lo mau samaain adek lo sama adek gue? Nggak gue nggak akan membiarkan adik gue berakhir sama kayak adik lo''
Rehan terseyum tipis. Ia ketara mengambil napas tenang.
''Sebagai seorang kakak kita selalu ingin jadi pilihan utama kan? Kita selalu pengen jadi pilihan utama dari semua hal yang ada di mata orang tua kita. Tapi kadang kita juga lupa kalau itu semua terlalu egois untuk adik-adik kita.'' Rehan menjeda. Ia tersenyum manis.
''Semua orang akan punya peran antagonis di hidup orang lain bahkan di hidup keluarganya sendiri. Jadi kalo lo pikir lo adalah manusia yang nggak punya pilihan, itu salah. Karena mungkin tanpa sadar lo atau gue atau kita mungkin telah mengambil pilihan itu dari orang yang benar-benar ingin dijadikan pilihan.''
''Kenapa?''
''Ketidak punyaan pilihan atas hidup kita itu karena kita ingin jadi pilihan utama. Padahal segala-galanya bukan tetang siapa yang paling utama''
Ck! Belum sempat gue membalas senyuman Kar menyembul dari balik pintu.
*
Khariskara Renoir : Ray aku lagi di Bogor, maaf baru sempet ngabarin kamu.
Khariskara Renoir : Kamu sibuk pasti. Yaudah nanti kalo nggak sibuk kabarin aku
Khariskara Renoir : makan banyak-banyak sayang…
Kar meletakkan ponselnya kemudian beralih kepada surat yang yang sedari tadi ada ditangannya. Ya, surat panggilan sidang kasus milik ayah dan bunda. Kar menelan ludah, ternyata tinggal menghitung hari sampai hari itu datang. Jujur saja ia tak tau harus datang atau tidak. Sungguh ia tak ingin membuat kacau semuanya.
Re : OTW BOGOR
Williamayomain : OTW with calon istrik
Re : Bajingan!
Khariskara Renoir : wkwk asik
Williamayomain : wkwk
Sejenak pesan itu membuat Kar tersenyum sampai akhirnya pesan lain datang membuat jantungnya berdegub lebih kencang.
Cakra Luksa Wijaya : Abis makan malam kamu kosong nggak? Mau temenin gue jalan-jalan?
Kar menelan ludah. Gugup, daripada membalas ia langsung mengambil air minum di gelas dan menengguknya dengan serakah. Lantas mengambil kapsul obat yang ada di laci meja dan menelannya bulat bulat. Sial, malam ini jalan-jalan? Dengan Ara? Lagi-lagi Kar menelan ludah.
Khariskara Renoir : Bisa ra..
Mampus. Setelah pesan itu terkirim dilemparkannya ponselnya ke atas Kasur di barengi dengan tubuhnya. Matanya terpejam sebentar, lantas memandangi langit-langit kamar yang berwarna biru.
''Selama langit masih biru itu artinya masih ada harapan''
Kata-kata itu terputar begitu saja layaknya angin yang baru saja berhembus dari luar jendela. Langit-langiT kamar kecil ini membuat kar tersenyum. Bak sebuah sihir ia langsung bisa merasakan gerak gerik lilis di kamar ini. Ya, kamar ini adalah kamar lilis. Kamar dengan nuasana abu-abu ini adalah milik lilis. Malam ini semesta mengantarkannya pada peristirahatan gadis itu.
''Gaelen Ilythia Yeva Wijaya'' gumam Kar pelan.
Matanya menyapu seluruh dinding kamar. Satu-persatu ia temukan potret gadis itu dari masa ke masa. Bocah itu menggemaskan, pikir Kar. Selain potret dirinya dengan keluarganya yang tampak baik-baik saja, di kamar ini juga banyak lukisan-lukisan lilis. Ada beberapa yang selesai dan tergantung di sisi kamar, ada juga yang duduk diam di pojok kamar menunggu pelukisnya menyelesaikan itu.
Kar menarik senyum, matanya jatuh pada meja belajar di sisi jendela. Tubuh Kar bangkit dan mulai mengambil duduk di kursi meja belajar. Meski terlihat bersih, beberapa tumpukkan buku terlihat berdebu.
Kar mengigit bibirnya pelan. Setengah frustasi ia menyelusuri tumpukan rak sambil berharap ada sesuatu yang bisa membuatnya mengingat Lilis. Nihil, ia tak menemukan apapun di meja itu. Tubuhnya pun tidak bereaksi dengan apa yang ia lihat. Tangan gadis itu memijat kepalanya yang tidak pusing itu. Tanpa sadar ia mulai menggaruk lengan kirinya. Satu-dua-tiga menit berlalu hingga suara mobil terdengar menjauhi rumah itu.
Pandangan Kar jatuh pada mobil yang baru saja meninggalkan rumah ini. Mobil itu Milik Nuha, dan besar kemungkinan Nuha pergi untuk mengurus keperluan sidang Bunda dan Ayah tanpa sepengetahuannya. Kar menelan ludah. Mendadak hening mengisi kediaman ini. Rehan dan Nadev tak bersuara, dan napas Kar mengalun lembut seirama dengan bunyi malam ini. Untungnya itu tak berlangsung lama karena beberapa menit kemudian suara ketukan pintu mengisi telinganya.
''Rea…!!''
Kar spontan memeluk manusia di balik pintu tanpa memastikan siapa dia sebenarnya. Kar pikir itu Rea sampai otaknya mengingat bahwa ia juga mengiyakan untuk menemani Ara malam ini.
''Kara…?''
Suara bariton itu membangunkan Kar menuju titik sadar. Gadis itu menelan ludah sebanyak-banyaknya. Ia langsung melepas pelukannya ke tubuh kekar mirik Ara. Membuang pandangan kemana saja sambil menetralkan degub jantungnya.
''Lo nggak papa…?'' tanyanya pelan dan hati-hati.
Kar membasahi bibirnya. Dengan sisa keberaniannya ia mencoba menemukan wajah Ara di depannya. Dan hal pertama yang ia temukan saat matanya menemukan mata pria itu adalah surga dan seisinya. Kenapa juga pria itu tampak tampan hanya dengan setelan kaos?
''Nggak papa?'' ulangnya lebih hati-hati.
''Nggak papa'' jawab Kar dengan sisa nyawanya. Jantungnya jelas sedang bekerja keras kali ini.
''Gue kira nggak jadi soalnya lo gue chat nggak bales.''
''Hape gue lagi di cas'' jawab Kar cepat padahal ia tau kalo ia sedang berbohong. ''Sorry ya..'' lanjut Kar membuat Ara menarik senyum lebih manis. Ia mengacak rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang.
''Gue kira lo udah tidur Kar''
''Nggak kok, gue masih beres-beres''
''Oh masih beres-beres ya…uhmm kalo jalan-jalannya besok juga nggak papa. Sorry ya udah ganggu lo'' Pria itu menggaruk tengkuk rikuh.
''No. Ini udah kelar'' Jawab kar bohong lagi. Padahal ia sudah selesai beres-beres dari dua jam yang lalu.
Ara melirik jarum jam di pergelangan tangannya. '' Tapi udah malem. Mungkin besok aja kali ya. Lo harus istirahat, kan?''
Beberapa detik Kar hanya terdiam. Lalu menghembuskan napasnya yang terdengar berat. ''Kalo besok gue nggak bisa janji buat nemenin lo soalnya lo juga tau abang gue gimana sama lo. Kalo besok gue juga nggak bisa janji karena Rea sama Batak udah di sini. Jadi biar adil gimana kalo tetep malam ini?''
Giliran Ara terdiam. Ia mengunci seluruh pandangan matanya pada gadis di depannya. Ia sempat ingin menyembunyikan senyumnya namun gagal. Senyum di bibirnya kini terlihat begitu jelas. ''Iya'' jawabnya lantas mengelus rambut gadis itu. ''Gue tunggu di garasi 5 menit lagi. Lo jangan lupa pake jaket, ngerti?''
Kar mengangguk. ''oke Ra.''
*
Angin berhembus lembut menyapa wajah Kar. Malam ini bintang terlihat menghiasi seisi langit. Jam menunjukan pukul sepuluh malam ketika Ara tepat keluar dari minimarket tempat ia duduk sekarang. Pria itu menyodorkan sekotak susu strawberry dengan senyum hangat khas miliknya.
''Makasih'' ucap Kar menerima susu itu tanpa keraguan.
Ara tak menjawab. Ia mengambil duduk di sebelah Kar. Sedikit berjarak namun tetap dekat sehingga napasnya masih terdengar begitu jelas di telinga Kar. Untuk beberapa menit keheningan malam terisi dengan suara kendaraan yang lalu lalang mengisi jalanan. Tepat di depan minimarket ini, di sebrang jalan yang sepi terdapat sungai dan jembatan yang berdiri kokoh. Nama jembatan itu adalah jembatan Cahaya.
Ara menelan ludah. Ia tak bisa memaksa Kar untuk ingat apa yang terjadi di tempat ini dua tahun yang lalu.
''Gue kayak familiar sama tempat ini'' celetuk Kar membuat Ara tersenyum miris.
''Apa mungkin sungai di depan sana itu tempat gue tenggelam gara-gara Ray?'' lanjut Kar ragu. Ia bahkan tidak berani menatap mata Ara.
Sebaliknya Ara memberi keyakinan dengan menatap penuh wajah gadis di sampingnya itu. ''Iya'' jawabnya pelan, ''Tapi lo nggak harus ingat itu kalo lo tidak ingin mengingatnya'' lanjut ara lebih lembut. Tangannya mengusap tangan Kar penuh dengan keyakinanan. Lalu ia genggam dengan penuh keraguan.
''Jalanan yang lo lihat, tepat di lampu merah itu adalah tempat dimana Lilis mengalami kecelakaan di hari yang sama dengan lo tenggelam''
Ara mengigit bibirnya yang bergetar. Ia hampir melepas genggaman tangannya tapi Kara menahan dengan menggenggamnya lebih erat. Raut wajah gadis itu ketara penuh penyesalan.
''Maaf…gue nggak bermaksud buat lo merasa bersalah Kar..'' parau Ara.
''Nggak Ra…'' senyum Kar terkembang. ''Justru gue berterimakasih karena lo udah mau jujur sama gue. Ini pasti berat buat lo, tapi lo udah berani buat melakukan apa yang seharusnya lo lakukan. You did well Ra…'' Kar meletakkan kotak susu di tangannya. Lantas meraih tubuh Ara ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus lembut punggung pria di depannya.
''Lo udah melakukan yang terbaik yang lo bisa buat gue dan Lilis. Makasih ya…'' suara Kar menyelinap masuk di sela sela pelukan. ''Gue bahagia bisa bertemu lo lagi walopun kondisinya nggak sama kayak dulu lagi. Gue bahagia Ra ketemu lo lagi…''
Pria itu terdiam. Di gigitnya bibirnya dengan erat.
Kar melepas pelukannya. Senyumnya masih terkembang sempurna. Di sisi lain Ara mencoba membalas dengan senyum sebisanya. Matanya penuh dengan air mata yang tertahan disana. Pria itu enggan untuk menangis, ia sudah bernjanji pada dirinya sendiri. Bahwa ia tidak akan ingin egois.
''Makasih…'' ucap Kar dengan lembut.
Ara hanya mengangguk pelan.
''Makasih udah buat gue jatuh cinta sama lo untuk kedua kalinya dalam hidup gue ini.'' Giliran Kar membasahi bibirnya. Ia tau konsekuensi apa yang akan dia terima saat kalimat ini keluar dari mulutnya.
''Kar…''
''I know it seems so pitty. Tapi lo bener-bener udah bikin gue jatuh cinta lagi sama lo.''
''Tapi Kar….''
Kar mencengkram tangan Ara. ''Dengerin gue dulu'' ucapnya penuh penekanan, ''Sampai detik ini gue nggak ingat siapa lo di kehidupan gue sebelumnya, semua hal yang orang ceritakan tentang lo nggak sedikitpun buat gue ingat siapa lo di hidup gue sebelumnya. Gue nggak peduli siapa lo di kehidupan lo sebelumnya, yang gue tau sampai detik ini kehadiran lo di hidup gue udah berhasil bikin gue jatuh cinta sama lo. Lagi.''
Ara menelan ludah. Sebisa mungkin ia mencerna apa yang baru saja masuk telinganya. Ia cari kebenaran dan ketulusan dari mata gadisnya. Dan benar, itu semua ada di dalam sana. Belum sempat Ara membuka mulutnya gadis itu mempererat cengkramannya.
''Gue akui gue jatuh cinta sama lo lagi Ra… tapi sayangnya akan terlalu egois perasaan itu buat gue dan lo.''
Ara menyernyit bingung.
''Kita nggak boleh egois sama perasaan kita. Lo tau kan ada berapa banyak perasaan yang udah dikorbanin buat kita tetap hidup sampai saat ini…? Gue benar-benar nggak mau ngecewain pengorbanan mereka hanya karena gue egois dengan perasaan gue. Gue akan tetap jatuh cinta ke lo tapi gue nggak akan memilih untuk melanjutkan perasaan gue dengan lo.''
Keduanya terdiam. Masih sibuk memahami perasaan masing-masing.
''Gue ingin kita semua bahagia dan melanjutkan perasaan gue dengan lo sepertinya bukan kebahagian buat semua orang yang udah mengorbankan perasaan mereka buat kita. Gue masih punya bang Nuha dan Ray yang harus gue bahagiakan, Ra. Gue harap lo ngerti ini…''
Ara ketara menelan ludah. Ia menghembuskan napas berat. Ia tangkis cengkraman tangan Kar dengan kasar. ''Gue nggak pernah bisa ya jadi prioritas utama buat lo?'' tanya Ara bergetar.
Kar terdiam. Ia tak sanggup harus membalas pertanyaan itu.
''Oke gue paham. Gue ngerti kalau sejauh apapun perasaan kita emang nggak akan ada baiknya kita bersama. Tapi buat hari ini boleh kan gue berharap jadi prioritas dalam hidup lo? Seenggaknya jadiin gue pilihan dalam kebahagian lo, karena jujur hidup gue sampai detik ini Cuma pengen liat lo bahagia. Hidup gue sampai detik ini Cuma pengen membahagiakan lo terlepas itu keinginan lilis juga.''
Kar masih terdiam.
Ara mengacak rambutnya frustasi. '' Oke'' ia mengambil duduk di samping Kar. Lantas menggenggam tangan gadis itu. ''I give up.'' Ucap bibirnya bergetar. ''Ini yang lo pengen kan?''
…
Hening. Keduanya kehilangan kata-kata. Di bawah langit malam berbintang, di saksikan tempat beristirahatan terakhir Lilis kemarahan Ara memuncak. Pria itu hanya bisa menyerah dan diam di depan gadis yang ia perjuangkan. Pada akhirnya jika memang itu yang bisa membahagiakan gadis di depannya, makan itu pula yang akan titik yang ia perjuangkan. Dan mungkin salah satu bentuk perjuangan yang akan ia lakukan adalah menyerah. Menyerah juga memperjuangkan kan? Iya memperjuangkan hal-hal yang melelahkan.
''Sorry'' ucap Kar lembut sambil membawa Ara dalam pelukannya kembali. ''Gue sayang lo apapun yang terjadi, Ra… dan maaf kalo bentuk sayang gue ke lo Cuma bisa sebatas mengakui perasaan gue tanpa tau gimana cara membalasnya. Nggak papa kan?''
Ara diam. Ia memilih menatap netra mata gadis itu berharap bawha apa yang baru saja ia dengarkan hanya omong kosong belaka. Dan lagi, ia hanya bisa menemukan tatapan sendu gadis itu.
'''nggak papa'' jawabnya lebih parau.
*
''Heh anjing! Udah berapa tahun lo nggak pulang?''
Bocah itu bertanya serupa memaki. Ia menggantung jaket denimnya lantas merebahkan diri di atas kasur sambil memandangi Rehan yang sibuk menghabiskan sebatang rokok.
''Bukan urusan lo batak'' jawab Rehan tak peduli.
''Emang, tapi iya lo mikir ada tamu masa di taruh di kamar penuh dosa begini.''
''Sorry tapi gue nggak pernah ngewe di kamar. Seenggaknya gue masih punya otak buat nggak melakukan hal begitu di depan nyokap dan adik adik gue. Apalagi Lilis cewek''
Batak menanggapi dengan tersenyum, padahal hal yang Rehan ucapkan bukan hal lucu.
''Kenapa lu ketawa?'' heran Rehan.
''Nope'' Batak menjeda ia menggunakan kedua tangannya untuk menambah tinggi bantal hingga terasa lebih nyaman. Perjalanan Bandung Bogor sudah cukup membuatnya Lelah hari ini. Ia tak mau berdebat dengan Rehan. Lagi pula pandangannya terhadap manusia itu telah berubah jauh daripada saat pertama ia mendengarkan nama itu dari mulut Re.
''Ternyata lo nggak sebrengsek apa yang orang kata ya'' lanjut Batak.
''Orang lain bebas mau bercerita tentang gue menurut sudut pandang mereka. And I still believe im not good person. Kalo pandangan lo berubah terhadap gue hanya karena ini, mungkin lo salah. Gue masih punya banyak kasus di belakang sana dan kasus itu berdosa semua''
Rehan menenggak alcohol di depannya. Lantas mematikan rokok di tangannya.
''Gue mungkin bakal tidur telat. Daripada lo makin banyak bacot mending sekarang lo tidur''
Batak memejam matanya. ''Sudut pandang manusia terhadap manusia lain bukan bagaimana sudut pandang Tuhan terhadap umatnya. Nggak peduli sejahat apapun lo di masa lalu, gue rasa akan selalu ada orang yang bisa ngelihat setulus apa lo sebenarnya.''
Rehan terdiam mencerna ucapan Batak. Seisi kamar gelap hanya remang cahaya dari jendela yang terlihat.
''Lo emang brengsek tapi lo juga berhak bahagia''
''Lo berhak hidup di atas kaki lo sendiri tanpa ada bayang-bayang dosa orang tua lo''
''Then you deserve to get someone you loved.''
Rehan masih diam. Helaan napasnya terlihat teratur. Tanpa banyak suara pria itu telah berdiri didepan pintu kamar. Lantas tanpa menyalakan lampu ia membuka pintu dengan tenang seolah-olah tak mendengar apa yang baru saja Batak ucapkan.
''Lo brisik gue tidur di kamar lain.''
''Han…'' belum sempat Batak melanjutkan kalimatnya pria itu telah menghilang dengan sempurna. Sial, lagi-lagi Rehan mengabaikan dirinya. Ia tau manusia itu hanya melarikan diri dari kenyataan. Ia tau kalau manusia itu lebih tau apa yang terbaik untuk hidupnya. Namun tetap saja sisi kagum Batak ingin membuat Rehan menyadari bahwa tak semua kebahagiaan harus di lepas dengan begitu saja.
''Kenapa lo bisa tidak menyesal dengan semua keputusan yang lo buat? Kenapa lo bisa dengan baik-baik saja menerima hidup yang kejam ini? apakah lo udah nggak percaya lagi dengan semua usaha yang lo lakukan?''
Batak bergeming. Kepergian Rehan menyisakan semua pertanyaan itu dalam kepalanya. Sial, kenapa batak begitu mengagumi manusia itu?
*
Lamunan Rehan pecah ketika sorot mobil memasuki pekarangan rumah. Ara dan Kar baru saja pulang. Kedua manusia itu membawa atmosfer canggung yang begitu ketara. Rehan hanya bisa mengumbar senyum dan diam-diam paham dengan kondidi di depan matanya. Kar tampak menyapa Rehan dengan senyum tipisnya sedang adiknya berlalu begitu saja menyisakan mereka berdua.
''Bang Nuha udah pulang bang?'' tanya Kar memecah suasana.
''Belum. Takut ketauan?''
Kar menjawab dengan anggukan. Praktis membuat Rehan tersenyum.
''Belum kok abang lo belum pulang. Anyway abis dari mana kalian berdua?'' tanya Rehan sambil mengambil duduk di kursi teras. Hal tersebut diikui oleh Kar. Gadis itu tampak membuang napas samar.
''Ara ngajakin ke Jembatan Cahaya bang.''
Rehan menelan dudah mendengar jawaban itu. ''Hmmm… Lo nggak papa?''
''Nggak papa'' lagi-lagi jawaban Kar membuat Rehan Nampak khawatir.
''Thing has been passed. Everything was changes, yang perlu lo ingat itu bukan salah lo, Kar. Lo terlalu berharga buat lilis jadi jangan pernah merasa terbebani dengan kematian Lilis''
Kar terdiam. Ia bingung harus menjawab dengan kata-kata seperti apa. Jauh di lubuk hatinya ia masih berasa bahwa semua yang terjadi adalah karena keberadaanya.
Rehan mengusap puncak kepala gadis itu. Membuyarkan segala lamunan dalam keheningan. Ia tatap netra gadis itu dengan lembut. ''Ada banyak hal yang terjadi diluar kehendak manusia. Jika salah satu hal terjadi ke lo dan lo merasa butuh waktu buat menerimanya, just take a time.''
Kar masih terdiam.
Rehan menangkup wajah Kar, ia tatap Kar makin intens. Di ajaknya ia bicara sebagaimana seorang kakak yang menuturi adik kecilnya. Entah mengapa di mata Rehan , Kar selalu punya sisi yang sama dengan Lilis. Gadis itu apakah mungkin membawa jiwa adiknya?
''Gue pengin lihat lo bahagia seperti apa yang lilis inginkan.''
Kar menelan ludah. Tatapan mata Rehan menyulut keranian dalam diri Kar. Tangannya perlahan melepas tangkupan tangan Rehan. ''Bang…'' ucapnya ragu. Namun lagi-lagi mata rehan menyakinkan gadis itu. ''Gue…juga pengen kalian bahagia…'' ucapnya tergagap.
''Kita semua bahagia liat lo bahagia, Kar…''
Kar terdiam. Ia menghela napasnya berat.
''Apa yang lo pikirin disaat prioritas kita semua adalah kebahagiaan lo, Kar?''
Kar mengigit bibirnya. Berulang kali membasahi bibirnya sampai akhirnya semua keberaniannya mampu menggerakkan bibirnya. ''Justru karena prioritas kalian adalah kebahagiaan gue, gue jadi takut mengecewakan perasaan banyak orang. Setiap keputusan yang gue kira bisa membahagiakan semua orang mungkin aja bisa menyakiti semua orang. Gue takut bang…''
Lagi-lagi Rehan menangkrp wajah gadis didepannya. Memberikan segala kepercayaan pada diri gadis itu. ''Kalo lo ragu melakukan itu kenapa lo lakuin Kar?''
''Karena itu yang harus gue lakukan bang…''
''Harus itu artinya lo sudah yakin dengan pilihan lo. Keyakinan itu pasti muncul karena lo punya alasan. Daripada lo takut dengan respon orang lain lebih baik lo tanya lagi ke diri lo kenapa lo masih ragu dengan keputusan lo. Ingat ya Kar, di semesta yang besar ini nggak semua keputusan bisa menjamin perasaan semua orang.''
Hening. Entah, sejak kapan bulir hangat membasahi telapak tangan Rehan. Mata gadis itu sembab. Bibirnya di gigit erat tak mau mengeluarkan suara sesak. Ia menangis, dan lebih parahnya seseorang teriris di belakang sana. Ia menghisap sisa rokoknya sambil melalang buana. Rehan berusaha menenangkan gadis itu sedang pria di belakang sana berharap Rehan adalah dirinya.
Dasar pengecut!
Harusnya ia sudah meraup bibir gadis itu ketika ia meminta mengakhiri perasaanya. Harusnya ia menelan semua ucapan gadis itu bukan malah menyerah dan sok gagah. Dasar Ara pengecut! Ia malah menghisap puntung rokok dan meresapi bunyi tangis gadis itu.
''Gue selalu berpikir bahwa lo terlalu mencintai gue sampai sebegitunya, tapi detik ini gue sadar bahwa gue yang terlalu mencintai lo sampai begitu tidak waras begini. Sialan''-Cakra Luksa Wijaya
-
Sementara itu di kamar lain di bawah langit yang sama Nadev tengah terdiam sambil menikmati segelas anggur yang sengaja ia pesan dari sebuah restoran di Jakarta. Perlan bibirnya menyesap anggur itu sambil berharap semua dosa yang sudah ia lakukan ke pada gadis di atas ranjang itu hilang tertenggak bersama aliran liur yang membasahi dinding-dinding gelas.
''Good night, darling''
ucapnya setelah mengumbar senyum kepada Rea. Ya, gadis itu adalah Rhea. Tubuh gadis itu sempurna tenggelam diantara selimut sehingga ia tak perlu khawatir kalau tubuh telanjang gadis itu akan telihat oleh orang lain.
Mendadak bibirnya keju, ia letakkan gelas tersebut di atas nakas. Setelah meraih celana di sisi sofa dan mengenakannya ia usap bibirnya dengan pelan. Sial, semakin di usap semakin ia merasa berdosa karena telah menyempurnakan gadis itu di rumah keluarga Wijaya.
''Gue nggak pernah janji bisa ngelupain Rehan, tapi gue janji buat usaha menerima lo. Jadi boleh kan gue tidur sama lo…?''
Kata-kata sialan itu kembali muncul di kepala Nadev. Begitu seduktiv dan memabukkan. Memorinya dipenuhi adegan adegan beberapa menit yang lalu. Adegan adegan panas yang bahkan tidak pernah bisa ia bayangkan sebelumnya. Adegan mustahil yang membuatnya makin merasa berdosa. Tidak seharusnya gadis itu datang pada pria yang egois seperti Nadev.
Nadev bukan Rehan. Ia jelas tidak akan membiarkan satu momen terlewat. Malam ini ia mendapatkan gadis itu sepenuhnya. Walau akhirnya ia juga harus menanggung dosa selamanya karena mungkin ia takkan pernah bisa membuat Rhea sebahagia saat bersama Rehan. Sial! Perasaan bersalah macam apa ini?