Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 31 - 23.57

Chapter 31 - 23.57

Jakarta, 2021

Seminggu sebelum sidang kasus keluarga Renoir

Bang Nuha : Dek, nanti jangan lupa check up ke rumah sakit ya.

Khariskara Renoir : Siap bang, sore kan ya?

Bang Nuha: iya. Nanti naik taxi aja kalo Ray nggak bisa anter.

Khariskara Renoir : gampang bang. Abang jadi lembur?

Bang Nuha : Iya, lagi banyak acara di kantor. Kamu kalo mau makan pesen aja ya nanti abang yang bayar

Khariskara Renoir : Semangat atuh !!

Khariskara Renoir : makan mah gampang bang, biasanya Re juga masakin aku. Oiya, abang tuh yang jangan lupa makan.

Bang Nuha : iya tapi jangan sering-sering ngerepotin Rea

Khariskara Renoir : Siap bos.

Bang Nuha : Bagus dek. Abang lanjut kerja ya 😊

Khariskara Renoir : huhuhu semangat abanggg :* salam kangennn :*

Bang Nuha : salam kangen juga.

Bang Nuha : Eh dapet salam kangen juga dari bunda sama ayah. Maap ya mereka belum bisa hubungin kamu, ini aja abang baru dapet kabar dari kolega bunda. Sabar ya…bentar lagi kita kumpul kok.

Khariskara Renoir : 😊 iya ga papa yang penting sehat. Eh udah ya bang, nanti aku kabarin lagi kalo udah sampe rumah. Ddah…..

Kar memasukan ponselnya kedalam saku celana dengan mengulum senyum kecut. Ia tau bahwa Nuha sedang berbohong. Ia tak lagi bekerja lembur, ia sedang bersama pengacara untuk mempersiapkan sidang bunda dan ayah di minggu depan. Sama dengan Nuha, sampai detik ini pun Kar berusaha menutupi kebohongannya dengan berpura-pura tidak tau apa yang sebenarnya terjadi di keluarga mereka. Jujur ini sangat tidak menenangkan tapi lagi-lagi ia tak mau membuat kepala Nuha pecah karena mungkin saja Kar mengacaukan rencananya apabila ia mengatakan yang sesungguhnya.

''Minum dulu Kar…''

Suara Ray memecah lamunan Kar. Gadis itu sontak menarik senyum sempurna di wajahnya. Ia terlihat manis dengan dres putih selutut dan cardigan biru yang membungkus tubuh mungilnya. Selain itu ia juga Nampak serasi dengan Ray yang hanya mengenakan kemeja flannel berwarna abu disebelahnya.

''Makasih''

Kar meraih sebotol air dingin dari tangan Ray. Kemudian tanpa basa basi langsung menenggaknya secara perlahan. Cuaca hari ini memang mendukung Kar untuk menghidrasi tubuhnya lebih banyak, apalagi setelah mengelilingi museum di siang hari ini.

''Sekali lagi makasih'' ucap Kar setelah memisahkan bibirnya dengan botol minuman dingin pemberian Ray. Di sisi lain Ray tidak bisa menahan senyumnya. Ia masih terpesona dengan pemandangan yang ada di depan matanya.

''Sama-sama'' balas Ray dengan lembut.

Kar menyernyit, ''Eh tumben si senyum senyum mulu. Ada yang salah sama aku? Ada yang lucu?'' Kar berusaha mencari apa yang aneh pada dirinya. Sayang ia tak menemukan apa yang aneh pada dirinya. Selain Ray tak ada satu manusia pun yang peduli dengan dirinya. Kar rasa yang aneh memang Ray bukan dirinya.

''Aku aneh ya pake baju kayak gini?''

Ray menggeleng, ''kata siapa?''

''Itu kamu ngeliatinya begitu?'' tanya Kar sedikit cemberut. Sontak membuat Ray makin gemas dengan kelakuan Kar. Sebisa mungkin ia menahan untuk tidak menangkup pipi gadis itu. Sayangnya ia tidak tahan, setelah menangkup pipi Kar, ia lanjut mengusap puncak kepala gadis itu. Ia tatap secara intes wajah Kar tanpa peduli orang di sekitar museum.

''Kamu lucu'' celetuk Ray membuat Kar makin sebal.

''Ih serius..'' Kar frustasi. ''Kalo lucu tuh ketawa bukan kaya gini''lanjutnya penuh rengek.

''Iya kamu lucu makanya aku suka''

''nggak ya…kalo lucuh tuh ketawa bukan suka'' gerutu Kar sebal.

Lagi-lagi ray gagal menahan tangannya, tanpa sadar tangan milikya telah menggenggam tangan kecil milik Kar. Senyum di wajahnya tergambar begitu sempurna. Rambut coklatnya jatuh di dahi ketika ia tak sengaja mengibaskan rambutnya agar bisa melihat Kar lebih jelas.

''Denger'' Ray mempererat kaitan tangan mereka berdua. ''Kalo saya bilang saya suka ya saya suka. Nggak ada yang salah sama baju kamu hari ini, toh kamu cantik pakai baju apa saja. Biru, merah muda, ungu, hijau atau hitam saya akan tetap suka kamu.''

Kar menelan ludah. Kata-kata Ray menyihir dirinya. Mulutnya mendadak kelu. Tak sepatah katapun bisa keluar dari sana.

''Nggak peduli apapun yang kamu pikirkan tentang saya, saya akan tetap sayang sama kamu. Saya tetap suka kamu''

Kar membasahi bibirnya. Entah mengapa perkataan Ray seperti ini membuat Kar teringat pada sosok lain dalam diri Ray. Sosok monster menyeramkan yang bahkan dengan keji mampu mematahkan jari tangan Nuha hanya dengan sekali ijakan. Sosok monster yang Re ceritakan sebagai seseorang yang telah membuat dirinya tenggelam dan hampir mati dua tahun lalu di bogor. Di sisi lain Kar yakin monster itu tidak akan mungkin memberikan tatapan sehangat Ray menatap dirinya kali ini.

Kar bingung dengan Ray. Kar bingung dengan sifat Ray. Jika benar apa yang di katakana Re, maka bukankah yang seharusnya tidak berhak mendapat kesempatan kedua adalah Ray bukan Ara? Tapi kenapa Nuha seakan mengizinkan Ray membangun kesempatan kedua dalam kehidupan Kar?

Semua tanya dalam kepala Kar tiba-tiba direnggut hilang oleh pelukan Ray. Pria itu sadar bahwa gadis di depannya mulai meragukan dirinya. Tanpa pikir panjang ia merengkuh tubuh gadis itu dalam pelukan yang paling dalam. Lantas dengan nafas yang lembut ia mulai berbisik pelan, ''Katanya kalo seseorang sedang ragu, kita harus peluk seseorang itu.''

''Kenapa emangnya?'' ucap kar hati-hati

''Karena kalo udah dipeluk biasanya kita jadi bisa lebih dekat buat ngedengerin apa maunya diri kita. Saat kita peluk seseorang, kita bisa membekukan logika mereka tapi enggak dengan kejujuran hati mereka. Jadi…kalo kamu mulai ragu sama saya…kamu sekarang bisa rasakan sebesar apa kejujuran saya buat kamu, saya kan udah peluk kamu, gimana? Kamu dengar kan?''

Kar mengigit bibir. Sial, ia tak mendengar sama sekali degup jantung dirinya sendiri. Ia hanya bisa mendengar degub jantung milik Ray. Sial, pelukan ini membuat Kar semakin ragu dengan perasaannya.

''Kar…'' lirih Ray.

Sial. Bisikan Ray terpaksa membuat Kar harus berbohong untuk kesekian kalinya.

''Yang tau perasaan kita Cuma semesta, jadi saya kasih tau perasaan saya ke kamu dengan sejujur-jujurnya. Kamu tau kenapa?''

''kenapa?''

Kar menyernyit.

''Karena kamu semesta milik saya. Cuma kamu yang boleh tau perasaan saya. Kamu kan pemiliknya.'' Ray mengusap punggung gadis itu dengan lembut. Semesta itu adalah Khariskara Renoir.

Sedang disisi lain ada hati yang tak berdetak. Hati itu milik Kara. Ia tak berdetak mungkin karena ia tau Ray bukan lah orang yang tepat. Ia tak menolak karena ia tau bagaimana cara memaafkan segala kesalahan dimasa yang pernah ada. Ia tak mati karena ia tau ada sesuatu yang sedang ia cari. Ia sedang mencoba berlari mungkin untuk sesuatu yang sedang dinanti. Perlahan namun pasti Kar mulai percaya dengan ucapan Re. Ternyata Kar punya banyak alasan untuk tetap mengingat siapa Ara dan Lilis dalam hidup dirinya. Alasan ia hidup sampai detik ini mungkin karena kehadiran Ara dan Lilis dalam hidup dirinya.

Pada akhirnya pelukan ini membuat Kar semakin ragu akan perasaannya sendiri.

''Re…mungkin yang lo bilang benar…''

*

Bogor, 2021

Hari ini dia kembali, setelah setelah satu tahun lamanya ia menghilang dari kota Bogor. Rambutnya tampak makin pendek dari setahun yang lalu saat ia masih sering menjelajahin sudut kota hanya untuk berburu kanvas dengan harga murah sambil memberi makan kucing-kucing jalanan. Bogor tak berubah banyak di mata Re. Macet, panas, dan bising, tiga kata yang selalu berputar ketika ia mendengar kata Bogor. Sayangnya setelah kejadiaan itu Bogor seakan menyajikan ingatan lain di hati Re.

Luka. Ingatan itu adalah luka. Bogor dan Luka, bagi Re adalah satu kombinasi yang tidak akan membuat dirinya kembali ke kota ini. Sayangnya demi Kar ia harus menginjakan kakinya di bogor hari ini.

Sore yang terik di bawah pohon linden, ia sedang duduk menunggu Rehan dan Nadev keluar dari Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) tempat Wijaya ditahan.

''All done''

Suara Rehan menyapa bersamaan dengan langkah kakinya yang terdengar.

Re hanya bisa membalas dengan senyum kecut. Ia biarkan Rehan mengambil duduk di sampingnya. Beberapa detik hanya diisi dengan suara kendaraan karena baik Rehan maupun Re tak mau mengawali pembicaraan. Nadev belum juga kembali.

''Makasih ya'' Rehan membuka percakaapan. Ia tatap Re dengan tatapan paling tulus. Senyum di wajahnya terkembang. ''Makasih udah mau susah payah ngumpulin bukti buat sidang minggu depan. Tanpa lo mungkin kita nggak bisa sejauh ini. Bukti yang lo kasih sangat memperkuat gugatan kita.''

''Sama-sama bang'' balas Re singkat.

''Gue harap apa yang kita lakukan sekarang bisa ngasih hukuman yang adil buat semua orang yang berasalah dan gue harap kita semua bisa hidup tenang ke depannya tanpa harus kebayang dosa-dosa di masa lalu. Sekali lagi makasih ya Re..''

Tatapan Rehan membekukan Re.

''Iya bang, dengan gini Kar bisa focus sama kesehatan dia…''

Belum selesai Re berbicara tangan Rehan sudah mengusap puncak kepala Re. Sontak membuat Re kehilangan kata-katanya. Meskipun sudah jujur satu sama lain untuk melupakan suatu perasaan yang sudah lama ada itu bukan hal yang bisa dilakukan dalam hitungan hari. Butuh waktu lama bagi Re untuk terbiasa dengan keadaan ini.

''Ini pasti berat buat lo Re…'' Rehan tersenyum kecut.

''Kenapa?'' tanya Re kebingungan

''Karena lo harus melihat orang tua lo masuk penjara. Karena lo harus melihat sisi buruk Ray. Berat buat lo buat menyerahkan bukti-bukti kejahatan nyokap lo. Nggak semua orang bisa kayak lo… Bahkan gue nggak bisa liat bokap gue masuk penjara, gue nggak berani buat speak up kejahatan orang tua gue di masa lalu. Tapi lo…bisa Re…lo bisa menerima hal-hal yang bahkan menyakiti diri lo dengan setenang ini…lo berani banget Re…''

Untuk beberapa saat Re hanya terdiam. Ia mencerna perkataan Rehan. Perlahan sampai akhirnya ia bisa menemukan alasan yang tepat untuk keberaniannya.

''Gue berani karena gue tau nyokap gue salah. Gue berani karena gue tau Ray salah. Sesayang apapun gue sama mereka, kalo mereka salah mereka akan salah.'' Re berhenti bicara untuk beberapa saat, ia menarik napas untuk menangkan dirinya.

''Bang… ternyata orang yang kita anggap keluarga belum tentu bisa ngasih arti keluarga yang sebenarnya buat kita. Orang yang kita anggap sebagai orang tua belum tentu bisa jadi orang tua buat kita. Gue pengin bang punya keluarga yang bener-bener ngertiin gue, gue pengin bang punya keluarga yang bener bener keluarga pada umumya. I was so hard on myself, gue bekerja keras buat mewujudkan keinginan gue memiliki keluarga yang bahagia. Tapi semakin gue mengusahakan, semakin gue kehilangan itu. Mungkin ini saatnya gue ngasih tau mereka bahwa gue udah capek dengan semuanya. I was so tired for a long time, gue harus melakukan ini agar mereka sadar kalo apa yang mereka lakukan itu udah nyakitin banyak orang.''

Re mengulum senyumnya. Rehan terdiam, ia mengusap bahu gadis itu. Pelan, tapi menenangkan. Untuk beberapa menit mereka hanya diam sambil menikmati sore yang berangin ini. Ingin rasanya Rehan membawa Re dalam pelukannya. Namun lagi-lagi ia harus menahan itu semua sebab ia tau sekacau apa Re jika ia benar-benar melakukannya.

''Its time to life for yourself. Kapanpun lo butuh keluarga, gue, dan keluarga gue akan selalu ada untuk menerima lo. Ya, walopun nggak sesempurna keluarga pada umumnya'' bisik Rehan sambil mengelus bahu gadis itu.

''Makasih bang''

Balas Re sambil menatap mata Rehan. Tatapan mereka berdua saling terkunci dalam senyuman sampai akhirnya Nadev datang dan membuat Rehan secara praktis menghentikan usapannya pada Re. Ia mengatur jarak dan membiarkan Nadev membawa Re dalam pelukannya. Sedetik setelahnya Rehan hanya bisa tersenyum miris. Ia tau sebesar apa perasaanya pada Re, namun ia juga tau sebesar apa dinding yang telah ia bangun di antara mereka berdua.

*

Jakarta, 2021

Jakarta hari ini mendung. Kar sedang menunggu ojek online di depan sebuah rumah sakit. Ray tidak bisa menemai Kar sampai selesai. Mungkin ia sama sibuknya dengan Nuha untuk mempersiapkan sidang di minggu depan. Tak mengapa sebab Kar masih bisa pulang senidiri. Sambil menunggu ojek online datang ia mengecek ponsel dan mendapati pesan dari grup obrolan telegram.

Re : Gue masih di Bogor. Lusa baru pulang

Williamayomain: bilangin sama Rehan jangan lupa beli peyem 50 kg

Re : Ha? Ini bogor bukan bandung

Williamayomain: lah makanan khas bogor peyem kan, re…

Re: bukan anjir, jangan mau dikibulin Rehan

Williamayomain : babi, gue diboongin

Williamayomain: yaudah yang lain deh

Unread

Re: Ga bisa mampir beli oleh oleh.

Williamayomain : yahhh….penonton kecewa

Re: bodoamat njing

Re: @Kara sorry ya ga bisa nemein di rumah. Lusa baru pulang soalnya. Lo nggak papa kan sendirian.

Khariskara Renoir: santai bro wkwk

Re: Duh kok gue khawatir ya

Re : @Williamayomain free nggak? Temenin Kara gih

Re : @Williamayomain ngab?

Khariskara Renoir : Tidur kali. Eh serius ga papa

Re : @Williamayomain asuk?

Khariskara Renoir : wkwk bantu tag @Williamayomain

Williamayomain: yah….

Williamayomain : telat ☹

Williamayomain : udah di bandung nih, lagi check in. Mau beli peyem. Subuh baru pulang kayaknya. Sorry @Khariskara Renoir

Re : SUMPAH?

Re : DEMI APA BENERAN BELI PEYEM DONG. ENTE MAU JADI JURAGAN PEYEM?

Williamayomain : Nyokap gue penasaran njir. Makanya suruh beli 50 kg, tadinya 100 kg Cuma gue bilang kebanyakan buat nyicipin jadi 50 kg aja. Ntar aja kalo doyan gue beliin pabriknya

Khariskara Renoir : wkwk emang nyokap lo doyan?

Williamayomain: nggak tau sih Kar…makanya coba

Re : Anjing, nyoba tuh beli ½ kilo ini kalo banyak gini ga doyan buat apa 49 kilonya????? Gendeng!

Wiliiamayomain: oiya yah, telattt gue udah bayarrr buat di kirim medan ☹

Re : TOLOL anjing!

Khariskara Renoir : Wkwkwkwkwkwkwkwkwkwkw

Williamayomain : hehehe kamu tetep sayang kan @Re

Re : bodoamat anjir! Eh lo kan ke Bandung, terus ZOYA sama siapa anjir!!!

Williamayomain: Zoya…gue….titipin sama Ara wkwkw

Re: fuvck! Ga mau tau lo harus ambil Zoya Sekarang. GA MAU TAU

Williamayomain: ga bisa gue baru balik besok. Lagian nggak akan mati juga kalo sama Ara

Re : _- Kepikiran apa sih anjing nitipin kucing sama orang yang alergi bulu kucing. Gue takutnya yang mati Ara bukan Zoya. Pokoknya lu harus tanggung jawab! Balik dan ambil Zoya sekarang!!

Williamayoamain: Ehhhh..anjing…ga bisa….gimana ini?!!

Re : Bodoamat! Ambil!

Williamayomain : ☹ bangke ga bisa

Re : BATAK!!!!!

Khariskara Renoir : Gue yang ambil dehh sekalian Zoya buat nemenin gue hehe

Re : Kar…??

Williamayomain: Kara…?

Khariskara Renoir : Ga papa gue yang ambil sekalian, ini ojolnya udah nyampe. Nanti gue kabarin lagi kalo Zoya udah sama gue. Bye…

Re : Kar….. udah deh zoya aja yang mati ☹

Williamayomain : ☹

*

Sial, Jakarta mendadak hujan deras. Kar sudah sepenuhnya basah kuyup ketika sampai di halaman rumah Ara. Langit sudah sempurna hitam. Lampu-lampu telah di nyalakan. Jujur Kar meruntki kebodohan bapak ojol yang tidak membawa jas hujan saat tau langit sore tadi sudah mendung. Tapi apa boleh buat Kar sudah sampai di sini. Demi Zoya ia rela basah kuyub begini.

Ting…

Bel berbunyi beberapa kali namun penghuni rumah belum juga menampakkan diri. Kar sudah setengah mati menahan digin karena bajunya yang basah. Beberapa kali ia mengusap bahunya sendiri untuk menghangatkan diri. Mungkin suara hujan lebih keras dari pada suara bel yang berbunyi sehingga tak seorangpun keluar dari rumah ini. Kar menekan kembali bel rumah Ara.

Ting..

Butuh sepuluh menit sampai akhirnya pintu terbuka dan menampakkan Ara yang tengah mengusap hidungnya. Sebelum mengucap sepatah kata ia malh bersin-bersin. Mungkin ini yang dimaksud Re di chat tadi. Kar menelan ludah, tertsenyum rikuh.

''Sore… Ra…Zoyanya ada?''

Ara lantas menyernyit, ''Zoya?'' tanyanya bingung.

''Zoya kucingnya Re. Ada?'' Kar mendekatkan tubuhnya pada Ara. Ia sengaja agar pria itu bisa mendengar ucapannya. Namun daripada mendengar Ara malah menampakan reaksi yang di luar dugaaanya. Ia kaget dan berujung dengan bersin. Sontak membuat Kar gagal menahan tawanya. Ara menggemaskan sekali, berbeda dengan Ara tempo hari.

''Sorry abisnya lo lucu, sorry'' pinta Kar sambil menahan tawanya.

Ara tak marah dengan tawa gadis itu. Ia balik tersenyum dan memaafkan gadis itu. Kemudian membawa masuk gadis itu kedalam rumahnya untuk menemukan sosok Zoya.

''Hatchiiii''

Lagi-lagi Kar hanya tersenyum. ''Makasih ya'' cap Kar mengambil Zoya ke pelukan dirinya. Kucing yang tadinya tidur terpaksa bangun karena menempel pada tubuh basah Kar. Tapi akhirnya melompat dan mendekati Ara karena mungkin tak nyaman dengan tubuh basah kar. Lagi-lagi pria itu bersin berkepanjangan.

''Kayaknya lo basah deh jadi dia nggak mau digendong. Hatciii''

''Iya kayaknya nih. Yaudah gue masukin kargo aja biar kering nanti langsung pulang. Sorry ya udah ganggu waktu lo'' ucap Kar dengan penuh salah. Ia mulai mengambil kargo Zoya di dekat sofa namun terhenti karena Ara bicara.

''Lo yakin mau langsung balik dengan kondisi begitu'' Tatapan Ara tertuju pada tubuh Kar yang basah sepenuhnya. ''Yakin?''

Kar menelan ludah, ''ya gimana, masa pinjem baju lo lagi. Kemaren aja belum gue balikin. Gue juga ngga tau kalo bakal basah begini. Pas kesini kan belum ujan''

Ara merebut kargo di tangan Kar. Menghela napas frustasi, ''Kan bisa naik taxi, kenapa pake ojol?''

''Udah terlanjur pesen, ngga enak cancel. Ujannya juga baru turun pas di deket sini.'' Kar cemberut. ''Sorry deh udah bikin basah rumah lo'' lanjutnya makin keki

''Bukan masalah basahnya Kar… Kalo lo sakit gimana?''

Kar menunjukkan kantong plastic obat dari dalam slingbagnya. ''Minum obatlah'' balasnya dengan tersenyum membuat Ara sontak tersenyum miris. Demi tuhan ia tak menyangka bahwa Zoya di kirim oleh Tuhan untuk membuat mereka berdua bisa bicara sesantai ini, tidak seperti biasanya.

''Yaudah diminum dulu obatnya, ganti baju terus pulang'' Ara tampak menghiraukan Kar. Ia memasukan Zoya ke dalam kargo sambil bersin-bersin. Di sisi lain Kar cengo dan bingung dengan perlakuan manusia di depannya. Belum sempat Kar ingin membalas ucapan Ara tiba-tiba listrik padam. Gelap melanda, hanya terdengar suara Zoya yang bersautan dengan bersin milik Ara.

''Ara mati listrik!'' teriak Kar heboh.

''Ara mati listrik!''

''Ara gue!!''

Hening.

''Ara denger ga sih?''

''Ara gue!!''

''Hatchiih… iya sabarr Kara'' suara Ara terdengar begitu lembut. Perlahan-lahan cahaya hari ponsel memperlihatkan Ara yang sedang menggendong Zoya. Kar menelan ludah takut. Bukan karena mirip hantu hanya saja leher Ara sudah memerah. Mungkin ini reaksi alergi terhadap kucing. Buru-buru Kar mengambil Zoya dari Ara. Ia menjauhkan kucing itu dari Ara agar alerginya tidak memburuk.

''Ara ih…udah tau alergi kenapa masih dipaksa!'' Kar ngomel sendiri. Ia sudah melemparkan Zoya ke sofa di dekatnya. Persetan ia malah takut kalo Ara benar-benar mati karena Zoya. ''Kamu nggak sesek napas kan? Kamu…''

''Ngga papa'' ucap Ara menenangkan. Tanpa permisi ia meraih tangan Kar dan membawanya berjalan menuju tempat saklar generator. Saklar ini yang akan menyalakan semua lampu yang padam hari ini.

''Biasanya tunggu sepuluh menit baru nyala lagi'' ucap Ara dengan suara khasnya. ''Lo nggak takut kan?''

Kar menggeleng.

''Kalo takut pegang tangan gue ya. Bukan modus sih, ini serius''

Meski gelap Kar masih bisa melihat senyum pria itu. Senyum yang indah. Senyum entah mengapa mampu menerangi malam yang gelap ini. Mendadak Jakarta begitu sepi. Hanya napas dan detak jantung mereka berdua yang bisa di dengar.

''Ara..''

Tiba-tiba Kar mengenggam tangan Ara. Praktis membuat tubuh Ara bereaksi kaget sepersekian detik karena selanjutnya manusia itu memang pandai untuk mengaturnya. ''Kenapa Kar..?''

''Nanti kalo udah nyala, gue boleh kan kenalan sama lilis lagi. Gue mau kenal siapa lilis dihidup gue, lo bisa kan bantu gue?''

Ara terdiam. Ia tak tau harus menanggapi permohonan itu dengan cara seperti apa. Sementara itu tubuhnya masih mencoba menormalkan diri agar tidak bereaksi lebih dengan genggaman tangan Kar. Satu. Dua. Tiga. Ia menghela napas. Satu. Dua. Tiga sampai lampu menyala, Ara makin kehabisaan kata-katanya. Kar begitu cantik sampai ia lupa bahwa gadis itu pernah jadi miliknya.

''Bisa kan Ara bantuan Kara?''

''Bisa''

Akhirnya jawaban itu keluar dari mulut Ara dengan lantangnya. Akhirnya ia belajar untuk tidak menjadi pengecut di depan kebahagiaanya. Ara mungkin telah menemukan keberaniaanya di depan gadis itu setelah hampir dua tahun lamanya keberanian itu menghilang.

*

''Ngantuk ?''

Suara Ara membuat bola mata Kar praktis membulat sempurna setelah sebelumnya matanya hanya tersisa 5 watt saja. Gadis itu praktis menggeleng dan menarik senyum selebar joker berharap Ara tetap percaya bahwa ia tak mengantuk saat melihat album foto keluarga Wijaya. Ya, Ara memberikan Kar album foto keluarganya untuk memenuhi keinginan Kar mengingat Lilis.

''Kalo ngantuk bilang aja Kar, jangan dipaksa. Lagian abis minum obat juga kan.'' Ucap Ara dengan senyum hangatnya.

''Enggak Ra, gue nggak ngantuk.''

''Serius?'' tanya Ara meragukan sebab ia tau mata gadis itu telah berair pertanda mengantuk. ''Nanti gue telfonin Ray kalo lo ngantuk'' lanjut Ara membuat Kar membulatkan matanya.

''Kok Ray sih'' cemberut Kar. ''Gue nggak ngantuk ya ampun. Gue bisa pulang sendiri. Nggak usah bawa bawa Ray.''

Ara menyernyitkan alisnya. Heran dengan tanggapan Kar. ''Udah malem nggak baik pulang sendirian. Lebih nggak baik lagi malem malem berduaan di rumah cowok yang bukan pacarnya.''

Kar diam. Ia tak menanggapi. Sibuk menyibak lembar demi lembar album foto keluarga Wijaya. Mulutnya mengerucut meenyumpah pria di depannya. Sumpah, Kar tidak pernah mengira bahwa Ara bisa berpikir ke ranah kotor seperti cowok cowok puber semasa smp dan sma. Kar sebal ia kira Ara cukup dewasa. Lagian ia masih ingin tetap di rumah ini untuk tau siapa Ara dan lilis di ingatannya.

''Gue cowok loh Kar. Gue bisa aja berbuat sesuatu yang nggak …''

''Brisik!'' pangkas Kar kesal. ''Gue belum ngantuk Ara…. Gue cukup sadar juga. Seandainya lo mau ngapa-ngapain, gue masih sanggup kok buat teriak…But attlist tampang lo ngga meyakinkan buat ngapa-ngapain gue''

Ara menahan senyum, ia mengigit bibirnya bergantian dengan membasahinya. Entah mengapa kalo sedang marah-marah begini Kar ketara begitu lucu. Belum lagi pikiran polosnya. Padahal mereka berdua sudah dewasa tapi tetap saja itu tidak berlaku bagi gadis di depan Ara. Mungkin yang dewasa Cuma Ara dan gadis di depannya akan selamanya jadi anak kecil yang menggemaskan. Andai Kar ingat kejadian beberapa minggu lalu saat Ara hampir kehilangan kendali atas dirinya untuk memaksa memiliki Kara lewat tubuhnya. Kalau saja Kar tau mungkin ia tidak akan berani untuk tetap duduk di rumah ini lagi.

''Ngapain lo ketawa?'' Kar heran. ''Ada yang lucu?''

Bukannya menjawab Ara malah mengacak puncak kepala gadis itu lantas mengambil remot tv dan menyalakannya. ''Karena muka gue nggak meyakinkan buat ngapa-ngapain lo jadi boleh kan gue duduk di samping lo'' Pandangan Ara terlalu dominan. Belum sempat Kar mendorong tubuh Ara, pria itu sudah mengambil duduk di samping Kar.

Kar menelan ludah. Tampak tidak percaya bahwa ia masih setia meladeni pria aneh di depannya. ''Terserah'' celetuk Kar sebal.

Sayangnya bukannya terpancing untuk sebal Ara malah makin senang. Ia mengacak rambut Kar lagi sambil tertawa lebar. Di sisi lain hati Kar merasa hangat dengan keberadaan tawa itu. Entah mengapa tapi tawa itu memang terasa ajaib bagi Kar. Ia merasa telah menemukan sesuatu yang telah lama hilang dari diri Ara. Sesuatu yang sederhana namun rumit untuk menjelaskannya. Mungkin kalo ia bisa jatuh cinta tanpa memikirkan perasaan orang lain di masa lalunya, ia jelas ingin jatuh cinta dengan sosok di depannya ini. Atau lebih tepatnya ia ingin terus meilhat tawa pria di depannya ini.

''Gue ada video dokumentasi lilis waktu TK sampai awal masuk SMP. Mungkin ini bisa bikin lo kenal dengan lilis''

Ucapan Ara memecahkan gelembung imajinasi Kar. ''Gue boleh nonton?'' ucap Kar tidak nyambung karena terlalu kaget.

Ara memaklumi, ia mengangguk. ''Waktu adalah perjalanan dan langkah kita adalah kenangan. Manusia bisa aja terus berubah tapi kenangan nggak akan berubah. I don't wanna try you to found me. I don't wanna take me in your memory, and I don't wanna be selfish again. Meski di kepala gue lo adalah orang yang sama, gue nggak akan memaksa lo untuk tetap seperti dulu Kar. Gue tau kita semua sudah berubah dan lewat video ini gue Cuma mau nepatin janji gue ke lilis. Bahwa gue akan selalu jaga lo, gue akan selalu mendukung lo, dan selalu jadi orang nomer satu yang memenuhi keinginan lo. I was promise, and I wont to broke it''

Kar membasahi bibirnya. Ia menarik senyum. Lantas mengaburkan matanya dengan melihat tayangan video dokumentar yang terputar di televisi. Demi tuhan janji itu terlihat begitu nyata di mata Ara. Pria itu dalam tawanya telah menemukan apa yang benar-benar ia inginkan dari gadis didepannya itu.

Waktu terus bergulir. Detik menit merangkai malam. Belum satu jam video terputar gadis itu terlelap dengan air mata yang masih membasahi pipinya. Di sisi lain Ara erat mengigit bibirnya. Sedari tadi ia menahan diri untuk tidak mengulurkan tangannya atas tangis Kara. Tapi akhirnya ia gagal, ia telah memberikan dirinya untuk jadi tempat bersandar gadis itu. Malam berlalu dengan suara tawa lilis. Perlahan namun pasti kedua manusia itu menutup mata hingga pagi menyapa. Tanpa sadar Ara telah memeluk gadis itu dalam tidurnya untuk kali kedua.

Dia masih sehangat dua tahun yang lalu.

''Gue sayang lo apa itu nggak terasa buat lo?''