Subuh menyapa, perjalanan di mobil kami habiskan dengan menikmati kesunyian hari ini. Gue dan Ray tak banyak bicara. Sibuk dengan pikiran masing masing sampai akhirnya mobilnya memarkir di halaman rumah.
''Langsung tidur ya..'' Ray mengusap puncak kepala gue diimbangi sengan senyumnya yang semanis madu.
''Pasti'' jawab gue sekenannya. Jujur gue nggak berani menatap wajah Ray karena ketika gue menatap mata itu bayangan beberapa jam lalu muncul dan membuat telinga gue tiba tiba berdenging. Pertengkaran Ray dan bang Nuha masih memenuhi kepala gue, praktis itu membuat gue tidak bisa tersenyum lepas seperti biasanya.
''Ada yang pengen kamu omongin?''
''Nggak kok'' jawab gue dengan ragu. Gue menggaruk tangan lantas memberanikan diri untuk menatap mata Ray. Sebisa mungkin gue meyakinkan dia bahwa gue tidak apa-apa. ''Sorry ya udah ngrepotin'' gue menelan ludah melajutkan kalimat dengan kikuk.
Di sisi lain Ray makin tersenyum manis. Langkahnya mendekat lantas mengusap puncak kepala gue dengan lembut. ''Lain kali…kalo ada apa apa cerita ya sama saya. Sekiranya ngga bisa dan pengen lari, saya maunya kamu lari sama saya bukan sama yang lain..''
Entah mengapa ucapan Ray begitu menusuk. Padahal bertemu Ara bukanlah hal yang ada di dalam rencana, dan juga mana mungkin gue akan cerita tentang pertengkaran Nuha dan dirinya. Dia kan pelakunya. Lagi-lagi gue Cuma bisa mengulum senyum. Samar gue menghela napas.
''Ngomong-ngomong kok kamu kenal Ara sih?'' celetik gue mengalihkan pembicaraan. Diluar dugaan responnya malah begitu ambigu. Gue liat Ray beberapa kali menggeleng kepala Nampak tak senang dengan pertanyaan gue.
''Kamu nggak suka aku tanya gitu?'' Gue mencoba memastikan kembali.
''Bukan gitu''
''Terus kok…''
''Kan dia mantan pacar Re.. masa saya nggak kenal sih.''
Glek.
Bohong.
Gue tau jawaban ini bohong. Ara dan Re tidak pernah menjalin Hubungan apapun. Gue dengar itu semua dari mulut merek berdua di tempo hari yang lalu. Sialnya meskipun gue tau Ray bohong gue bisa menyangkal. Lagi-lagi gue hanya bisa tersenyum.
''Ada yang mau ditanyaain lagi?'' Ray bertanya.
Gue yang mencoba menetralisir perasaan canggung ini hanya bisa menggeleng. Ada banyak hal yang pengen gue tanyain ke Ray tapi gue terlalu takut untuk mendengar banyak kebohongan. Gue takut kalo apa yang bang Nuha bilang tentang Ray itu semua adalah benar. Gue takut kalau gue telah memberikan kesempatan ke orang yang salah. Gue takut kalo ternyata apa yang muncul di kepala gue hanya delusi, termasuk Ray yang di mata gue akan selalu jadi malaikat yang muncul saat gue hampir tenggelam. Gue takut itu semua hanya delusi.
''Kar…kepala manusia itu penuh dengan kemungkinan itu karena dikepala manusia kita semua sedang menciptakan semesta kita. Entah itu luas, entah itu sempit semua manusia suka mencari kemungkinan dalam semseta mereka. Jadi ketika kamu pikir lari bisa bikin kamu cari semesta kamu, ya kamu harus lari. Nggak perlu peduliin jarak, karena semakin jauh jarak itu seharusnya kamu makin mengerti kalo sejauh itu saya datang untuk kamu.'' Tangan hangat Ray mengusap puncak kepala gue. Praktis itu membuat gue makin bingung. Bingung karena sehangat apapun Ray tubuh gue masih merasakan dinginnya Laut pagi ini.
''Tapi kamu kan juga harus cari semesta kamu?'' tanya gue penuh ragu.
Sejenak ia menghela napas. Lalu Dia membalas itu dengan pelukan. Lantas ia membisikan kata kata di sela sela hembusan napas di leher gue. ''Semesta saya adalah kamu. Jadi walopun kamu terus pergi cari laut yang jauh di sana, pecaya kalau saya akan selalu ada di sini. Di titik dimana kata menunggu itu adalah titik takdir yang Tuhan cipta untuk saya'' Ray mengelus lembut rambut gue.
Gue eratkan pelukan. Persetan dengan kebimbangan yang ada di diri gue. Ray memang berbohong tapi tak bisa dipungkiri bahwa perasaanya pada gue terlalu tulus. Sampai sampai gue bingung bagaimana cara untuk membalasnya.
''Ray…''
Kami melerai pelukan. Perlahan mata kami saling menatap satu sama lain.
''Makasih ya karena kamu aku bisa hidup sampai hari ini. Makasih karena udah nyelametin aku waktu itu kalau bukan kamu yang ambil tangan aku, aku nggak mungkin bisa hidup sampai sekarang. Makasih Ray…makasih untuk semuanya''
Hening.
Ray tak merespon. Tatap matanya berubah menjadi gelisah. Apa mungkin gue salah bicara? Apa mungkin ini menyinggung perasaanya? Berulang kali gue mengoreksi tapi berulang kali pula gue tak mnegerti. Gue menelan ludah, belum sempat gue berbicara Ray mengecup bibir gue. Ia sama sekali tak memberikan jawaban selain dengan mengecup bibir gue.
Kecupan yang manis dan lembut. Untuk beberapa saat gue hanya bisa merasakan napas dan aroma tubunya. Dan saat gue membuka mata, Ray hanya memberi penjelasan lewat usapan lembut dikepala gue. Kamudian ia pamit untuk pulang. Gue yang masih kaget hanya bisa bertingkah mengiyakan saja layaknya orang bodoh.
Sialnya, ketika mobil itu menjauh gue baru bisa menghela napas lega. Aneh karena meski manis dan lembut kecupan itu terasa hampa. Gue nggak merasakan apapun saat Ray mengecup gue. Tidak ada bayangan apapun tentang kami berdua. Bahkan bayangan disaat Ray menyelamatkan gue tidak muncul.
Gue mengigit bibir, mengusapnya beberapa kali. Sial, yang terbayang malah kecupan milik Ara. Sejenak kalimat berputar dalam kepala gue.
''Ilusi paling menarik dari umat manusia adalah kata terbiasa. Manusia bisa melalui hal sesulit apapun dengan kata terbiasa. Manusia juga bisa payah karena kata terbiasa. Fenomena fenomena baru lambat laun akan manjadi basi karena kata terbiasa. Menarik, karena semua aspek terasa mudah kalo kita terbiasa dengan hal itu.''
''Jadi selain menyerah gue juga akan membiasakan diri gue untuk tidak memikirkan lo. Seperti hari hari lo tanpa gue, seperti itu juga gue akan membiasakan diri gue tanpa lo. Jadi harapan tertinggi hidup gue saat ini adalah terbiasa dengan keputusan gue.''
*
Rumah terasa begitu sepi. Kar menjatuhkan diri di atas Kasur setelah memutuskan untuk tidak mengetuk pintu kamar Nuha. Ia hanya ingin memberikan sedikit waktu pada dirinya dan Nuha. Kenyataan orang tuanya sedang di penjara bukan hal yang mudah untuk di jelaskan, dan juga ini bukan hal mudah untuk di terima. Kar mencoba untuk memahami itu.
Entah mengapa minggu ini terasa begitu berat bagi Kar. Masalah terus berdatangan, satu persatu membuatnya merasa makin bodoh. Hal yang bisa Kar lakukan adalah terus bertahan dan berharap masalah itu terselesaikan satu persatu. Tanpa ia sadari jam jarum jam telah menuju pukul 5 pagi. Kar mengendengus meruntuki kebodohannya karena ia lupa untuk meminum obat. Maka sebelum serangan pusing makin menyerang kepalanya ia beranjak meraih obat di nakas.
Saat ia hendak mengambil obat iu saat itu pula ia menenukan note dan susu di atas nakasnya. Sudah jelas itu dari Nuha. Kar hanya bisa tersenyum kecut, kepalanya memutar adegan penyiksaan Ray terhadap Nuha, disisi lain adegan ia memeluk Ray juga terputar di sana. Kar menelan ludah. Sebelum semuanya semakin kacau, Kar mengambil obat dan menelannya. Lantas berbaring kembali di atas Kasur. Ia pandangi langit langit kamarnya.
Kosong.
Sampai akhirnya ia teringat benda yang diberikan oleh Ara. Sebuah flasdisk dengan data yang membuat Kar hanya bisa mengulum senyum. Tanpa pikir panjang, Kar mengambil laptop dan bersiap untuk membuka data di flashdisk tersebut. Saat menunggu proses terbuka lagi-lagi ucapan Ara masuk dalam pikirannya.
''nanti kalo lo udah inget gue, tugas lo Cuma satu ya Kar… Jangan cari gue lagi''
''Kenapa?''
''Karena ketika lo sudah datang mungkin gue udah nggak disitu lagi.''
Kar menelan ludah. Buru-buru ia mengalihkan pikiran dengan membuka file di flasdisk Ara. Lantas ia habiskan seluruh pagi untuk membuka file sampai akhirnya seluruh sadarnya di renggut oleh obat tidur yang yang baru saja ia konsumsi. Ya, tanpa Kar sadari Nuha memang sengaja menambahkan obat itu agar Ia punya banyak alasan agar adiknya tidak bertemu dengan Ray lagi.
*
''Morning''
Ucap Re penuh dengan semangat. Ia baru saja melepas apron di badannya ketika Kar baru saja keluar dari kamar. Gadis itu terlihat berantakan khas orang yang barung kesiangan. Sayangnya ini masih terlalu pagi untuk dikatakan siang. Jam baru saja menunjukk pukul 9 pagi. Itu artinya Kar hanya tidur 4 jam saat riuh dapur membangunkannya.
Kar menelan ludah. Mengusap beberapa kali wajahnya. Nampak masih cengo dan setengah tidak percaya ketika mendapati Re ada di dapur rumahnya. ''Re..?!'' ucap Kar dengan nada cengo.
Di sisi lain Re membalas dengan senyum lima jari. Ia meletakkan hasil masakannya di atas meja. ''Cuci muka sanah gue udah masakin sarapan buat lo hehe'' lanjut Re dengan ceria.
Kar hanya bisa menyernyit lantas mengalihkan pandangan pada Nuha yang juga sibuk menata meja makan. Ia tampak tidak keberatan dengan keberadaan Re. Padahal Nuha adalah orang yang paling sering ngomel jika Kar membawa seseorang ke rumah. Tapi entah meskipun Nuha tau Re adalah Ray, ia tampak tidak terganggu sama sekali dengan Re. Malah sesekali saling melengkapi ketika menyiapkan sarapan.
Akhirnya Kar memilih menyudahi segala pikirannya dengan beranjak ke kamar mandi. Ia membasuh muka dan menggosok gini dengan santai sambil menyiapkan mental untuk bertemu Re. Kemudian setelah siap Kar segera bergegas untuk mengambil sarapan Bersama Nuha dan Re. Suasana terasa agak canggung. Re dan Nuha sesekali berbicara namun lebih banyak diamnya. Percakapan mereka berdua juga jarang membuat Kar ingin ikut bicara sebab ia takut kalo ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang mereka berdua di masa lalu. Semenjak kejadian tadi malam, Kar kehilangan kepercayaan pada semua manusia termasuk abangnya sendiri.
''Semalem lo begadang?'' lempar Re sambil menunjuk garpu di tangannya tepat ke arah wajah Kar.
''Biasa anak magang'' Nuha menimpali. Padahal Kar sudah siap bicara.
''Itu kantung mata sama mata panda ngga bisa boong.'' Re melanjutkan makannya.
''Ya gimana lagi, penderitaan multitasking low salary hehe'' Kar menjawab sekenanya. ''Anyway dalam rangka apa ini bikin sarapan pagi pagi" Kar melampar tatapan ke arah Re dan Nuha secara bergantian. Praktis membuat Re dan Nuha menelan saliva Bersama. Gugup.
''Spontan sih'' Re menelan ludah menelan kebohongan. ''Tadi pagi gue sama batak nggak sengaja beli bahan makan kebanyakan. Daripada nggak habis akhirnya gue sok ngide buat masakin lo. Udah lama kan lo nggak makan masakan gue..ya walopun seadanya gini hehe''
Dari tatapan Re, Kar tau itu bohong. Tapi lagi-lagi ia menahan pertanyaan dalam mulutnya dengan senyuman. Nuha tak menanggapi, mungkin ia sekubu dengan Re. ''Kok Batak nggak ikut?'' tanya Kar polos.
Re memutar bola matanya, lantas meletakkan sendok dan garpunya. Ia tampak beberapa kali menelan ludah. ''Soalnya…dia lagi ada ibadah pagi'' jawab Re bohong.
''Sayang banget ya… Padahal dia pengen banget lo makan masakan lo.''
Re menyernyit, ''kok lo tau sih?''
''Ya masa lo nggak tau sih bocah bleguk itu suka sama lo'' Nuha menyahuti dengan tak berselera.
''Ngaco'' balas Re sambil menelan ludahnya. Entah mengapa kebohongan ini makin terasa besar. Padahal gadis itu datang ke rumah Kar karena ingin terus ada di sisi sahabatnya. Ia ingin menjadi salah satu dari alasan mengapa Kar harus hidup lebih lama. Re ingin Kar menemukan ingatannya agar ketika Tuhan mengambil gadis itu maka sempurna sudah segala kenangan yang ia punya. ''Oiya Kar…Nadev hari ini balik. Lo mau temenin gue jemput di bandara nggak?'' Re melemparkan tatapan pada Kar.
Gadis itu yang semula sibuk memandangi televisi di seberang sana hanya bisa menjawab dengan senyum kikuk. ''Gue ada jadwal magang'' balas Kar ragu.
"tapi kan lo sakit'' Re khawatir.
Mendengar jawaban Re, Kar segera membahasi bibirnya. Sungguh ia menahan segala amarah dalam dirinya. Karena bagaimanapun situasi seperti sekarang hanya membuatnya menjadi wanita paling kasihan di dunia. Orang-orang yang awlanya mengabaikannya perlahan mendekat kasihan karena mereka tau Kar tak punya cukup waktu untuk hidup. Kar marah, karena tak satupun orang percaya bahwa ia tak ingin kehilangan napasnya. Kar marah. Karena Tuhan hanya memberikan sedikit waktu untuk singgah di dunia.
Kar mengerjap beberapa kali. ''Gue seneng lo peduli sama gue Re… Seneng karena kita bisa bicara lagi kayak dulu..Tapi jujur daripada lo terus tersenyum dan pura pura gue lebih suka lo marah dan teriak teriak tentang kebenaran yang ada. I lost my self, and I didn't complete my journey, so can everyone just treat me like I can life forever?'' Kar menjeda kalimatnya.
''Karena jujur aja gue takut. Semakin kalian bersikap baik ke gue semakin gue takut dengan apa yang dokter bilang. Gue udah kehilangan kepercayaan sama diri gue sendiri, dan gue Cuma bisa percaya sama kalian. Kalo kalian nggak percaya kayak gini, apa mungkin gue akan percaya sama hidup gue? Gue takut mati Re…''
Mata Kar dipenuhi dengan bendungan air mata. Ia menatap Re dan Nuha secara bergantian. '' Gua takut mati bang…'' lanjut Kar. Gadis itu megatur napasnya. Ia menahan air mata untuk keluar dengan menyendok makanan ke dalam mulut. Sebisa mnungkin menghilangkan getar bibirnya.
Nuha mengigit bibir. Diantara mereka bertiga helaan napas Nuha paling terdengar menyakitkan. ''You always have me. Once you felt you can't do anything, I will do it for you''.
Kar mengulum senyum, ia perhatikan jari tangan Nuha yang terbungkus perban. Bisa di pastikan ini ulah Ray tadi malam. ''Bang tadi malem gue nggak sengaja baca pesan di hape abang." Kar menjeda kalimatnya, ia mengambil napas panjang lalu mengehmbuskannya dengan pelan. Dengan penuh keraguan gadis itu mengutarakan tanyanya, ''Apa bener rumah kita udah nggak punya rumah di Semarang?''
Pertanyaan Kar membuat Re melempar tatapan ke Nuha. ''Serius?'' tanya Re penuh selidik pada Nuha.
Pria itu mengangguk tanpa membantah namun ketara sedang menyimpan amarah. ''Enam bulan yang lalu dijual. Sorry ya abang nggak bisa ngomong langsung ke adek. Soalnya nunggu momen yang tepat'' Nuha menelan ludah. Merutuki kebodohannya meninggalkan ponsel di meja makan tadi malam.
''Adek ngerti kok. Lain kali kalo ada apa apa jangan lupa bilang ke adek ya bang. Jujur aja daripada seneng karena nggak tau apa apa, aku lebih milih buat sakit dan tau kenyataanya. Abang tau kan apa yang mahal dari sebuah keluarga?'' Kar melemparkan tatapan pada Nuha. Ia tersnyum manis, lantas ''Yang mahal itu kepercayaanya, jadi kalo ngomong gini aja abang takut gimana adek bisa percaya'' lanjut Kar dengan nada yang penuh penekanan.
Di sisi lain Nuha hanya bisa menelan ludah. Entah kenapa kalimat Kar seakan baru saja menusuk semua kebohongan yang ia sebunyikan dari Kar. Ini baru soal rumah, nanti kalo Kar tau kondisi bunda dan ayah mungkin akan lebih kacau dari ini. Cepat atau lambat Kar pasti tau, dan cepat atau lambat Nuha ingin kalo yang berita itu sampai dari mulut Nuha secara langsung. Tapi bukan sekarang, apalagi saat ada Re di sini.
*
Mobil yang dikendarai Re berhenti tepat di depan Gedung perusahan tempat Kar magang. Hari ini Nuha menyerahkan Kar diantar oleh Re karena jarinya tangannya asih sulit untuk digunakan untuk mengendarai mobil dan lagi Re telah menunjukkan ketulusannya pagi hari ini. Nuha luluh pada ketulusan Re meski tak bisa di pungkiri kalau iapun khawatir bila Kar di sisi Re mengingat Re adalah adik Ray. Ia takut Re bersekongkol dengan Ray.
Wijaya Company mengalami penurunan saham sebesar 30% dalam sepekan terakhir.
Gagal mengakusisi Nasution Company, Saham Wijaya Company terus turun
Terjawab sudah alasan batalnya pertunangan Lyra Nasution dan Cakra Luksa Wijaya. Ternyata ini 5 faktor utamanya
Setelah seminggu menghilang, akhirnya pimpinan Wijaya Company kembali terlihat kembali bekerja di perusahaan!
Re mematikan radio, lantas ia pandangi wajah sahabatnya. Meski ia tau Kar masih belum bisa menemukan siapa Ara di ingtannya, tetap saja Kar selalu tak nyaman jika nama Ara kembali di sebutkan.
''Sebenernya ada yang pengin gue omongin ke lo'' celetuk Re dengan keraguan.
''Keliatan kok dari muka lo'' Senyum Kar terkembang tipis. Ia meletakkan ponselnya. Lantas memakai kembali seatbelt ke tubuhnya. ''Kayaknya hari ini gue mau bolos magang deh. Gue mau ketemu bokap nyokap gue'' lanjut Kar membuat senyum melengkuk di wajahnya. Ia tampak pucat dengan senyum setulus itu.
Re menyernyit, kenyataan ia tau kalau orang tua Kar menjadi tahanan itu hal yang sulit untuk Re jelaskan. Juga Nuha pasti tidak mengizinkan Re memberi tahu ini semua lewat mulutnya. Nuha pasti ingin Kar tau langsung dari dirinya bukan dari orang asing seperti Re. Re menelan ludah, ia mencari segala alasan yang ada di kepalanya untuk menghentikan Kar.
''Tapi gue kan harus jemput Nadev'' Re menelan ludah. Sial, padahal Nadev bilang sudah ada orang yang menjemputnya.
''Mau bohong lagi?'' jawab Kar dengan pertanyaan yang menusuk Re. Hampir gadis itu kehilangan napas saat melihat wajah Kar. Ya, jelas ia sedang berbohong dan pasti itu terlalu ketara di wajah sahabatnya. ''Gue tau kok nyokap bokap gue nggak lagi di semarang dan gue tau kalo lo adalah salah satu orang yang tau dimana keberadaan orang tua gue''
''Tapi Kar… kalo bang Nuha tau gimana?''
Kar tersenyum masam. ''Mungkin marah. Tapi semarah marahnya dia bakal maafin gue kok. Gue udah tau kok orang tua gue dipenjara. Gue juga udah tau kok siapa Ray. Tapi semua yang gue ketahui nggak cukup mampu membuat jujur ke gue tentang apa yang terjadi setahun yang lalu.''
''Bukan kita nggak mau ngasih tau lo dari awal Cuma kita semua pasti punya alasan baik di balik itu semua. Contohnya gue yang nggak mau lo tau karena gue nggak mau lo balik lagi ke lo yang dulu. Dengan gue liat lo yang sekarang, gue ngrasa masa lalu itu nggak penting buat lo. Lo cantik, lo baik, lo bahagia, dan itu cukup alasan buat gue nggak ngasih tau apapun tentang penderitaan lo karena gue di masa lalu''
Kar menelan ludah. Ia melempar pandangan ke arah depan. Lantas menghela napas berat.
''Gue, bang Nuha, bang Rehan, Nadev, dan Batak Cuma pengen lo focus sama kesehatan lo. Hidup lo sepenting itu bagi kita. Jadi kita ngga mau lo kenapa napa Cuma karena lo udah tau masa lalu yang jelas jelas nggak bisa di ubah lagi. Percaya sama kebohongan kita demi kebaikan lo'' lirih Re frustasi.
''Tadi malem gue liat Ray matahin jari bang Nuha. Tadi malem gue denger kalo karena gue orang tua gue harus masuk penjara. Tadi malem juga untuk kesekian kalinya gue bikin Ara kecewa. Gue bingung mana yang benar mana yang salah. Tapi kalo gue pikir lagi kalo aja ingatan gue kembali mungkin hal hal begini nggak akan terjadi. Gue yang nggak tau apa apa nggak seharusnya kalian perjuangkan segininya. Hanya karena dokter bilang umur gue nggak panjang bukan berarti kalian harus mengorbankan kebahagian kalian. Kalian sayang gue tapi kalian nggak percaya kalo gue bisa melewati ini dengan semua rasa sakit yang pernah ada.''
Re tersenyum ia menatap nanar Kar. Tak ada kalimat yang keluar dari bibir gadis itu.
''subuh tadi gue coba buat ingat siapa Ara, tapi nyatanya gue nggak bisa ingat apa apa di saat gue sadar betul kalo dia adalah orang yang pantas buat gue ingat. I hurt him just because I forgot him.''
''Ternyata perasaan lo nggak pernah berubah Kar'' lirih Re.
''Maksud lo?" Kar menyernyit.
''Setahun yang lalu kalian putus gara gara kesalahpahaman lo terhadap gue. Ara kissed me but he never loved me until this day. Same as him I never have feeling with him. Lo terjebak dalam salah paham lo sampai lo memutuskan untuk kembali ke Semarang. Di hari lo balik ke Semarang entah mengapa lo malah memilih pergi ke Jembatan Cahaya. Di sana ada Ray. Asal lo tau Ray bukan orang yang menyelamatkan lo sebaliknya dia adalah orang yang sengaja membuat lo tenggelam di sungai. Alasannya karena gue, Ray menenggelamkan lo untuk mengundang nyokap lo datang. Dia kira orang yang neror gue adalh nyokap lo.'' Re tersenyum getir. ''But in the fact, orang yang neror gue bukanlah nyokap lo tapi keluarga gue sendiri. Bokap Ray dan bokap gue yang ingin membunuh gue karena benci sama nyokap gue''
Kar mencerna. Ia hanya bisa diam, entah harus percaya atau tidak. Ray dikehidupan Kar saat ini akan selau jadi sosok baik yang menyelamatkannya tapi mendengar ini dan mengingat peristiwa tadi malam Kar mulai meragukan Ray.
''Ini kenyataan yang pengen lo ingat?''
''Re…'' bibir Kar bergetar.
''Di hari lo tenggelam di hari itu juga adik Rehan dan Ara meninggal karena kecelakaan. Lilis meninggal karena berusaha buat menghentikan lo mengikuti kemauan bodoh abang gue.'' Re tersenyum masam. Ia tatap Kar dengan tatapan nanar.
''Gue bisa bayangin sehancur apa Ara saat itu. Dia hampir kehilangan dua orang yang dia sayang di saat yang bersamaan. Ketika ambulan dateng Ara milih buat nemenin lo daripada adiknya. Lo tau kenapa?''
Kar mengigit bibirnya. Matanya mulai memanas. Ia menggeleng penuh kebingungan.
''Karena dia tau kalo diantara lo dan lilis, Cuma lo yang masih bisa bertahan hidup. Lilis meninggal dengan tenang, dan lo harus kesakitan karena air terus menekan paru paru lo.'' Re menjeda panjang untuk mengambil napas. ''Setelah denger ini semua apa lo masih nggak punya alasan buat mengingat Ara dan meninggalkan Ray?'' tanya Re penuh penekanan.
Kar membasahi bibirnya. ''Gue harus pastikan ini semua sebelum gue menjawab pertanyaan lo.''
''Lo nggak percaya sama gue?''
''Percaya kok, tapi gue pengin denger ini dari sisi Ray.''
Re menyernyit, ''Lo nggak mau denger dari sisi Ara?''
Wajah gadis itu menunduk. Lantas melepas seatbeltnya, ''Sepertinya gue nggak mau mengecewakan Ara lagi. Dia pantes dapet seseorang yang lebih baik dari gue''
Re bergeming.
''Gue kerja dulu ya. Makasih udah nganterin gue ke kantor. Hati hati baliknya''
''Kar…''
Re mencoba mecegah Kar keluar namun gagal karena gadis itu terlah berlalu dan meninggalkan dirinya. Sejenak Re mengambil napas dan menghela dengan kasar. Entah ia tak tau ini kesempatan yang benar atau salah. Yang jelas ia lega karena telah menyatakan sebuah kenyataan. Meski sepenuhnya memang keburukan tetang keluarganya. Re harap Kar bisa menerima dan memaafkan dirinya.