Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 27 - 23.30

Chapter 27 - 23.30

Karena air hujan selalu mengalir ke lautan

Sebab itu maka semua kesedihan pasti berakhir dengan ketabahan

Jika hari ini buruk maka tetaplah jadi kura kura yang berani menemukan lautan mereka

Walaupun pada kenyataannya tak ada satu pun kura kura yang tau apa yang terjadi setelah mereka memutuskan untuk mengarungi luasnya lautan.

Tapi tetaplah percaya bahwa ada pulang setelah mengembara

Di dunia ini jika kamu memutuskan untuk jadi kura kura pengembara maka kamu telah memutuskan dimana kamu akan pulang

kata terumbu karang jejakmu hari ini memang terlalu berani

meski kamu tau kalau sesekali yang kamu cari adalah bukan pulangmu

*

''karena percuma buat kita memperjuangkan apa yang dipertentangkan Tuhan''

''Brarti lo menyerah?''

''Bisa dikatakan begitu. But not in bad way but on good way. Lawan gue bukan lagi orang yang lebih baik atau yang lebih pantes buat Re, lawan gue yang sesungguhnya adalah Tuhan.'' Ucap Rehan begitu tenang.

''Tapi kan lo bisa aja nikah tanpa mengubah indentitasnya. Itu pilihan dia dan itu pilihan lo. Hak akan agama kan punya semua orang. Semua agama tuh baik, semua tuhan juga ngasih ajaran untuk berbuat baik tanpa membedakan sesama. Perasaan jatuhnya dari Tuhan, terus kenapa lo masih mempermasalahkan Tuhan? Kayak nggak adil aja lo sama Re sama sama sayang loh..''

Rehan mengulum senyum, ''Sayang gue ke dia nggak jauh beda kok kayak sayang gue ke lilis''

Gue menyernyit. ''Terus kenapa lo masih ngasih semua diri lo buat bahagiain hidup dia Han?''

''Emang kalo gue pengen liat di Bahagia itu artinya gue punya perasaan lebih buat dia?''

Gue menggigit bibir, kecut. Semua kata kata di mulut gue mendadak hilang.

''Sometimes if you love someone who knows you better its more hurt than you love someone who doesn't know you better. Ada banyak cara buat memperjuangin perasaan kita ke seseorang. Salah satunya adalah dengan menyerah. Keliatan bego sih tapi kalo itu buat kita lebih nyaman dan nggak menyakiti satu sama lain ngga ada salahnya kan. Toh sebaik baiknya perasaan adalah yang membuat nyaman pemiliknya. Kadang kita perlu percaya kalau selalu ada garis sejajar di antara Hubungan anak manusia dan selalu ada garis melintang antara Tuhan dan ciptaannya. Apapun yang selalu berdampingan belum tentu bisa bertemu di titik Bersatu''

Sejenak gue terdiam. Pikiran gue masih terbayang percakapan dengan Rehan. Barusan gue mengantar Kar pulang ke rumahnya setelah dari rumah Rehan. Jujur saja percakapan singkat dengan Rehan merubah cara pandang gue terhadap laki laki itu. Pantas Re mengaggumi Rehan lebih dari siapapun. Cara pandang dia terhada dunia begitu luas. Cara pandang di terhadap Tuhannya begitu dalam. Gue yakin bahwa dia adalah orang yang sudah menyelesaikan banyak masalah dalam hidupnya.

Gue melan ludah, melangkahkan kaki menuju Re yang sedang duduk di depan sofa sambil mengamati kedatangan gue. Tanpa pikir panjang gue berlari dengan memeluk gadis itu. Jujur rasanya lega, karena sebelumnya gue tidak pernah mengekspresikan perasaan gue secara langsung di depan Re tanpa bercanda.

Mata gadi itu membelalak. Ia gaget. Responnya begitu kaku. Keheningan menyelimuti sebentar saja karena selanjutnya Re langsung bertanya penuh heran.

''Lo nggak papa kan, Tak?''

"lo nggak abis ngapa ngapain Kar, kan?''

''Jangan jangan….Kar…''

''Jangan bilang…"

Sebelum diam akin heboh karena memikirkan yang tidak tidak tentang Kar, gue mengusap rambutnya dengan lembut sambil membisikan sesuatu. Sesuatu yang entah mengapa membuat dada gue merasa lebih lega ketika semua itu keluar.

''Jangan kaget ya kalo gue bilang gue suka lo. Jangan kaget ya kalo gue bilang gue pengen ada disisi lo. Jujur aja gue nggak tau gue pantes atau enggak punya perasaan ke lo. Tapi dari lubuk hati gue…gue selalu merasa bahwa hanya ada satu nama yang selalu membuat gue bahagia nama itu adalah…'' gue menjeda. Mengambil napas, mempererat pelukan sayang Re malah melerai pelukan kami.

Re menyernyit, ''Lo mau bilang lo suka Kara kan?'' senyumnya terkembang.

Sial, padahal yang selama ini gue suka hanya Re. Gue mengulum senyum. Tangan gue menangkup wajah gadis itu, ''Gue suka lo'' tatapan gue mengunci seluruh kepercayaan dirinya. ''Gue suka lo sejak pertama lo datang ke Jerman. Gue suka lo sejak pertama lo datang ke kehidupan gue.''

''jangan boong lu Tak, kebanyakan becanda lo mah. Udah jelas lo suka sama Kar'' Senyum Re meremehkan. Ia menangkis tangkupan tangan gue. Jelas itu membuat gue nyeri sekaligus lega. Lega karena Re menganggap ini hanya bercanda. Itu artinya tidak ada yang berubah setelah perasaan ini benar benar gue ungkapkan.

Gue melan ludah. Menetralisir perasaan. Kecewa sekaligus bahagia.

''kalo gue bilang ini serius lo percaya?'' gue memastikan

Re menarik senyum miring, ''Gila lo, jangan baper deh ntar repot. Gue nggak punya temen lagi kalo lo baper. Udah deh becandaannya'' Re menaruh tangan di depan dada.

''Buktinya apa?'' entah mengapa gue terus memastikan.

''Buktinya…'' Re memutar bola mata jengah. Lantas tanpa pikir panjang ia memberikan kecupan di pipi gue. Parktis membuat gue mengerjap beberapa kali. Cup. ''Buktinya gue nggak deg degan waktu cium lo, buktinya lo nggak bereaksi saat gue kecup lo. We just a friend, and friend always love each other. For us love didn't gave us the future. Kenapa lo tiba tiba gitu?''

Pertanyaan Re membekukan gue dalam senyuman. Padahal gue bisa saja membalas kecupan Re. Hanya saja gue tidak ingin melukai gadis itu dan juga benar kata Rehan bahwa lawan kami bukan lagi yang lebih pantas atau yang lebih baik, lawan kami saat ini adalah Tuhan kami. Terlalu egois jika menuhankan perasaan yang tak pernah membuat kita saling nyaman.

Sometimes if you love someone who knows you better its more hurt than you love someone who doesn't know you better. Maybe it because you know that make her happy is more important than your love, nor maybe you don't have time to hurt her just for being yours. Simply you just don't know how to hurt her even with your feeling. You are the god of your feeling but you still don't know what inside yours.

''Kenapa?'' Re mengulang pertanyaanya.

Gue menarik senyum kuda, lantas berpura pura tertawa senaturan mungkin agar gadis itu percaya. ''Mantan gue putus sama pacarnya…and I think it's the right time. So I decided to try it hehe''

''Mantan…?'' Re menyernyit." Gue kira lo mau ngomong ini ke Kar hehe'' lanjutnya membuat gue menelan ludah.

''Berat saingannya'' balas gue sekenanya.

''masa sih lo kalah sama Ara''

Gue berdecik, ''Ara mah kecil''

''Terus siape, tumben lo menyerah gini?''

Tanpa sadar tangan gue ngacak rambut Re, gemas. Lantas membuka suara smbil tertawa kecil, ''Tuhan dia terlalu sayang sama dia. Jadi kayaknya bakal sangat susah buat dapetin Kar''

Re terdiam beberapa saat. Lantas mengiyakan sambil tertawa kecil. Hal itu membuat gue merasa hangat. Entah walopun gue gagal mendapatkan Re tapi rasanya itu sebanding dengan semua kebahagiaan yang udah Re kasih di hidup gue. Gue nggak menyesal untuk malam ini. Gue nggak menyesal untuk menyerah. Sama seperti kata Rehan kalau perasaan yang baik adalah yang memberi kenyamanan. Tapi kalo gue bisa lebih jujur dengan pengakuan gue ke dia mungkin gue akan bilang kalau…

Padahal gue maunya lo Re…

Re…

Your god told me to hold your hand

And I promise for him to always hold your hand no matter what happens

Even I know that sometimes you will find someone who can hold your life better than me

At the time you find him

I promise to my God that I will always watching you

Like the sea look at the moon

*

Brugh!

Tangan Nuha melayang meninju Ray. Senyum di wajah Ray mendadak hilang. Sedari tadi ia menunggu kedatangan pemilik rumah ini dengan gelisah. Saat sebuah mobil memasuki halaman rumah senyumnya terkembang sempurna walopun bukan sosok Kar yang ia temui. Sayangnya, senyum itu hanya bertahan beberapa menit karena Nuha telah meninjunya.

''Brengsek lo!"

Maki Nuha sambil mencengkram erat kerah baju Ray.

Ray menelan ludah, menghirup udara untuk menenangkan dirinya. Ia tau Nuha sedang dilingkupi amarah. ''Kenapa gue brengsek?'' Ray menyernit bingung. Tak berselang lama setelah pertanyaan itu terlontar sebuah tinju melayang kembali ke wajahnya. Brugh.

Ray tak bisa menahan amarahnya akhirnya melayangkan tinju balik ke arah Nuha. Selama beberapa menit mereka terjebak dalam pertengkaran. Tak ada yang menang. Keduanya berhenti saat satu sama lain telah terlempar ke sudut yang saling berjauhan. Ray pandangi Nuha dengan senyum sinis, di sisi lain tatapan tajam Nuha mengunci pandangan mata pada Ray. Tak bisa di pungkiri kalo Nuha ketara benci dengan sosok bernama Ray.

''Gue nggak akan nyerang lo kalo lo nggak mulai duluan.'' Ucap Ray sembil menyeka darah yang mengalir di sudut mulutnya. ''Gue datang kesini baik baik. Kita udah sepakat sebelumnya tapi kenapa lo mendadak jadi anak kecil begini, Ha?'' lanjut Ray penuh kecewa.

Nuha meludah. Mengeluarkan darah yang sedari tadi memenuhi mulutnya. ''Brengsek lo! Masih berani lo menampakan diri di depan rumah gue setelah apa yang lo lakukan ke orang tua gue?''

Ray menelan ludah, menyernyitkan keningnya. ''Maksud lo apa Ha? Bukannya lo udah sepakat tentang Hubungan gue sama adik lo. Lo sepakat kalo gue akan menjaga dia selama gue bisa menahan kasus orang tua lo. Lagian gue berjanji sama diri gue buat bahagiain dia''

Lagi lagi Nuha meludah. Ia sudah tak percaya dengan semua omong kosong Ray. ''Kenapa gue harus percaya sama lo ? Kenapa lagi gue harus sepakat dengan janji yang Cuma menguntungkan lo sedangkan gue enggak?'' Nuha tersenyum sinis.

''Are you crazy or are you forget something? Kita semua untung, kesepakatan yang kita buat menguntungkan dua belah pihak. Lo dengan urusan lo dan gue dengan urusan gue''

''Cuih'' Nuha menyeka ujung bibirnya dengan jempol, ''Kalau gue untung terus kenapa orang tua gue masih masuk penjara?'' Giliran Nuha menyernyitkan kepalanya.

''They deserve it'' balas Ray. ''Sebentar kok, gue masih punya kasian buat nyokap bokap lo."

Nuha tersenyum jengah, bola matanya mengarah ke atas. Nampak frustasi ''Itu yang dinamakan untung?'' tanya Nuha penuh amarah.

Belum sempat Ray membalas, tubuhnya sudah terpental jauh karena lagi-lagi Nuha memukul, menginjak dan melempartubuh Ray hingga terpental di halaman Rumah. Untungnya ini sudah larut malam dan Kar belum juga pulang. Kaki Nuha menginjak badan Ray dengan kuat. Disisi lain ray menahan untuk tidak mengerang kesakitan.

''Bener kata Rehan kalo ternyata sepakat dengan monster adalah hal yang menyeramkan. Lo…'' Injakan kaki Nuha makin kuat membuat Ray meringis kesakitan. ''kalo aja Kar ingat lo pasti dia nggak akan mau dengan monster seperti lo. Terlebih lo adalah orang yang membuat orang tua gue masuk ke penjara. Selamat ya Ray…karena lo ada hidup gue menjadi lebih hancur dari apa yang gue duga..''

Brak!

Krek!

Entah sejak kapan posisi kini terbalik. Ray mengusai Nuha. Ia baru saja meyangkan tinju ke badan pria itu. Lantas mematahkan jarinya tanpa sengaja. ''Ada harga yang harus lo bayar ketika menginginkan sesuatu. Sorry gue baru ingat kalo tanpa jari, lo nggak akan bisa jadi apa apa. Dan ya…gue kesini mau minta izin ke lo untuk membayar biaya pengobatan Kar. You know that I will make your sister happy. I promise for that not for you or your family.''

Krek!

Ray menginjak tangan Nuha untuk kesekian kali. Ia tesenyum sinis.

''Brengsek!'' lirih Nuha sambil menahan sakit.

''Hanya orang bodoh yang percaya sama orang brengsek kaya gue. Dan ya…'' ray memutar bola mata jengah. Entah mengapa mengingat Rehan membuatnya menjadi marah. ''Sejak kapan lo mulai percaya dengan orang brengsek sepertii Rehan? Padahal dia orang yang bikin nyokap bokap lo di penjara''

Nuha dengan segala sisa tenaganya hanya bisa memutar bola mata. Lalu ia pandangi wajah Ray dengan tatapan penuh kasihan, ''Setidaknya Rehan lebih baik dari pada monster kaya lo.''

Cuih!

Tanpa pikir panjang Ray menginjakkan kakinya di atas jari Rehan. Lantas tersenyum sinis. Dalam kebisuan malam Ray telah mematahkan 3 jari milik Nuha. Tanpa pikir panjang seolah tak berbuat dosa apapun Ray membenahi pakaian lantas mengambil duduk di depan rumah Kar. Ia pandangi Nuha yang sedang berusaha bangkit dari kesakitan dengan senyum dan tatapan penuh kasihan.

Di sisi lain tanpa kedua orang itu sadari Kar melihat semua kejadian dari balik kegelapan. Ia tau bahwa bunda dan ayah di penjara, ia tau siapa Ray sebenarnya, dan ia tau sisi gelap kakaknya. Malam ini layaknya mimpi buruk yang membuat Kar ingin bangun dan lari. Sayang bukannya mimpi ini adalah kenyataan. Perlahan namun pasti ia ingin segera mendapatkan memori yang telah hilang. Ia ingin tau apa yang terjadi di masa lalu. Ia ingin tau tanpa bertanya pada orang orang yang pandai menyembunyiakan siapa diri mereka sebenarnya.

*

Langkah kaki Kar terhenti ketika matanya menangkap bayang seseorang yang sedang melihat bulan di tepi pantai. Beberapa kali Kar mengerjap heran, karena sebenarnya ini bukan hal wajar ketika seseorang mengunjungi Ancol ketika dini hari.

Sekarang pukul 3 pagi, sebentar lagi subuh datang dan fajar menyapa. Entah mengapa Kar bisa sampai di tempat ini. Jujur saja ia tak tau harus pergi kemana. Tak ada satu orangpun yang terlintas di benaknya untuk di jadikan tempat pulangnya semua keresahan di hatinya. Bahkan nama Re pun tak terpikir di kepala gadis itu. Meski berulangkali ponselnya bergetar ia lebih memilih mengabaikan itu semua dan menyelusuri malam di kota Jakarta hingga langkahnya terhenti di pantai ini.

Akhirnya Kar memutuskan mengambil duduk di tepi pantai agak jauh dari bayang lelaki asing itu. Ia biarkan seluruh badannya menangkap seluruh angin malaam yang laut berikan. Sejenak ia mengambil napas sambil memejam mata. Hamper saja menitihkan air mata kalau saja langkah seseorang tak membuatnya menjadi lebih siaga.

Ketika ia membuka mata dan memalingkan wajahnya, ia temui laki laki itu denga senyum manisnya. Lantas, ''Ara?'' ucap Kar terbata.

Ara hanya membalas dengan senyum. Lantas ia menutup mata dan menikmati angin malam sama dengan apa yang baru saja Kar lakukan. Beberapa saat hening itu Kar habiskan dengan memandangi wajah Ara. Wajah yang seharian ini mengisi mata milik Kar. Wajah yang seharian ini selalu muncul tak terduga.

Kar menelan ludah buru-buru memalingkan wajahnya ketika Ara memergoki dirinya. Di sisi lain Ara hanya bisa tersenyumdan memandangi balik wajah gugup Kar dengan senyum manisnya. Sudah lama sekali bagi Ara tidak datang ke laut. Terakhir ia datang ketika ia masih menjadi mahasiswa yang melakukan pengamatan. Itu sudah setahun yang lalu rupanya. Bukan waktu yang singkat tapi Ara cukup bahagia karena setelah sekian lama akhirnya ia bisa menyapa laut Bersama dengan seseorang yang sedang duduk di sampingnya. Seseorang yang ia rindukan lebih dari keberadaan siapapun di dunia ini.

''Emang kalo anak cewek lagi ngambek sama abangnya harus kabur kaburan begini ya?'' tanya Ara saat ponsel Kar berbunyi. Praktis itu membuat Kar harus menghela napas dan merutuki kebodohannya. Akhirnya ia tatap Ara dengan perasaan yang tak karuan.

''Sok tau'' jawab Kar ketus.

Ara hanya tersenyum. ''Terus kenapa dong malem malem dateng ke pantai sendirian kalo bukan kabur?''

''Kepo banget sih'' sewot Kar''

''Pengen tau aja sih soalnya baju yang di pake kayak kenal''

Kar menghela napas, memang susah menghadapi manusia di depannya ini. Entah mengapa tiap melihat Ara ia malah jadi ingat adegan pelukan beberapa jam yang lalu. Sial, mana rasanya masih begitu hangat. Kar menelan ludah, memberanikan bicara.

''Ya emang baju lo kali. Lagian lo juga ngapain subuh subuh gini ke pantai sendirian, mau bunuh diri lo?'' sarkas Kar tidak sadar.

Ara mengulum senyum, ia mengacak rambut Kar membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya. ''Mana mungkin gue bunuh diri saat langit segelap ini. Daripada khawatirin gue, gue lebih khwatir sama lo. Abis nangis?'' Ara menyernyitkan alisnya.

Buru buru Kar mengusap matanya, ''ngaco'' elak Kar.

''Oh…''

''Apaan sih nggak jelas Ra. Sok peduli banget sih''

Lagi-lagi Ara hanya membalas dengan mengacak rambut Kar, ''Kalo gue bilang gue peduli pun lo juga nggak percaya kan? Gue nggak suka aja sih liat cewek keluyuran malem malem sendirian.''

Kar menyernyit. "Suka suka gue dong, ini kan badan badan gue masa lo yang sewot''

''Tapi kan kalo lo kenapa napa gue juga yang susah Kar''

''Pardon?'' Kar agak syok dengan jawaban Ara. ''Lo ambigu tau nggak sih"'

Ara tak mejawab pria itu melempar pandang ke laut. Mehembuskan napas berat kemudian kembali menatap gadis disampingnya. Ia tatap lekat wajah gadis itu sambil menahan semua senyum di wajahnya. Beruntung malam ini gelap hanya diisi remang lampu di beberapa sudut pantai, sebagai gantinya wajah gadis itu telah serupa dengan rembulan di malam hari.

''Sorry ya tadi gue peluk lo tiba-tiba.'' Ara tersenyum masam.

Kar memalingkan wajahnya. Ia temukan tatapan mengunci dari Ara. Tatapan teduh yang entah mengapa membuat malam ini menjadi lebih hangat. Dari mata pria itu ia bisa lihat seberapa kosong hati pemiliknya.

''Its okay'' balas Kar tak terduga membuat Ara mengulum senyumnya. ''Mungkin lo kebawaa perasaan aja'' lanjutlar membuat wajah pria itu sepenuhnya datar. Entah mengapa untuk kesekian kalinya setelah mendapatkan seluruh tatapan Kar, Ara memilih untuk membuangnya ke lautan yang ada di depan sana. "Lo kenapa sih ngga berani natap gue?'' celetuk Kar membuat Ara hanya bisa menghela napas.

''Kalo lo kenal gue, certain aja, siapa tau itu bisa bantu gue buat mengingat lo. Lagian Ra…gue juga capek jadi orang bodoh. Di saat semua orang tau semuanya Cuma gue yang nggak tau apa apa''

Hening.

''Ra…I know you knew me. Gue tau kita pasti punya sesuatu di masa lalu. Gue tau lo bisa bantu gue buat mengingat banyak orang. Gue tau lo orang yang berbeda dengan semua orang yang kenal gue di masa lalu. Walopun gue tau lo juga menyembunyikan banyak hal dari gue tapi tetep aja perasaan gue bilang kalo lo beda Ra..''

Hembusan angin malam mengisi keheningan. Senyum tipis tergambar di wajah datar Ara. Setelah beberapa lama diam akhirnya ia membuka suara bersamaan dengan ombak yang memecah kesepian. ''Gue juga capek Kar jadi orang yang berbeda di mata lo. Di saat semua orang lo ingat kenapa Cuma gue yang nggak ada di ingatan lo?'' bibir Ara bergetar.

Kar membasahi bibirnya. Ia kehilangan semua kata. Sejujurnya ia tak bisa memilih siapa yang akan muncul di ingatannya. Tapi perlahan memang benar bahwa hanya Ara yang tidak pernah muncul di kepalanya.

''See lo bahkan nggak bisa menyangkalnya. Andai aja lo tau tiap hari gue ngikutin lo, tiap hari gue liatin lo, dari rumah, kantor, kampus sampai rumah lagi, semua gue lakukan dengan harapan lo bakal liat gue dan ingat gue walopun itu sekali. Sayangnya nihil, bukannya lo inget gue lo makin jauh dari gue.''

Kar menelan ludah, "Tapi Ra…gue nggak bisa memilih siapa yang bakal muncul di ingatan gue. Semua yang muncul murni tanpa kesadaran gue.''

''Nggak bisa memilih sama nggak punya pilihan itu beda.''

''Ra…"Kar mulai frustasi

''Pada akhirnya gue bukan pilihan kan?''

''Ra…''

Lagi lagi Kar hanya bisa menelan ludah. Belum sempat kalimatnya mengudara Ara sudah mendahuluinya. Pasti ada banyak hal yang ingin Ara sampaikan, dan sebisa mungkin untuk saat ini Kar mendengarkan itu semua. Meski pada akhirnya ingatan Kar tak kunjung tau siapa Ara senungguhnya.

''Tuhan menciptakan manusia dengan segala pilihan tapi nggak adilnya ada sisi dimana nggak semua manusia bisa jadi pilihan dalam hidup manusia lainnya.'' Lirih Ara dibarengi dengan suara debur ombak. ''Gue bukan salah satu pilihan lo, dan lo juga nggak diciptakan sebagai pilihan buat gue. Saat gue sadar kalo gue maunya Cuma lo di saat itu pula gue sadar kalo selamanya gue nggak akan bisa punya lo.''

Kar mengulum senyum, ia tatap Ara dengan tatapan teduh. ''Kalo lo anggap gue sebagai pilihan maka lo harus memperjuangkannya. Selama ini kenapa lo nggak memperjuangkan ingatan gue?'' nada bicara Kar bergetar.

Di seberang sana Ara memandang langit. Dadanya naik turun ketara mengatur napas. Angin menembus kulit, dinginnya menusuk sampai tulang. Ini nyeri tapi sebisa mungkin malam ini semuanya harus ia ikhlaskan. Sebelum perasaannya makin dalam dan makin melukai gadis disampingnya, Ara harus bisa melepas itu semua.

''Gue nggak mau egois'' jawab Ara singkat membuat Kar lagi lagi melongo dan takjub dengan pria di sampingnya.

''Egois?''

Ara mengangguk pelan.

''Egois dimananya coba. Mau seburuk apapun eksistensi lo di kehidupan masa lalu gue, dengan lo memperjuangkan itu semua gue nggak akan keberatan kok. Gue bisa maafin lo sama seperti gue memaafkan yang lain'' jawab kar makin frustasi

''gue yang nggak bisa maafin diri gue sendiri''

Kar menelan ludah mendengar jawaban Ara. Setelahnya Ara memberikan sebuah flasdisk putih ke Kar. Ia mengulum senyum, tatapannya terlihat teduh sekaligus remuk dalam satu waktu.

''Mungkin dengan ini lo akan sedikit tau seberapa berharga lo dihidup gue dan juga mungkin lo akan sedikit ingat betapa brengseknya gue di hidup lo. Ini nyali terakhir gue buat lo sekaligus malam ini gue akan menyerah dengan pilihan gue'' Ara menatap Kar makin dalam. Tangannya terkepal sempurna, padahal ia ingin sekali meraih wajah gadis itu sambil mengusapnya. Namun lagi lagi ia terbelenggu dalam dosa masa lalunya. Ara menahan itu semua dalam satu helaan napas.

''Terimakasih udah datang kekehidupan gue. Terimakasih karena sudah memberikan banyak pelajaran dalam hidup gue. Dan yang terpenting makasih karena lo udah menjadi salah satu alasan buat lilis untuk tetap bertahan sampai akhir hidupnya.'' Senyum Ara terkembang tipis.

Kar mengingit bibirnya. Entah mengapa sesak mengisi seluruh rongga dada. ''Jujur gue bingung sama semua yang lo katakan. Jujur gue nggak ngerti apa yang lo maksud. Gue nggak pernah merasa lo memperjuangkan gue. Gue nggak pernah ngerasa gue berharga kalo cara lo begini Ra…kasih gue waktu buat nginget siapa lo''

''udah cukup Kar'' Akhirnya tangan pria itu mengusap lembut puncak kepala Kar. ''Sekarang udah waktunya gue berhenti karena lo pasti pantas dapet yang lebih baik daripada pecundang kayak gue''

''Tapi ini bukan masalah pantes nggak pantes Ra…''

Ara menanggapi dengan senyuman. Tangan Ara kini telah menangkup seluruh wajah Kar. Praktis membuat gadis itu kehilangan kata. Tak butuh lama karena setelahnya sebuah kecupan mendarat dikening Kar. ''Lupain gue dan bahagia selalu…'' ucap Ara sembari memberikan tatapan yang begitu dalam.

Tangan Kar terkepal sempurna. Ia tak tau harus bereaksi apa. Ingin rasanya melempar segala tanya namun lagi lagi tatapan Ara cukup bisa membisukannya. Kar menelan ludah, suasana hening menyapa. Debur mengiasi malam menuju pagi dengan riuh yang membosankan. Kapal kapal nelayan mulai terlihat dari kejauhan. Sementara itu panggilan ponsel memecah suasana. Panggilan itu bukan berasal dari ponsel Kar melainkan milik Ara.

Kar menyernyit.

''Kar sama gue. Di ancol. Oke'' ucap Ara begitu jelas sambil menatap Kar. Setelah mematikan telfon ia bicara, ''Dari Ray.'' Ucapnya.

''Kenapa?''

Ara tersenyum, ''10 menit lagi Ray jemput lo.''

''Hah?'' Kar kaget. ''Nggak bisa lo aja yang anter gue?''

Ara memalingkan wajahnya. ''Sorry nggak bisa''

Kar menghela napas, ''Lo…''ragu ragu ia merangkai kata kata. ''Lo beneran nyerah?'' ucap Kar terbata bata.

Di sampingnya Ara hanya membalas dengan anggukan sambil memandangi laut. Helaan napas Kar terlihat ketara. Sejenak genggaman tangannya makin erat. Ia membuang segala emosi dalam dirinya dengan memandang laut di depan sana. Keduanya entah sejak kapan sibuk dengan pikiran masing masing.

Ancol hari ini sama dengan Ancol dua tahun terakhir. Saat sebuah penolakan yang mengantarkan pada perpisahan penuh penerimanaan dan perayaan tentang ketabahan. Memang benar bahwa tak semua perjuangan harus dimenangkan. Beberapa harus direlakaan dan gugur sebelum berperang.

Mau sekeras apapun berusaha

Mau sekencang apapun berdoa

Bila mana tuhan tak mengizinkan

Maka selalu kita harus belajar

Bagaimana cara untuk merelakan