"Don't fall in love with me easily, because I'm a lone wolf traveling in the wild wind."
*
Jakarta, 2021
"Gimana adek udah siap buat wawancara besok?"
Sosok Nuha muncul dari balik pintu menuju balkon kamar Kar. Udara malam ini lumayan hangat meski tetap saja bau polusi mengelilingi rumah mereka. Maklum rumah mereka tak bisa dibilang jauh dari jalanan kota. Meski begitu nilai plus yang mereka dapat adalah pemandangan malam yang cukup memuaskan.
Nuha melekatkan gelas pada tangan Kara membuat mata gadis itu membulat penuh tanya. Ia tau adiknya sedang gugup, namun kegugupan ini terasa asing bagi Nuha. "Gugup?" Nuha memastikan.
Disebrang sana Kara tersenyum lantas memeluk Nuha. Hening mengisi kehangatan dalam pelukan malam ini. Detik menggulir menit, jam terus berdetak mengetuk dinding kosong penuh kebisuan. Dirumah yang baru ini semua harapan dan doa bersatu.
Nuha mengusap rambut adiknya dengan lembut. Perlahan ia renggangkan pelukan lantas tersenyum. Tangannya menyelipkan anak rambut Kara ke belakang telinga. "Masih gugup?"
Kara menggeleng menggemaskan. "No I did not worry about anything" Kar mengakhiri kalimatnya dengan menyeruput segelas susu hangat di gelas.
"Terus kenapa ngelamun sendirian di balkon? "
Ada jeda lumayan panjang sebelum Kar menjawab pertanyaan Nuha karena ia harus menandaskan susu hangat yang Nuha buatkan untuknya. Ini kebiasaan baru bagi Nuha dan Kar, semenjak pindah ke Jakarta, malam sebelum gadis itu mengakhiri hari Nuha selalu embuatkan segelas susu hangat untuk adiknya. Sederhana namun hangat terasa.
"Kenapa kok ngelamun sendiri? Sakit? Pusing? Atau…" Nuha yang sedang memastikan harus menggantung kalimatnya karena Kara telah angkat bicara.
"I met someone yesterday and im sure you really know him"
"Who?"
"Ray" jawaban Kara singkat padat dan penuh tanya dalam kepalanya. Di sisi lain Nuha terdiam beberapa saat sambil menelan ludah. Tangannya terkepal sempurna. Ada kebencian yang menggumpal disana."Abang kenal kan sana Ray? Kara kenal juga kan sama Ray?"
Ada helaan napas panjang ketika Nuha mendengar tanya yang sama sekali tak pernah terbayang di kepalanya.
"Kenal kan?" Kar mencari jawaban dalam keheningan. Nuha masih mengatur emosinya. Sebab sebenci apapun dia dengan Ray, ada satu hal yang membuatnya tak bisa pergi dari kehidupan Ray. Bocah itu memegang rahasia besar kedua orang tua Nuha. Lagi-lagi Nuha harus menahan kebenciannya.
"Kenal" jawab Nuha singkat.
Senyum terkembang di wajah Kara. Seketika malam bersinar terang namun satu sisi hati Nuha terasa begitu gelap karena begitu banyak gumpalan kebenciian yang ia simpan untuk Ray dan Re. Kakak beradik yang begitu sialan gumamnya.
"Emmm..berarti Ray kenal sama Kara dong, kita sama sama kenal dong?"
Nuha mengangguk ragu, "Mungkin, but why you ask me this person. Something disturb you? Ray nggak ngapa-ngapain kamu kan?"
"Nggaklah"
"Terus?" Nuha antusias. Kernyitan terbentuk jelas di dahinya.
Giliran Kar menanggapi Nuha dengan senyuman jahilnya. Ia menyerahkan gelas kosong di tangannya ke Nuha. "Kemarin hujan terus nggak sengaja Ray kasih tumpangan payung buat sampe ke tempat kerja abang. Dia tau nama aku dan anehnya aku nggak tau nama dia. Aneh kan? Tapi setelah tanya begini sama abang aku jadi lega."
"Lega?" Nuha memastikan.
"Lega karena aku pikir pelan pelan ingatan aku bakal kembali normal" Kar tersenyum lantas memberikan pelukan kepada Nuha. Spontan Nuha menyernyit bukan karena pelukan tapi karena perkataan Kar.
"Kamu ingat Ray?" Nuha terbata-bata.
Hanya dengan satu gelengan kepala semua hal menjadi jelas bagi Nuha. Bagaimanapun kenangan dikepala Kara adalah hal miliknya. Ia tak berhak untuk menutupi dan membohongi gadis itu. Meskipun dalam lubuk hati seorang kakak, Nuha selalu ingin menghapus kenangan setahun silam. Karena Nuha begitu paham kalau kenangan itu serupa neraka yang paling dalam.
"Apa yang kamu ingat dari Ray?"
Kar mendongak, memacarkan senyum. "he hug me like I hugged you."
Nuha menelan ludah. Sial, dari banyak perilaku buruk yang Ray lakukan ke kehidupan adiknya kenapa moment itu yang muncul pertama kali setelah setahun berlalu. Mengapa tuhan membiarkan manusia itu masuk lewat jalur yang akan membuat banyak orang lebih terluka.
"Bang… kok diem sih?"
Suara Kar membuat Nuha kembali dalam kesadarannya. Nuha menarik senyum dengan terpaksa. Ia mengeratkan lagi pelukkannya pada Kara. Mengusap rambut legam adeknya. Sambil sesekali menghirup aroma harum yang menguap dari sana. "I just want to tell you that no one can hug you like I hugged you all the heavy day. Kamu adek abang yang paling abang sayang. Nggak ada satupun orang yang bisa sayang kamu sesayang abang ke kamu. Now you must realize, every man in your memories was died. One only man beside you is I'm. Paham?"
Kar mengeratkan pelukannya lantas berbisik pelan sambil terkikik, "Posesif banget sih hihihi, but if you are not my brother maybe I will fall in love with you hehe. at least thank you for always holding my hand. Aku sayang abang…"
Nuha tak membalas ia makin mengeratkan pelukkan. Perlahan namun pasti, waktu yang berjalan membawa kesadaran kar pergi. Gadis itu terlelap dalam posisi berpelukan. Tubuhnya masih berdiri sedang kepalanya sudah tersandar di dada Nuha. Tak ada satu orangpun yang tahu kapan gadis itu kehilangan kesadarannya. Akibat koma dan obat obatan penenang yang ia konsumsi beberapa tahun lamannya itu semakin terasa nyata adanya.
Semakin ia berusaha mengingat kenangan dan masa lalunya semakin lemah pula fungsi otaknya. Ini sudah kali keberapa gadis itu terlelap dalam posisi yang tak sewajarnya. Sering kali Nuha harus memindahkan Kara dari tempat tempat seperti balkon kamar mandi bahkan dapur menuju tempat tidur ketika ia kehilangan kesadarannya.
Beruntung hari ini gadis itu jatuh dalam pelukannya.
Hal yang paling kami takutkan dari kesehatannya adalah ketika ia kehilangan segala ingatan untuk melakukan fungsi tubuhnya. Pada tahap awal mereka akan menghancurkan ingatan penggunannya, lantas menuju keseimbangannya dan kesadaraannya. Kami berusaha sebaik mungkin namun jika tubuhnya terus menolak untuk bertahan mungkin perlahan-lahan dia juga akan lupa bagaimana caranya untuk bertahan hidup. Manusia bisa berharap, tapi Tuhan lebih tau waktu terbaik untuk setiap umatNya. Kami harap kalian bisa mengerti keadaannya. Jangan terlalu memaksa ego kalian. Dia punya waktu terbaiknya. Entah bertahan atau menyerah, kami yakin dia telah menjalani kehidupan yang luar biasa. Orang-orang tak akan tau neraka apa yang sedang ia jalani selama ini. Kita semua punya cukup waktu untuk merayu Tuhan. Enam bulan waktu yang cukup bukan?
Nuha mengangkat tubuh kar. Perlahan ia memindahkan tubuh gadis itu menuju tempat tidur. Malam ini berlalu begitu saja. Adiknya menjelma menjadi sang putri tidur dengan tenangnya. Kurcaci raksasa bernama Nuha terduduk di samping sang putri. Ia genggam erat tangan putri sambil menciumnya begitu hangat.
"Good night in a fairy"
Kamu harus tau kalau hidup kamu adalah hadiah terindah dalam hidup abang. Bertahan ya Kar.
*
Dua bulan telah berlalu sejak pertemuan Ara dengan Kar. Semuanya perlahan berlalu begitu saja. Tidak ada peningkatan dalam hubungan mereka berdua, malah memburuk setelah kepulangan dari italia. Ara tak punya cukup nyali untuk menyapa gadis itu. Bahkan dalam pesan rasanya ia hanya akan terus berani untuk bersembunyi.
Akhir akhir ini kehidupan menjadi lebih frustasi karena kebodohannya sendiri. Ara tak mengerti mengapa sampai detik ini ia tak membatalkan rencana pertunangannya dengan Lyra. Padahal ia jelas sadar bahwa di hidupnya hanya ada satu nama perempuan. Perempuan itu adalah Kar. Entah mungkin Ara yang terlalu pecundang, padahal ia bisa saja membatalkan pertunangan itu dalam hitungan detik tapi lagi-lagi untuk mempertahankan bisnis yang di rintis mama, Ara tidak bisa. Setelah kehilangan proyek kerjasama dengan Re ia tak mungkin juga kehilangan bisnis mama. Selain itu ada banyak manusia yang bergantung dari proyek kali ini jika ini di gagalkan mungkin saja ia akan membunuh banyak manusia dengan kelaparan dan kemiskinan.
Ara mengalah, dan demi kebahagian orang lain ia rela menjadi pecundang. Beruntung dalam setiap keputusan dan penderitaan Ara masih punya Rehan sebagai seorang pendengar. Seringkali di akhir pecan mereka bicara bersama, membahas tentang pekerjaan sampai hal-hal tak berguna. Hubungan mereka membaik, meski terkadang sulit bagi Ara untuk menerima Papa seperti Rehan menerima Papa. Jujur saja hati Rehan lebih luas dan penuh kebijaksanaan daripada hatinya. Bahkan terakhir kali mereka bertemu Rehan pernah bicara, "We not forever traped in sick, because we are human is normal do some mistake, is normal to sick, and s normal get trauma. But life must going on. The sin you made in the past, mistake were we do in the past is the experience make us to be better version us. Maybe sometimes we not reach our hope, is not because is too high for us but because God know that Is't the best scenario for us. Akan sangat susah menerima seseorang dengan banyak kesalahan yang mereka perbuat di hidup kita, but remember kalo orang tua lo juga individu yang nggak luput dari dosa, sama seperti lo, due dan kita."
Ting.
Bukan dering ponsel tapi dering bel makan siang.
Bel itu menyadarkan Ara dari lamunannya. Ia menilik pergelangan tangan, menunjukkan pukul 1 siang. Ara tak berselera untuk makan sebab ia terlalu bosan dengan kotak makan yang ada di hadapannya. Kotak makan itu berisi makanan yang Lyra buat. Bukan berniat jahat hanya saja dalam 24 jam harinya semua makanan yang ia makan kebanyakan adalah buatan Lyra. Belum lagi nanti malam mereka punya janji untuk makan malam bersama. Padahal hari ini perusahaan sedang sibuk. Sedang ada perekrutan karyawan dan anak-anak magang.
Ara menyingkirkan kotak makan dan memilih dokumen di sisi mejanya. Baru jalan sepuluh menit asistennya datang.
"Bos ini dokumen anak –anak magang sama yang mau daftar jadi karyawan bulan ini." Heri si asisten menyerehakan map biru di atas meja kerja.
Ara menghela napas, mengalihkan jarinya dari satu dokumen ke dokumen lain, "Saya pasrahin sama mbak Siska aja, dia lebih berpengalaman soal beginian" jawaban Ara membentuk kernyitan di wajah Heri.
"Mbak Siska nyuruh saya ngasih ini ke Bos."
Giliran Ara menyernyit tak paham, "oke…bilang aja saya sudah teliti berkasnya. Jujur saya nggak minat buat merekomendasikan seseorang. Lagian saya juga bukan psikolog yang bisa liat seseorang hanya dari fotonya. Mbak Siska lebih kompeten dari saya. "
Heri menelan ludah, "Tapi Bos biasanya penerimaan anak magang di seleksi langsung sama Bos. Tradisi Bos"
"Saya sibuk"
"Iya sih Bos, kalau gitu seleksi dokumen saja ya Bos. Nanti soal wawancara biar saya ngrayu Mbak Siska."
Ara menghembuskan napas, ia meraih dokumen. Praktis senyum terkembang di wajah Heri. "Privillage apa yang saya punya untuk calon anak magang?" Ara serius.
"Karena ini projek gabungan Nasution Group dengan Wijaya Group, privillage biasanya harus melalui keputusan bersama. Tapi berhubung nona Lyra mempercayakan project kali ini ke Bos jadi privillage penuh di tangan Bos." Heri menjawab penuh semangat, disisi lain Ara masih membuka satu persatu dokumennya.
"Terus?"
"Hmm..Privillagenya melalui seleksi ini Bos bisa langsung merokendasikan calon anak magang ke bagian yang Bos inginkan sesuai dengan analisi bos mengenai Applycation Cv mereka, dan juga mereka bisa yang bos rekomendasikan bisa melaksanakan magang tanpa training senior. Gaji, tunjangan, tunjangan prestasi dan jam kerja, bos yang menentukan."
"Itu mah keuntungan buat mereka semua, buat saya itu bukan privillage" Ara hampir meletakkan berkas dokumen di atas meja. Namun tertahan karena ucapan Heri.
"Iya sih, tapi bos selain rekomendasi dari semua applicant yang iku bos juga bisa cancel mereka. For those no reason. "
"I have no idea for this privillage. Kasih saya waktu buat mempertimbangkan mana yang seharunya interview dan mana yang seharusnya saya buang. Sekarang kamu istirahat dulu, saya mau makan siang"
Heri tersenyum semringah, "Siap bos, anyway nona perhatian banget ya sampe nyiapin bekal. Padahal sama sama sibuknya hehe. Good luck bos di tunggu babynya"
Ara tak membalas, ia meneliti dokumen dengan seksama. Pura pura mengambil kotak makan sambil berharap Heri segera musnah. Di tengah keheningan sebuah lembar membuatnya membulat mata. Bagaimana bisa semesta mengejutkan? Gadis itu, bukannya ia berada di Jerman? Gadis itu….
Applicant form
Name : Khariskara Renoir
University : Trisakti
Position : Chemical Analyst
*
Williamayomain: udah sholat ?
Khariskara Renoir : Udah. Udah ibadah ?
Williamayomain: belum hehe, capek abis packing
Khariskara Renoir: Loh mau balik ke jerman?
Williamayomain: Kalo gue bilang pasti lo nggak percaya
Khariskara Renoir: Percaya sama lo musyrik!
Williamayomain: Iyasih…gue kan mirip Yesus wkwk
Khariskara Renoir : Versi penuh bulu domba ahaha.
Williamayomain: Jahat : ( padahal beneran mau balik tapi bukan ke Jerman
Kharikara Renoir : Balik kemana?
Williamayomain: K3 H4T13 Mu3
Khariskara Renoir: Boleh, tapi syahadat dulu
Williamayomain: Boleh : )) tapi lo baptis dulu
Khariskara Renoir: ??
Williamayomain: Jadi gue mau balik ke Indonesia.
Khariskara Renoir : Serius???
Williamayomain: wkwk iya gitu deh. Intinya bentar lagi kita bakal ketemu sih. Lo masih di Jakarta kan?
Khariskara Renoir: Masih kok.
Williamayomain: Bgus deh kalo gitu, eh udah y ague masih banyak yang belum di packing. Nanti gue kabarin lagi kalo urusan dah kelar. Bye Kara : *
Kar menutup ponselnya dengan senyuman. Sore akan beranjak menjadi malam. Gadis itu masih berada di rooftop bangunan perusahaan yang baru saja menolak program magangnya tepat sepuluh menit sebelum acara tanpa ada alasan yang rasional. Langit sore ini seakan mewakilkan perasaan Kar. Sebab jingga terganti oleh mendung yang menggelapkan mata.
Kar bukan lagi anak kecil yang memangis hanya karena atu dari harapan yang ia usahan gagal di tengah jalan. Daripada menangis gadis itu memilih mensyukuri apa yang sudah berjalan hari ini. Air mata yang tadinya akan keluar sudah kering sebelum keluar. Sebab dalam hati Kar selalu ingat bahwa meski hari ini berjalan tak adil ia masih punya bang Nuha, Mama dan Papa yang mendukungnya. Pesan dari Batak juga cukup memberikan alasan mengapa ia harus tetap bahagia di sore ini. Sepertinya tak ada yang perlu kamu sesali ketika hidupmu dipenuhi dengan orang-orang yang menyanyangi kegagalanmu. Bahkan sampai semesta iri dan lagi lagi mematahkan harapamu, kamu tetap akan menjadi yang paling bahagia di antara semua hari hari burukmu.
Karena kamu disayangi maka kamu tak merasa ada yang kurang dalam kehidupanmu
Meskipun itu gagal, kamu tidak pernah kalah memenangkan hati orang yang kamu sayang
"Biasanya tempat ini jadi tempat favorit saya buat nungguin tunangan saya pulang kerja. Biasanya saya sedirian disini sampai dia datang dan menjemput saya untuk pulang. Setiap hari, kecuali hujan dan mendung saya akan kesini sendirian, tapi hari ini mendung dan saya nggak sendirian. Hai..?"
Lyra menyapa Kara. Ia datang secacara misterius ketika menumkan Kar di rooftop gedung perusahaan Ara. Alasan ia datang ke sana bukan karena ia tau siapa Kara akan tetapi karena Lyra memang punya kebiasaan seperti apa yang baru saja ia kata.
Kara menelan ludah nampak gugup sebab Lyra memang tampak elegan dan mendominasi. Ia cantik dan mempesona dalam waktu bersamaan. Gaya busananya menunjukan seberapa tinggi derajat dirinya. Bisa Kara pastikan Lyra adalah tunangan dari mantan calon bosnya. Ia mantan, karena belum juga diterima sudah ditolak magang.
Kara mengembangkan seyumnya lantas bicara, " Maaf ya saya benar benar nggak tau kalo tempat ini nggak terbuka buat umum. Sekali lagi maaf ya, kecerobohan saya menganggu waktu anda" Kar membungkuk kecil untuk meminta maaf.
"Saya nggak menyangka kamu bakal minta maaf seperti ini. Well but I just want to say your eyes kinda so pure and your smile look so bright even this day maybe hard for us. Nggak papa, saya kan nggak bilang ini tempat saya. Jadi nggak usah minta maaf,saya malah seneng ada yang nemenin saya hari ini." Lyra membalas permintaan maaf Kar dengan senyum semringah. Ia nampak tak keberatan sedikitpun meskipun tempat yang biasa ia gunakan untuk menunggu Ara dikunjungi orang lain.
Kara membasahi bibirnya, ia tatap Lyra dengan tatapan kagum sekaligus gugup. Kagum karena kedewasaan dan sikapnya serta gugup karena ini kali pertama bagi mereka. Kara mengembangkan senyumnya, "Makasih ya, kamu juga keren kok. Even this cloudly you still came here and waiting for him. Nggak banyak loh orang yang bisa menunggu hehe"
"You sound right" Lyra membalas. Mereka berdua tersenyum sambli memandangi langit Jakarta yang mendung. Dari rooftop gedung angina bertiup sedikit gaduh, mungkin hujan segera datang?
Lyra mengalihkan pandangan kea rah Kara. Dalam tanyanya ada sedikit keraguan sebelum ia bertanya, "Kamu karyawan disini?" Lyra hati-hati.
"No.." Meski sedikit mengejukan Kara menanggapi dengan tenang, "Saya sih pengennya gitu, tapi kayaknya susah deh, berhubung aplycant form magang saya di tolak, saya jadi ngga bisa deh belajar kerja di sini hehe"
Lyra menggangguk mencoba mengerti. Ia mengeratkan kesepuluh jarinya. "Jadi kamu masih kuliah?"
Kar mengangguk, "Semester 7 sih. Oiya kenalin nama saya Khariskara Renor, panggil aja Kara." Kar mengulurkan tangannya. Lyra membalasnya santai sambil tersenyum tulus. Entah karena apa mata kara selalu bisa membuat Lyra merasa damai dan tenang dalam waktu bersamaan.
"Lyra Nasution. Panggil aja Lyra"
Kar menyerngit nampak familiar dengan nama yang baru saja di sebutkan. Praktis membuat Lyra nagkat bicara sebelum gadis itu bertanya. Lama kelamaan tinggah Kara memang mirip dengan adik perempuannya yang sudah lama meninggal dunia. Kara benar benar mengingatkan Lyra dengan adiknya, mengingatkan lyra pada moment moment terakhir mereka bersama. Suasana sore ini, senyum gadis itu, serta sorot matanya adalah dupilikasi kehadiran terakhirnya sebelum melepas napas terakhirnya.
"Kamu pasty mau bilang kalau nama saya familiar di telinga kamu?"
"Daebak! You can read my mind?" Kar hiperbolis
"No.." Lyra menghela napas nampak gemas, " I just realize that im became famous in this week because my enggagment news or my coming soon wedding"
"Wahh bener sih, baru ingat namamu sering keluar di platform berita. Anyway congrats for your coming soon enggagment, saya yakin sih pria yang mendapatkan kamu adalah orang yang beruntung."
Ada helanaan napas yang terdengar jelas dari Lyra. Entah mendengar ucapan dari Kar malah membuatnya kehilangan selera untuk menerimanya. Bukan benci hanya saja apa yang ia ucapkan tak sepenuhnya benar. Selalu ada eperasaan bahwa Ara tak pernah merasa seberuntung itu mendapatkan dirinya.
Lyra terdiam beberapa saat menikmati lamunannya. Rintik hujan mulai turun . Satu persatu basah kerena tetesannya. Lyra belum sadar kalau saja Kara tidak bercelutuk layaknya anak kecil yang mendamba hujan, "Woahhh gerimis. Baunya enak "
Lyra menarik senyum, kalau dilihat kembali Kar memang semenggemaskan itu. Ia bak anak SMP yang terperangkap di tubuh gadis semester 7. Senyumnya begitu polos, belum lagi tatapannya yang begitu murni. Sempurna kecuali raut wajahnya yang pucat entah kenapa. Meski tak tau alasan mengapa perusahaan menolak gadis itu, kalau boleh menduga mungkin penyebabnya karena gadis itu tak cukup kuat untuk bekerja.
"Ujan loh" ucap Lyra masih kagum dengan tingkah ajaib Kar.
"Iya sih hehe"
"Makin deras. Kamu nggak mau pulang…?"
Lyra berhenti bicara karena Kar menatap lekat wajahnya, "Kak, saya mau tanya dong ujan kalo gede jadi apa ya?"
Seketika Lyra tersenyum. Ia melepas blazer yang ia kenakan, lantas "Ujan kalo gede jadi….." sambil memakaikan blazernya untuk menutup tubuh Kar agar tidak terkena hujan. Namun baru sebagian mata Lyra harus membulat karena kedatangan Ara.
Ara dengan setelah kemeja putih datang membawa payung untuk meneduhkan Kara. Tepat di belakang gadis itu tanpa Kara ketahui. Berulang kali Lyra menengguk ludah. Mencoba mencerna apa yang ada di depan matanya. Lalu…
"Jadi waduk bisa nggak sih?" celetuk Kar mengisi keheningan.
Sepersekian detik hanya tawa kar yang mengisi, karena merasa ada yang Aneh akhirnya Kar mengikuti arah pandangan mata Lyra. Ia membalik badan dan menemukan Ara dengan tubuh tegapnya membawa payung untuk meneduhkan dirinya dari hujan. Senyum Kar langsung hilang. Secara cepat ia tau bahwa tunangan Lyra adalah Ara. Dan kehadiran dirinya bisa saja menjadi salah paham bagi Lyra.
Kara menelan ludah, frustasi.
"Kayaknya gue mau ujan ujanan aja deh. Kak, saya pamit dulu ya hehe, see you… good luck for your wedding.. bye…"
Baru satu langkah bocah itu ngacir, tangannya telah di cengkram oleh Ara. Praktis membuat Lyra membulatkan mata. Di sisi lain Kara hanya bisa menghembuskan napas. Sial, kenapa juga bertemu dengan Ara?
Kar membalikkan wajahnya. "Anu… blazzernya besok saya balikin abis di londry ya Kak. Saya…" ucapan itu terhenti.
"Saya antar kamu." Ucap Ara tampak tidak yakin.
"Ha?"
"Kamu saya yang antar."
Kar menelan ludah, ia membahasi bibir, di tatapnya Lyra dengan tatapan minta ampun. Meski sempat berkomunikasi dan bertemu di Italia, Kar tak cukup yakin siapa Ara. Selain adik dari fanboy ganteng ia baru tau kalo Ara tunangan Lyra. Dan hubungan dengannya, Kara belum tau siapa Ara baginya.
Kara menggeleng, "Hehehe boleh sih, tapi kalian nggak keberatan kan kalo saya jajan boba dulu. Hehe gimana?"
Ara belum sempat menjawab karena Lyra mendahuluinya, "Boleh. Kamu mau biasanya beli boba dimana?"
"Ga pasti sih, tapi café tempat kakak saya kerja enak sih. Gimana kalo disitu aja? Deket kok sama rumah saya"
"Oke" Lyra tersenyum pada Kar. Setelahnya ia melempar pandang pada Ara. Mengisyaratkan sebuah kata, "nanti kita harus bicara". Tapi persetan karena bagi Ara, yang dia pikirkan Cuma Kara.
Kar saya pikir semesta merestui kita?