Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 24 - 22.00

Chapter 24 - 22.00

Jakarta, 2021

Batak tidak benar-benar menutup matanya ketika ia sedang berdoa di gereja. Padangan matanya mencuri ke arah Kar sedang duduk di bangku sebelahnya sambil memandangi megahnya gereja yang mereka kunjungi. Kar jelas tidak beribadah, ia hanya menemani Batak beribadah siang menjelang sore hari ini.

Gadis itu berbalut kemeja kotak-kotak dengan tas ransel dan jepit rambut kuning di kepalanya. Ia masih tampak manis walopun sembab jelas terlihat di matanya. Bibirnya pucat namun tiap kali Batak sengaja mengarahkan pandangan pada Kar, bocah itu masih sempat tersenyum.

"Kar…"

Batak menyudahi ibadah paginya, lantas menghampiri Kar yang tak berjarak jauh dari sisinya. Batak mengambil duduk di samping Kar. Mengembangkan senyum manis. "Lo nggak papa kan?"

Kar malah menyernyit mendengar tanya Batak, "Nggak papa kenapa?"

"soal kemarenn…"

Belum sempat Batak melanjutkan kalimatnya Kar sudah dulu memangkas dengan senyum, "Nggak papa. Nggak ada yang perlu di khawatirin. Gue fine kok" senyum Kar makin lebar.

Batak menghela napas, meski ia tak percaya sepenuhnya pada ucapan gadis di depannya. "Puji tuhan kalo begitu. Kalo ada apa apa gue bisa kok jadi telinga buat lo". Tatapan mata Batak tajam dan mengunci. Penuh dengan binar menyakinkan. Sebaliknya mata teduh Kar telihat kosong. Hanya secercah senyum yang mengisi wajah pucat gadis itu.

"Oke" Angguk kar pelan. Selanjutnya tak ada kata-kata yang keluar baik dari Kar maupun Batak mengingat keduanya sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing. Batak masih menyelami kemisteriusan senyuman Kar dan Kar yang entah mengapa masih belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi pada dirinya.

"Gue punya satu pertanyaan" Kar memecah keheningan.

"Pertanyaan ?" Batak menyernyit. Kedua alisnya tak simetris. Ia sempat menyibak rambut yang jatuh di dahinya. "What?" lanjutnya.

"Lo udah selese doanya?"

Batak mengangguk, "udah, kenapa?"

"Anu…" Kar tampak ragu, "lo mau kan doain gue?"

Batak menyernyit, tak lama karena selanjutnya ia tersenyum sambil mengusap rambut Kar. "Pastilah. Lo kan udah gue anggep kayak keluarga gue sendiri. Emang lo mau request doa apaan?" jawabnya .

Kar mendongak, ia pandangi Batak. Matanya tersenyum. "Makasih" ucapnya.

"Loh kok makasih sih, kan gue tanya lo mau di doain apaan Kara hehe. Jangankan nih doa, minta beliin pulaupun bakal gue jabanin buat lo, asal jangan minta hati gue buat lo. You know I just have one and only."

"I know kok" entah mengapa tangan Kar meraih pipi Batak. Lantas mengusapnya pelan. Seketika membuat pria itu membeku dalam senyum dinginnya. "You just have one and only and its not me. Tapi sekali lagi, lo harus janji bakal terus doain gue. Janji…?"

Kar mengarahkan kelingkingnya ke depan wajah batak. Ia ingin mengajak batak membuat sebuah janji kelingking. Tidak butuh waktu lama karena kelingking itu bersambut dengan kelingking milik Batak.

"I promise" balas batak dengan senyuman menggemaskan. Lantas ia mengangkup kelingking mereka dengan stu tangannya lagi. Ia membungkusnya dengan begitu hangat. Lantas, "tapi lo juga harus janji buat sembuh. Gue mungkin nggak agamis, tapi buat lo dengan senang hati gue bertemu dengan Yesus tiap pagi. Nggak peduli itu hujan, atau terik gue akan selalu memaksa dia buat bilang ke tuhan lo buat ambil sakit lo. Percaya ya sama gue, lo pasti bisa sembuh" Batak memangkas jarak. Tatapannya meyakinkan Kar.

Di sisi lain Kar mengigit bibirnya, sebelum Batak menyadari tangannya yang mulai begetar, Kar melepas genggaman tangannya pada Batak. Mengatur napas, lantas menarik senyum.

"Tapi kalo gue pergi duluan, kalo diagnosis dokter beneran terjadi sama gue, lo jangan marah ya sama Tuhan lo. Lo jangan marah ya sama semua usaha lo." Lirih Kar.

"Ngomong apa sih lo, ngaco banget. Lo pasti sembuh, lo pasti bertahan, gue yakin dan apa yang gue yakinin pasti akan terjadi. Lo kenapa ngomong begitu?"

Kar menunduk, "Manusia kan Cuma bisa menyiapkan kemungkinan terburuk dari takdir buruk mereka. Lagian gue nggak mau lo hidup dalam penyesalan gara-gara gue. Kadang gue mikir, gue udah di kasih kesempatan buat hidup lagi tapi malah makin bikin kalian menyesal karena keberadaan gue. Lo udah liatkan berapa banyak orang yang tersakiti Cuma gara gara keberadaan gue?" kar mengarahkan pandangan pada Batak.

Bocah itu tanpa banyak kata langsung merengkuh tubuh Kar dalam peluknya. Tangannya yang lembut mengusap rambut Kar. Beberapa kali Batak memejamkan matanya untuk menghalau air mata untuk keluar. Bahkan dalam gelap ia bisa merasakan seberapa hancur perasaan Kar. Meski tatapan mata Kar tak terdefinisikan, tetap saja ia tau kalau gadis itu sudah tak bisa menahan beban itu sendirian.

"Lo boleh kok menyiapkan kemungkinan seburuk apapun dari segala rencana lo. Tapi ingat, lo nggak boleh kehilangan harapan. Lo nggak boleh berhenti sama mimpi lo, lo nggak boleh berhenti buat percaya sama diri lo sendiri. Nggak papa buat jadi pengecut yang suka berbohong, nggak papa jadi pecundang yang suka ingkar, nggak papa… nggak semua perasaan manusia itu tanggung jawab lo. Lo ada karena harapan lo, lo hidup karena harapan lo, jangan karena harapan orang lain lo berhenti buat percaya sama diri lo. Seburuk apapun takdir tuhan, itu nggak akan buat lo hancur sehancur hancurnya…"

Batak menjeda kalimatnya, ia rengkuh tubuh Kar makin dalam. Ada tangis yang terdengar lirih sela-sela heningnya gereja. Cengkaram tangan gadis itu makin erat. Batak mengatur napas. Sesayang itu ia pada gadis di pelukannya.

"Ini berat buat lo, tapi kehilangan lo itu jauh lebih berat buat gue. Dengan lo menyerah itu hanya membuat Re makin menyesal semur hidupnya. Dia, nggak sebenci itu sama lo. Sebaliknya, dia adalah orang yang selalu nunggu kabar baik dari lo. Dia adalah sahabat yang selalu berpikir bahwa lo nggak boleh sakit karena masa lalu lo. Selalu ada hal-hal baik yang tersembunyi dari balik hal-hal yang terlihat buruk. Karena dunia punya dua sisi, karena manusia dua mata, maka nggak adil kalo kita Cuma memandang baik buruk dunia hanya dengan melihat hari lalu dan hari esok. Hari ini juga penting. Meski kita nggak tau apa yang mau kita lakuin."

Batak menghela napas. Ia menyesap aroma tubuh Kar. Membiarkan aroma itu menyesaki rongga hidungnya. Aroma yang begitu menenangkan. "Hidup hari ini, belajar untuk esok dan perbaiki masa lalu."

"Kar…?"

Hening.

Dengkuran halus terdengar begitu jelas. Batak tau kalau Kar sudah kehilangan kesadarannya. Tekanan pikiran membuat gadis itu akhir akhir ini mudah kehilangan kesadarannya. Batak pikir selama ia bersama Kar, hal itu bukan hal yang sulit. Hanya saja terkadang isi kepala gadis itu teralu sulit di tebak.

Batak merengkuh tubuh gadis itu makin erat. Ia pandangi salib dan yesus di depan sana. Sambil memeluk gadis itu, ia memejam mata. Berdoa. Berharap mimpi indah menghapiri gadis itu.

Tuhan, sampaikan pada tuhannya bahwa gadis dipelukan saya tak bersalah

Dan jika masa lalu masih menghakiminya

Saya mohon beri kedamaian hatinya

Dia rapuh

Sepanjang hidupnya hanya dibekali penyesalan

Jika bukan harapan yang menjaga hidupnya

Tolong sampaikan pada tuhannya, tangan saya masih mampu untuk menggenggamnya

Saya janji akan bahagiakan dia

Meski saya juga tidak yakin dia bisa menaruh harapan pada diri saya

*

Beberapa hari yang lalu di Jakarta

Suara piano mengalun mengiringi gerimis sore ini.Meski langit tergolong tidak mendung angin membawa rintik gerimis mengisi udara sore ini. Ara terdiam di dalam mobil. Ini hari ke tujuh ia memandangi Kar dan Ray jalan berdua. Keduanya saling dekat satu sama lain entah sejak kapan. Kar terlihat banyak tertawa sejak bersama dengan Ray. Entah mengapa hal itu hanya membuat Ara makin terluka karena menyadari bahwa ia pernah melihat tawa itu tercipta olehnya. Namun sayang kali ini keadaan berubah. Nyatanya Ara hanya bisa membuat gadis itu menangis jika mengingatnya. Tapi bagaimanapun ucapan Rehan tetap membuat Ara ingin melihat gadis itu tiap harinya. Meski harus menjadi pecundang tiap harinya.

"Dokter mendiagnosis Kar punya kerusakan otak yang membuat dia nggak punya waktu lama lagi. Nadev bilang dia Cuma punya waktu 1 bulan buat hidupnya. Gue nggak mau lo menyesal karena lo nggak ngasih tau siapa lo buat hidup dia. Lo yang bikin dia berhenti minum obat tidur, lo yang bikin dia berhenti buat konsumsi obat penenang, dan lo yang bikin dia hidup lebih baik dari sebelumnya. Lo obat buat dia meskipun di sisi lain lo juga rasa sakit buat dia." Ucapan Rehan masih terngiang di kepala Ara.

"Tapi gue nggak bisa bahagiain dia" jawab Ara.

"Setidaknya lo bisa jagain dia buat Lilis. Lo boleh egois sebisa dan semau lo, tapi lo harus inget kalo Kar pernah nyelamatin Lilis saat lilis di titik terendah hidupnya. Kita berhutang banyak sama Kar."

"Gue tau bang, tapi gue nggak mau bikin dia makin sakit karena inget gue"

"Bukannya bakal lebih gampang kalo dia nggak ingat lo. Bukannya akan lebih gampang buat lo jagain dia saat dia nggak inget lo. Gue nggak mau lo terus hidup dalam masa lalu. Lo nggak merubahnya, sekali berusaha buat mengubahnya lo Cuma bikin semuanya makin rusak. Kalian punya banyak hal baik yang bisa kalian kenang bersama, jangan karena satu hal buruk lo stuck di satu tempat."

"Ra… dalam hidup kita harus menyisihkan ruang buat memilih apa yang kita yakini. Tapi ingat nggak semua yang kita pilih bisa jadi milik kita sepenuhnya. Memilih dan memiliki adalah dua hal yang berbeda. Memiliki belum tentu bisa memilih sebaliknya memilih belum tentu bisa memiliki. Tapi dengan memilih kita selalu punya kemungkinan-kemungkinan yang membuat kita terus bisa berjalan ke depan."

Ara menghela napasnya, percakapan dengan Rehan tiba tiba sama terputar menandingi alunan piano yang terputar. Di luar hujan mulai reda. Ray dan Kar tidak terlihat lagi keberadaanya. Hanya terlihat beberapa orang lalu lalang. Sampai akhirnya mata Ara menangkap keberadaan Re yang baru keluar dari apartemen. Gadis itu menggunakan setelan coklat dengan boots yang membungkus kakinya.

Ara menelan ludah. Ia mematikan mobil, keluar lantas menghampiri Re dengan tergesa. Usahanya tidak sia-sia karena ia bisa menghentikan langkah gadis itu untuk masuk mobil yang terparkir cukup jauh dari mobilnya.

Tatapan gadis itu tajam. "Ngapain lo disini?" ucapnya sarkas. Tangannya di penuhi dengan berkas berkas yang berantakan.

"Gue mau ngomong sebentar sama lo, bisa?"

"Emang ada yang perlu diomongin lagi? Udah jelas kan kita nggak ada urusan satu sama lain. Lagin gue nggak peduli sama semua omong kosong lo, gue sibuk" Re menepis keberadaan Ara. Ia meraih pintu mobilnya. Namun lagi-lagi Ara berhasil menghentikannya.

"Sepuluh menit. Gue minta waktu lo sepuluh menit" Cengkaraman tangan Ara makin keras. Jelas ini bukan Ara seperti biasanya.

Tak butuh waktu lama untuk Re mengiyakan. Tangan gadis itu melepas cengkraman lantas melipatnya tanganya di depan dada. Tatapannya menantang dan tajam. Tubunya bersandar pada mobil. Di sisi lain Ara menengguk ludah sebanyak banyaknya. Ia masih menyiapkan keberanian. Jujur saja ia tidak tau apa yang harus ia katakana pada gadis di depannya. Sejak ciuman satu tahun silam telah banyak kesalahpahaman yan harus di jelskan.

Ara jelas merasa bersalah.

Hening.

"Sorry" kalimat itu terlontar pertama kalinya. Hanya mendapat ekspresi mencemooh dari Re.

"Anjing. Lo pikir gue berdiri di sini Cuma mau dengeri kalimat sorry dari lo. Gue sibuk, dan sorry nggak akan bayar semua waktu yang gue kasih ke lo. Kalo nggak ada yang mau lo omongin lagi, please let me go. " Re hampir menarik pintu mobilnya namun lagi-lagi Ara menghalangi. Kali ini bola mata Ara menghitam sempurna. Tangannya terkepal, hingga urat-urat tangannya terlihat begitu jelas. Ara sedikit demi sedikit terlihat menakutkan.

"Lo kalo mau gampar gue, gampar aja" celetuk Re meremehkan. Ia tak sengaja memandangi kepalan tangan Ara. "Cepet deh apa mau lo anjing" lanjut Re enteng.

Untungnya suasanya sedang sepi dan entah mengapa orang-orang menghilang entah kemana. Hanya tersisa Re dan Ara serta emosi keduanya. Ara masih menahan napasnya sembil mengatur emosinya untuk menghadapi Re. Sampai akhirnya napas itu berhembus dengan berat.

"Tampar gue kalo itu bisa bayar semua waktu yang lo" ucap Ara.

Re menyernyit, "Oke kalo itu mau lo" balasnya enteng.

Plak!

Tak butuh waktu lama sebuah tamparan mendarat di pipi Ara. Tamparan yang begitu keras hingga jejaknya masih tersisa di sana. Ara menyeringai kesakitan, ia mencoba untuk tidak mengeluh. Perih menjalari wajahnya.

"Puas?" ucap Ara.

Re hanya membalas dengan seringaian. "Nggak sebanding dengan apa yang udah lo lakuin ke gue. Nggak sebanding dengan apa yang udah lo lakuin ke Kar. Pencundang kayak lo memang pantas dapat itu."

"Gue memang pantas." Ara mengulum senyum. "Tapi setidaknya gue sudah meminta maaf ke lo."

"Minta maaf yang terlambat maksud lo? Setelah semua kesalah pahaman yang lo taburkan diantara gue dan Kar? Jangan ngaco lo bangsat. Gara-gara lo gue harus kehilangan sahabat gue, gara-gara lo dia harus nanggung semua penderitaan sendirian. Seenggaknya kalo lo nggak bisa bikin dia bahagia, nggak usah datang dan bikin dia sakit lagi. Baik lo atau gue, apa gunanya kita di kehidupan dia. Kita semua sampah buat dia. Dan semua sampah ini gara gara lo!"

Ara menghela napas, menghembuskannya begitu berat. Ia mengulup senyum. "Semua salah gue. Satu hal yang lo perlu tau kalo gue juga melakukan itu semua demi menyelamatkan keluarga gue. Tapi ternyata nihil, semua yang gue lakukan sia sia. Keputusan yang gue pilih layaknya anak panah dua arah. Gue ngehancurin Kar dan buat keluarga gue sia sia. Gue menyesal karena kesalahan gue."

"Lo pantas dapet itu" Re menyeru

"Bener kata lo" ucap Ara pasrah. "Udah bukan waktunya lagi gue buat mengeluh hal itu. Bagi lo mungkin masalah ini udah basi, tapi setidaknya gue mewakili keluarga gue mau minta maaf secara tulus ke lo. Re.. gue tau lo setahun ini pasti sudah banyak mengalami hal hal sulit karena kebodohan keluarga gue. Gue minta maaf."

Re hanya tersenyum sarkas. Bola matanya berputar jengah. "Nggak ada orang waras yang nyium sahabatnya pacarnya di depan mata pacarnya sendiri. Sampah lo, masih berani minta maaf"

Ara tersenyum, "Gue emang sampah kok. Dan hari ini sampah di depan lo mau ngasih tau kalo gue juga akan ngejelasin kesalah pahaman ini ke Kar."

Re menyernyit, kaget. "Gila lo. Lo mau paksa di inget lo? Itu Cuma bikin dia sakit, bangsat"

Ara menyeringai, "Gue nggak paksa dia inget kok, gue Cuma kasih tau hubungan kita yang sebenernya kayak apa. Itu mau lo kan?"

"tapi…"

"Tenang gue nggak akan lebih kok. Gue tau batas.. dan juga…" Ara menelan ludah. Ia tatap wajah Re dengan tatapan tajam. Ada keraguan untuk mengucapkan apa yang berproses di kepalanya, namun tak butuh waktu lama akhirnya kalimat itu keluar dengan keyakinan sepenuhnya. "Gue rasa lo perlu tau, kalo ngehindarin Kar bukan cara terbaik buat bikin dia baik baik aja. Dia jelas butuh lo, dan ngejauhin dia bukan pilihan yang tepat buat kebaikan dia"

"Tau apa lo anjing" sarkas Re masih mencemooh.

Ara mengulum senyum, "Dia Cuma punya waktu sebentar, kerusakan otaknya bisa aja makin parah. Dokter bilang…"

"Omong kosong" Re menukas. Ia menjambak rambutnya frustasi. "Lo jangan ngadi-ngadi. Lo pikir ini lucu?!"

"Gue serius, Re…"

"Gue…"

Belum sempat Ara melajutkan kalimatnya, ia harus terhenti karena pintu mobil tiba-tiba terbuka. Dari balik pintu muncul sosok Kar yang entah sejak kapan berada di mobil Re. Gadis itu dengan dress putihnya keluar dengan senyum dan tatapan yang tidak terdefinisikan. Mungkin ia mendengar semua percakapan Re dan Ara mungkin juga tidak. Hanya saja wajah gadis itu ketara menyembunyikan sesuatu. Itu tandanya ia mendengar keduanya sendang membicarakan dirinya.

"Kara..?" Re gagap

Di sisi lain Ara terdiam lama, ia pandangi wajah gadis itu. Tanpa kata. Ketiganya mendadak terperangkap dalam atmosfer hening. Sampai akhirnya batak datang dan memecahkan suasana.

"Kar, kaki lo udah nggak papa kan? Ini gue baru…loh.." Batak yang tadinya ceria hanya bisa melongo menyadari keberadaan Ara. Batak tak menduga selain bertemu dengan Ray hari ini ia juga akan bertemu dengan Ara. Tadinya Re mampir secara diam diam untuk mengambil dokumen di apartemen Ray. Sialnya saat sedang menggeledah Ray pulang. Di sisi lain keberadaan Kar di mobil adalah ulah Batak. Kar terpeleset, karena gerimis Batak meneduhkan Kar di mobil Re.

"Loh…"

Ara mengabaikan telunjuk batak, ia menuju Kar dan mengamati pergelangan kaki Kar. Spontan ia memasang raut khawatir, "mana yang sakit? gue bantu…"

"Nggak usah!" Kar menangkis tangan Ara. Ia membuang muka. Lantas meraih ponsel dan menelfon nomer seseorang. Jelas itu membuat Ara cengo dan makin khawatir. Sayangnya di tengah kekhawatiran itu tiba-tiba saja Ray muncul. Ia langsung menuju Kar dan mengabaikan Re begitu saja.

"Kok nggak bilang sih." Ucap Ray khawatir. Ia mengabaikan keberadaan siapapun termasuk Ara. "Saya obati ya.." Ray meraih tubuh Kar. Ia membopong gadis itu menuju apartemennya untuk di obati. Sebelum beranjak pergi, ia pandangi Ara dengan tatapan penuh kemenangan. Mungkin bila diartikan seperti ini, "dia milik saya".

Sayangnya Ara hanya diam. Diam dengan kepalan tangan. Benar kata Re kalau mereka berdua mirip dengan sampah. Sampah yang mungkin hanya akan mengotori tubuh Kar. Sejenak dalam detik di kehidupan Ara, ia mungkin merasa bahwa ia harus menyerah menuruti kemauan Lilis. Sebab Kar sudah punya seseorang yang bisa menjaganya.

*

Sore ini Re memutuskan untuk tidak beranjak dari apartemennya. Ia banyak berdiam diri sambil merapihkan dokumen yang sengaja ia siapkan untuk urusan perubahan kewarganegaraannya. Ya, Re memutuskan untuk merubah kewarganegaraannya dan tinggal di Jerman. Sayangnya ucapan Ara tempo hari membuat keputusannya harus di pertimbangkan ulang.

Re benar-benar tak mau terkejut tapi ucapan Ara memang sama persis dengan apa yang Nadev katakan beberapa waktu yang lalu. Kar Cuma punya sedikit waktu untuk mempertahankan hidupnya, dan Re pikir dengan tidak mengingat setahun yang lalu Kar bisa hidup dengan lebih baik. Re tidak tau kalau gadis itu telah melalui banyak waktu sulit bahkan sebelum kedatangannya ke Bogor setahun silam. Kerusakan otak itu sudah meradang begitu lama, sekarang gadis itu Cuma punya sedikit waktu dari apa yang dokter harapkan.

Detik ini memori Re berputar pada setahun silam dimana Kar selalu menyembunyikan tangannya yang terluka di balik lengan panjang. Kar selalu bilang kalau itu ulah kucingnya, padahal ia tak punya kucing dirumahnya sebab Nuha punya alergi. Ia juga sering berbohong perihal obat obatan penenang yang ia sembunyikan dalam botol vitamin. Sejak SMA ia sering mimisan, dan Re pikir semua itu wajar karena Kar selalu menghabiskan malam untuk mengejar keterlambatannya dalam belajar. Gadis manis yang tidak pernah mengeluh tentang hidupnya ternyata dia menyembunyikan bom besar dalam kehidupannya.

Just Re: Ada yang pengen gue omongin sama lo

Georgio Ray : Ok. Kapan? Dimana?

Just Re : Nanti malem. Nanti gue kirim detailnya

Georgio Ray : oke deh. See you

Re tak berselera untuk menjawab. Untungnya pintu terbuka sesaat setelah Re meletakkan ponsel. Re bisa menebak siapa yang datang, hanya saja seseorang itu datang dengan seseorang yang tak terduga di sampingnya. Kar dengan ransel dan kemeja kotak dan jepit rambut kuning di kepalanya.

Lagi-lagi Re hanya bisa menelan ludah kikuk. Semesta memang suka sekali bercanda terhadap hidupnya. Bagaimana mungkin ia bisa siap untuk bertemu dengan gadis yang telah menanggung banyak becana yang disebabkan oleh keluarganya?

"Duduk dulu, gue ambilin minum sebentar." Batak memacahkan suasana. Re masih terdiam sebaliknya Kar menarik senyum manis di ujung pintu. Kar mengambil duduk di atas sofa. Jarak Re dan Kar yang terpaut beberapa meter. Canggung.

"Mau minum apa?" Batak mencoba mencairkan suasana. Ia sibuk membuka lemari pendingin yang jelas-jelas kosong dan hanya menyisakan botol air menieral. "Es teh, es marjan, kopi, the tarik, milk tea atau—" Re melampar tatapan tajam. Sontak membuat Batak meringis. "Sorry, we just have air putih. Tapi ga papa kalo Kara pengen sesuatu kita bisa deliv. Gimana?"

Kar hanya membalas dengan senyum. "Air putih aja" balasnya.

"Oke" Batak mengangguk. Beberapa saat setelah menemukan botol mineral dari dalam lemari pendingin ia menatap Re dari kejauhan. "Nanti abangnya bakal jemput dia sepuluh menit lagi. Kar kesini karena pengen liat lo sebelum lo flight ke Jerman."

Re tak membalas, ia membuang muka. Mengalihkan pandangan ke kaca jendela apartemen miliknya. Di sisi lain Kar masih memandangi Re dengan penuh senyuman. Entah apa yang gadis itu sembunyikan.

"Re" ucap Kar membuat Batak membulatkan matanya. Awalnya ia ngin mencairkan suasana kembali mengingat baik Re dan Kar pasti tak mau bicara satu sama lain. Tapi, semesta membuat Kar bicara lebih dahulu. "Sorry, soal kemaren. Gue nggak sengaja denger pembicaraan kalian. Sorry juga udah masuk mobil lo tanpa izin."

Hening.

Re tak membalas di ujung sana.

"Re… " Kar beranjak menghampiri Re. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik ranselnya. Lantas mengembangkan senyum lebar, meski ia tau senyum itu hanya bisa ia perlihatkan pada punggung sahabatnya itu. Kar menepuk pundak gadis itu. Kemudian memberikan sebuah kotak berisi hadiah kepada Re. "Last gift form me." Lanjut Kar hanya di balas dengan wajah datar Re.

Re menelan ludah. Ia terima kotak itu, lantas membukanya.

"Maksud lo apaan?" kernyitan di dahi Re sempat membuat batak was-was di ujung sana. "MAKSUD LO APAAN?!"

Teriakan Re membuat Kar begetar. Sayang gadis itu hanya bisa mengigit bibirnya erat erat. Ia tak punya kuasa lebih. Ketakutan menyelimuti dirinya.

���LO MAU GUE MATI?!"

''LO MAU GUE MENYUSUL LILIS?"

"LO MAU GUE—" Re meraih bahu Kar. Menjalarka segala kebingungan di kepalanya. "Jawab Kar, apa maksud lo kasih begini?!! Lo mau gue…"

Re tidak melanjutkan kalimatnya. Tangannya sudah sempurnya melempar kotak itu. Membuat semua isinya tercecer berantakan. Batak yang melihat itu semua hanya bisa terdiam. Diam karena bingung siapa yang harus ia bela. Di sisi lain Batak mencintai Re di sisi lain Batak menyanyangi Kar.

"JADI LO MAU GUE MATI?! Lo mau gue nebus semua yang udah gue lakuin ke lo gitu?!"

"LO…"

Re berhenti meneriaki Kar. Gadis itu setelah sekian menit menahan air mata akhirnya tumpah juga. Bibir gadi itu begetar, matanya sembab dan wajahnya pucat. Ia seperti manusia dengan segala ketakutan yang mengelilinginya. Matanya terarah pada kotak yang baru saja Re buang. Kotak itu adalah hadian darinya. Kotak itu berisi foto-foto kenangan Kar dan Re serta sebuah buku yasin. Kar sungguh tak pernah berpikir bahwa Re harus mati terlebih dahulu malah ini sebaliknya.

"Gue nggak mau lo mati" ucap Kar.

"Terus kenapa lo…" Re kehabisan kata.

"Sebaliknya gue yang takut mati. Setakut itu gue dengan kematian sampe gue tau apa lagi yang bisa gue lakuin buat hidup gue. Dokter bilang umur gue nggak akan lama lagi, bisa aja hari ini, besok atau nanti gue udah nggak ada lagi." Kar mengehela napas, " I know I hurt you, I know I mess up your life, and I know you didn't gave me chance to apologize. But at least I try, i don't wanna go with regret. Gue mau pergi dengan tenang." Kar mengusap air matanya."Gue pengen pergi dengan semua ingatan yang gue punya. Entah itu baik, buruk, senang, terluka dan menyakitkan gue ingin pergi dengan itu semua. "

Re masih terdiam. Ia mengatur napasnya. Mendadak dadanya sesak. Diujung sana batak masih menahan diri untuk tidak merengkuh Kar dalam pelukannya. Ia paling tau gadis itu sedang rapuh.

"Re…"

"Gue takut mati, tapi gue lebih takut lo nggak inget gue. Gue emang nggak bisa cerita semua hal ke lo, tapi makasih udah mau menerima gue. Makasih karena sampe detik ini udah berusaha buat tetap ngedengerin gue…makasih" Kar membungkukan badannya. Lima detik karena setelahnya Re meraih bahu Kar.

"Kar" Re menatap mata sahabatnya. Lantas menggambarkan senyum tipis. "Gue udah maafin lo kok. Bahkan jauh sebelum hari ini datang. Lo nggak jangan pergi dulu, lo nggak boleh pergi dulu. Nggak ada yang ngizinin lo buat pergi dulu sekalipun Tuhan. Karena lo sahabat gue, lo harus sembuh. Ngerti?"

Kar mengangguk pelan.

"Maaf karena ego gue lo harus berpikir lebih jauh." Tatapan Re begitu tajam. "Gue nggak mau lo pergi. Gue nggak mau lo mati. Buang semua pikiran buruk lo, karena lo pasti akan baik baik saja. Ngerti?"

Kar mengigit bibirnya. Tak ada kata yang bisa keluar. Ia menahan air matanya untuk tidak keluar. Hening menyelimuti keduanya. Sayangnya tak berapa lama, kedatangan seseorang harus melepas segalanya. Kedatangan itu adalah milik Nuha. Entah sejak kapan dirinya sudah di ujung pintu terbuka. Seperti biasa wajahnya akan terlihat dingin terlebih ketika melihat manusia bernama Re.

*

"Adek turun duluan. Makasih udah jemput adek"

Kar melepas seatbelt dengan tergesa. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah keduanya memang memilih untuk diam. Baik Nuha maupun Kar tidak ada yang ingin bicara. Helanaan napas satu-satunya yang membuat mobil terasa lebih hidup.

"Sebentar" ucap Nuha membuat Kar mengurungkan niat untuk membuka pintu mobil.

"Kenapa bang?" Kar menyernyit heran. Matanya masih ketara sembab. Beberapa hari setelah Kar tau diagnosis dokter tentang dirinya, ia menjadi lebih murung. Sering kali malam berlalu dengan isakan tangis gadis itu. Nuha jelas khawatir namun ia tak bisa berbuat apapun selain membiarkan gadis itu menangis. Terkadang ia memeluknya namun terkadang ia sibuk menutupi hal buruk lain yang tidak boleh Kar ketahui. Ini tentang kasus orang tua mereka.

"Kamu nggak papa kan?" tanya Nuha penuh keraguan.

Senyum Kar terkembang hambar. "Kalo aku bilang nggak papa itu namanya aku bohong, kan? Lagian abang paling tau aku akhir-akhir ini nggak bisa baik-baik aja. Maaf ya bang jadi ganggu kerjaan abang" Kar mengakhiri kalimatnya dengan mengigit bibir.

Nuha menghela napas. Ia mengusap puncak kepala Kal. Mencoba menarik senyum meneduhkan meski terpaksa. Anggaplah semuanya baik-baik saja walopun dunia ini sedang hancur-sehancur hancurnya. Nuha ingat, bahwa selama gadis itu masih tersenyum di depannya maka selama itu ia masih punya sesuatu yang untuh untuk ia jaga.

"Oke, take your time. Jangan lama-lama karena itu nggak baik buat kesehatan kamu. Jujur abang khawatir sama kondisi kamu akhir akhir ini. Maaf juga akhir-akhir ini abang kurang perhatiin kamu karena banyak hal yang harus diurus."

Ucapan Nuha berbalas senyum manis, "aku tau kok bang" balasnya.

"Makasih udah ngertiin abang."

Kar hanya membalas dengan anggukan. Kemudian hening kembali. Kar memecah keheningan dengan membuka pintu mobil, namun belum juga Kar meraih kanopnya Nuha lagi lagi menghentikan dengan perkataannya.

"Adek jangan nyerah ya. Kita pasti bisa laluin ini semua sama –sama."

Padangan mata Nuha mengunci mata Kar. Di sisi lain senyum Kar terkembang sempurna. Gadis itu mengangguk penuh keyakinan. Lantas memeluk Nuha. Ia tepuk punggung abangnya dengan penuh kelembutan. Tak lama karena setelahnya Kar melerainya.

"Pasti." Ucap Kar penuh keyakinan. "Bunda sama ayah kapan pulang?"

Pertanyaan Kar membuat Nuha ingin mengutuk dirinya sendiri Pagi ini Nuha masih berusaha membuat orang tua mereka jauh dari status tersangka. Sayang, seluruh bukti menunjukkan bahwa kedua orang tua mereka bersalah. Baik Dinda Juang dan Arka Renoir terlibat dalam peredaran obat dan vaksin palsu yang di edarkan secara illegal. . Bagaimanapun ia tak bisa menjawab apa yang sebenarnya terjadi pada orang tua mereka. Ini hanya akan membuat pikiran Kar terlalu kacau. Sebisa mungkin ia harus menyembunyikannya.

"Bang?"

Kar menyadarkan Nuha. "Bunda sama ayah kapan pulang?"

Nuha mengigit bibirnya, ia mengusap puncak kepala Kar. Mencoba mencari celah untuk berbohong. "Dua minggu lagi" ucapnya penuh kebohongan.

"Kita susulin aja ke semarang?"

Nuha terdiam beberapa saat. Kenyataan Semarang bukan lagi rumah bagi keluarga mereka. Rumah yang tersisa sekarang adalah apa yang ada di depan mata mereka. Kondisi ekonomi mereka benar-benar buruk. Akan lebih buruk jika media menyiarkan kasus orang tua mereka.

"Anuu…bukannya kamu harus istirahat?"

"iya sih tapi kan nggak sekarang juga."

Nuha tersenyum, "iya tapi kan kamu harus istirahat. Jakarta semarang jauh loh dek. Abang nggak mau kamu makin sakit. Lagian temen kamu dan udah di sini semua"

Kar menyernyit, "Re maksud abang?"

Nuha menggaruk tengkuk rikuh. "Iya" ragu-ragu Nuha mengiyakan.

"Hehe iya sih, tapi kan dia mau balik ke jerman"

"No. Dia bilang bakal stay di sini"

"Serius?" Kar tak percaya. "Tadi Re bilang gitu sama abang?"

Nuha mengangguk. Tak mau banyak bicara tentang gadis itu. Beberapa jam yang lalu mereka sempat bicara satu sama lain. Meski tak masuk akal dan dipenuhi dengan kebencian, Nuha berusaha menerima Re. Semua demi Kar. Bagaimanapun apa kata gadis itu ada benarnya.

"Gue nggak maksa lo buat maafin gue. Tapi please kasih gue kesempatan buat ada di sisi adek lo. Gue sahabat dia, gue nggak mau dia merasa sendirian di saat dia nggak punya apa-apa yang bisa buat di percaya dengan hidupnya. Gue tau lo benci sama gue bang. Gue tau lo sengaja bikin gue nggak tau kabar Kar selama setahun terakhir, itu pasti lo lakuin buat kebaikan Kar. Gue coba mengerti tapi akhirnya gue salah, dia butuh gue, dia butuh kita, meskipun bakal sulit buat menerima apa yang udah terjadi setahun silam."

"Dia bilang dia takut sendirian. Dia bilang dia takut mati dan nggak inget apa-apa dalam hidupnya. Gue percaya kalo lo adalah orang yang baik, jadi izinin gue buat ada di sisi dia. Nuha…lo nggak akan egois lagi kan?"

Kata-kata Re masih berputar di kepala Nuha, padahal Kar sudah masuk ke dalam rumah. Suara mesin mobil masih terdengar begitu berisik mengisi kekosongan. Hanya ada Nuha di dalam mobil, di temani dengan remang lampu dan perkataan Re di kepala. Kepala Nuha ingin meledak.

Dua saudara itu benar-benar menghancurkan hidup adiknya.

Brak!

Nuha frustasi ia memukul stir mobil. Melampiaskan kemarahannya. Kenapa Juga ia membiarkan Re dan Ray kembali masuk ke kehidupan adiknya. Kenapa Juga ia harus menuruti keduanya. Mereka berdua memang manusia yang pintar menggunakan kelemahan dirinya. Sial, dua brengsek itu telah membuatnya bertekuk lutut dalam perintah.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk menggetarkan ponselnya. Nuha mengepalkan tangannya.

Rehantrulala : Gue di Jakarta. Ada yang pengen gue omongin ke lo.