Jika manusia hidup penuh dengan keberanian
Maka manusia tidak akan belajar bagaimana cara untuk tetap bertahan
Jika hidup manusia penuh dengan ketakutan
Maka manusia hanya akan belajar bagaimana cara membekukan kenangan
*
Malam ini hujan nggak turun seperti malam malam kemarin. Gue telah menamatkan satu album milik DPR Live saat mobil gue telah terpakir di basement apartemen milik Ray. Entah apa yang membuat gue memutuskan untuk menemui Ray malam ini. Mungkin karena Kar, mungkin karena Rehan, mungkin karena Nadev, Batak, Nuha atau mungkin juga karena diri gue sendiri. Tapi yagian dalam diri gue masih belum ada ruang dimana gue bisa memaafkan Ray setelah apa yang dia lakukan ke gue dan sahabat gue.
Gue benci banget sama orang yang bohong. Gue benci banget sama orang yang bikin teman gue yagi kehilangan hidupnya. Ini mungkin terdengar klise tapi bagi gue sosok kakak yang gue kenal sudah mati semenjak dia pergi dari rumah tanpa memberikan penjelasan apapun.
Setahun menghilang, setahun menghindar ternyata belum cukup buat gue menerima apa yang sudah terjadi. Gue belum bisa menerima semua kesalahan yang Ray perbuat. Padahal seharusnya malam ini gue sedang bersiap untuk melakukan penerbangan menuju Jerman, sayangnya yang gue lakukan malah menjadi manusia bodoh yang berdiri di depan pintu apartemen milik bajingan bernama Ray.
Sambil mengatur napas, pikiran gue masih menelusuri segala alasan paling masuk akal mengapa gue masih bisa berdiri dengan bodohnya di tempat ini. Jakarta yang ramai mendadak menepi menjadi lautan penuh kesunyian. Bunyi kendaraan dan bisingnya lalu lintas hanya berlalu bak detak jantung yang terus berdedak. Semua menyatu dalam kesunyian, kecuali pikiran. Sejenak gue memejam mata sebelum menghela napas panjang ketika hal yang pertama kali muncul di benak gue adalah Kar. Senyum gadis itu entah mengapa menjadi satu satunya alasan paling masuk akal yang membawa gue sampai di tempat biadab ini.
Selama ini gue salah paham tentang Kar. Banyak hal yang nggak gue ngerti dari bocah itu. Gue kira hidup dia baik baik saja bahkan sebelum Ray menghancukannya. Akan tetapi semua salah. Nggak ada yang bener bener baik baik saja dengan diri dia. Bahkan sama sepertii gue dia juga manusia yang tidak sederhana, banyak hal yang ia sembunyikan. Sama seperti milik gue, pikiran dan perasaannya begitu kompleks untuk di jelaskan bedanya ia menyembunyikan semua itu yagi 90 persen dalam lekuk senyumnya. Kar mungkin pantas untuk di juluki si gila yang pandai berpura pura.
Ting.
Pintu terbuka menampakan sosok Ray entah sejak kapan sudah ada di depan sana. Sedikit gue berdecik kesal ketika menemukan wajah Ray. Tanpa banyak kata gue menerobos masuk ke dalam apartemen sambil mengatur emosi yang memenuhi diri.
Rasionalnya gue butuh waktu yang lama untuk membiasakan pertemuan dengan Ray, terlebih perasaan gue adalah perasaan yang sudah hancur dan susah untuk di atur. Bertemu dengan Ray membuat semuanya makin hancur. Sayang gue nggak punya banyak waktu untuk menunggu perasaan gue bisa tertata rapih hanya untuk sekedar berbicara dengan Ray. Gue tidak ingin menghabiskan waktu gue hanya untuk seorang pecundang seperti Ray. Gue masih punya Kar yang mungkin saja nggak bisa gue lihat wajahnya dalam waktu yang lama lagi. Mau nggak mau gue memang harus bicara dengan Ray.
"Mau minum apa?" ray memecah kesunyian.
Gue masih bergeming tak menanggapi yagian yang ia tawarkan.
"Air putih? Es I? Jus? Ah…"dia menggaruk rambutnya rikuh lantas tensenyum" the botol kan…lo suka the botol kan" Ray lantas menuju pantry untuk melihat isi lemari pendinginnya. Gue masih bergeming. Sebenarnya gue tau kalua dalam lemari dingin itu tak ada satupun nama minuman yang ia sebutkan. Bahkan mungkin air putih pun ia tak akan pernah berani singgah disana.
"Sorry kayaknya nggak yagia Re. gue turun dulu ya beliin the botol buat lo. Lo masih suka the botol kan?"
Lagi-lagi Ray tersenyum manis. Itu membuat gue muak.
"gue beliin bentar ya Re.." Ray hamper meraih gagang pintu ketika suara gue keluar menghentikan langkahnya.
"Nggak perlu. Gue nggak haus. Lagi pula gue kesini bukan buat numpang minum, gue bisa beli minum sendiri."
Ray menaikan alisnya. Tak lama karena selanjutnya ia tersenyum dan perlahan melangkahkan kaki ke arah gue. Dia mengambil duduk tanpa komentar. Perkataan gue benar-benar seperti mantra sihir yang tak terbantahkan olehnya.
"Ada yang pengin gue omongin sama lo" ucap gue sambil menengguk ludah.
Ray menaikan alisnya, wajahnya masih tenang. "Lo udah bilang itu. Wajah lo udah bilang itu dari tadi." Selesai kalimat itu Ray tersenyum lantas, "Gue seneng lo nggak balik ke Jerman. Gue seneng lo ada di sini, seneng karena lo ada di depan gue. Walopun gue tau lo ke sini bukan karena pengin ngomong lo nggak jadi balik Jerman karena gue tapi setidaknya gue seneng lo masih di sini."
Gue menelan segala kepahitan. Membiarkan mereka tercampur dalam kerongkongan Bersama dengan rasa muak yang enggan keluar. Kedua bibir gue mendadak bisu.
"Lo masih marah sama gue?"
Lagi-lagi Ray memecah keheningan.
"Gue rasa gue nggak perlu jawab pertanyaan lo, karena gue dating kesini bukan mau ngomongin kita. So.."belum sempat gue melajutkan kalimat Ray memotongnya dengan senyuman miris.
"No Re.. I have waiting for a long time for this. Gue nggak bisa biarin momen ini hilang begitu aja. Ada banyak hal yang pengen gue jelasin ke lo, ada banyak hal yang pengen gue certain ke lo, dan masih banyak hal yang pegen gue kasih ke lo sebagai seorang yang pernah terikat dalam ikatan keluarga. Sekarang di posisi hidup lo gue masih jadi seorang kakak, kan?"
Gue mengigit bibir, menjawabnya penuh getir. "Gue nggak pernah punya abang dalam hidup gue."
Jawaban gue membuat Ray menarik senyum miris. Beberapa kali ia terlihat menghela napas. Tanganya ia genggam erat seperti sedang menahan sesuatu.
''As expected, jawaban ini sudah gue bayangkan semenjak setahun yang lalu. Gobloknya gue masih pengen denger langsung dari lo. I know it's my worse. Gue nggak akan melakukan pembelaan atas apa yang udah gue lakuin di masa lalu. But I just want you know that you always be my sister after and before the strom. Badai apapun yang lo lalui gue akan selalu jadi apa pun yang ada di sisi lo. Bukan sebagai keluarga yang Cuma bisa menyakiti lo tapi jadi apapun yang lo butuhkan Re.."
"But you are the strom. I don't need the strom. You just anything that I never need, that I never want, but you always come like a nightmare. I hate you more than anything I need. You are the bad thing that God makes"
Ray menelan ludah. "I know its kinda like so bad but another side strom make you strong"
"Gue nggak butuh buat jadi yang paling kuat bang, yang gue butuhin sat ini adalah orang yang selalu ada disisi gue. Nggak peduli berapa kalipun gue pikir tentang lo, selalu gue nggak pernah menemukan lo di momen momen terindah hidup gue. Sekalinya lo ada semuanya langsung rusak."
Ray mengigit bibirnya. Memutar bola matanya sambal menahan amarah dalam dirinya. Mendadak ia tak menyangkal perkataan gue. Mendadak ia terdiam. Mungkin mengaminkan apa yang gue yagia.
"Bukannya gue nggak mau maafin lo. Bukannya gue nggak punya tempat buat lo lagi tapi nyatanya dari dulu lo nggak pernah ada di hidup gue. Di momen dimana gue selalu berharap lo ada disisi gue di momen itu juga lo ngilang. Udah banyak momen yang lo kecewain bang, sampe gue nggak ngerti harus kecewa, marah atau sedih. Nggak ngerti lagi harus menempatkan lo dimana."
"But, I have …"
" I know bang. But I don't wanna hear your reason cause for me every reason just seem like only you who struggle with life."
"gue bisa jelasin Re.."
''kenapa nggak dari dulu?"
''karena gue pikir gue butuh waktu buat menjelaskan ini semua ke lo. Tentang gue dan Rehan, Hubungan Ratih dan papa, Hubungan lo dan gue itu bukan hal yang mudah buat di jelasin ke lo. Dengan semua sifat dan sikap lo saat itu gue takut lo makin nggak mau nerima keadaan. Gue takut lo nggak siap. Gue butuh waktu untuk mempersiapkan ini semua dan sialnya sampe detik ini pun gue nggak pernah siap buat bilang ini ke lo"
Gue menaris senyum miris. Mengigit bibir bawah sambil membuang pandang kemana saja. Mata gue mendadak menjadi kering. Perlahan perih menjalar. Gue berkedip beberapa kali, berharap tak ada yang keluar dari sana.
"bukannya bakal lebih gampang buat jelasin ini ke orang asing. Gue bukan siapa siapa lo. Gue bukan adek lo, gue nggak punya Hubungan sama lo selain seseorang yang pernah hidup satu rumah sama lo. Gue bukan siapa siapa dan itu akan lebih gampang buat seseorang mengatakan kebenaran tanpa harus merasakan keberatan. I'm right?" Mata gue tertuju pada mata ray.
"Remember what I said before that you still my sister. You still my family, you are the one on million person in the world who makes me want to still alive."
''Tapi memori gue bilang lo Cuma orang yang lewat di kehidupan gue. Kita bahkan nggak satu darah. Kenapa lo berfikir bahwa semua yang lo tau akan membuat gue terluka? Kenapa lo harus perhatian sama gue? Kenapa lo harus berpikir sejauh itu tentang gue? I don't really found the reason. Kita Cuma orang asing, tugas kita Cuma saling menyapa dan jadi piguran di kehidupan satu sama lain."
Ray mengembangkan senyumnya. Tanganya yang sedari tadi menggenggam erat kini mengusap rambut gue dengan lembut. Sayang tak butuh dua menit tangan gue sudah sigap untuk menangkisnya. Otak gue menolak sedang hati gue penuh gejolak. Memang keduanya sering tak sejalan. Gue yang sering menggunakan logika dari pada perasaan. Gue yang sering mendengar logika dan membiarkan hati kecil berbicara pada ruang hampa. Tak heran jika hati gue merasa begitu sendirian.
"Setiap orang punya peran buat kehidupan orang lain Re. Buat gue lo akan selalu jadi pemeran utama di hidup gue. Apapun alasannya otak gue akan selalu mencari cara untuk mempertahankan itu semua. Lo tau kenapa?" Ray melengkungkan senyum pahit, ia berusaha tulus namun getir malah muncul untuk membingkainya. Di sisi lain gue Cuma bisa terdiam.
"Karena untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue ingin melindungi seseorang dengan tangan gue. Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, gue merasa ingin menjaga hidup seseorang. Pertama kali dalam hidup gue, gue merasa ingin berguna untuk orang lain. Karena lo mengajarkan gue bagaimana caranya untuk selalu punya alasan untuk tetap bertahan dengan diri gue yang nggak berguna ini. Di atas kebahagiaan gue, di atas kewarasan gue ada lo yang selalu menjadi segalanya. Telepas itu benar atau salah. Terlepas itu berkat atau dosa, hidup gue di takdirkan untuk menjaga lo. Hidup gue tercipta untuk membahagiakan lo."
''Re… lo adalah jawaban yang tuhan kirim setelah mama pergi. Lo adalah…"
''Stop'' gue menungkas perkataan Ray. Dada gue naik turun. Sambil mengigit bibir gue memutar otak untuk memproses segala pertanyaan di kepala gue.
"Gue Cuma mau bahagiain lo Re…"bisik Ray lirih.
"Walopun dengan cara yang salah?"
Ray menggangguk penuh keyakinan. Praktis membuat gue menghala napas dan tersenyum sinis. "Gue udah pikirin ini seribu kali dan seribu kali pula gue menemukan jawaban bahwa gue nggak jauh beda dengan Ratih."
"Maksud lo?"gue menyerit.
"yagi emang pantes jadi anaknya Ratih. Kita sama sama pernah membuhuh orang untuk suatu tujuan. Ratih bunuh Levana untuk Wijaya dan gue yagi bunuh Kar Cuma buat lo. Kita sama sama pembunuh buat orang yang kita sayang"
Gue menelan ludah. Masih terdiam tanpa kata. Setengah kewarasan gue menghilang. Kebenaran yang Ray ucapkan layaknya anak panah yang sedang menghujam diri gue. Ternyata Kar hamper kehilangan nyawa karena gue. Dan gilanya Ray mengucapkan itu semua tanpa rasa bersalah.
''lo bohong kan?" ucap gue tergagap.
'' I not lying. I told the truth. Lo adalah alasan di atas segala alasan. Gue ragu buat mengatakan ini ke lo, gue takut lo akan menyalahkan diri lo atas apa yang Kar alami karena sebenernya ini bukan salah lo Re."
"Gila lo anjing. Otak lo kemana? Di yagi mati Cuma gara gara kewarasan lo yang patut di pertanyakan itu! Gue kalo tau begini mending gue mati di tangan bokap lo! Dasar gila!"
"Calm down Re.. She will be okay. Gue sedang mengusahakan untuk membayar itu semua. Gue jamin setelah apa yang gue lakukan ke Kar di masa lalu, gue akan menebusnya. Gue akan bahagiakan dia sama seperti gue membahagiakan lo. Di bawah kebahagiaan lo, diatas kebahagiaan gue ada kebahagiaan Kar."
''Anjing"ucap gue setenga membentak. Emosi gue sudah meluap. ''lo pikir lo bisa bahagian dia setelah apa yang udah lo lakukan ke dia?''
''bisa" jawab ray singkat.
"Gila! Lo udah hancurin hidup dia bang! Lo udah bikin rusak semuanya. Dengan lo bertingkah seolah olah mau bahagiain dia di atas semua ketidaktauan dia itu Cuma bakal bikin yagian hancur bang. You know dia udah banyak berjuang selama setahun buat bisa hidup normal. You know that…."
''I know. Gue udah ngorbanin dia di masa lalu. Sekarang waktunya gue buat bahagiain dia dengan segala resiko yang ada. Jauh sebelum hari ini perasaan gue ke Kar nggak pernah berubah."
Gue menyernyit, mengepalkan tangan. ''Maksud lo?"
''I have falling for her."
''Shut up! You just act like you falling on her"'
"No, Im really falling with her. Di luar keinginan gue, jatuh cinta sama dia adalah hal yang sulit bagi gue."
''Cukup bang."
"tapi Re gue beneran pengen bahagiain dia"
"kalo lo mau bahagiain Kar, cukup dengan lo ngejauh dari dia, ngerti?''
''Dulu gue nggak punya pilihan selain mengorbankan perasaan gue. Kalo sekarang lo suruh gue untuk mengorbankan itu lagi, rasanya nggak adil Re…''
''Nggak adil kata lo?"dada gue naik turun. Kepala gue sudah panas. Ada amarah yang menyulut seluruh badan gue. Hanya dengan mendengar ucapan Ray semuanya makin kacau. Benar memang Ray dan mama tak jauh beda. Semua yang di keluarga gue memang tidak pernah punya hati. Mereka melakukan segala sesuatu sesuai obsesi mereka.
''Gue nggak habis pikir dengan apa yang ada di kepala lo. Gue kira setahun bakal cukup buat kita saling menginstrospeksi diri atas kejadian yang udah berlalu itu. Gue pikir satu tahun bakal cukup buat mengubah lo Bang! But Im wrong. Waktu nggak akan merubah lo. Lo masih orang yang sama. Lo masih memelihara monster di diri lo dengan sangat baik. Selamat bang."
Tedengar helaan napas Ray. Ia sedikit berdecik kecewa.
''Apa gue salah buat jatuh cinta sama manusia yang paling gue suka?'' tanya Ray.
''nggak salah bang, nggak sama sekali''
"Terus apa yang salah Re..?''
Gue mengigit bibir. Tangan gue terkepal sempurna. Satu sisi gue masih menahan agar kepala gue tidak meledak. Bagaimanapun suara Ray terlalu memicu gue untuk terus meletupkan panas dalam diri gue. Ini bukan saat yang tepat untuk membabi buta karena kemarahan, Re…
Menarik napas gue melengkungkan senyum. Gue tatap mata Ray dengan tatapan paling dalam. Gue mencoba membawa dia dalam perasaan yang ingin gue coba jelaskan.
''Cara lo memperjuangkan perasaan itu salah."
"Gue Cuma pengin bikin dia Bahagia Re.."
''Iya gue ngerti bang, tapi bukan gitu caranya. Lo nggak lagi lomba lari bang, lo nggak perlu lari sekenceng kencengnya sambil teriak mau bahagiain dia padahal orang yang lo teriakin itu abis jatuh karena lo, yang perlu lo lakuin sekarang adalah jujur dan minta maaf. Minta maaf dan mulai dari awal. Bantu dia buat nyelesein lintasannya, karena mungkin garis finishnya ngga sama dengan garis finish punya kita."
Ray menyernyit, ''maksud lo?''
Beberapa saat gue terdiam. Mengatur napas. Perlahan gue membasahi bibir bawah. Menaglihkan pandangan dari Ray.
''Manusia selalu pikir hidup mereka lama, selalu pikir lintasan mereka panjang, padahal hidup itu fana dan kehilangan datang sebagai kejutan bagi kita untuk merayakan pesta perpisahan. Gue nggak pernah nyalahin perasaan lo ke Kar. But I should told you that she doesn't have much time. Kalo lo masih kekeh sama cara lo memeperjuangin dia, mungkin dia nggak punya cukup kenangan sebelum dia sampai di garis finishnya"
''Maksud lo, Kara…"
''Ini yang gue mau omongin ke lo. Percaya atau enggak Cuma lo yang belum tau kalo dia nggak punya banyak waktu lagi. Diagnosis dokter mengatakan kalo kerusakan sel otaknya makin parah. Hal hal yang dokter takutkan satu persatu terjadi. Alasan gue nggak balik ke Jerman adalah Kar. Dan alasan gue datang ke sini karena gue ingin lo tau seberapa berharganya waktu buat dia. Ini bukan salah lo, kerusakan otak dia bukan salah lo. Karena jauh sebelum kita menghancurkan Kar, dia udah menghancurkan dirinya sendiri. Sel otaknya rusak karena dia…lupa caranya untuk yagia''
''Wtf. Lo nggak bercanda kan?"
''nada gue terdengar becanda?'' jawab gue penuh keyakinan.
Hening. Selanjutnya suara riuh mengisi ruang apartemen. Ray melampiaskan seluruh amarahnya dengan membating benda benda di sekitarnya. Gelas, vas bunga, kursi, meja, dan hiasan jadi sasaran. Tak jarang ia juga menumpahkan kemarah dengan menyumpah serapah.
Gue bergeming memandangi tiap pecahan dengan hati yang tersayat penuh luka. Sial, selama ini gue menghindar hanya untuk membiarkan monster itu makin menguasai diri Ray
*
Pagi yang cerah, senyum kar tak kalah cerah. Ia mengembangkan senyum ketika matanya menangkap sebuah roti di atas meja makan lengkap dengan susu yang bertempelkan note dari Nuha.
Jangan lupa sarapan.
Abang kerja duluan. Mungkin abang bakal pulang telat. Kamu bisa tidur dulu nanti, oiya soal makan jangan khawatir abang udah masakin dan taruh di dalam kulkas, nanti tugas kamu Cuma ngangetin yah kalo laper hehe. Oiya Jangan lupa di kunci ya dek😊
Have nice day Kara!
Dari abangmu
Kar menandaskan sarapannya dengan meminum susu sebagai penutupnya. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk bergegas keluar rumah dan memulai kegiatannya seperti hari hari kemarin. Kesibukan Kar saat ini tak jauh dari magang di kantor, pergi ke kampus untuk melaporkan beberapa hal dan pulang ke rumah. Agaknya memang membosankan tapi Kar cukup beruntung karena beberapa kali dalam seminggu secara bergantian Batak dan Ray datang.
Sayangnya hari ini entah mengapa mereka berdua kompak untuk tidak datang. Bukan hal yang mengherankan karena tadi malam ray mengirimkan pesan kepada Kar. Dia bilang hari ini dia absen untuk datang karena punya beberapa urusan yang harus di dahulukan. Kar paham itu, ia tak sedikipun kecewa malah Bahagia karena akhirnya ia bisa melewati hari tanpa tergantung pada manusia lain.
Semenjak ia tahu apa sakit yang dia derita, dan semenjak ia tahu berapa lama waktu yang dokter prediksikan, Kar merasa bahwa ada banyak beban yang ia berikan kepada orang di sekitarnya. Jelas gadis itu tak suka. Kar lebih suka memikul semuanya sendiri, ia tak suka di kasihani. Telebih ia juga butuh ruang untuk mengumpulkan beberapa fragmen yang masih hilang. Fragmen yang entah mengapa tuhan sampaikan dalam secuil mimpi yang akhirnya menjadi pertanyaan bagi Kar. Singkatnya gadis itu masih mencari apa yang hilang selama ia berbaring dalam tidur panjangnya.
"Selamat pagi"
Suara seseorang menyelinap merdu di telinga gadis itu. Suara berat yang terderngar familia. Suara itu menenangkan meski ada di sela sela riuhnya lalu lintas pagi di kota Jakarta. Kar tak sempat untuk menebak karena jawaban dari semua pertanyaannya sudah mengisi matanya. Manusia itu adalah Ara.
"Selamat pagi?" Ara mengulang kalimatnya. Ia tersenyum agak kikuk. Wajahnya begitu bersinar, dilukis cahaya matahari dan mengalir Bersama dengan keringat yang muncul di sela-sela lehernya. Ia sederhana namun pantas untuk di kagumi.
Sejenak Kar menghentikan langkahnya, lantas berjalan kembali. "Nagapain lo disini?" jawab Kar penuh curiga.
"Olahraga lah'' balas Ara dengan senyuman puas. Ia puas karena walopun tak membalas sapaan selamat pagi, gadis itu masih mau bicara dengannnya.
''Sesiang ini?'' Kar menyernyit. Ia masih menghindari untuk menatap mata Ara.
''Ini masih pagi Kar" ucapan Ara begitu lembut. "Lagian lo nggak liat apa gue pake baju begini masa iya mau ke kantor"
Kar menelan ludah meruntuki kebodohannya. Tapi tetap masuk akal bagi Ara untuk pergi ke kantor dengan kaos putih oversize, celana training hitam dan sepatu casual lengkap dengan jam tangan hitam di lengannya. Soalnya Ara kan CEO di perusahannya.
''Ya bisa bisa aja mau pergi ke mall'' celetuk Kar menutupi kebodohannya. Mereka berdua hamper sampai di halte bus. Kerumunan orang sudah terlihat dari jauh. Pasti hari ini akan berjejal lagi. Kar mendesah lirih.
''Sepagi ini ke mall?''
Jawaban Ara membuat kar akhirnya menolehkan wajahnya. Ia mendesah frustasi lantaran jawaban Ara seperti balas dendam buat Kar. Di sisi lain Ara tertawa kecil mendapati reaksi Kar.
''gue beneran olahraga loh kar''
''iya..iyaa tapi emang harus dilewat rumah gue?"
Kar mulai nyolot. Nggak nyaman pasalnya ia tau sebaik apa Lyra kepadanya. Kar tidak mau jadi orang ketiga dihubungan mereka. Terlebih setelah berita batalnya pertunangan mereka bedua Kar tidak mau di ciduk media. Kar sungguh ingin menghindari dari Ara dan jadi manusia biasa saja.
''Kata siapa gue sengaja lewat rumah gue?" Ara balik tanya.
''Ya soalnya gue…''
Ucapan Kar terputus karena Ara menyerobotnya. "Soalnya lo bisa baca pikiran gue?" Ara menyernyit. Tak butuh waktu lama Kar menghentikan langkahnya. Ia tatap mata Ara dengan tatapan tajam. Wajahnya masam karena sebal dengan Ara. Seketika moodnya hancur.
''Pede banget sih!'' jawab Kar penuh kesal.
Ara malah tertawa kecil. Tangannya hamper menyubit pipi bakpao milik Kar akan tetapi belum saja terealisasi pikiran Ara menghentikannya. Ia tau bahwa gadis itu bukan lagi gadis kecil yang bisa ia miliki. Suasana agak canggung namun ara berhasil mencairkannya.
''Dih kayaknya yang kepedean lo deh Kar. Ini jalanan umum, yang punya bukan Cuma lo doang. Lagian di komplek sini emang Cuma ada rumah lo doang, enggak kan?''
''Ya kan bisa lewat jalan lain Ra.''
Ara menyernyit, ia memiringkan kepalanya. Tubuhnya sedikit membungkuk mengimbangi tubuh Kar yang mungil. Lantas tersenyum. ''Kok sebel gitu sih mukanya? Gue ganggu lo?'' tanya Ara.
Kar menelan ludah, ia bingung harus membalas apa. Jujur keberadaan Ara tidak seburuk apa yang ia bayangkan hanya saja logikanya selalu memerintah untuk menjauh dari sosok bernama Ara. Kar menghela napas, ia memilih untuk mengabaikan pertanyaan Ara. Ia mengambil langkah cepat sambil memeriksa jam dilengan tangannya.
Di belakang sana Ara menahan diri. Ia tetap di posisinya. Terdiam beberapa saat sambil menyakinkan diri bahwa apa yang Kar lakukan adalah hal yang normal. Ara tak boleh berharap lebih sebab iapun tau gadis itu sudah memilih Ray daripada dirinya. Ara sadar bahwa ia hanya sebatas memori masa lalu yang Tuhan hilangkan. Ara tak boleh egois, setidaknya gadis itu sudah mau bicara dengan dirinya setelah apa yang telah ia lakukan pada gadis itu. Meski sejujurnya Ara puas menelan kecewa.
Ara mengigit bibir. Menelan ludah. Mengembangkan senyum lalu berteriak, '' Semoga hari ini langit kamu biru Kar!
Teriakan Ara mengudara namun gadis itu masih mengabaikannya. Ia tetap berjalan tanpa membalikan pandangan. Dan pada akhirnya teriakan itu hanya menjadi pelengkap suasana kota Jakarta. Helaan napas terdengar samar, langkah kaki yang berselera Ara yang membalik badan. Pulang dan sebisa menjauh dari keberadaan Kar. Sebab sementara waktu mungkin gadi itu butuh ruang untuk menerima kembali sosoknya yang baru.
Liat lo bicara sama gue aja udah bikin gue olahraga Kar.
Apalagi kalo lo senyum ke gue
Batin Ara berbisik dalam langkahnya. Sementara saat langkah Ara makin jauh. Dari bus halte, pandangan Kar terarah pada punggung laki-laki itu. Pada manusia berkaos putih dan rambut hitam dengan aroma musk yang memabukkan. Kar pandangi kepergian Ara dengan tatapan penuh tanya.
Rahasia apa yang lo jaga, Ra?
Kenapa gue selalu ngerasa lo punya nyimpen semua rahasia di dunia?