Italia, 2021
"Gue seneng" ucap Re tiba-tiba memecah keheningan diantara di dirinya dengan Rehan.
"Tumben seneng, biasanya kalo sama gue bawaan lo ngomel mulu" Rehan membalas santai.
"Iya sih soalnya lo kan nyebelin. Tapi biar gimanapun gue seneng aja gitu dengan kondisi kita sekarang. Nggak pernah kebayang kalo kita bisa baikan kayak dulu setelah apa yang keluarga gue lakukan ke keluarga lo." Re me njeda beberapa saat, ia pandangi langit di depan sana dengan pandangan yang melalang buana. Senyuman tergambar tipis di sana. "Thank you Han udah selalu percaya sama gue… even gue salah lo masih mau nerima maaf dari gue. Thank you…"lanjutnya.
Di sebarang sana Rehan menghela napas. Kehilangan kata untuk membalas itu semua sebab pandanganya teralih pada senyum gadis di depannya. Sedekat apapun jarak keduanya tetap ada batas yang tidak bisa Rehan lalui. Batas itu adalah kebahagian. Rehan sadar betul bahwa memaksakan perasaannya bukan hal yang akan membuat keduanya menemukan kebahagiaan. Batas itu terlalu nyata bagi keduanya, sayang hanya Rehan yang menyadarinya.
"Han?" Re menyadari lamunan Rehan. "Kok ngelamun sih, gue kan Cuma bilang makasih bukan minta beliin pulau pribadi hehe.. jangan ngelamun dong nggak seru tau" Re tertawa kecil sambil menggoda.
Sayang, tawa itu hanya membuat lekuk masam di wajah Rehan. Namun sebisa mungkin Rehan menutupi dengan memandangi hamparan rumput di depannya. Ya, mereka sedang berada di perternakan kuda yang tak jauh dari perkebunan anggur. Mereka sedang berlibur bersama. Rehan, Re, Nadev dan Batak, entah sejak kapan mereka berempat menjadi akrab satu sama lain.
Sepulang dari Rumah sakit Rehan memilih tinggal sejenak di Italia, ada beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Meskipun itu hanya alibinya agar bisa menatap lebih lama gadis yang ia suka. Hubungan mereka berdua membaik sejak Rehan di rawat di Rumah sakit. Meski kadang kali Nadev membatasi interaki Re dengan Rehan karena takut pria itu akan melukai Re. Namun kenyataannya Rehan lebih terluka daripada Re. Apapun kebahagian gadis itu adalah luka bagi Rehan.
"Han?" Re mengulang beberapa kali untuk menyadarkan Rehan.
"Hm" jawab Rehan.
"Lo nggak lagi kesambet arwah perternakan kuda kan?"
Rehan menarik senyum, "Ngaco" setelahnya mengusap rambut Re hingga berantakan. Jelas Re kesal sekaligus senang. "Gue kepikiran Ara" celetuk Rehan membuat Re diam.
"Emang lo nggak kontak gitu sama dia?" Re ragu bertanya.
"I did, tapi gue nggak yakin kalo di baik-baik aja. Gue nggak tau apa isi kepala bocah itu, nggak atau apa yang dipikirin dia sampai hati dia mau ngorbanin buat menikah dengan orang yang nggak dia suka."
"Whatt?" Re terkejut, " Nikah? Bukan sama Kar maksud lo?"
Rehan mengangguk, " Sesayangnya dia sama Kar, kalo dia nggak muncul di ingatan gadis itu mana mungkin Kar tau, kan? Dan lagi dia nggak berani buat ngasih tau itu ke Kara kalo dia masih sayang Kar setelah apa yang udah dia lakuin selama ini. Alasannya dia nggak mau lebih bikin hancur idup Kara Cuma gara gara perasaannya, dan lagi, pernikahan ini dia lakukan buat ngembaliin saham bisnis mama. Buat dia apapun yang bikin orang lain bahagia adalah hal yang selalu jadi hal utama, termasuk nggak ikut campur ke kehidupan Kara"
Re mengigit bibirnya, "Tapi kan itu bukan salah dia…"
Rehan menyernyit.
"Itu salah Ray!! Itu salah…." Re terdiam beberapa saat, "salah gue" ucapnya begitu ngilu. Praktis membuat Rehan menaruh kedua tangannya di bahu Re. Ia tatap Re dengan tatapan paling hangat.
"Lo bilang lo udah memaafkan gue, lo bilang udah mau lupain masa lalu, tapi kenapa lo belum maafin abang lo sendiri? Lo juga belum maafin diri lo sendiri Re…" nada bicara Rehan lembut membuat sudut hati Re ngilu seperti diremukkan.
Helaan napas mengisi percakapaan keduanya. Sampai akhirnya Re dengan keraguannya membalas dengan penuh keberanian, " Gue nggak bisa banyak cerita ke lo kenapa gue begini. Tapi yang jelas dalam setahun itu ada banyak hal yang membuat gue berubah. Bukan gue nggak mau memaafkan Ray tapi dia emang nggak pantas di maafkan. Lo tau kan apa yang dia lakukan ngimpact besar ke hubungan gue sama Kar, hubungan gue sama Nuha, dan hubungan gue dengan lo"
Rehan menyenyit mempertanyakan kalimat terakhir kalimat Re.
"Hal menakutkan di hidup gue terjadi karena Ray. Dia udah bikin hidup gue menderita setelah kejadian itu, hari-hari gue lalui dengan gelisah menunggu kabar tentang Kara. Gue nggak tau dia idup atau mati, gue di hantui rasa bersalah tiap hari karena Nuha selalu bilang kalau gue pembawa sial di hidup Kara. Lo nggak akan pernah tau rasanya lo di benci oleh keluarga sahabat lo sendiri, dan lo nggak mungkin nggak akan pernah ngerti gimana gue struggle buat nggak peduli dengan keluarga lo. Gue benci Ara karena dia udah bikin Kar menderita, tapi sayang gue nggak bisa sepenuhnya benci sama lo. Lo tau kan seberapa berharganya lo buat gue?"
Rehan menelan ludah, tatapan Re nanar menghanyutkan. Hanya saja Rehan tau kalau ini adalah hal yang salah. Keduanya tak bisa bersatu.
"Re…"
"Di saat gue mulai belajar buat melepas lo dengan kedatangan Nadev dan Batak, di saat itu pula kalian muncul di kehidupan gue lagi. Gue benci karena Kara lupa dengan semua yang pernah dia lalui, gue benci Ara yang tetap pengecut, tapi anehnya gue seperti gagal buat membeci lo untuk kesekian kalinya. Lo satu satunya orang yang nggak bisa gue benci seutuhnya, karena gue sayang sama lo, gue mulai meaafkan Ara, karena gue sayang lo gue mulai menerima keadaan Kara, semua karena lo, Han…"
Re menarik senyum segaris di bibirnya. Lantas menatap Rehan tanpa keraguan. Entah mengapa semua beban di dada terasa terangkat begitu saja. Pengakuan ini entah pengakuan yang keberapa, yang jelas perasaan Re tak akan pernah berubah untuk Rehan.
Di sisi lain Rehan mengambil kedua tangan Re, lantas menggenggamnya dengan erat. Ia berikan tatapan hangat sekaligus tatapan putus asa dari sorot matanya. "Your reason sounds pure and pretty. Makasih ya Re, udah jadiin gue alasan buat semua perubahan lo." Rehan mengusap rambut Re dengan lembut.
Keheningan mengisi keduanya.
Hamparan Rumput tersapu angin membuat suara gesekan dedaunan khas hutan dan peternakan. Wangi alam mendamaikan perasaan keduanya.
"Re…"
Ucapan Rehan membuat Re mendongakkan wajahnya. Tatapan mereka terkunci satu sama lain. Ada hasrat dalam diri Rehan ingin merengkuh tubuh gadis itu, namun lagi lagi tertahan. Ia tau itu terlarang.
"Someone told me that before you love someone, better you love yourself, before you accept someone better you accept yourself."
Hening seketika. Tatapan keduanya mengunci satu sama lain. REhan masih mencoba melerai benang kusut di kepalanya. Sampai akhirnya, " Gue juga sayang sama lo"
Deg.
Detik dimana kalimat itu terlapas, detik itu pula Re mengambil alih dirinya untuk memeluk pria di depannya.Sayang belum sempat ia mendekap tubuh Rehan, pria itu sadah melerai jarak dengan memenggang bahu Re. Ia membuat pertahanan diri dengan jarak yang begitu ketara diantara keduanya.
"Sayangnya gue nggak bisa buat jadi apa yang ada di kepala lo"
"Tapi Han, gue sayang lo" Re menolak
"Gue tau, bahkan jauh sebelum lo sayang sama gue, gue udah jauh sayang sama lo, Re."
Re menggigit bibir, pandangannya mulai turun. Ia menangkis rengkuhan tangan Rehan. Lantas membuang pandang kemana saja untuk mengalihkan matanya yang mulai memanas.
"I know you hurt, but once again I want you understand what I mean. Saat ini yang gue inginkan dari lo bukanlah sebuah hubungan, dengan gue tau lo sayang gue dan gue sayang lo itu semuanya sudah lebih cukup buat gue. Gue nggak bisa bikin hubungan dengan seseorang yang belum menerima dirinya sendiri. Gue nggak bisa ngebangun kepercayaan di atas ketidak percayaan atas dirinya sendiri. Itu akan terlalu sakit buat kita berdua. Gue nggak bisa Re…"
"Tapi gue bisa kok ngelakuin apa yang lo mau dengan pelan-pelan!" Re berontak.
"Buat gue?"
Re mengangguk penuh keyakinan. Di sisi lain Rehan tersenyum ngilu, "Kalo gue bilang gue nggak bisa sama lo tanpa alasan, apa lo masih begini?"
Re memejam mata, menenangkan pikirannya. Lantas mengangguk frustasi, "Kenapa lo nggak bisa sama gue sih?! Lo bisa sama siapa aja kenapa enggak sama gue! Gue nungguin lo jauh dari sebelum badai datang, gue yang nemein lo saat badai datang, dan setelah badai datang gue pun tetap ada buat lo. Bukannya ini ketara jelas ya Han, kenapa nggak bisa?!" Tatapan mata re tajam.
Sayang Rehan membalasnya dengan senyum lembut dan tatapan meneduhkan, "Karena gue nggak mau melubah diri lo lebih banyak. Gue nggak mau lo kehilangan diri lo sendiri Cuma gara gara lo sayang sama gue. Gue pengen lo dapet cowok yang lebih baik dari gue. You deserve better than me and now you must realize and looking forward for your happiness. Berdamai dengan diri lo bukan karena orang lain, tapi buat diri lo sendiri. Lo udah menahan banyak hal setahun ini, pasti berat, pasti capek, dan gue nggak mau menambah itu semua. To be honest gue terlalu brengsek buat kita."
Re terdiam.
"Re…terkadang gue juga ingin sayang lo dalam bentuk yang lain. Tapi semakin gue memikirkan itu semakin gue ragu dengan kebahagiaan yang bisa gue kasih ke lo. Lo harus pulang ke Indo, lo harus selesaikan apa yang udah lo mulai."
"Omong kosong tau nggak lo" Re mengalihkan pandangannnya.
"Whatever, lo harus pulang ke Indo karena lo nggak akan punya cukup waktu untuk melihat seseorang ketika lo sibuk di sini."
"Maksud lo?"
"Lo nggak kangen Kara?"
"Apa sih lo, kenapa bawa-bawa Kara!" Re makin nggak ngerti dengan alur pembicaraan ini. "Gue tanya apa lo jawab Kara, plis gue benci lo yang belibet gini. And yeah, please…" belum sempat Re melanjutkan kalimatnya Rehan memutus pembicaraan.
"Terkadang memang benar ya, untuk melihat masa depan kadang kita harus sejenak melupakan perasaan. Re, lo masih benci sama Kar?"
Re bergeming. Entah mengapa mendadak kepalanya mendadak ingin pecah.
*
Jakarta, 2021
Di luar sana hujan masih turun membungkus kota Jakarta. Kar masih sibuk mengunyah boba dalam mulutnya, Lyra sesekali mengajak bebricara tanpa curiga, sedang Ara dengan segala upa berusaha untuk tidak terlalu ketara memperhatikan gadis bernama Kar di depan calon tunangannya. Walaupun jauh dalam lubuk hati Ara ia ingin selelu memperhatikan tiap detail gadis di depannya itu.
"Jadi kalian udah saling kenal?" Lyra bertanya.
"Kayaknya sih udah" Kar ragu melempar tatapan pada Ara. Tapi sepertinya keraguan itu hilang hanya dengan melihat senyum tipis di wajah pria itu. Selanjutnya sambil menandaskan boba di tangannya ia lanjut bicara, "Beberapa bulan yang lalu kami sempet ketemu di Jerman, terus nggak sengaja ketemu di Italia pas saya lagi liburan sama keluarga saya. Semua serba kebetulan, jujur walopun saya kenal saya ngga tau juga apakah saya benar benar kenal atau enggak hehe" Kar mengakhiri jawabannya dengan senyum yang menyipitkan kedua matanya.
Di sisi lain Ara tersenyum kecut, mengulumnya dalam-dalam. Bagaimanapun Ara tidak bisa memaksakan Kar untuk mengenalnya. Itu tidak baik untuk Kara dan dirinya. Bagi Ara bertemu dengan Kara hari ini, bicara dengan Kara hari ini, bahkan bisa melihat tawa Kara hari ini adalah sesuatu yang sudah lebih dari cukup untuk memenuhi ruang kerinduannya. Ara tak mau egois, sebab ia tau dosa apa yang sudah ia perbuat pada gadis di depannya.
"Oh maaf gitu" Lyra mengangguk paham, lalu ia melemparkan pandangan pada Ara. Meminta kejelasan, "Kamu kenal Kara dari mana?" lanjut Lyra penuh penasaran. Ada sedikit nada mengintimidasi di sana, namun Ara abaikan begitu saja. Bocah itu memilih menyeruput kopi hitamnya.
Keadaan mendadak canggung karena Ara terlalu lama diam dan Lyra terlalu sabar menunggu jawaban. Hubungan antara keduanya tiba-tiba menimbulkan atmosfer yang tidak enak bagi Kar. Mengambil inisiatif gadis itu yang menjawab pertanyaan untuk Ara.
"Anu… Ara temennya teman saya hehe"
Kar menggaruk tengkuk. Jawaban yang ia berikan tidak sepenuhnya bohong sih, kan Ara memang temannya Re. Ya walopun ia belum ingat betul siapa Ara di kehidupannya selain sebagai adik dari fanboy ganteng idolanya alias Rehan dan juga sebagai mantan pacar Re.
"Serius?" Lyra penuh selidik.
Belum sempat kar ingin menjawab Ara sudah membuka suara, "Ya kalo saya bilang dia mantan saya kamu percaya?"
Ck!
Sial. Kar menelan ludah, mengumpat dalam hati sambil mengarahkan tatapan tajam pada Ara. Bisa-bisanya manusia ini enteng bilang mantan-mantan, padahal kan dia mantan Re. Oiya, selain mengingat Ara sebagai adik Rehan, di kepala Kar Ara juga terkenal sebagai manusia menyebalkan. Itu yang perlu di garis bawahi.
"Punten, becandanya nggak lucu" Kar sewot dengan elegan. Padahal ia sudah ada ambisi untuk mengacak rambut pria di depannnya.
"Serius loh saya"
Kar membuang napas, memutar bola mata jengah. Sebal. "Iya sih kalo di pikir lagi jadi masuk akal juga. Pertama karena saya mantan kamu jadi saya merasa kayak familiar sama kamu. Kedua karena saya mantan kamu, kamu nolak saya magang di perusahaan kamu tanpa alasan. Ketiga karena saya mantan kamu, wajar kan ya saya punya sindrom sebel sama kamu. Keempat karena kamu mantan saya, wajar kan saya pengen…" Kar merubah posisi tubuhnya, ia sudah berdiri siap menerkam Ara tanpa mempedulikan Lyra, "JAMBAK KAMU!" jari-jari Kar mengenai rambut Ara.
Sayangnya belum sempat gadis itu membuat keributan besar, tatapan mata Kar jatuh pada mata Ara yang mendongak ke wajahnya. Mata mereka bertemu pada satu titik semesta yang sama. Lantas, membeku bagai kutub yang saling menarik satu sama lain. Sayang, semua aliran hanya berpusat pada Ara, dan bagi Kara semuanya begitu hampa tanpa rasa. Tatapan itu benar-benar layaknya tatapan biasa bagi Kara.
"Udah.. udahh"
Tiba-tiba Lyra memisah pertengakaran dua manusia di depannya. Ia sadar bahwa ada yang janggal antara Ara dan Kara.
"Maaf ya Kar, Ara emang anaknya nyebelin" Lyra meminta maaf dengan kikuk. Di sebrang Ara sedang membuang muka. Praktis membuat Lyra mengulum sesuatu, ia menyadari ada sesuatu yang sedang coba Ara sembunyikan.
"Oh pantes"
Kar menaruh kedua tangannya di depan dada. Lantas menyandarkan badanya di kursi sambil mengatur napasnya yang naik turun karena emosi. Kar seperti punya dendam kesumat buat Ara.
"Sekali lagi saya minta maaf ya"
Kar melemparkan pandangan pada Lyra. Ia masih heran dengan ucapan baru saja keluar dari mulut Lyra untuk kesekian kalinya, "Kak jangan minta maaf dong. Kakak kan nggak salah"
Lyra menarik senyum, ia menatap Ara dengan tatapan yang tek definisikan. Hembusan napasnya lembut menyatu dengan udara. Meski dadanya sesak di isi cemburu, Lyra tetap mencoba rasional. Ia tak bisa marah dengan Kar, apapun alasannya gadis itu selalu mengingatkan dirinya dengan almarhuman adiknya.
Lyra mengalihkan pandangan pada Kar, "Pokoknya saya minta maaf ya buat Ara"
"Hah? Nggak mau"
"Oke" Lyra meraih tangan Kar lantas mengembangkan senyum lembut sambil menatap hangat. "Kalo kamu nggak mau, minta maafnya saya ganti dengan makan malam, mau?"
Kar tampak menimang. "Saya udah ada janji"
"Nggak sekarang kok, besok juga bisa atau pecan depan?"
Ada kenyitan di wajah Lyra. Ia menunggu Kar mengiyakan. Setelah kejadian ini Lyra merasa ada banyak hal yang harus ia pastikan dari Kara terutama hubungannya dengan Ara. Mengingat keduanya seperti punya hal yang lebih dari sekedar kenal.
"Gimana?"
Kar mendongak, belum sempat ia menjawab Ara bangkit dari posisinya. Lantas keluar entah kemana. Seperti tak berselera dengan obrolan macam ini. Praktis membuat Kar mengumpat tanpa ia sadari.
"Anjir, sok ganteng. Lo kira gue mau makan malem gara gara lo? Idih sok ganteng! Amit amit deh"
Brak
Tak lama setelah ia mengumpat Ara kembali dan meletakkan sebuah payung berwarna biru di meja. Di luar sana memang masih hujan, " Sekarang kamu nggak punya alasan buat hujan hujanan." Ucap Ara dingin mengahangatkan.
Kar masih terdiam. Syok dengan apa yang baru saja terjadi di kehidupannya. Ia menelan ludah sebanyak yang ia bisa.Gila, kesambet setan apa sih Ara bisa bisanya sok kenal begitu.
"Oke.." ucap Kar terbata bata. Mulutnya terasa pait setelah ia mengumpat Ara. Di sisi lain Lyra tersenyum penuh duga. Sepertinya cepat atau lambat ia kan segera mendapatkan jawabannya. Selama jawaban itu belum ada selama itu pula ia punya kesempatan untuk bisa membuat Ara menjadi miliknya.
"Kar saya tunggu jawabannya ya. Oiya karena sudah sore saya pulang dulu ya sama tunangan saya." Lyra merapihkan pakainnya. Kemudian mengandeng lengan Ara dengan mesra. "See you ya Kar…" Lyra mengembangkan senyum.
"See you kak"
Lambaian tangan mengiringi kepergian Lyra dan Ara. Sejenak Kara memandangi payung di depannya dengan tatapan penuh heran.
Apaan sih kok ngajakin makan malam
Apaan sih kok ngasih payung
Apaan sih kok sok kenal
Apaan sih kok asik
Kar mengambil ranselnya. Kakinya melangkah pergi meninggalkan café. Menyisakan meja berisi gelas gelas kosong dan juga sebuah payung biru di sana. Diluar hujan menjelma gerimis. Nyatanya gadis itu lebih suka kehujanan daripada menerima payung dari orang yang kasihan pada dirinya.
*
Italia, 2021
Satu jam sebelum bertemu dengan Re
Brak!
Rehan menjatuhkan cup kopi di tanganya ketika tidak sengaja mendengar Nadev bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Nadev yang menyadari kedatangan Rehan, mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Ia dapati wajah cengo Rehan di sertai ekspresi khawatir di sana. Tanpa butuh waktu sebelum Rehan segera menuju ke tempatnya Nadev mematikan panggilan poselnya. Ia meletakkan ponsel pada saku celananya.
Nadev menghembuskan napasnya. Ia pandangi lautan rumput di depannya berharap kedamaian merasuki tubuhnya. Kemudia Rehan datang penuh dengan tanya di kepalanya.
"Jadi bener kalo Kara sakit?"
Pertanyaan itu menjadi pembuka percakapan kali ini. Ada hembusan napas berat di keduanya selain bisikan dari helai rumput yang saling bergesekan.
Nadev menganngguk penuh keyakinan. Ia mengigit bibirnya beberapa kali, mencoba untuk tenang dalam segala hal. Meskipun ia tau bahwa itu tak semudah apa yang di bayangkan. "Udah berapa lama lo tau ini?"
Giliran Rehan mengalihkan pandangan pada Nadev. Bola matanya penuh dengan keputusasaan, "Sejak kali pertama gue datang ke Jerman. Sorry gue tadi nggak sengaja denger obrolan kalian."
Nadev mengulum senyum, "Its okay. Lambat laun pasti semua orang akan tau. Oiya, Apa Ara tau?"
"Still nope, yang dia tau Kar Cuma kehilangan sebagaian ingatannya. Re sendiri udah tau?"
Nadev menggelengakan kepalanya. "Gue sempat pengen kasih tau dia tentang Kar. Tapi kayaknya itu bukan hal yang baik buat Re. Ray juga akan sulit tau karena keluarganya bahkan nggak ngasih tau hal itu ke Kar. Cuma kita berdua yang tau tentang ini, dan gue harap dengan lo tau lo bisa sedikit membatu gue ngasih pengertian ke Re untuk memaafkan Kar tanpa ada rasa kasihan sedikitpun"
Rehan menghela napas, ia pandangi langit biru di atas sana. Taka da jawaban yang bisa Rehan katakana untuk Nadev. Pikirannya terlalu penuh dengan tanya. Terlalu banyak benang kusut yang harus ia uraikan.
"Apa ini semua gara-gara Ray?" pertanyaan Rehan keluar dengan keraguan. Praktis membuat Nadev tersenyum hambar.
"Setelah semua yang Ray lakukan buat keluarga lo, lo masih aja peduli sama dia haha. But anyway, Kar begini bukan karena Ray kok. Jauh sebelum kejadian setahun lalu penyakit ini udah ada dalam tubuh Kar. " Nadev menjeda kalimatnya ia pandangi rumput yang bergoyang dengan penuh kehampaan di matanya, " Kar mengidap Aniexity disorder. Dia udah banyak berjuang untuk sampai hari ini. Hari hari penuh neraka di hidupnya dia lalui sendirian. Sekarang saat kita semua berjuang buat dia dokter bilang dia cuma punya waktu enam bulan lagi sampai otaknya benar-benar kehilangan fungsinya. Sekarang tersisa satu bulan"
Hembusan napas Nadev terdengar berat. Dadanya naik turun tak beraturan. Ada sesak yang berusaha keluar dari sana.
"Saat dia Cuma punya enam bulan dalam sisa hidupnya, saat itu pula tuhan hilangkan sebagian ingatannya. Entah , gue bersyukur atau sedih. Bersyukur karena dia jadi manusia yang baru atau sedih karena dia ngga bisa semua mengingat hal penting dalam hidupnya."
Hening mengisi percakapan.
"Tapi dia bisa sembuhkan?" Rehan menanggapi.
Lagi-lagi hanya membuat lengkung senyum di bibir Nadev, "Kemungkinannya kecil, buat bertahan lebih lama dia harus benar-benar melupakan bagaimana cara memanggil memori masa lalunya. Ini jadi hal yang gue takutkan, semenjak kar bertemu kalian gue takut kalo memori itu akan datang. Semakin mereka datang semakin satu persatu sel otaknya akan rusak"
Rehan menjilat bibirnya, "Terus kenapa lo nyuruh gue buat ngasih tau Re?"
"Karena gue nggak mau Kar merasa asing dalam memorinya. Nggak seperti Nuha yang ingin menjauhkan Kar dari segala masa lalunya, gue ingin Kar mengingat masa lalunya dengan baik."
"tapi sel otaknya?" Rehan menyernyit
" I don't know. I don't know but I know the most precious think for her life is memory. Dicintai sama Ara, Di kasihi Re, bertemu dengan lo dan Ray dan di kelilingi kalian adalah obat buat gangguan mentalnya. Akan selalu ada hal baik yang tersimpan di dalam otak tanpa manusia sadari. Cepat atau lambat dia kan menyadari itu, dan gue mau saat dia menyadari hal itu keaadaan nggak akan asing buat dia."
Rehan bergeming.
"Han, gue percaya sama lo karena lo adalah lo dan karena gue percaya sama lo, gue pengen lo bikin Re, Ara mengerti keadaan Kar. Manusia berubah tapi nggak dengan ingatan Kar"
"Tapi kenapa harus gue? Kenapa…"
Nadev menepuk bahu Rehan. Lantas mengembangkan senyum, "Karena lo adalah Rehan"
"Jov…"
"Gue percaya sama lo melebihi percayaan gue sama diri gue sendiri. Sejak gue bertemu lo gue tau kalo gue nggak akan sebanding dengan lo untuk memperebutkan Re. Han, bukankah kita terbiasa mengorbankan perasaan untuk keadaan?"
"Dev gue nggak…"
Ucapan Rehan terputus karena Nadev membalikan badan. Ia menghela napas berat yang ketara sekali di besarkan volumenya. Pria itu tak mau menerima jawaban atau pertanyaan dari Rehan. Semua seperti selesai begitu saja ketika Nadev menginggalkan Rehan sendirian. Tersisa Rehan kepala penuh tanya. Bagaimanapun yang di katakana Nadev ada benarnya.
Jangankan mengalahkan perasaan, manusia kan memang makhluk penuh pemberontakan yang kalah dengan keadaan.