Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 23 - 21.00

Chapter 23 - 21.00

Jakarta, 2021

Bang Rehan : Gue nggak salah denger ? Serius dibatalin?

Bang Rehan : Serius?

Bang Rehan : Kok nggak ada konfirmasi dari kalian berdua. Ini bukan hoax kan, gue baru aja baca. Seminggu lalu lo bilang nggak mau ngebatalin pertunangan kalian terus hari ini gue baca pertunangan dibatalin tepat dihari lo bilang nggak ke gue. Please tell me kalo ini bukan sekedar hoax.

Ara mengigit bibirnya. Akhirnya kabar ini sampai di telinga Rehan. Padahal sudah seminggu kabar itu mengudara. Publik jelas heboh namun diantara Ara dan Lyra tidak ada yang berselera menanggapi. Terutama Ara yang memilih berdiam diri di rumah tanpa mau menanpakan aktivitas di ruang public. Semua pekerjaan ia kerjaan dari rumah. Kabar yang sedang mengudara hanya ia biarkan lalu lalang di kepalanya.

Ara sungguh tak peduli. Hari-hari dalam seminggu ini hanya berputar pada tempat yang sama. Dengan isi kepala yang kacau dan perasaan yang hampa. Tiap akhir solatnya ia habiskan untuk berdoa panjang sampai tertidur di atas sajadah.Tak ada yang spesial selain merasakan penyesalan dan bermimpi tentang Lilis.

Ngomong-ngomong tentang Lilis, ingatan dalam kepala Ara seakan praktis memutar pesan yang ia baca beberapa tempo yang lalu. Pesan yang membuatnya tahu bahwa Kara telah menyelamatkan kehidupan Lilis. Ada senyum yang tergambar tipis tiap kali pesan itu sekedar lewat di kepala Ara. Bukan hanya untuk dirinya, keberadaan Kara juga berharga buat adiknya.

Ara bersyukur karena di saat badai itu datang ada manusia yang membuat Lilis percaya bahwa ia pernah bahagia. Ada yang membuat Lilis bertahan untuk hidup lebih lama. Ara bersyukur karena orang itu adalah Kara. Sekarang Ara punya lebih dari sekedar perasaan unuk bisa menerima Kara di kehidupannya. Meski ia tau betul bahwa keberadaanya hanya racun bagi kehidupan Kara. Tapi tak mengapa kan, kali ini saja ia egois untuk dirinya? Sungguh Ara ingin berdamai dengan masa lalunya.

Ting.

Ponsel berdenting membuyarkan lamunan.

Bang Rehan : Gue ambil flight hari ini. Besok lo jelasin semuanya.

Cakra Luksa W : oke

Hembusan napas terdengar begitu berat. Belum sempat Ara mengalihkan pandangan pada laptop dan pekerjaanya sebuah pesan mendentingkan ponselnya kembali. Kali ini bukan Rehan melainkan Lyra.

Lyra Nasution : Besok aku bakal ngadain siaran pers tentang pembatalan pertunangan kita.

Cakra Luksa W : Saya ikut

Lyra Nasution : Nggak usah. Ini semua salah aku. Aku yang memulai dan aku yang harus menyelesaikan. Kamu nggak usah ikut campur lagi. Jujur aku nggak tau apa masih pantas aku liat muka kamu. Aku malu sama diri aku sendiri.

Cakra Luksa W: Ini juga salah saya, jangan menanggung semuanya sendirian. Kita lakukan bersama-sama.

Lyra Nasution : Nggak Ra. Ini murni salahku. Kamu jangan buat aku makin malu sama diri aku sendiri

Cakra Luksa W: Kamu nggak papa? Saya perlu jelaskan sesuatu, boleh kan saya ke rumah kamu?

Cakra Luksa W: saya masakin kamu seperti janji saya ke kamu. Kamu belum makan, kan?

Ara menghela napas frustasi. Ia masih memandangi layar ponselnya. Lima menit berlalu tanpa balasan. Padahal pesan sudah terbaca. Ara yakin gadis itu tak baik-baik saja setelah pertengkaran mereka. Meski tak pernah mencintai gadis itu tetap saja ia tak mau melukai Lyra sedalam papa melukai mama. Ara benci melihat perempuan menangis. Meski ia pun tau kalau ia juga melukai Kara sedalam papa melukai mama. Ara memang pengecut. Alasan ini cukup membuat Ara masih bertahan untuk membenci dirinya sendiri.

Lyra Nasution : Aku nggak pantes makan masakan kamu.

Cakra Luksa W: saya ke rumah kamu sekarang

Ara mengigit bibirnya. Konyol mengapa juga ia harus melakukan ini kepada Lyra.

Lyra Nasution : Nggak!

Lyra Nasution : Tolong hargain keputusan aku. Seminggu ini aku berusaha buat baik-baik aja, jangan buat aku makin nggak bisa ngelepasin kamu. Kamu kira dengan kamu begini itu baik buat aku? BIG NO. Aku nggak baik baik aja, ini berat buat aku. Buat aku yang sayang kamu secara sepihak dan buat kamu yang selalu nganggep aku Cuma angin lalu di kehidupan kamu. Aku berusaha sebaiknya tapi kamu sebaliknya. Sampai di detik ini aku Cuma pengen ngelepas kamu. Jangan bikin aku makin nggak bisa ngelepas kamu, Ra

Lyra Nasution: Kamu tetap di tempat kamu, dan aku akan balik ketempat aku.

Lyra Nasution: Dengan begini, aku nggak akan capek lagi buat ngejar apa yang mustahil buat aku.

Jari jemari Ara berselancar tak berselera pada ponselnya. Berulang kali Ara mengetikan kalimat panjang. Namun berulang kali ia menghapusnya. Hingga akhirnya

Cakra Luksa W: Oke, maaf

Cakra Luksa W : Makasih selalu ada buat saya, sebagai gantinya saya akan belajar menerima masa lalu saya. Sekarang kamu hanya perlu lari dan saya bakal berhenti buat nengok ke belakang, kamu lari yang jauh supaya bisa lihat hal yang lebih indah dari saya. Saya akan terus berhenti sampai saya menyelesaikan apa yang saya mulai. Makasih sudah buat saya sadar akan banyak hal. Senang berkenalan dengan kamu. Maaf karena saya tidak bisa memeluk kamu saat ini.

Lyra Nasution was blocked you.

Ara menyandarkan tubuhnya pada kursi. Mendongak frustasi lantas membuka laci meja dan mengambil beberapa pil penenang. Kali ini ia harus tidur. Apapun caranya ia harus tidur. Sudah dua hari ia tidak tidur. Tubuh dan pikirannya jelas butuh istirahat. Barangkali sejenak karena setelahnya ia harus menyelesaikan apa yang ada di masa lalunya.

*

"Assalamualaikum, Adek pulang"

Suara Kara membuat Nuha bergegas menuju ruang tamu untuk menemui gadis itu. Nuha hampir menyembangkan senyum sempurna kalau saja ia tidak melihat Ray yang entah mengapa ada di sisi adiknya. Mendadak wajah Nuha masam. Aura negative mengelilinganya. Ia melempar tatapan tajam pada Ray.

"Waalaikumsalam" ucap Nuha sarkas.

"Idih bang kok galak gitu sih" ledek Kar tanpa dosa. "Adeknya pulang bukannya di peluk, disenyumin eh ini malah di pelototin. Lagian aku kan pulangnya nggak telat telat amat hehe, udah ya jangan marah bang" Kar berlari menuju Nuha. Ia memberikan pelukan hangat, mengabaikan Ray yang sedang menarik senyum hambar di ujung sana.

Nuha menghela napas, ia mengusap lembut rambut Kara lantas mengecupnya pelan. Kekhawatiran menguasai dirinya, kehadiran Ray membuat semua kacau. Sebisa mungkin Nuha menyembunyikan itu dari Kar. Ia tak mau kar punya beban pikiran.

Akhirnya Nuha menarik senyum, "Abang maafin, lain kali jangan gini lagi" ucap Nuha manis.

Kar mengerutkan hidungnya, lantas mengangguk menggemaskan. "Eh bang temenin bang Ray dulu ya, aku mau ganti baju dulu hehe"

Nuha menyernyit, mengalihkan pandang pada Ray. Ia tak berselera, namun lagi lagi terpaksa mengiyakan. "Baju kamu basah? Emang di luar ujan ?"

"Nggak kok!" Kar cepat mengelak. Ada sesuatu yang ia sembunyikan dari Nuha. "Tadi ketumpahan air minum temen. Tapi nggak papa kok" lanjut Kar penuh kebohongan. Dan bodohnya Nuha hanya bisa percaya begitu saja.

"Oke"

"Ya udah adek tinggal dulu ya." Kar mengalihkan pandangan pada Ray. Ia memberikan senyum semanis madu. Tatapannya meneduhkan, jelas membuat hangat dada Ray. "Aku ganti dulu ya…"

Ray tersenyum. Tak lama setelah kepergian gadis itu di balik tembok tersisa dua tatap mata Nuha yang begitu tajam dan penuh intrograsi. Ray mengabaikan tatapan Nuha, ia memilih mengambil duduk di atas sofa sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Jelas itu membuat Nuha risih dan ingin mengusir Ray. Namun lagi-lagi ia tak bisa. Melihat Ray di depan matanya hanya membuat hidupnya semakin berat saja.

Nuha menghela napas. Keduanya menghabiskan detik demi detik untuk menunggu Kar dalam kebisuan. Sampai akhirnya Ray buka suara. Seperti biasa nada bicaranya menukas dan sarkas.

"Rumah lo sepi ya?"

Ray menyernyitkan kedua alisnya. Di sisi lain Nuha hanya bisa mengigit bibir sambil mengepalkan tangannya. Sial, kenapa cepat sekali bertita tentang penangkapan orang tuanya terdengar di telinga Ray.

Sambil memejam mata, Nuha mengatur emosi dan napasnya. Lantas ia tatap Ray dengan keberanian yang tersisa. Bagaimanapun Kar tidak boleh tau tentang apa yang terjadi di keluarga mereka. Soal bunda dan ayah yang terjerat dugaan kasus peredaran obat dan vaksin palsu memang sudah seharusnya tidak sampai di telinga Kar. Akan sangat berat jika gadis itu tau. Kemungkinan terburuk sudah menyesaki kepala Nuha.

Alasan mengapa Nuha takluk pada Ray karena Ray memegang semua rahasia keluarganya. Meski bukan anak kandung Ratih, tanpa disadari pia itu tumbuh lebih menakutkan dari induknya. Monster besar menguasai tubuh Ray. Monster itu bernama ambisi.

"Nggak usah basa basi, gue tau lo udah tau semuanya" jawab Nuha sarkas.

"Good" kedua kaki Ray menyila di atas sofa. Pandangan mata Ray masih meremehkan Nuha. "Jadi bener kalo nyokap sama bokap lo di tangkep?" Ray menyernyit.

Kepal tangan Nuha makin mengeras. Namun lagi-lagi ia berusaha memedam segala amarah dalam tubuhnya. Dadanya naik turun tak beraturan. Butuh beberapa menit sampai akhirnya Nuha menguasai dirinya.

"Ya. Dua jam sebelum kalian sampai ke rumah polisi dateng buat nge geledah rumah. Demi kepentingan pengusutan kasus, bunda dan ayah harus di interograsi polisi. Meski gue ngggak percaya mereka yang melakukan itu semua, gue tetap percaya kalau Kemungkinan terburuk mereka berdua akan di jadikan tersangka. Gue tau lo udah tau, jadi… jangan menumpuk masalah di atas masalah. Gue nggak mau adek gue sampai tau apa yang terjadi sama orang tua kita.Gue bisa kan percaya sama lo?"

"Let see…" Ray melipat tangan dan metelakkannya di depan dada. "Dengan satu syarat" lanjut Ray.

Nuha menelan ludah, menelan emosi. Ia tau apa yang ada di kepala Ray. Ray pasti menginginkan perasaan hangat dari Kar. Dia memang brengsek karena di besarkan tanpa ksih dan cinta, jadi wajar saja bila ia membutuhkan perasaan hangat itu. Ray yang kesepian, Ray yang malang telah tumbuh menjadi monster yang penuh ambisi. Seeberapapun Nuha mencoba untuk menerima, ia akan terus gagal. Pasalnya kebencian terlah terpupuk begitu banyak di hati Nuha.

"Izinkan saya untuk berada di samping Kar sebanyak dan sebisa saya." Lanjut Ray dengan nada misterius.

Di sisi lain Nuha hanya bisa mengigit bibirnya. Hati dan logika dalam tubuhnya terus berseteru. Tak ada yang mau mengalah. Setiap kebencian muncul bersama dengan ketakutan. Setiap senyum muncul bersama dengan luka setahun silam. Nuha memejamkan mata, menenangkan diri. Sampai akhirnya suara lembut memanggilnya dalam alam bawah sadar miliknya.

"Bang, aku bahagia kok"

Suara itu adalah milik Kara. Buru-buru Nuha membuka mata, ia temukan wajah ray yang penuh dengan penantian. Tatapan manusia itu masih mengunci tajam.

"Gimana?" tanya Ray memastikan.

"oke" jawab Nuha pasrah.

Detik berikutnya Ray mendominasi dengan senyumnya. Sedangkan Nuha sedang di dominasi oleh keresahan dirinya sendiri. Nuha percaya setiap manusia punya sisi baik dan buruk. Meski Ray brengsek, Nuha mencoba percaya bahwa Ray tak akan menyakiti Kar untuk kedua kalinya. Keputusan ini ia buat untuk keluarganya.

Berat, namun Nuha harus yakin bahwa Kara pasti akan baik-baik saja.

*

Ada hari dimana setiap orang tak punya harapan dan ingin hilang. Ada hari dimana setiap orang harus menenggak pahitnya kehidupan dan ingin mengucapkan selamat tinggal. Itu wajar, karena tidak semua hari harus baik bahkan saat kamu sudah menjadi manusia paling baik bagi Tuhanmu. Karena kamu manusia, kamu bisa kecewa dank arena kamu manusia kamu tidak sempurna. Semua emosi itu wajar, bahkan saat kamu ingin kehilangan napasmu karena terlalu marah dan kecewa itu wajar, yang tidak wajar itu ketika kamu lupa kalo kamu juga pernah bahagia. Mengintip dirimu dari pantulan hari terburuk mu adalah hal yang salah. Bahkan satu bintang tak bisa mewakilkan galaksi, kan? Hidup manusia adalah semesta mereka, sedang semesta bukan hal yang sederhana.

Satu jam sebelumnya

Gue nggak tau apa yang sedang terjadi pada diri gue. Mata gue terasa berat untuk membuka, belum lagi tubuh yang terasa semakin dingin karena sesuatu telah membasahi baju gue. Gue nggak tau sedang berada dimana, gue nggak ingat dimana gue berada, yang gue ingat hanyalah air yang terus naik menenggelamkan gue.

Perlahan namun pasti gue bisa bicara, perlahan namun pasti gue bisa bergerak dan akhirnya gue bisa melihat. Sayangnya saat gue sudah sepenuhnya kembali dengan diri gue, gue hanya bisa pasrah karena air hampir menenggelamkan gue. Napas gue makin tidak beraturan. Berulang kali gue menggerakkan kaki untuk berenang. Sial itu semua sia-sia karena perlahan namun pasti air menyelimuti tubuh gue. Mereka menarik gue makin dalam dan dalam. Mengisi seluruh rongga hidung sehingga seluruh napas terasa begitu berat bagi gue.

Mendadak gue kaku seperti batu. Tubuh gue terus terbawa arus. Tak ada perlawanan yang bisa gue lakukan. Semua serasa mati. Satu-persatu oragan tubuh gue mati, tangan, kaki, lalu napas dan detak gue seperti membeku. Satu satunya yang gue miliki hanya pandangan mata yang lama kelamaan memudar. Gue hanya bisa melihat sinar matahari sambil berdoa bahwa seseorang akan datang menjadi utusan tuhan.

"Gue masih ingin hidup"

Batin gue sampil merasakan air mulai masuk mengisi hidung dan mulut gue. Napas gue makin sesak. Makin mencekik. Sakit menjalar ke tubuh gue. Hampir gue memjam mata sampai akhirnya seseorang datang. Seseorang itu datang dari balik sinar matahari. Tubuhnya makin mendekat dan tak berjarak. Satu. Dua. Tiga. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya tubuh gue terengkuh olehnya.

Seseorang itu adalah Ray. Dia memeluk gue erat, lantas mendoring gue ke atas permukaan dengan sekuat tenaga. Belum sampai gue terangkat sepenuhnya kaitan tangan Ray lepas. Ray mengalami kram. Gue yang tidak berdaya ini hanya bisa melihat tubuhnya terus menerus di tarik kedasar air. Perlahan namun pasti dengan ketidak berdayaan gue, gue hanya bisa melihat Ray memejam mata dan kehilangan kesadaran. Ray terbawa arus, ia tenggelam makin dalam. Tenggelam dalam ketidaksadaraan.

"Tolong!!"

Batin gue berteriak. Anehnya teriakan itu terndengar sampai ke telinga gue sendiri. Tak lama setelahnya indra perasa gue kembali. Gue mulai merasakan dingin, gue merasakan basah, dan anehnya gue merasakan aroma Ray yang begitu nyata. Mendadak kelopak mata gue tidak berat. Perlahan-lahan gue mencoba membuka mata. Perlahan-lahan saat mat ague mulai terbuka gue menemukan sosok Ray yang sedang memeluk erat tubuh gue. Wajahnya begitu khawatir. Ray kembali?

"Kamu nggak papa kan?" ucapnya sambil menghela napas lega.

Gue yang masih cengo hanya bisa mengangguk sambil memperhatikan sekitar. Sambil menyadari bahwa apa yang baru saja gue rasakan adalah sebagian dari kenangan satu tahun silam. Ternyata Ray adalah salah satu orang yang tidak seharusnya gue lupakan. Bagaimanapun Ray telah menyelamatkan gue.

Gue menelan ludah, pandangan mat ague jatuh pada kran rusak di ujung sana. Kran yang memancarkan air yang membuat seisi toilet tergenang air dan berakhir membasahi pakaian gue. Ah, gue mulai ingat kalo gue sedang berada di toilet perusahaan yang baru saja menolak gue untuk magang. Sial, gue tak pernah menduga kalo gue akan berakhir di tempat ini.

Gue mengigit bibir. Memberanikan diri menatap mata Ray.

"Ma..kasih" ucap gue tergagap. Ada rasa bersalah yang menyelimuti diri gue setelah apa yang baru saja gue ingat. "Ma..kasih karena.." belum sempat gue melanjutkan ucapan terimakasih Ray memeluk erat gue. Amat sangat erat hingga wajah gue bisa menyentuh rambut lembut milik Ray. Dan juga aroma Ray menyetubuhi hidung gue. Aroma yang begitu dewasa. Sepersekian detik gue merasa tenang dan terhanyut. Taka da kata-kata yang bisa keluar. Sampai akhirnya Ray melepas pelukan.

Ray menangkup wajah gue dalam kedua telapak tangannya yang besar. Matanya berkaca-kaca meski begitu tatapannya masih sehangat apa yang ada di ingatan gue. Entah mengapa ini membuat gue merasa makin bersalah karena telah melupakan Ray. Orang yang seharusnya gue beri terimakasih seumur hidup gue.

"Makasih udah inget saya" ucap ray begitu teduh. "Saya kangen kamu.." lanjut Ray praktis membuat kedua bola mata gue ingin keluar. Sayangnya lidah gue kelu untuk membalasnya.

"Saya…"

Belum sempat Ray menyelesaikan ucapannya, tangan gue sudah mengelus punggung Ray dengan tujuan menenangkan dirinya. Sialnya selain mengelus, entah mengapa tiba-tiba gue menyandarkan kepala di pundak pria itu. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut gue dan Ray. Kami berdua terhanyut satu sama lain. Begitu hening hingga gue bisa merasakan helaan napas Ray di mengalun lembut di leher gue.

Ray menarik tubuh gue, mensejajarkan hingga wajah gue tepat di depan tubuhnya. Mata Ray mengunci mata gue. Kedua tanganya perlahan meraih wajah gue. Pelan namun pasti seluruh wajah gue sudah tertangkup oleh tangannya. Lalu ia tersenyum, tangan lainnya meraih tubuh gue untuk mendekat.

Gue hampir mati karena Ray memandangi seluruh wajah gue. Ia menatap gue sambil tesenyum. Jarak kami begitu dekat. "Makasih sudah ingat saya. Saya…sayang sama kamu" ucap Ray tanpa ragu-ragu. Praktis membuat pupil gue melebar. Belum sempat gue mempertanyakan Ray sudah lebih dulu menjatuhkan kecupan manis di bibir gue.

Satu.

Dua.

Tiga.

Tangannya terus mempererat jarak kami berdua. Kecupan itu lama-lama berubah menjadi sebuah lumatan. Gue tidak tau bagaimana cara mengahiri ini semua. Gue tidak tau bagaimana cara melawan bibir lembut milik Ray. Beberapa kali gue membuka mata namun Ray masih menutup matanya. Dia menikmatinya?

Gue hampir kehilangan napas. Ray masih mendominasi gue yang teramat pasrah. Sampai akhirnya gue memilih untuk memejam mata, pasrah. Dan sial, ketika lumatan itu makin mendominasi, tiba-tiba saja wajah milik Ara muncul. Beberapa kejadian yang entah datang darimana muncul. Beberapa itu ada wajah Ara.

"Hujan kalo gede jadi apa Ra?"

"Hujan kalo…"

Tiba-tiba saja bayangan Ara yang tersenyum berbalik menjadi Ara yang diam dan kejam. Ara membenci gue dan selamanya dia akan membenci gue. Entah mengapa itu membuat gue terluka. Tanpa gue sadari tubuh gue menolak kecupan Ray. Gue mendorong Ray secara perlahan. Tanpa sadar.

Saat gue membuka mata, gue temui binar mata Ray.

"Sorry ya, saya harusnya minta izin dulu ke kamu. Sorry…"

Entah mengapa gue menggeleng mengelak permintaan Ray. "Aku yang minta maaf" ucapku takut Ray kecewa.

"Eh?" Dia kebingungan

"Karena nggak ngenalin kamu lebih dulu."

Ray tak membalas, ia memeluk gue makin erat. Lantas tersenyum, "Nggak perlu minta maaf karena saya yakin kamu pasti ingat saya. Oiya maaf ya?"

Gue menyernyit, "Buat?"

"Karena kissing kamu di kamar mandi hehe"

Mendadak tawa kami berdua pecah. Sejenak gue melupakan bayangan tentang Ara. Sepertinya hubungan kami berdua memang seburuk itu. Dibanding mencoba mengingat mengapa kami saling membenci, gue memilih untuk menebus kesalahan gue ke Ray. Bagaimapun dia telah menyelamatkan gue di masa lalu dengan mempertaruhkan nyawanya.

Gue menarik senyum. "Aku boleh kan coba sayang sama kamu?"

Tak perlu waktu panjang karena selanjutnya anggukan Ray mengudara bersama senyuman penuh kemenangan. Dia memang pantas bahagia setelah apa yang sudah ia lakukan buat gue. Terlepas itu benar atau salah.

*

Bogor, 2021

"Ra kalo udah selese ganti baju langsung ke mobil ya. Jangan lupa bawain jaket papa sama parfum di atas meja. Oiya, pintu jangan lupa di kunci."

Ara tersenyum, tak banyak menanggapi teriakan Rehan yang mengisi seluruh ruang dalam rumah. Hampir setahun berlalu dan segala hal dalam rumah ini masih sama. Semenjak papa dipenjara dan mama masuk rumah sakit jiwa rumah ini hanya menjadi bangunan kosong tak berpenghuni. Sesekali pembantu datang membersihkan rumah, sesekali tukang kebun datang untuk memangkas rumput dan sesekali Rehan pulang hanya untuk meletakkan oleh-oleh di kamar Lilis.

Ara tak ingat kapan terakhir kali ia datang ke rumah ini. Semenjak sibuk mengurus bisnis keluarga wijaya, Ara hampir kehilangan seluruh waktu dalam hidupnya. Setiap hari baginya adalah bekerja dan menyibukkan diri. Mungkin hari ini adalah kali pertama Ara kembali ke Bogor setelah setahun ia pergi meninggalkan rumah.

Rumah ini tak banyak yang berubah. Selain bertambah tua dan semakin rapuh semuanya masih tetap sama. Bahkan harum kamar lilis masih sama. Ara menarik simpul senyum sambil menutup kamar mendiang adiknya itu. Lantas melangkah menuju kamarnya sendiri dengan langkah lunglai. Tangannya melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Lantas menyisir rambut dengan jari jemarinya sambil memandangi pemandangan dari balik jendela kaca yang langsung terhubung dengan balkon diluar sana.

Ia melepas satu persatu kancing kemejanya. Membiarkannya terbuka untuk beberapa saat sambil memutar kenangan yang tersaji dalam ruang kamar ini. Kemudian matanya jatuh pada foto berfigura di atas meja belajar miliknya. Foto manis yang entah mengapa membuat Ara ngilu sekaligus bahagia di sisi yang sama. Foto itu meski setahun telah berlalu masih tergeletak di sana.

September, 2019

"Kura kura-kecil yang mencari luasnya samudra"

Helaan napas terdengar begitu jelas. Ara meletakkan foto itu kembali, lantas mengambil rokok dari balik meja belajar. Sejak SMA Ara memang rutin menyembunyikan rokok di balik meja belajarnya. Ia sering kali merokok ketika pikirannya tak karuan. Baginya rokok adalah pelepas beban. Nyatanya manusia tak ada yang sempurna, kan?

Satu, dua, tiga kepul asap rokok mulai mengelilingi seisi kepala Ara. Untungnya jendela telah terbuka sehingga bau rokok tak terjebak di dalam sana. Ara menikmati tiap sesap demi sesap. Tak butuh waktu lama karena setelahnya habis sudah satu puntung rokok di jemarinya. Ia hampir mengambil puntung lainnya kalau saja ia tidak menemukan pas foto milik Lilis. Pas foto berukuran 3x4 yang menampakkan wajah datar gadis manis kesayangannya.

Ara menengguk ludah sebanyak yang ia bisa, sampai detik dimana ia duduk di kamar ini kembali Ara masih menjadi manusia yang mati rasa. Semenjak kematian lilis Ara masih belum tau caranya menangis. Senang, sedih, terluka dan hancur ia habiskan dengan helaan napas dan terdiam tanpa kata. Meski kepalanya ingin meledak pun ia akan tetap diam membatu. Ara benar-benar mati rasa. Bahkan ketika ia tau mama sakit jiwa Ara hanya bisa terdiam tanpa kata.

Mungkin dunia lupa bagaimana cara membuat senyum di wajah Ara?

*

Sore ini Bogor dibungkus awan mendung. Angin berhembus membawa pertanda hujan segera datang. Ara dan papa masih duduk di bawah pohon sambil memandangi Rehan yang masih berusaha keras mendapat perhatian dari mama. Mereka berdua bicara dalam nada kebisuan. Taka da sepatah kata yang keluar. Canggung sebab baik Ara dan papa bukan tipe orang yang terbiasa untuk membuka percakapan. Mereka sama-sama dingin, mereka sama-sama tau kesalahan masing-masing.

Helaan napas papa terdengar begitu ketara. Ara masih menahan diri untuk tidak menyapa. Bagaimanapun kebencian masih menyelimuti dirinya. Tidak seperti Rehan, Ara masih belajar menerima papa dan kesalahannya.

"Luksa…" tiba-tiba papa memanggil dengan Ragu.

"Saya dengar pertunangan kamu batal?"

Ara mengigit bibir, mengangguk pelan. Sebenarnya ia tau kalau pertanyaan ini akan keuar dari mulut bajingan di depannya. Meski ingin sekali memukul habis papa, Ara masih menahannya. Rehan bilang ini semua demi lilis dan mama.

"Saya senang" papa menghela napas. Entah mengapa Ara hanya bisa merespon dengan kenyitan di dahinya. Kedua kepal tangannya perlahan mengendur. "Senang karena kamu masih peduli dengan saya."

Senyum sinis tergambar di wajah Ara, "Saya..? peduli dengan Anda..? Setelah yang Anda lakukan ke Mama, Rehan, saya dan Lilis, apa itu masih masuk akal? Jangan berharap saya akan panggil Anda dengan sebutan Ayah, karena bagi saya jauh sebelum Lilis pergi saya merasa sudah tidak punya sosok Ayah. Anda perlu tau kalau saya ke sini karena mama, saya ke sini karena hanya ini yang bisa saya lakukan untuk memenuhi keinginan Lyra. Saya berusaha sebisa saya untuk tanggungjawab dengan semua keputusan yang saya ambil, semua saya lakukan karena saya tidak mau jadi laki-laki seperti Anda!"

"Saya juga begitu��� balas papa begitu ringan. Ia menghela napas, mengeratkan kedua tangannya. "Dulu saya selalu berpikir bahwa tanggungjawab adalah sesuatu yang harus ada di atas semua hal yang saya lakukan. Tapi sekarang, setelah kehilangan berbagai macam hal dalam hidup saya, saya pikir tanggung jawab itu tak berbeda dengan melakukan hal secara terpaksa. Manusia untuk telihat baik harus rela memperbudak diri mereka sendiri. Karena mereka butuh pengakuan dari manusia lain mereka bekerja keras memberi makan keinginan orang lain. Saking sibuknya dengan keinginan orang lain, manusia sampai lupa dengan apa yang mereka inginkan. Saya senang, senang karena kamu masih peduli dengan keinginan kamu sendiri. "

Ara bedecik pelan. Tangannya terkepal sempurna. Emosi masih tertahan di sana. Rasanya Ara ingin meledak, memarahi si bajingan dengan segala sumpah serapah yang sudah memenuhi kepalanya. Namun lagi-lagi Ara masih tertahan pada permintaan Rehan. Bocah itu dalah adik yang penurut, sekalipun ia tau kalau segala keingingan Rehan tak harus ia turuti. Ara tau batas.

Bocah itu lebih memilih membisu sambil membungkam mulutnya. Disis lain Wijaya masih nanar menatap istrinya dan Rehan di ujung sana. Rehan masih berusaha membuat istrinya mengenali siapa mereka. Kondisi ini jelas lebih buruk dari apa yang Wijaya bayangkan. Setahun setelah anak bungsunya meninggal semua memburuk. Ia cukup sadar bahwa kerusakan ini adalah buah hasil dari segala pengkhianatannya. Tak seharusnya Wijaya mengalirkan darah kotor ini ke dalam darah anak anaknya. Sebab semua dosa pasti telah mengalir di dalam sana. Ini seperti kutukan.

Wijaya menarik senyum hambar. "Saya bukan orang tua yang baik buat kalian. Saya juga nggak pantas untuk disebut ayah buat kalian. Saya tidak mau memohon untuk mendapatkan maaf dari kalian, karena saya tau saya tidak pantas." Wijaya mengulum senyum. "Kamu boleh benci saya, kamu boleh kecewa dengan saya, kamu boleh marah sama saya, silahkan lakukan apa pun yang bisa membuat kamu merasa lebih baik karena menyadari keberadaan saya sekarang. Tapi kamu harus dengar ini…kamu harus tau kalau sebrengsek apapun saya di kehidupan kalian, saya tetap ingin kalian tetap hidup."

"Ck! Omong kosong" Ara berdecik

Sebaliknya papa hanya menelan ludah sambil mengatur napasnya. Angin berhembus membantu menenangkan suasana yang tiba-tiba menegang. "dalam hidup manusia banyak sekali kesalahan dan saya rasa kesalahan membuat saya banyak belajar bagaimana cara menjadi manusia yang benar."

Ara mengigit bibirnya. Mulai jenuh dengan segala omong kosong bajingan di sebelahnya. Masih ia berpikir kenapa juga Rehan mengemis untuk membuat bajingan ini duduk menemui mama. Gila, seorang tahanan penjara, bukan kah itu terlalu beresiko?

"Saya bukan orang baik. Begitu banyak kesalahan yang saya lakukan sehingga banyak orang mengincar keluarga saya. Di saat saya mulai percaya apa itu keluarga tanpa cinta, di saat itu pula banyak orang ingin menjatuhkan saya. Keluarga kita dalam bahaya karena saya. Orang-orang mulai mengincar saya, kamu, dominic, lilis, dan tentunya istri saya. Saya mencari banyak cara untuk menyelamatkan kalian. Enam tahun lalu saya menendang Rehan keluar dari Rumah karena saya ingin membuat dia aman dari Ratih dan komplotannya, saya juga membuat kamu masuk ke dalam dunia perusahaan bukan tanpa alasan. Luksa, kamu anak saya yang paling berpotensi untuk mengambil alih semua kekayaan perusahaan, saya Cuma ingin membuat kamu belajar lebih dini agar ketika saya benar benar hilang, perusahaan tetap jatuh di tangan yang benar. Saya benar-benar berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga saya"

"Terbaik?" Ara menyenyit. Tubuh Ara sudah beranjak berdiri. Matanya melebar, Ara amarah menjalar di ujung sana. " Kalau kamu melakukan yang terbaik kamu nggak akan kasar sama mama. Kamu nggak akan buat lilis pergi dan buat mama kehilangan segalanya!Daripada baik kamu lebih mirip brengsek Wijaya!"

Wijaya mendongak, ia tatap mata putranya. Ia benahi jaket yang membungkus baju tahanan miliknya, "Well, saya memang brengsek kalau soal wanita. Saya sering buat mama kamu menangis, saya juga sering tampar, pukul bahkan sampai berselingkuh dengan wanita lain di depan mata mama kalian. Saya akui saya brengsek, tidak ada pembenaran dan pembelaan karena saya brengsek. Semua saya lakukan karena saya tidak mencintai dia. Dia membuat saya kehilangan banyak hal dalam hidup saya. Dia membuat saya kehilangan mimpi dan masa depan saya. Saya brengsek karena mencintai wanita yang bukan istri saya. Tapi saya tetap memaksa untuk tetap hidup bersama dia hanya karena kalian. Ini hal yang menyakitkan bagi kami berdua tapi hari hari bersama kalian adalah yang membuat kami terus bertahan dalam rasa sakit."

"omong kosong" decik Ara

"Saya berusaha, walopun pada akhirnya kami menyerah dan akhirnya menyadari bahwa selama ini kami hanya membuat kalian semakin terluka. Saya tau kamu merokok, saya tahu sebrengsek apa Rehan tapi saya gagal tau bagaimana hidup Lilis. Saya memasukan lilis ke khursus piano karena saya ingin dia bisa melakukan pelayanan di gereja. Setidaknya cukup kami berdua yang brengsek, biarr Lilis jadi hamba yang tuhan sayang. "

Wijaya melempar tatapan dengan senyum tipis di wajahnya, "Mungkin ini terdengar klasik, tapi Luksa harus tau bahwa dalam kehidupan saya, ini kali pertama saya jadi orang tua. Cara saya menyanyangi kalian sudah terlanjur salah. Apapun yang saya katakan akan terdengar seperti omong kosong. Tapi kalau saya di kasih kesempatan untuk mengubahnya, saya akan tetap jadi saya di masa ini. Karena dengan begitu saya bisa tersenyum lega, lega karena saya bisa melihat kalian melewati segala. Luksa…"

Ara masih terdiam. Mendadak kata-kata Wijaya menyesaki kepalanya. Entah terbawa suasana atau bagaimana, tiba-tiba saja kebencian yang terpupuk di dalam dirinya luruh perlahan. Kata-kata Wijaya ada benarnya. Semua alasan Wijaya juga masuk akal. Tak ada omong kosong, yang ada hanyalah ucapan tulus dari hati ke hati. Sepertinya Ara tau alasan Rehan tetap menganggap Wijaya sebagai ayah mereka. Terlepas dari segala kebrengsekan yang ia lakukan Wijaya tetap manusia. Dan juga, tidak pernah ada manusia yang siap menjadi ayah dari buah hati yang lahir tanpa cinta.

Manusia, benar-benar belajar dari banyak kesalahan.

"Saya minta maaf, saya…"

Belum sempat Wijaya melanjutkan permintaan maafnya, Ucapan Ara mengudara. Ucapan ragu-ragu dan tatap ragu-ragu, "A…yah?"

Bibir Wijaya bergetar, ia menyungingkan senyum tak percaya. Tak butuh waktu lama,senyum Luksa juga terkembang cangung di sana. Wijaya mengusap lengan Luksa. "You did well nak. Makasih sudah percaya dengan Ayah.

Ara bergeming. Masih mendefinisikan persaannya. Untuk beberapa detik ia masih mengatur napas, kerena setelahnya…

Brak!!

Sebuah piring terlempar mengenai punggungnya. Piring melayang berasal dari mama yang melempar ke arah Wijaya. Rupanya mama telah sadar akan kehadiran Wijaya. Kebencian nampak terbakar dari ujung sana. Di sisi lain Rehan masih berusaha menenangkan ibunya.

Benar memang kalau kebencian adalah hal yang bersekat tipis dengan hal bernama cinta. Jika manusia bisa mencintai manusia setengah gila maka itu artinya manusia juga bisa membenci setengah gila. Terkadang hal hal gila memang tak perlu di benci dan di cinta dengan sepenuhnya.

*

Brak!

Rehan melempar kaos yang baru saja ia lepas ke arah Ara. Kaos itu mengenai punggung bocah itu. Ara membalik badannya, membuar pupil mata Rehan melebar. Ada pemandangan yang menarik di mata Rehan.

"Siapa yang ngajarin buat pake tato?" Kernyitan Rehan terlihat begitu jelas.

Ara membalas dengan senyum ia memungut kaos Rehan lantas melempar balik ke Rehan. Saat ini mereka berdua sedang berada di toilet untuk mengganti pakaian masing masing. Ara pakaiannya kotor karena terkena lemparan piring makanan mama dan Rehan kotor karena terjatuh di tanah saat menghalangi mama menyerang papa. Mereka berdua kompak kotor dan harus mengganti baju.

"Serius ini the tato beneran? Bukan tato yosan?" Rehan masih tak percaya, ia mendekat kea rah adiknya. Lantas mengamati tato yang bersarang di tubuh adiknya. Perlahan namun pasti bisa di pastikan itu adalah permanen. "Woahhh" Rehan menepuk bahu adiknya, tersenyum heran. "Sejak kapan berani beginian?" lanjutnya.

Rehan jelas masih heran karena tato itu begitu nyata. Tato bertuliskan "carpe diem" tertulis begitu jelas. Carpe diem dalam bahas latin punya arti "petiklah hari dan percaya sedikit mungkin akan hari esok".

Ara mengigit bibirnya, "Gue bukan anak kecil bang" jawaban Ara penuh keyakinan.

"Lah yang bilang lo anak kecil kan nggak ada Ra. Mana ada anak kecil minum alkohol, mana ada anak kecil pake tato, mana ada anak kecil yang jago nyebat hahaha"

"Ya gitu lah" jawaban Ara pasrah di sertai senyum karena melihat abangnya tertawa lepas. Bicara dengan papa membuat sedikit bebannya terangkat, di tambah tawa Rehan membuat hari ini terlihat lebih terang dari sebelumnya. "Abang juga punya tato, kan?"

"Itu mah nggak usah tanya. Nggak usah nggak pake baju kayak lo aja semua tau tato gue segede gaban. Its okay, gue nggak akan marah Cuma gara-gara lo punya tato, atau karena lo nyebat, jujur gue seneng karena akhirnya lo mau jujur sama diri lo sendiri. Lo jujur kalo sebenernya mau sekeras apapun lo menjadi sempurna, tetep aja kita manusia. Nggak ada yang sempurna, dan nggak ada yang paling bener. Gue seneng lo udah sampe tahap itu"

Rehan mengulum senyum.

"Gue juga bang, seneng karena akhirnya gue bisa tau kenapa lo masih mau memaafkan papa."

"Soal itu, sebenernya gue udah lama mau cerita sama lo Cuma gue pengen papa yang langsung kasih tau ke lo. Niatnya hari ini di pertunangan lo dia bakal cerita itu semua, Cuma karena di batalin jadi mau nggak mau kita cerita di sini dengan kondisi begini" Rehan mengigit bibirnya. Ia mengambil air lalu membasuh wajahnya. Di sisi lain Ara terdiam. Mendadak keheningan mengisi ruangan.

"Gue harap dengan begini lilis bisa lebih tenang. Walopun gue yakin mama masih butuh waktu buat nerima papa" Ara mencoba memecah keheningan.

Rehan hanya membalas dengan senyum. Ia membungkus dirinya dengan kaos berwarna hijau. "Nggak semua harus selesai waktu ini juga. Gue percaya tuhan punya waktu terbaik buat semua masalah kita. Oiya, gimana lo sama Kar?"

Mendadak Ara terdiam, "Fine… lo gimana sama Re?"

"Pretty fine" balas Rehan tanpa ragu. " Setelah gue pikir, gue memilih buat nggak ngelanjutin perasaan gue ke Re. Meskipun dia punya perasaan yang sama ke gue, gue merasa dia berhak mendapatkan yang lebih baik daripada gue. Kapasitas gue ke dia sekedar menjaga dia. Seperti kakak yang menjaga adiknya" Rehan tersenyum tipis.

Tangan Ara meraih bahu Rehan, menepuknya pelan. "Its okay. Lo juga berhak dapat yang lebih dari Re"

Rehan melempar tatapan ke adiknya, "Gue berharap lo bisa bilang itu ke diri lo sendiri."

Ara menyernyit.

"Gue harap lo nggak berhenti buat berjuang buat apa yang terbaik buat lo"

"Nggak semua yang terbaik menurut kita itu terbaik menurut semesta bang"

"Sure?" tatapan Rehan penuh tanya, "bagaimana lo mau tau itu terbaik buat lo atau bukan kalo lo belum berjuang dan Cuma percaya sama kehendak semesta? Ada orang yang nunggu lo buat merjuangin dia. Lo berhenti bukan berarti lo ngga bisa kejar hal yang ada di depan lo. Lo berhenti karena lo tau ada yang harus lo selesein di masa lalu."

"Tapi bang, gue pikir akan lebih baik kalo Kar nggak inget gue lagi. "

Rehan menarik senyum tipis, "Lo lagi nggak yakin yah sama diri lo?"

Ara tak menjawab.

Rehan menjambak rambut frustasi. Teringat perkatan Nadev beberapa waktu yang lalu. Entah ini hal yang benar atau salah, yang jelas Rehan harus mengatakan ini pada Ara. "Dengerin gue" ucap Rehan penuh dengan keseriusan. Rehan mendekatkan bibirnya pada ara lantas membisikan sesuatu yang panjang hingga membuat bola mata Ara perlahan namun pasti akan keluar dari tempatnya. Tubuh Ara juga panas dingin tak menentu. Kepalan tangannya mengeras.

Tak butuh waktu lama setelah bisikan itu selesai. Ara meraih kaos dan kunci mobilnya dan beranjak pergi dari Bogor. Bagaimanapun hari ini ia harus menemui Kar. Ia sungguh tak punya banyak waktu yang tersisa. Bagaimanapun Ara ingin di sisi gadis itu. Apapun alasannya gadis itu harus mengenang dirinya. Ia tak mau menyesal lagi.

*

Jakarta, 2021

Lyra melapas blazer yang membungkus dirinya. Ia turun dari mobil dengan riasan yang super berantakan. Setelah mengumumkan kabar pembatalan pertunangan dengan Ara, Lyra menghabiskan hari dengan menangis di kebun binatang yang telah ia sewa seharian. Tengah malam ia baru pulang untuk menghindari media yang mengejar berita dari nya.

Helaan napas terdengar begitu berat. Gadis itu menenteng heels dan balzernya menuju rumah. Tangga demi tangga di teras depan terasa begitu berat untuk di lalui. Lyra hampir saja membuka pintu rumah kalo saja bucket bunga mawar putih tidak menghalangi.

Lyra mengigit bibir, mengambil bucket itu tanpa berselera. Lantas menemukan kartu ucapan yang terselip disana. Bibir Lyra bergetar, matanya kembali memanas. Ia baca satu persatu aksara diiringi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Bucket bunga itu berasal dari Ara.

Dear, Lyra

Terimakasih sudah melakukan banyak hal untuk saya. Banyak hal yang tidak bisa saya kembalikan untuk kamu. Maaf. Terimakasih sudah mencintai saya. Saya bahagia mengenal kamu. Semoga di hari hari selanjutkan kamu akan menemukan manusia yang bisa mencintai kamu. Lyra, kamu pantas bahagia. Lyra, kamu…pantas dicintai oleh manusia yang lebih baik dari saya. Jadi…jangan bersedih terlalu lama karena pecundang seperti saya.

*