Paris, 2021
Cakra Luksa W: wkwk dah bang gue mau sholat dulu. Lo jangan lupa pulang pas tanggal pertunangan gue ya bang! Happy lunch
Rehan terseyum hambar. Entah ini kali berapa ia membaca pesan dari adiknya tanpa ada keinginan untuk membalas. Bukan karena ia tak mau hanya saja ia tidak tau apa lagi yang harus ia katakan untuk menggagalkan keputusan Ara. Bocah itu terlalu keras kepala.
Rehan menghela napas. Ia melanjutkan makan siangnya di dengan tak berselera. Beberapa jam yang lalu ia baru saja sampai di Paris. Selain untuk mengurus beberapa pekerjaan kedatangannya ke Paris juga untuk memenuhi keinginan lilis yang sejak lama ingin berlibur ke Paris. Sayang, sebelum gadis itu bisa mewujudkan keinginannya dengan langkah kakinya sendiri, tuhan sudah mengambil lilis. Meski begitu Rehan yakin bahwa Tuhan pasti telah membwa lilis pergi kemanapun ia mau. Hari ini, Rehan hanya berharap bisa bertemu dengan senyum lilis di kota Paris.
Rehan menandaskan makan siangnya. Lantas mengecek ponselnya dan segera bergegas ke tempat pertemuan yang sudah dijanjikan dirinya dan clientnya.
"Sorry, I was late. I take much time to lunch."
Rehan meletakkan ransel disusul dengan kamera yang langsung tergeletak di meja. Lantas ia mengambil duduk dan menyibak rambutnya yang jatuh.
"its okay" perempuan di depannya yang merupakan kliennya mengambil senyum manis. Ini kali pertama mereka berdua bertemu, sebelumnya mereka hanya berkomunikasi melalui email dan media sosial untuk membahas project mereka. "Senang bertemu dengan Dominic" ia mengulurkan tanganya untuk berjabat tangan. Jelas mendapat sambutan hangat dari Rehan.
"Senang juga bertemu dengan anda, Clara" jawab Rehan dengan senyuman yang membuat Clara terpaku beberapa detik. "Sorry ya udah buat kamu nunggu lama" ucap Rehan santai.
"its okay. Sorry juga udah bikin kamu ambil flight pagi dan mendadak begini."
"I know" Senyuman Rehan merekah untuk kesekian kalinya. Praktis membuat Clara mengembangkan senyum seraya menikmati angina hangat yang baru saja berhembus di antara keduanya. Mereka sedang berada di sebuh café yang menyajikan pemandangan menara eifel dari balik jendela. Suasana di sana tak begitu ramai karena hari ini adalah hari kerja.
"Jadi kita mau mulai dari…" lanjut Rehan terhenti ketika Clara menyodorkan buku menu di hadapan Rehan. Pria itu kembali menarik senyum.
"Kita mulai dengan makan siang" ucap Clara penuh dengan keyakinan.
"Tapi saya sudah makan siang"
"Why not to take some dessert?" Clara masih mencoba membuat permintaan maafnya melalui cara ini. Clara begitu perfeksionis dan tertata itu semua ketara dari penampilannya.Ia tipe orang yang tidak suka di tolak. Tipe wanita yang suka mengendalikan lawan bicaranya. Tipe yang selalu membawa arus dengan alur yang sudah ia tentukan. Clara adalah wanita yang begitu mendominasi bahkan untuk percakapan sekecil makan apa hari ini.
"Ayolah, kamu jauh jauh ke Paris, masa nggak mau cobain makanan di sini" Clara menggerutu.
"I did, I'm full. Maybe next time" Rehan menolak halus.
Clara meniup anak rambutnya, mengedarkan bola matanya jenuh. " Oke, sekarang kamu punya hutang makan dessert sama saya."
Rehan menghela napas, mengatur ekspresi wajahnya agar tidak ketara dongkol. Jujur saja ia benci di kendalikan, apalagi oleh perempuan. "Oke" Rehan menaruh tangan di depan dada. "Sekarang bisa kita bahas pekerjaan?" Rehan menyernyit memastikan.
Tak butuh waktu lama untuk Clara mengiyakan. Meski dalam hati Rehan terus mengutuk dan berjanji tidak akan memenuhi hutan makan dissert dengan wanita di depannya. Persetan, Rehan tidak suka di kendalikan.
Waktu terus berputar dalam kecanggungan. Keduanya hanyut dalam percakapan mengenai project yang akan mereka garap bersama. Meski terkenal pemilih dan perfeksionis Clara termasuk orang yang menilai kemampuan seseorang secara subjectif. Dalam setiap project yang ia kerjakan ia selalu mencari bakat dan potensi potensi seniman baru. Tak jarang setelah bekerja dengan Clara para seniman atau pekerja lainnya menjadi terkenal dan mempunyai bayaran mahal karena telah di akui kemampuan dan keahliannya. Semua project yang Clara pegang selalu punya profit dengan nilai besar. Ia memang pengusaha muda yang bertalenta.
Kali ini Clara memutuskan bekerja sama dengan Rehan untuk projectnya karena Clara yakin Rehan cukup mampu untuk mengembangkan project dengan kemampuan yang Rehan memiliki. Keduanya juga satu visi dalam project ini. Rehan tak menuntut sebanyak yang Clara tuntut dari pekerjaan Rehan. Asalkan masih satu tujuan Rehan tidak akan sungkan mengiyakan.
"Sampai disini dulu untuk hari ini. Saya harap semuanya berjalan lancar. Oiya.." Clara menjeda ucapannya, ia sibuk memeriksa ponselnya, "Kata tim produksi, jadwalnya bakal maju jadi minggu depan?"
Rehan mengangguk. "Saya ada acara keluarga?"
"Maksud kamu, kamu tunangan?" Clara memastikan. Alisnya ketara memincing. "Nggak meyakinkan yah kalo cowok bebel kayak kamu mau seriusin hidup orang" Clara tersenyum meremehkan. Disisi lain Rehan hanya bisa memutar bola matanya jengah.
"Emang orang kayak saya nggak boleh jatuh cinta?" Rehan sarkas.
Lagi-lagi Clara tertawa meremehkan, " Ya kalo kamu jatuh cintanya sama orang lain sih boleh-boleh aja. Tapi kalo sama saya…" Clara mengigit bibirnya. Rehan masih menunggu Clara menghabiskan kalimatnya sambil memandangi wajah gadis itu yang terlihat sarkas sekaligus seksi dalam satu sisi, "saya nggak bisa" lanjut Clara terdengar puas.
Rehan menahan tawanya, ia membasahi bibir berulang kali. Lantas menyibak rambutnya yang jatuh di dahi dengan kelima jarinya. Senyuman Rehan seductive, "Bagus deh" ucap Rehan. "Dengan begitu kita bisa saling professional. Oiya, saya nggak tertarik sama kamu." Lanjut Rehan menohok.
"its seems so good, in other side you seems hoping someone who doesn't caring about your feel. Ketika saya liat kamu saya bisa langsung merasakan sedihnya jadi kamu. Ketika kamu adalah manusia yang gampang bikin semua orang jatuh cinta ke kamu, tapi nggak berlaku buat satu orang itu."
Rehan mengulum senyum, " its right. Bukan saya nggak bisa, tapi saya tau saya tidak begitu pantas buat dia"
"Memang biasanya begitu. Nggak peduli seperapa kita pantas kita buat dia ternyata masih ada yang lebih pantas bersading dengan dia daripada kita. Sedih dan lucu, lama-lama muak dan terbiasa. Well see I know bukan kamu yang akan tunangan"
Clara hanya menarik senyum smirk. Ia beranjak dari posisi duduknya lantas memberi salam dengan sarkas. Tak butuh waktu lama karena setelahnya yang tersisa hanya Rehan dengan helanaan napasnya. Ia terlihat frustasi, entah mengapa tiba-tiba Clara menyingggung kehidupan pribadinya. Terutama tentang Re. Clara memang sesuatu, tapi bagi Rehan Re adalah yang lebih sesuatu bagi hidupnya. Kalo di pikir kembali ucapan Clara ada benarnya juga.
Nggak peduli seperapa kita pantas kita buat dia ternyata masih ada yang lebih pantas bersading dengan dia daripada kita. Sedih dan lucu, lama-lama muak dan terbiasa.
Kenyataan menyadarkan bahwa Rehan tak jauh berbeda dengan Ara. Terkadang menjadi dewasa memang tentang apa yang kita butuhkan. Ia melepas apa yang ia inginkan demi apa yang ia butuhkan. Hingga tanpa sadar kita cuma jadi manusia yang egois untuk kehidupan kita sendiri.
Rehan membuka pesan. Jari jemarinya siap menjentikkan pesan untuk menjawab pesan terakhir Ara. Ia baru saja mengetikannya.
Dominic Rehan W : Gue ngerti persaan lo, Ra
Belum sempat pesan itu terkirim pesan lain datang mengalihkan matanya. Rehan mengigit bibirnya, tanganya terkepal kuat.
Dear bang Rehan
Dear bang Luksa
Hai bang….
Gimana kabar kalian?
Kalo kalian baca ini sih seharusnya sih sehat, hehe
Sebaliknya lilis ngga tau pas abang baca pesan ini lilis masih sehat atau malah engga ada hehe. Hari ini hari sabtu 22 Oktober 2019, mungkin pas abang baca ini udah 2021 kali ya hehe. Karena abang nggak lagi dirumah, karena bang luksa lagi kuliah Lilis ngga bisa cerita langsung hari ini apa yang udah terjadi sama lilis. Jadi lilis ceritanya di sini aja ya bang hehe.
Next
Gini bang, jadi hari ini aku pulang sekolah, seperti biasa pulang dari les piano aku liat papa sama mama ribut. Aku udah nungguin mereka sekitar satu jam di depan rumah tapi mereka belum juga selesai. Ini udah malem aku kedinginan, aku pengen masuk, pengen tidur, pengen makan tapi sayangnya apa yang aku pengen malah jadi nggak enak lagi buat aku. Hari ini aku denger papa mau ceraiin mama. Mama juga udah nyerah sama papa. Jujur lilis nggak atau apa yang harus lilis lakuin. Capek, hampir gila, berasa nggak berguna buat siapa siapa, nggak tau harus cerita sama siapa. Aku pengen di peluk, aku pengen kalian di sini, tapi sayang kalian nggak ada.
Next
Aku bingung bang, aku nggak atau apa yang harus aku lakuin. Aku pengen tidur bang. Tidur yang pules, tidur yang nyenyak sampe aku nggak bangun lagi bang. Aku benci sekolah, mereka ngga bisa nerima aku apa adanya, aku benci les piano karena mereka ga bisa ngehargai apa yang aku punya, aku benci hidup bang. Aku benci aku yang nggak tau mau jadi apa kalo udah dewasa. Aku udah kayak sampah bang buat mama papa. Ga guna banget aku idup.
Next
Bang, maaf ya. Misal lilis punya banyak salah.
Bang maaf ya, lilis sayang abang
See you bang..
See you ma
See you pa
See you kalian semua yang udah bikin hidup gue kayak neraka
See you..
Rehan menghela napas, ia tau pesan apa yang sedang ia baca. Pesan itu adalah pesan teradwal yang lilis kirim sesaat sebelum ia memutuskan percobaan bunuh dirinya. Rehan mengigit bibir, ia mengambil duduk dan melanjutkan membaca pesan dari masa depan.
Next
Bang luksa
Bang Rehan
Kalo kalian masih baca ini berarti lilis masih idup ya hehe
Maaf ya bang kemaren aku udah bodoh banget
Aku janji ngga akan kayak gitu lagi, at least sampe aku bisa nemu waktu terbaik untuk melakukannya. "Saat matahari cerah, saat makanan enak, dan saat semuanya bahagia, saat itu aku boleh mengakhiri semuanya."
Aku sadar, aku belum cukup bahagia. Aku belum bisa berhenti.
Kemarin aku hampir loncat dari gedung rumah sakit setelah denger mama papa mau cerai, tapi untungnya aku ketemu kak Kar. Kak Kar peluk aku, dia ngehentiin aku buat ngelakuin hal itu. Dia beneran orang yang baik, dan aku bersyukur bang Luksa ketemu dia. Aku nggak tau lagi apa yang harus aku ucapin ke kak Kar. Dia bener bener malaikat yang ngerti semua keluh kesah ku. Bahkan tentang mama dan papa yang mau cerai dia jadi telinge pertama yang mau dengerin itu.
Dia baik
Dia cantik
Dia malaikat
Dia punya seribu alasan buat lebih bahagia dari lilis. Dia terlalu baik sampe lilis takut kalo dia Cuma punya waktu sedikit, kata bang Luksa orang baik akan pergi duluan. Ya, sekarang lilis takut kalo kak Kar akan pergi lebih dulu daripada Lilis.
Entah ya bang… tiap kali lilis liat kak Kar lilis kayak liat ada penderitaan yang lebih besar dari apa yang ada sama lilis. Jadi apapun yang terjadi di masa depan aku pengen kalian baik sama dia. Jada dia dalam kebahagiaan seperti kalian jaga lilis, jangan pernah tinggalin dia seperti kalian ninggalin lilis.
Lilis titip malaikat lilis. Abang bisa, kan?
Bang luksa bisa, kan?
Janji?
*
Jakarta, 2021
Brak!
"Tolong… ada yang pingsang…tolong.."
Teriakan salah satu karyawan membuat Ara bergegas menuju sumber suara. Pikiran bocah itu seperti menguap bersama langkah kakinya yang sigap. Sampai akhirnya kakinya terhenti ketika ia menemukan gadis itu tergeletak dengan bunga daisy di tanganya. Ara buru-buru meraih tubuh gadis itu. Merengkuhnya dalam hangat tubuhnya.
Jelas gelisah mengisi seluruh pikiran Ara. Ia mencari penjelasam dari karyawan dengan raut panik di depan sana.
"Tadi mbaknya baru saja bayar, pas tadi saya mau ambilin kembalian tiba..tiba…" Karyawan itu teputus bicara sebab Jeki tiba tiba kembali. Ia masuk dengan raut wajah yang terkejut. Ketara sekali apalagi waktu mata Jeki melihat siapa gadis di rengkuhan Ara.
"What the heck, man! She…" Jeki menunjuk Kara dengan ekspresi penuh ketidak percayaan. "Baru aja kita ngomongin dia, dia udah ada di sini. Heran ini dunia beneran selebar daun kelor kali ya. Ra..."
Ara menelan ludah, menelan gelisah. Ia mengabaikan perkataan yang keluar dari mulut Jeki. Hanya dengan merilat kara tak sadarkan diri dunia miliknya menjadi hampa tak bersuara. Ara frustasi, pria itu terus menguncangkan tubuh Kara, sayang tak ada respon dari gadis itu.
"Kar… bangun karr"
Hening.
"Kar…"
Ara frustasi. Di sisi lain Jeki tak kalah frustasi dengan kebodohan Ara. Pasalnya Ara pasti sedang berfikir yang tidak tidak tentang Kar. Kemungkinan terburuk Ara mungkin berfikir Kara telah tak bernyawa, ketara sekali dari ekpresinya.
Jeki mengambil inisiatif mengecek nadi dan helaan napas, lantas tersenyum. "Belum mati. Its mean dia Cuma pingsan."
Ada helaan napas yang terdengar panjang. Itu jelas milik Ara.
"What the heck man, lo jadi bego banget sih. Jangan –jangan mikir aneh aneh lo ya"
"Nggak!"
"You did and everyone see it." Jeki mengejek. Sayang Ara fokus dengan Kara. "Mantan lo Cuma pingsan, kasih minyak kayu putih aja ntar juga bangun kok." Tak lama setelah Jeki menyuruh salah satu karyawan, minyak kayu putih datang. Ara masih mencoba membuat Kar bangun, sementara itu Jeki sibuk menganalisis. "Kaya gini lo masih yakin mau nikahin anak orang? Di saat lo masih sayang sama mantan lo kayak gini?"
Perkataan Jeki hanya di balas dehaman pelan. Ara masih fokus dengan Kar. Tangannya erat merengkuh Kar.
"Sekali aja lo bisa nggak sih pikirin perasaan lo, kebahagiaan lo, dan hidup lo bukan buat orang lain, tapi buat lo. Bisa?" Jeki mengintimidasi.
Hening mengisi. Ara hanya bisa memikirkan kata-kata Jeki sambil memandangi wajah teduh Kar. Hampir lima belas menit dan gadis itu masih terlelap dalam mimpi panjangnya.
"Jek…" panggil Ara.
"Ape?" sarkas Jeki
"Dia nggak papa kan?"
Jeki menghela napas panjang, "She is fine. Kalo melihat dari kondisi tubuhnya dia Cuma kecapean dan well gue juga nggak nyangka kalo dia bakal pingsan selama ini. Lo nggak perlu khawatir karena bisa di bilang ini fase istirahat dia. Bagaimanapun dia belum terbiasa buat ngelakuin aktivitas setelah dia koma hampir setahun. Sekarang yang lo perlu lakuin adalah anterin dia pulang"
Ara terdiam beberapa saat. Gila, bahkan ia tak tau dimana Kara tinggal.
���Atau lo terlfon keluarganya buat jemput dia" lanjut Jeki membuyarkan isi kepala Ara.
"Gue yang anter" spontan Ara bereaksi.
"Serius? Emang lo tau rumah dia?" jeki tampak meremehkan.
Ara mengangguk yakin, " I do."
"Serius?"
Ara mengangguk untuk kedua kalinya. Kali ini tanpa keraguan. Setelah berpamitan dengan Jeki, Ara membawa Kar pergi bersamanya untuk pulang. Persetan padahal Ara sendiri tidak tau alamat gadis itu. Dan lagi ponsel gadis itu mati.
Mobil melaju membelah kemacetan kota Jakarta. Berdua dengan Kar di dalam mobil membawanya ke dalam Dejavu. Tiba-tiba pesan dari lilis datang memenuhi kepalanya.
Jadi apapun yang terjadi di masa depan aku pengen kalian baik sama dia. Jada dia dalam kebahagiaan seperti kalian jaga lilis, jangan pernah tinggalin dia seperti kalian ninggalin lilis.
Lilis titip malaikat lilis. Abang bisa, kan?
Bang luksa bisa, kan?
Janji?
Gue janji, Lis.
Sialan. Mobil yang mereka kendarai berhenti di rumah Ara. Jujur Ara tak tau apa yang membuat dirinya membawa gadis itu pulang ke rumahnya. Pikiranya terlalu kacau dan kalimat lilis membuatnya tiba-tiba berani untuk egois.
Brak
Tanpa sadar tangan Ara telah memukul stil mobil berulang kali. Entah ia sudah menimang berapa lama hingga akhirnya ia memutuskan untuk membawa masuk gadis itu ke rumahnya. Ada hangat yang mengisi dadanya ketika ia meletakkan gadis itu di kasur kamarnya. Lantas ia menyelimuti gadis itu sambil mengambil duduk di samping gadis itu. Ia genggam tangan gadis itu. Kemudian ia menyisihkan anak rambut yang jatuh di wajahnya.
"Gue kangen sama lo"
"Maaf kalo itu salah"
"Gue harap lo juga kangen sama gue"
"Walopun itu nggak mungkin"
Ara mengigit bibirnya erat. Matanya masih memangi wajah teduh dari Kara. Persetan bagaimana dengan reaksi Kar saat nanti menemukan dirinya di rumah Ara, Pria itu hanya ingin sedikit lama melihat Kar. Dengkuran halus muncul di sela-sela keheningan. Ara masih terpaku pikirannya masih dipenuhi dengan pesan lilis. Sekarang Ara punya satu alasan yang membuatnya lebih berani untuk tetap bersama Kar. Untuk dirinya dan untuk lilis.
Helaan napas terdengar berat. Ara melepas genggamanya, ia hendak mengambil air di dapur. Sayangnya belum sempat ia pergi Kara sudah menggenggam tangan Ara. Praktis membuat ara menghentikan langkahnya. Sesuatu seperti menjalari dirinya. Jantunganya bedegup kencang, hangat membungkus tubuhnya. Perasaan ini seperti perasaan yang sudah lama Ara damba.
Ara menelan ludah. Ia pandangi wajah Kar. Dari rambut hitamnya, mata, hidung, pipi dan terhenti pada bibir gadis itu. Lagi-lagi Ara menelan ludah. Sialan, setan berhasil membisikan sesuatu yang membuat Ara kehilangan kendalinya. Bocah itu memangkas jarak, mencondongkan tubuhnya lantas memberi kecupan lembut di bibir Kar. Satu. Dua. Tiga. Sepihak yang membahagiakan, meski tak ada respon Ara tetap menikmatinya. Sayang itu tak berlangsung lama karena selanjutnya Ara menjatuhkan tubuhnya dan memeluk gadis itu sambil meminta maaf frustasi.
"Sorry…gue nggak bisa menahannya"
"Gue kangen lo…"
"Maaf kalo.." Ara pandangi wajah Kar. Gadis itu masih tertidur pulas. Selain telintas pesan milik lilis, terlintas pula senyum gadis itu, dan juga terlintas bebrapa mimpi yang membuat Ara tersenyum sendiri saat membayangkannya. Mimpi tentang keluarga kecilnya dengan Kar terus bermunculan. Ara hampir gila, setan lagi-lagi membisikan hal yang membuat Ara tak bisa menahan dirinya.
Ini hal gila, dan Ara tau konsekuensinya. Ara pikir ini adalah satu-satunya cara agar ia punya kesempatan kedua untuk bersama dengan gadis itu. Ini hal gila dan Ara sudah gila karena menahan semuanya sejak lama. Ara tetaplah pria dan semua pria punya insting untuk melakukannya, apalagi ketika setan berkata..
"Gue pengen jagain lo, walopun gue tau ini salah…" Nada bicara Ara terdengar frustasi. Kini tubuh ara sudah sepeuhnya mendominasi di atas tubuh Kar. Perlahan namun pasti setelah menghela napas dan menjambak rambut frustasi Ara mulai melonggakan dasinya. Melepas satu perastu kancing bajunya.
Ia sudah siap, ia berjanji akan melakukannya dengan lembut bahkan jika Kar terbangun dan menyadari kebrengsekannya ia kan tetap melakukannya dengan lembut. Ara tak bisa menahannya karena setan terus memenuhi bisik telinganya. Ara merindukan tubuh gadis itu.
"Sorry…"
"Gue pasti akan tanggung jawab" Ara membuang kemejanya secar serampangan. Lantas menyondongkan tubunya. Satu. Dua. Tiga. Jarak keduanya makin intim, Satu kecupan, dua kecupan, hingga semuanya terhenti ketika Ara mulai menjelajahi leher gadis itu. Tubuh Ara tergelosor, ia peluk Kar. Bocah itu seperti kehilangan daya. Frustasi. Ada yang membuatnya tertahan walopun tubuhnya jelas tidak bisa menahan semua hasrat yang sudah lama ia pendam.
Sial.
"Gue brengsek kalo melakukan ini tanpa izin lo. Sorry… gue.."
Berulang kali Ara mengatur napas. Berulang kali menjambak rambut frustasi. Sekarang hanya bisa berbaring disisi gadis itu sambil mendengar dengkuran halus Kar. Sambil menyesali pikiran kotor dan berengseknya ia mencari ketenangan dengan memandangi wajah Kar.
Nyatanya Ara tak bisa melakukan hal sekeji itu tanpa persetujuan Kar. Nyatanya ia terlalu sayang hingga ia tak mau merusak gadis itu. Pikiran bodoh itu bisa saja menyakiti Kar dan Ara akan menjadi manusia paling dikutuk kalo saja melihat Kar lebih terluka.
Ara membelai rambut gadis itu dengan lembut. Menaruh kepalanya di bahu gadis itu.
"Sorry, aku nggak bisa nahan tadi. Maaf ya…" ucap Ara lembut, "Kalo hari ini aku tidur sama kamu nggak papa kan?"
Ara pandangi wajah Kar. Gadis itu masih tertidur pulas. Praktis membuat senyum terkembang di wajah Ara. "Sepertinya nggak papa ya… Oke 15 menit saja, nanti aku antar kamu pulang. Makasih ya…" Tanpa pikir panjang Ara memejamkan matanya. Ia tertidur di samping Kar. Tubuhnya yang bertelanjang dada hanya berbalut pelukan Kar. Malam semakin malam, dan tanpa sadar malam menghanyutkan keduanya.
Ara tetap menepati janjinya untuk bangun 15 menit kemudian. Meski 15 menit, itu adalah tidur ternyaman yang pernah Ara temui selama setahun terakhir.
*
Cakraluskawijaya: Saya butuh bantuan kamu. Kamu bisa ke rumah saya?
Lyra Nasution : Dengan senang hati sayang.
Lyra Nasution : Tumben, kenapa ? kamu nggak papa kan?
Lyra Nasution : Ara?
Lyra Nasution : Aku siap-siap ya, nanti sekalian kita bahas buat dekor gedung. Maaf ya tadi nggak bisa nemenin kamu di florist.
Lyra Nasution : Aku kesana sekarang. Tungguin ya…
Ara menghela napas berat setelah membaca pesan yang sudah masuk beberapa menit itu. Lantas ia mengalihkan pandanganya pada Kar yang masih terlelap di sebelahnya. Mereka berdua sudah tidak lagi di rumah Ara melainkan di depan toko bunga tempat mereka berdua bertemu tadi sore.
"Akan lebih baik kalo lo nggak inget malam ini. Maafin gue ya, gue tau gue berengsek,gue nggak bisa bahagiain lo bahkan saat lo kasih kesempatan kedua. Maaf ya, Kar udah buat lo menderita. Gue janji gue nggak akan ngenganggu idup lo lagi. Bahagia selalu meski nggak sama gue. Gue sayang lo"
Ara mengulum senyum kemudian melepas safety beltnya dan mengecup dahi gadis itu untuk terakhir kalinya. Tangannya memberikan sapuan lembut, ia pandangi gadis di depanya tak begitu lama sebab di depan sana sudah ada dua manusia yang menunggu Kar untuk waktu yang begitu lama.
Helaan napas mengisi keheningan. Malam ini jalanan kota masih ramai. Di bungkus dengan dingin Ara mengendong Kar untuk yang terakhir kalinya.
Gue mau liat lo bahagia. Walopun terkesan egois tapi gue yakin dimanapun lo berada, dengan siapapun lo bersama lo adalah orang yang patut menemukan pintu kuning dalam kehidupan lo.
Langkah Ara terhenti. Masih beberapa meter untuk sampai di hadapan Ray dan William di depan sana. Pria itu tersenyum, dan memandangi wajah Kar. "Kalo ada hujan yang ngebasahin pipi lo, jangan pernah lupa kalo ada gue yang selalu bisa jadi lautan buat lo. Makasih ya udah dateng lagi ke kehidupan gue" Ara menarik senyum manis. Sesak jelas mengisi dada. Tak perlu waktu lama karena setelahnya langkahnya di sambut Ray dan Willliam.
Ray langsung mengambil alih tubuh Kar sedang William menelisik seluruh tubuh Ara. Ia melemparkan tatapan sarkas dan menohok, "Kalo lo nggak bisa bikin bahagia dia seengkanya jangan bikin dia kepikiran siapa lo. Bangsat, lo!"
Ara menelan ludah. taka da sepatah kata apapun yang ingin ia lontarkan untuk membalas William. Bocah itu sibuk memandangi Kar yang sedang ada dalam rengkuhan Ray.
"Udah berapa lama dia pingsan?" Ray dengan napas yang terengah memecahkan lamunan Ara.
"Dua jam" Ara mengigit bibirnya.
Jawaban Ara sontak mendapat respon decikan yang sama dari William dan Ray. "Bego bin tolol, kenapa lo nggak bawa ke rumah sakit anjir" William emosi. Ketara ia mondar mandir. Di sisi lain Ray kebih tenang.
"Oke. Thank you udah ngabarin. Saya cabut dulu…" Ray menatap lekat Ara lantas mengalihkan pada William. " Kita pergi sekarang" ucapnya pada William. Tanpa pikir panjang bocah itu mengiyakan dan mengambil mobilnya, lantas memasukan Kar ke dalam mobil. Belum sempat mobil melesat Nuha muncul membuat semua orang berhenti dari kegiatannya.
"Adek gue nggak papa kan?" Nuha masih mengatur napasnya. Ia menepuk bahu Ray, matanya menyelinap melihat kondisi Kar. Ada helaan napas lega ketika melihat keberadaan Kar. Ini jauh lebih baik dari dugaannya. Kar hanya tertidur seperti biasanya.
"Kita bawa rumah sakit sekarang?" William panic.
Sambil mengatur napas nuha melambaikan tanganya pertanda tidak. "Nggak usah, anterin dia kerumah aja. Kar baik-baik aja" helaan napas Nuha terdengar makin jelas. Pasalnya untuk sampai ke sini ia harus berlari. Ia baru saja selesai bekerja ketika mendapat kabar tentang Kar dari Ray.
"Serius?" William memastikan.
"Iyya santai aja" Nuha masih mengatur napasnya. Di sebrang sana Ray menebuk bahu Nuha, " Saya kan sudah bilang biar saya yang urus Kar" Ray tersenyum. Sayang senyum itu Nuha tampik dengan senyum sarkas dan tanganya yang menyingkirkan tangan Ray.
"It's seem you obsessed to be hero." Nuha tersenyum picik.
"I'm supehero for life"
Nuha menyernyit, "Don't be confident. Who want to believe liar like you?"
Tangan Ray kembali menyentuh bahu Nuha. Senyum piciknya mendominsi, "You trust me or…" nada bicara itu makin serupa bisik ketika Ray mulai mencondongkan wajahnya ke telinga Nuha. Perlahan nampun pasti tangan Nuha terkepal, wajahnya ketara terintimidasi. Lagi-lagi kenyataan menyadarkan Nuha bahwa ia tidak bisa mengalahkan manusia di depannya.
Tepat say Ray masuk dan mengambil duduk di sisi Kar saat itu pula pandangan Nuha menangkap wajah Ara yang entah sejak kapan berada di depan dirinya. Ada jarak beberapa meter yang membentang di antara keduanya, namun tanpa harus bicara Nuha tau kalau bocah di depannya sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang pasti berkaitan dengan adiknya.
"Buruan bang, keburu adik lo encok" celetuk William membuyarkan lamunan Nuha. Entah karena alasan apa tiba-tiba saja senyum terkembang di bibir Nuha. Sebuah senyum puas karena ia tau bahwa setelah sethun berlalu masih ada yang lebih menderita dari dirinya. Dan Nuha tau kalo Ara memang pantas mendapatkan itu semua.
"Bajingan kecil yang menyedihkan" lirih Nuha lantas memasuk mobil dan meninggalkan Ara dalam kesendirian. Jalanan masih ramai, mobil mereka sudah melaju jauh di depan Ara. Hanya titik yang terlihat, perlahan namun pasti semua memburam. Ara menarik napas, mengusap titik air mata yang bergumul di sudut matanya. Lantas membalik badan dan pulang dengan kehampaan.
Ini kan yang lo mau, Kar?
*
Brak!
Pintu terbuka, senyum Lyra terkembang sempurna. Ia segera bergegas menghampiri Ara dengan senyum secerah rembulan. "Wellcome home darling…" Lyra terbata saat melihat wajah muram Ara.
"Loh kok kamu…"
Belum sempat Lyra melanjutkan kalimatnya tubuh Ara sudah bersandar pada tubuh Lyra. "Aku boleh kan peluk kamu?" ucapan Ara pilu terdengar. Tangan Aram akin merengkuh tubuh Lyra. Di sisi lain Lyra hanya bisa menghela napas dan tesenyum sekenanya.
"Boleh" ucap Lyra sambil mengeratkan pelukan.
Sepuluh menit berlalu dan keheningan mengisi keduanya. Hanya ada suara napas tak beraturan dari tubuh Ara.
"Kamu nggak papa kan?"
Lyra memecah keheningan sayang itu tak berhasil sebab Ara masih tenggelam dalam pelukan Lyra. Pelan-pelan Lyra menepuk punggung Ara. Pelan-pelan juga Lyra mencoba memahami apa yang sedang terjadi pada manusia di depannya. Semakin Lyra pikirkan maka semakin kelihatan titik terangnya. Meski Ara tak mengatakannya Lyra tau kalo Ara baru saja pulang untuk mengantar gadis bernama Kara. Ya, Kar calon anak magang yang Ara tolak dengan privillage yang ia punya. Padahal bocah itu memenuhi semua kualifikasi yang perusahaan inginkan.
Lyra menghela napas. " Ra aku mau bicara sama kamu" Lyra mencoba merenganggkan jarak antara mereka berdua. Namun gagal karena Ara terus memeluk erat Lyra.
"Nanti ya bahas pertunangannya. Aku masih pengen peluk kamu"
Ada helaan napas dan senyum miris yang keluar bersama saat ucapan itu terdengar dari mulut Ara. Lyra merenggangkan pelukannya dari Ara. Ia temui wajah kacau Ara dengan sedikit mata yang sembab. Hal ini mengingatkan Lyra pada Papa di hari hari setelah kematian adik perempuannya.
Lyra mengenggam tangan Ara erat. Ia tatap mata sendu itu dengan tatapan paling teduh. "Kita batalin aja ya pertunangan kita"
Ara menyernyit melepaskan gengaman tangan Lyra, "Nggak." Ara menggeleng tak percaya, "Kita udah sejauh ini, kamu jangan bercanda. Apa kata orang nanti tentang kamu. Nggak aku ngga setuju" nada bicara Ara naik. Bocah itu membuang wajahnya, hanya sebentar karena Lyra langsung mengungkung wajah Ara dalam tatapanya.
"Dengerin aku dulu" Lyra menggengam tangan Ara. "Aku nggak papa kalo kita harus berhenti sampe sejauh ini. Aku nggak pantes buat kamu. Sejak awal semuanya salah aku, aku yang terlalu maksa kalo kamu harus jadi milik aku tanpa peduli gimana kamu mau nerima aku. Hubungan yang kita jalani semuanya Cuma tentang aku dan aku. Aku sadar ini nggak baik buat kita, kamu terlalu baik buat aku. Bahkan saat aku udah sadar aku nggak baik buat kamu kamu masih sempat mikirin aku. Aku nggak bisa terus nerima apa yang nggak bisa aku kembaliin ke kamu." Lyra menghela napas.
"Pasti capek kan nurutin kemauan aku yang kayak anak kecil ini. Capek kan mikirin orang lain tanpa mikirin diri kamu sendiri?" Ada gumul air mata disudut mata Lyra. "Kamu bisa jadi apa yang aku mau dan aku nggak bisa jadi apa yang kamu mau. Apa yang aku butuhkan ada di kamu tapi apa yang kamu butuhkan nggak ada di aku. Aku sadar ini salah, dan kalo kita ngelanjutin hal yang udah salah dari awal, itu nggak akan baik, Ra…"
Genggaman tangan Lyra makin erat. Di sisi lain Ara hanya bisa mengigit bibirnya.
"You must be happy too. Liat kamu sekarang udah bisa jadi gambaran gimana liat kamu sama aku di masa depan. Kamu yang berantakan, kamu yang ga punya harapan, dan kamu yang Cuma peduli sama orang sekeliling kamu tanpa mau peduli sama diri kamu sendiri. Aku sayang sama kamu dan aku salah karena aku terlalu menuntut kamu harus terus sama aku. Aku sayang sama kamu Ra, tapi aku ngga punya cukup alasan buat tetap buat kamu makin hancur."
Ara mendongakkan wajahnya, lantas menatap Lyra dengan tatapan paling dalam untuk mencari sebuah jawab, "Apa kamu ngelakuin ini semua gara gara Kar?"
Lyra tak berbohong, ia mengangguk pelan. Jelas membuat Ara makin frustasi.
"Dengerin gue" Ara menatap tajam. " Kita nggak bisa berhenti Cuma karena satu orang di masa lalu gue. Baik lo dan gue pasti punya masa lalu yang harus di terima. Beberapa masa lalu memang perlu bantuan untuk bisa di terima oleh pemiliknya. Dan gue ingin belajar menerima masa lalu dengan lo. Gue ingin jalan maju bersama lo, gue ingin membangun keluarga bersama lo, walopun gue tau akan sangat salah kalo gue membangun seseuatu diatas seseuatu yang belum selesai. Gue mohon kasih gue kesempatan untuk menyelesaikan itu bersama lo. Jangan dengerin kata orang karena gue ingin berjalan dengan lo…"
Pengecut. Lagi-lagi Ara membual.
Lyra mengusap air mata di wajahnya, "Bukan gitu caranya." Tangan Lyra mengusap wajah Ara, "Kamu yang perlu kasih kesempatan buat diri kamu sendiri, dengan diri kamu sendiri kamu harus belajar menerima masa lalu kamu. Aku nggak bisa bantu kamu, aku Cuma bisa ngerusak kamu, dan bikin semuanya makin nggak masuk akal. Kamu jangan takut buat berhenti, kamu jangan takut buat lihat hal-hal menakutkan saat kamu belum bisa menerima masa lalu kamu. Akan selalu ada orang baru yang datang dan berubah menjadi masa lalu, kalo kamu belum bisa menerima itu semua, kamu nggak akan bisa bahagia."
"Tapi gue nggak bisa…"
"Lo harus bisa!" Lyra menggigit bibirnya pelan.
"Gue nggak bisa" Ara frustasi.
Di sisi lain Lyra tidak bisa menahan emosinya. Semua isi kepalanya meledak dalam satu suara. "APA LO AKAN TERUS BILANG NGGAK BISA SEANDAINYA LO TAU KALO KAR CUMA PUNYA WAKTU 1 BULAN BUAT INGET LO. APA LO MASIH AKAN TERUS BILANG NGGAK BISA KALO CUMA ADA PILIHAN TERLUPAKAN DAN DIABAIKAN?! RA,LO NGGAK BISA TERUSHIDUP BUAT ORANG LAIN. LO HARUS HIDUP BUAT DIRI LO SENDIRI. GUE NGGAK MAU LO MERASAKAN SESUATU YANG SAMA DENGAN APA YANG GUE RASAKAN. LO JANGAN PERNYAH HIDUP DALAM PENYESALAN, KARENA WAKTU AKAN HABIS DAN LO CUMA BISA TERPURUK."
Teriakan Lyra membuat dada gadis itu naik turun tak beraturan. "Sorry gue harus bilang kalo pertunangan kita batal. Sorry.."
Ara masih bergeming ketika pintu terjeblak karena Lyra bergegas pergi meninggalkan kediaman Ara. Suara mobil lamat-lamat hilang dan menyisakan Ara dalam keheningan. Perkataan Lyra memenuhi kepala Ara.
"Kar Cuma punya satu bulan?"
*