Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 18 - 16.00

Chapter 18 - 16.00

Bahwa Tuhan tidak pernah salah mengambil apa yang bukan milik kita

Bila mana Tuhan telah jatuh cinta pada umatnya.

Maka dengan seluruh semesta, maka Ia beri segala yang umatnya pinta dengan jalan yang tak terduga

*

Jakarta, 2021

Hari ini hari hari ke sebelas kepulangan Khariskara di Indonesia. Gue bersyukur masih bisa melihat senyumnya pagi ini. Walaupun itu nggak bertahan lama karena gue harus menghadiri pemakaman teman kuliah gue. Jujur pemakaman itu membuat gue sedikit tidak percaya dengan sebuah harapan. Dimana manusia berharap maka di situ Tuhan pasti akan menaruh jembatan rapuh untuk meruntuhkan.

Gue tau mati dan hidup manusia di tangan sang kuasa. Sebelum bayi memilih nama mereka sebelum itu pula setiap kisah manusia tertulis di lautan yang telah yang Kuasa cipta. Gue percaya namun keadaan membuat gue sulit untuk percaya. Bagaimanapun dengan keadaan gue sekarang dan keadaan Kar itu akan membuat gue semakin sulit percaya. Keluarga gue kehilangan banyak hal untuk mengurus Kar selama di Jerman. Dari kolega sampai saham perusahan bunda. Ini titik terendah kami, selain kesehatan Kar ekomoni keluarga kami juga memburuk.

Adek nggak salah apa-apa. Keadaam juga nggak akan gue salahkan. Setahun sudah berlalu dan gue mulai memafkan keadaan. Walau sulit untuk memaafkan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Perlahan gue memahami bagaimana menjadi seseorang yang hidup didalam ketakutan selama hidup mereka. Mungkin gue terlambat tapi pada akhirnya gue paham bagaimana perasaan kar ketika menjalani hari-hari paling berat dalam hidupnya di tahun-tahun lalu.

Gue nggak tau harus bercerita dari mana, yang jelas adik gue menderita aniexity sejak remaja. Titik terendah dalam hidupnya dipacu oleh gue sebagai kakaknya. Dimana tanpa gue sadari kesuksesan gue hanya membuat dia merasa semakin kecil dalam hidupnya. Dilingkungan keluarga dan lingkungan sekolah sampai pertemanannya, Kar hanya menjadi menderita karena pencapaian gue. Kesuksesan gue adalah kehancuran bagi dia. Apapun yang gue raih adalah standar buat hidup dia. Dari situlah Kar berusaha memenuhi tuntutan orang disekelingnya tanpa sepengetahuan gue. Bunda dan Ayah tak pernah tau kalau pencapaian Kar adalah bentuk kegagalan akan dirinya. Setiap kali hasil ujian yang memuaskan setiap kali itu pula ada puluhan malam yang ia habiskan dengan pil penenang.

Gue masih ingat betapa polosnya ia berbohong ketika gue memergoki bermacam-macam botol obat penenang di ranselnya. Kar selalu bilang kalau itu adalah vitamin dan kapsul tambah darah. Ia juga selalu bilang kalau ia lebih menyukai lengan panjang daripada lengan pendek untuk bajunya. Tapi siapa tau kalau semua pengakuanitu hanya alasn belaka untuk menutupi lukanya.

Perlahan namun pasti semua kusuksesan gue telah menjadi pemicu utama keadaan kar saat ini. Meski ia masih bisa tersenyum, meski ia masih bisa menyirami bunga di pagi hari, gue akan tetap menyesal. Semua pil penenang yang ia tenggak telah merusak sel otak kar. Mulai dari daya ingat sampai fungsi tubuh yang melemah. Jujur gue takut, kalau suatu saat nanti gue nggak bisa melihat senyumannya. Takut suatu saat dia pergi jauh dan lupa bagaimana cara untuk tersenyum kembali. Takut dia akan melupakan gue seperti dia melupakan orang lain.

Dokter bilang Kar tak punya cukup waktu lagi. Sel otaknya sudah rusak parah. Satu persatu kenangan mungkin akan terlupa. Dan satu persatu manusia akan kehilangan nama dalam kepalanya. Tapi sebagai manusia, gue percaya bahwa keajaiban akan muncul darimana saja. Selagi menunggu keajaiban selagi itu pula gue terus berusaha untuknya. Apapun yang membuatnya bahagia adalah semua hal yang akan gue lakukan untuk dirinya.

Kara, kamu harus janji bertahan lebih lama

Lamunan gue terhenti ketika Kar menyambut gue dengan pelukan hangat. Gue baru saja pulang dari pemakaman. Setelan yang gue kenakan jelas hitam gelap tanpa hiasan.

"Lama banget sih, abang janji loh mau ngajakin kara beli boba"

Kar menggerutu gemas. Gue hanya bisa menarik senyum sambil mengusap rambutnya. Wajahnya pucat namun tetap manis ketika melihat matanya.

"Tadi macet di jalan. Kamu udah mandi kan? Nanti sekalian beli album NCT gimana?"

Ada binar menyala di mata Kar. "Boleh boleh…abang yang bayar kan?"

Layaknya anak anjing gue hanya bisa mengangguk patuh. Apapun yang membuat dia bahagia adalah prioritas utama. Tanpa pikir panjang gue rengkuh tubuh Kar. Memeluknya erat sambil berdoa agar Tuhan memberi satu keajaibanya untuk manusia kecil di pelukan gue.

Apapun rencana Mu diatas sana

Maka biarkan aku sedikit ikut campur untuk kehidupannya

Karena aku telah menghancurkan hidupnya

Karena itu pula aku harus memberinya hadiah tak terduga

Lewat keajaiban tangan Mu, aku percaya bahwa segalanya pasti mungkin untuknya

*

Italia, 2021

Karena tempat ini begitu indah. Karena tempat ini begitu damai karena itupula Rehan yakin bahwa ia sedang berada di alam mimpi. Beberapa kali Rehan memejam mata namum beberapa kali terbangun di dalam mimpi yang sama. Sepertinya ia tak bisa lepas dari tempat itu begitu saja. Akhirnya Rehan membiarkan dirinya terjebak di sana. Ia pandangi semua yang ada di hadapannya.

Seorang anak perempuan berlari kearahnya. Memeluk sambil mengatakan, "papa, what are you doing? Uncle udah nunggu papa loh"

Lalu tanpa bisa menjawab Rehan mengikuti langkah kecil gadis itu. Membawa Rehan ketempat bernama taman yang lebih indah dari tempat sebelumnya. Rehan duduk, memandangi gadis itu menyambut seorang wanita dengan stelan casual yang membuatnya tertegun beberapa detik. Terbesit sebuah harapan kalau wanita itu adalah seorang yang akan gadis kecil itu sebut dengan panggilan mama. Sebab Rehan tau kalau dalam mimpinya ia sedang menjadi seoarang papa, dan ia harap wanita itu adalah pasanganya. Wanita itu adalah Re.

"Tante Re kok telat?!"

Semesta bercanda. Bahkan di alam mimpi pun Rehan tak bisa memiliki gadis itu. Barang kali sedetik tidak ada. Re bukan ibu dari anaknya. Rehan harus paham.

"Nil mana tante, nil mana…"

Gadis kecil itu terus merengek memanggil nama Nil. Sedangkan Rehan terus memandangi Re dengan tanya dikepalanya. Bagaimana bisa orang asing seperti Re sedekat itu dengan putrinya. Namun lagi-lagi lamunan Rehan terhenti ketika melihat sosok anak laki-laki dengan tubuh yang lebih tinggi dari putrinya muncul bersama dengan seorang laki-laki yang lagi-lagi membuat Rehan tersenyum miris. Laki-laki itu adalah Ray.

Sekarang di depan matanya sudah adar Re dan Ray yang terlihat tanpa beban meladeni gadis kecil yang merajuk bertemu Nil. Tidak lama karena setelah anak laki-laki itu mendekat gadis itu berhenti protes dan memeluk anak tesebut. Bisa di pastikan bocah laki-laki itu adalah Nil.

"You are late. Papa sama aku udah nunggu lama bisa-bisanya kamu telat" Gadis itu terus menggerutu kepada Nil.

"Sorry, aku tadi ada les bahasa. Mama telat jemput karena mobil papa abis bensin." Nil menjawab. Ia tampak melempar ekspresi kesal menuju Re dan Ray. Sedangkan Rehan mencerna kata kata bocah itu dengan begitu serius.

Mama

Papa

Re

Ray

Bagaimana bisa bukan kah keduanya saudara?

Bagaimana…

Pikiran liar Rehan tertahan ketika Re tersenyum kepadanya. Sebaliknya Ray mengambil duduk di samping Rehan dengan senang hati. Semua nampak baik-baik saja, semua nampak damai kecuali kepala Rehan. Rehan benar-benar butuh bicara, sayang dalam mimpinya ia menjadi satu satunya manusia yang tidak bisa bersuara. Rehan hanya bisa melihat apa yang ada di depannya.

"Kebiasaan deh lo bang lupa isi bensin. Kasian Nil kan. Lo juga Han punya anak liar banget sama anak gue. Iya gue tau anak gue ganteng tapi jangan ganjen sejak dini dong. Anak gue punya cita cita Havard university."

Rehan menelan ludah. Ada yang salah dengan percakapan ini. Bagaimana bisa Re memanggil suaminya dengan panggilan "Bang?". Bagaimana juga Re menyapa dirinya sesederhana itu. Setelah semua yang berlalu, apa itu mungkin? Lagi-lagi Rehan tak boleh bicara. Suara lain muncul dari celetukan Ray.

"Dasar emak-emak kaya kagak ngerti aja Bandung kalo weekend kaya antrian gebetan saya. Lagipula anak kita mau sekolah dimana aja terserah dia lah. Hidup ini punya dia dan kita sebagai orang tua cuma bisa support dia. Jangan terlalu menggantungkan ego lo di anak lo Re."

"Dih bawel lo jadi bapak. Gue Cuma ingin yang terbaik buat Nil."

"iya deh iya tapi kan yang terbaik buat lo belum tentu terbaik buat dia"

"Iya gue ngeri monyet. Tapi seengaknya gue ngasih dia pilihan, advice gitu. Nggak kayak lo, bapak macam apa yang di panggil ke sekolahan buat parenting anaknya malah ngacir ke kentin gangguin teteh teteh?" Re agak ngegas. Disis lain Ray beralih dari duduknya menuju ke pemanggangan. Lelah dengan ocehan Re.

Rehan masih mengamati dua orang di depannya.

"Udah ngga usah cari cari kesalahan gue. Anyway ini Arin sama Aron belum dateng?" Ray mengalihkan pembicaraan. Dan lagi-lagi Rehan bertanya siapa Arin dan Aron yang Ray sebutkan.

"Barusan gue chat bokapnya. Katanya mau ketemu Bundanya dulu, oiya Batak juga lagi di Indonesia. Baru sampe Jakarta, kalo cukup waktu dia bakal join ke sini sih."

Ray menghokan panjang. Lantas mengeluarkan semua isi dari box yang ia bawa. Memulai perapian untuk memanggang beberapa bahan makanan untuk pesta BBQ hari ini. Rehan masih mencerna.

"Nadev gimana jadi dateng?" Ray memecah keheningan. Namun gagal karena Re gelagapan menjawab.

"Nadev…"

Re terselamatkan karena tiba-tiba Nil dan gadis kecil yang membuntutinya menyapa dua anak yang baru saja datang bersama dengan sesorang yang membuat Rehan mengembangkan senyum. Dua bocah itu adalah Aron dan adiknya Arin serta sang ayah. Ayah kedua bocah itu adalah Ara.

"Sorry telat, tadi ketemu anak anak minta ketemu bunda dulu." Ara tampak berseri meski tanganya penuh dengan tas perlengkapan milik kedua anaknya. Lantas ia tersenyum menuju Rehan, "Bang, long time no see. Gimana masih kuat ngurus Grace?"

Grace, akhirnya Rehan mengerti siapa nama anak perempuan dalam mimpinya. Sayang Rehan tak bisa bicara. Ia hanya bisa tersenyum sambil menyaradi betapa indahnya mimpi yang sedang ia alami.

"Siang uncle Ray, siang uncle Rehan, siang aunty Re"

Rehan mengembangkan senyum. Bagaimana mungkin anak kecil di depanya mirip dengan Ara kecil. Di sisinya ada anak perempuan yang sejenak mengingatkannya pada sosok Kara. Jadi… apa mungkin mimpinya ini adalah gambaran mereka di masa depan? Jadi apa mungkin tuhan benar-benar memberikan kebahagiaan setelah semua penderitaan yang telah mereka terima?

Jadi…

Sial, Rehan menyadari bahwa ini hanya mimpi. Menelan ludah Rehan terus memandangi kebahagian di depannya. Bagitu bahagia, begitu inah dan begitu damai sampai sampai Rehan ingin tinggal di dalam sana selamanya. Namun lagi-lagi Rehan teringat dengan lilis.

"Perjalanan abang belum selesai. Lilis mau abang mengantarkan malaikat lilis pulang dengan tenang"

Sejenak semua kegoisan Rehan hancur. Meski hidup tak abadi namun bermimpi juga bukan pilihan tetap untuk menetap. Apa yang sudah dirinya mulai adalah apa yang harus ia selesaikan. Dengan berat hati Rehan beranjak menuju gadis kecil yang sedang sibuk menggoda Nil. Ia tatap gais itu dengan penuh kasih. Lewat sorot mata ia peluk gadis itu dengan lembut.

"I'm blessed to meet you. See you"

Tangan kekar Rehan memeluk gadis itu. Sembari mencium rambutnya. Ia memejam mata. Perlahan namun pasti kebisingan mengisi telinga. Mimpi berakhir. Semua orang hilang dan Rehan kembali dalam kenyataan. Ketika ia membuka mata, ia sdah sepenuhnya memandangi langit-langit rumah sakit.

Rehan membasahi bibir, mengatur emosinya. Lantas ia beralih pandang menemukan seseorang di samping bangkarnya. Bukan Ara, melainkan Rhea. Wajah lelahnya mengukir senyum di wajah Rehan. Setidaknya setelah bangun ia masih bisa melihat sedikit bahagia dari manusia yang ia cinta. Meski iapun tau kalau manusia itu tak akan pernah lahir untuk menerima segala cinta tulus darinya.

*

Jakarta, 2021

Ozric Nuha Renoir : Abang masih kerja, tunggu ya

Khariskara Renoir : Adek samperin ke tempat kerja ya?

Ozric Nuha Renoir : Ga papa?

Khariskara Renoir : Ga papa. See you abang :*

Ozric Nuha Renoir : Ati-ati. Kalo ada apa apa telfon abang. See you

Kara memasukan ponselnya ke dalam tas sembari mengamati rintik hujan yang sore ini turun begitu deras. Seperti biasa gadis itu tak ernah membawa payung seakan memang sengaja ingin bermain hujan. Sayangnya tidak begitu, gadis itu benar-benar lupa tentang ramalan cuaca akhir-akhir ini. Semenjak di tinggal di Jakarta Kara memilih menjadi warga yang apatis terhadap ramalan cuaca. Semua karena dunia perkuliahan yang menyibukan dirinya.

Sudah berjalan dua bulan semenjak ia pulang dari Italia. Hampir sebulan dirinya menjalani rutinitas sebagai salah satu mahasiswi di sebuah unibersitas swasta di Jakarta. Meski berat Kara tak banyak mengeluh, ia sadar betul dengan kondisi keuangan keluarganya.

Berat memang namun bukankah kehidupan selalu berputar untuk di tertawakan?

Kara mengecek jam di pergelangan tangannya. Sudah cukup lama ia menunggu dan hujan tak kunjung reda. Ia tertahan di halte bus sendirian. Sebenarnya jarak café tempat Nuha bekerja tak jauh dari halte bus. Masalahnya hujan di luar sana makin menggila. Kalau Kar nekat menerobos bisa-bisa ia basah kuyup dan mebuat Nuha makin khawatir padanya. Namun jika ia terus tertahan di halte sendirian, Kar taku hal buruk lain akan terjadi pada dirinya.

Setelah menimang beberapa lama akhirya Kara memilih untuk menerobos hujan. Baru saja stu langkah keluar dari halte seseorang telah menedukannya dari hujan dengan memberi payung dari arah belakang. Kara mengelan ludah, parno sendiri.

"Lo…" Kara terhenti pada kalimatnya sebab ketika matanya menangkap seseorang yang memberinya peneduhan saat itu pula hatinya takluk dan teduh. Hujan kali ini tak begitu berisik sebab kepala Kar lebih berisik.

Seseorang itu lantas tersenyum, manis, "Kebetulan saya sejalan dengan kamu. Saya kira akan lebih baik kalau saya memberi tumpangan payung gratis buat kamu. Saya tidak suka liat perempuan kehujanan. Saya.."

Sialnya Kara menarik diri dengan memperenggang jarak. Memilih kehujanana daripada bicara dengan orang asing di depannya. "Nggak usah sok baik dan sok kenal. Gue kehujanan lo juga nggak akan rugi. Lagian gue nggak percaya sama orang asing kayak lo."

"Nama saya Ray, saya pemilik café di seberang sana" Ray menunjukan kartu identitasnya, "Masih tidak percaya sama saya?"

Kara belum menjawab namun payung milik Ray sudah meneduhkan dirinya. "tapi tetep aja gue nggak boleh percaya sama orang yang baru gue kenal. Lo jangan coba macem macem ya sama gue. Abang gue kerja di-"

Tittttttttttttttt

Suara klakson memecah suasana. Sebuah mobil melaju kencang di sisi jalan. Hampir saya mengenai tubuh Kara namun lagi-lagi Ray sigap menyelamatkan gadis itu. Sayangnya mereka berdua tak bisa selamat dari cipratan air di tepi jalan. Jelas itu membuat Ray menggerutu menyebalkan. Disisi lain Kara mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Sialan tuh mobil." Ray membenarkan posisi payungnya sambil mengibas bajunya yang terkena cipratan. "Kamu nggak papa?"

Kara mengerjap beberapa kali sebelum mengangguk. Lantas menyusun kalimat yang bersarang di kepalanya, "Lo kenal gue?"

Ray diam. Dalam wajahnya ada senyum kecut yang tergambar. Bagaimanapun dirinya termasuk orang yang Kara lupakan. Ray benar-benar harus membuat gadis itu mengenalnya dari awal. Satu sisi hal yang bagus karena ia punya lebih banyak kesempatan untuk memenangkan gadis itu. Terlepas dari apa yang telah ia lakukan bersama monster dalam tubuhnya.

"Kenapa harus gue?"

Ray menyenyit tak paham degan pertanyaan Kara.

"Kenapa harus gue yang lo selamatkan sedangkan lo nggak kenal gue?"

Hujan mengisi kekosongan, Ray medekatkan tubunya. Lantas ia tatap mata Kara dengan kesungguhan, "Karena kamu wanita dan semua wanita penuh dengan kebaikan." Ray terdiam beberapa saat, "Dan kamu lebih baik dari semua wanita yang telah saya kenal"

Mata Kara membulat sempurna, "Itu artinya lo kenal gue?"

Perlu beberapa saat sampai akhirnya egois untuk mengiyakan, "Khariskara Renoir, nice to meet you" Ray mengulurkan tangan pada Kar. Senyum tergambar jelas di wajah Ray.

Disisi lain Kara terdiam cukup lama sampai sebuah ingatan datang meyapu sel otaknya. Pusing melanda. Tanpa ia sadari kenangan itu muncul bersama denga senyum manis Ray. Semesta memihak. Tanpa mereka sadari satu-persatu kartu telah Tuhan buka. Pertemuan singkat di akhir sebuah cerita.

Di halte bus saat hujan begitu derasnya laki-laki bernama Ray memeluknya begitu erat. Sambil berkata "Kamu di cintai Kar selamanya di cintai"

Ingatan itu telah muncul kembali.