Italia, 2021
"LILIS!!"
Kar telah bangun sepuluh menit yang lalu saat keributan mengisi telinganya. Ini teriakan kedua setelah kegaduhan yang ia dengarkan sepuluh menit lalu. Kar tau pasti siapa yang ada dalam perdebatan itu. Ialah Re dan Ara. Saat suster menanyakan siapa wali pasien yang sedang terbaring di bankar, keduanya (Re dan Ara) menyaut bersamaa.
"Saya walinya" Re menyerobot
"Saya keluarganya" Ara tak mau kalah.
"Saya… pacarnya" Re tampak ragu berucap. Tak lama Ara membalas.
"Saya Adiknya"
Sang suster pun sama bingungnya dengan Kar yang baru saja bangun dari pingsannya. Kar yang baru saja bangun harus di suguhkan pemandangan yang membuatnya memutar otak lebih panjang. Bagaimana bisa kakak adik jatuh cinta pada wanita yang sama? Kalau boleh Kar menebak begini urutannya: Ara menyukai Re dan Re menyukai pria di bangkar itu. Sedangkan pria di bangkar itu tak bisa menyukai Re karena menghargai perasaan adiknya. Tapi persetan sih, daripada membahas itu kenapa mendadak rumah sakit di penuhi wajah pribumi ? Indonesia sekali !
"LILIS!!"
Kar tersadar dari lamunanya, ternyata sudah sekitar 20 menit Ara dan Re meninggalkan pria di bangkar sendirian. Mereka akhirnya mengurus administrasi bersama. Tersisa Kar yang diam diam sambil mengambil duduk di samping pria itu.
"LILIS!!"
Kar mengela napas, nampaknya ia harus terbiasa karena berulang kali pria itu mengigau. Kalau dilihat-lihat wajah pria itu familiar bagi Kar. Entah dimana mereka pernah bertemu, hanya saja wajah tampan dan badan sangar itu…
Kar berhenti menerka, karena ketika ia sedang menatap lekat wajah pria itu tiba-tiba saja pria itu membuka mata. Bola matanya ketara membulat sempurna ketika menemui wajah Kar. Ketara kalau pria itu kaget setengah mampus. Mungkin ia merasakan sensasi melihat hantu atau makhluk astral lainnya. Tapi sayang yang ia lihat bukan hantu melaikan Kar.
"Are you okay? Bisa speak indo kan?"
Pria itu mengerjap beberapa kali. Menelan ludah berulang kali. Sampai sepatah kata keluar dari mulutnya, "yes I can."
"Syukur deh udah bangun. " Kar tersenyum polos. Benar-benar seperti tak mengenal siapa pria di sampingnya.
"Lo…"
Belum selesai pria itu bertanya Kar sudah menungkasnya, "Ara sama Re lagi ngurus administrasi di depan. Gue tadi liat lo ngga ada yang nge jagain, gue juga sendirian, jadi daripada gue sendiriandan lo sendirian, jadi gue nemenin lo deh hehe"
Pria itu menelan ludah, kikuk. "Emang lo kenal gue?"
Kar menggeleng, masih mengumbar senyum.
"Enggak" jawabnya ringat membuat kernyitan di dahi pria itu.
"Lo kenal Ara?"
Ada seperkian detik Kar terdiam sampai akhirnya kata-kata yang ia rasa cocok untuk menggambarkan kondisi di kepalanya keluar, " Emmmm katanya dia mutual gue sih dulu. Tapi gue nggak yakin sih soalnya gue kan lupa lupa ingat gitu. Eh kita kan belum kenal nih, berhubung gue udah nungguin lo disini boleh dong kenalan…." Kar mengulurkan tangannya. "Kenalin nama gue Khariskara Renoir, panggil aja Kara, kar atau sayang juga nggak papa hehe"
"Gue…"pria itu mengigit bibir menahan tawa. Gila kenapa bocah ini berubah 180 derajat dari yang dia kenal. "Gue Edzhar Rehan, panggil aja Rehan. "
"Oke salam kenal bang Rehan hehe."
Senyum Rehan terkembang sempurna. Ia beralih posisi untuk duduk lantas tak perlu waktu lama tangan kekarnya mengusap rambut Kar. Lembut seperti mengusap anak anjing kesukaanya. Bagian yang tek pernah hilang dari Kar adalah ia yang menggemaskan. "Bias gue Naeyon" celetuk Rehan.
"Hah?" Kar antusias meskipun wajahnya pucat. "Abang Once? Serius? Sama dong bias gue Jihyo" Mata Kar berbinar, namun sayang beberapa saat selanjutnya penuh selidik. "Kok kayak dejavu"
"Kenapa?" tanya Rehan lembut.
"Dih!" Kar langsung beranjak menuju bankar asalnya untuk mengambil ranselnya. Lantas ia meraih ponsel dan mencari sesuatu dari dalam sana dengan antusias. Di sisi lain Rehan tersenyum datar, ternyata Kar juga pasien sepertinya. Pantas saja ia pucat.
"Bang!" Rehan belum sempat kasihan karena Kar sudah menjingkrak kegirangan, "Kamjagiya!! Jadi ini abang? Kok gue dm kaga di bales sih bang" Kar menggembungkan pipinya. Seakan akan sebal, padahal mah caper doang sama cowok ganteng kayak Rehan.
Lagi-lagi Rehan mengusap rambut Kar. Kali ini pelan, tak bicara sepatah kata mungkin sedang merangkai segala alasan di kepalanya. Toh mana mungkin ia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Belum lagi peristiwa setahun silam sudah cukup merusak gadis itu. Namun lagi lagi kenapa semesta solah ingin menghancurkan hidup mereka berdua melalui pertemuan ini?
"Bang…"
Rehan menatap mata Kar, "Lo sakit?"
Kar membasahi bibirnya, lantas mengigitnya pelan. "Gue lupa pake gincu hehe" giliran Kar membuang pandang menyembunyikan kebohongan di matanya.
"Serius?"
Kar mengangguk.
"Terus ngapain di rumah sakit?" Rehan mencari celah, ia tau bahwa sedikit lagi gadis itu pasti akan mengaku.
"Gue…."
Dalam kebingungan Kar, ia terselamatkan karena kedatangan Ara. Suasana yang tadinya menyenangkan tiba-tiba dingin seketika. Entah antara Kar dengan Ara atau Rehan dengan Ara. Kar berdeham, memecah suasana namun sialnya tatapan Ara tetap jatuh pada Kar. Diam-diam Rehan mengamati kelakuan adiknya.
Kini giliran Rehan berdeham. "Ekhmmm...administarsinya udah beres?" Rehan mencoba bertanya senatural mungkin walaupun ia sadar hubunganya dengan Ara sedang tidak baik-baik saja. Di tambah lagi mereka bertemu pada kondisi dan keadaan seperti ini.
"Udah" Ara menjawab. Singkat padat dan jelas.
"Jadi gue udah bisa pulang?"
Sayang sekali pertanyaan Rehan kali ini di acuhkan. Ara memberikan selembar kertas ke Kar. Kertas administrasi yang jelas membuat Ara kesal. Bagaimana bisa dengan kondisi kesehatan seburuk saat ini gadis itu masih bisa tersenyum?
"Jadi lo sakit?"
Rehan sedikit hiperbola ingin memancing reaksi Ara. Namun sayang bocah itu hanya diam dengan tatapan super tajam yan tak beralih seincipun dari Kar. Sebaliknya Kar malah cenge-ngesan. Tapi di balik itu semua Rehan tau betapa tidak nyamannya Kar dengan Ara. Ada sesuatu yang terjadi diantara mereka sebelumnya?
"Masuk angin. Eh…"Kar mengingit bibir, "Berobat disini nggak bisa pake BPJS dong?"
"Pfffttt" Rehan gagal menahan tawa. Persetan dengan pasien lain keduanya ngakak bersama, kecuali Ara. "Ngadi-ngadi aje lo. Mana ada masuk angina di tanggung BPJS, lagian ngawur banget sih lo hahaha"
Kar menarik senyum semanis madu. Tatapanya masih tak beralih dari ketawa Rehan, jelas itu hal yang membuat Ara merasa cemburu. Entah bagaimana bisa dunia tak adil kepadanya, orang yang ia cintai tertawa untuk orang lain sedang pada dirinya ia tak pernah tertawa sekalipun. Apa Kar sebenci itu pada Ara?
"Lucu kan?"
"Lumayan lah. Tapi anyway nih…" Rehan mengalihkan wajahnya pada Ara. "Gue udah bisa pulang?"
"Dua hari lagi"
"what?" Rehan hiperbola namun Ara Cuma dingin.
Di sisi lain Kar tersenyum, "Kalo gue udah boleh pulang kan?" kerlingan mata Kar mengalihkan semua dunia Ara. Ara sampai tak bisa bersuara. Ia hanya mengangguk, hal itu membuat senyum makin terkembang di wajah Kar.
"Mmm kalau gitu gue pulang dulu ya…" Kar meraih ranselnya. Lantas membagi pandang pada Arad an Rehan sampai akhirnya ia jatuhkan pandanganya pada Rehan. Luka di lengan Rehan menganga begitu lebar.
"Lo beneran mau…." Rehan terdiam.
"Huffftt" Kar meniup luka di lengan Rehan. Kemudian mengelusnya dengan lembut sambil berucap "Dulu tiap kali gue jatuh dari sepeda dan luka kaya gini abang gue selalu niup sambil bilang 'sini yang berani buat adek gue sakit, jangan harap lo bisa makan enak besok pagi. Sini kalo berani gue lindes lo pake sandal hehe' tapi berhubung bang Rehan lebih gede dari gue dan gue ga mungkin lindes mobil jadi aku tiupin sambil berdoa ' cepet sembuh lengannya bang Rehan' hehe"
Rehan mengulum senyum, "baru tau gue kalo jigong abang lo bisa buat obat hehe. Anyway thanks, gue pasti cepet sembuh kok"
Kar mengangguk kali ini beraih menatap Ara. Keduanya kikuk sampai akhirnya Ara melepas jasnya dan mengenakkannya pada Kar. Ia masih menatap hangat meski wajahnya dingin.
"Gue anter mau?" menelan ludah Ara meruntuki keberaniannya.
"Mending lo jagain abang lo"
"Sampai depan?"
Kar menimang sebelum akhirnya ia mengiyakan karena suruhan Rehan. Sesampainya di lobi depan Kar melihat Re yang sedang duduk di bangku taman. Cuaca sore ini lumayan buruk, angin berhembus dengan kencang. Dingin menyelimuti.Kar melepas jas pemberian Ara lantas menyelimuti butuh Re dengan jas itu.
Re menyernyit, mencerna karena wajah pucat Kar masih saja mengembangkan senyum yang ambigu.
"Pulang lo?" akhirnya Re membuka suara.
Kar mengangguk. "Besok pagi flight ke Indonesia."
Helanaan napas Re terdengar sempurna. Ia tak menganggapi banyak hanya mengohkan sampai suasana hening lagi.
"Sorry…" ucap Kar membuat Re menyernyit. "Gara gara gue lo sama Rehan sama Ara harus begini. "
"Its okay" Re menjawab sewajarnya saja. "Lagi pula kalo nggak ada lo pun bakal seperti ini kok. Jangan salahin diri lo, paham?"
Pertama kalinya Re menatap Kar saat bicara. Jelas ini membuat Kar bahagia. Tanpa aba-aba Kar memeluk Re. Erat kemudian melepasnya, lantas bicara, "makasih ya Re. Nanti kalo lo balik ke Indo jangan lupa kabarin gue hehe. Terus…." Kar membenahi jas pemberian Ara pada tubuh Re.
"Jangan lupa jaga kesehatan. See you when I see hehe"
Kehangatan menyelimuti keduanya. Dalam hening senyuman Kar mengangatkan dinginya hubungan mereka berdua. Setelah setahun akhirnya Re bisa melihat sahabatnya tersenyum kembali, meski ia tau di balik senyum itu ada sesuatu yang pedih tersembunyi. Angin terus berhembus. Dingin menerpa. Di balik senyum yang begitu kalut, kulit Kar mencoba mengatasi dinginnya Italia sore ini. Bagaimanapun sahabat lebih penting dari dirinya. Lagipula ini pertemuan terakhir mereka sebelum Kar pulang ke Indonesia.
*
Jakarta, 2021
Terik matahari hampir membakar habis tubuh Nuha. Panas siang ini harus bertambah gerah karena seharian Nuha membereskan rumah baru yang akan ia tinggali dengan keluarganya. Sekarang kondisi ekonomi keluarga mereka sedang tak baik. Semenjak tinggal di Jerman dan kehilangan beberapa kolega dalam dunia bisnis semuanya seperti memburuk.
Alasan lain mengapa Nuha pulang ke Indonesia selain untuk melihat pernikanan Binta juga untuk mengurus segala keperluan keluarga mereka. Nuha senang sekaligus sedih, karena harus meninggalkan rumah berharga mereke di Semarang namun senang karena bisa memberikan liburan untuk Kar di Italia. Meski tanpa dirinya.
"Makasih mas"
Nuha membungkuk mengambil beberapa dokumen yang baru saja diantar oleh kurir surat. Dokumen itu berisi semua hal yang Kara butuhkan selama di Jakarta. Tak ada yang istimewa selain selembar foto masa kecil mereka. Ia pandangi beberapa lama , belum sampai hanyut Nuha harus beralih untuk bekerja. Barusan ada panggilan dari salah satu pemilik café tempat ia bekerja. Mereka bilang Nuha harus datang lebih awal karena malam ini pengunjung akan lebih ramai dari malam-malam sebelumnya.
Rencana tuhan siapa yang menyangka? Nuha yang dulu bisa menggelar konser pribadi kini hanya menjadi seorang pemain piano di café. Sisanya waktunya ia habiskan untuk membantu membangun kembali usaha milik Bunda. Sebenarnya ada banyak tawaran ikut orchestra atau menjadi pengajar di institute ternama, namun demi untuk tetap berada di sisi adiknya, Nuha memilih menolaknya. Sekarang tak ada yang lebih penting daripada napas gadis itu.
Ting.
Ponsel bertenting.
Khariskara Renoir : Bang besok adek pulang :v
Ozric Nuha Renoir : yey! Pagi kan?
Khariskara Renoir : Yupsi. Eh nanti abang yang jemput kan?
Ozric Nuha Renoir : Emang ada yang lain selain abang ?
Khariskara Renoir : enggak sih heheh. But anyway bang I was met Rhea. I grow up became a good painter. Dia ngadain pameran di Italia, lukisanya bagus-bagus loh hehe
Nuha mengigit bibir. Terkadang ada banyak hal di luar kendali manusia, contohnya adalah pertemuan Kar dengan Rea. Nuha tak pernah berharap ini akan terjadi seperti pertemuanya dengan Ray. Tapi apalah daya manusia bukan satu-satunya makhluk yang punya kendali atas dirinya. Di atas manusia tuhan dan semesta sangat senang mempermaikan takdir manusia.
Ozric Nuha Renoir : That was good hear you will back home : )
Khariskara Renoir : Heheh bisa aja nih abang. Aku ga bawa oleh oleh apa-apa sih, tapi tenang aku udah dapet tanda tangan Rea. Abang pasti seneng kan?
Kali ini Nuha tersenyum smirk, entah mengapa ia tak begitu senang mendengar nama Rea. Selalu ada bayangan buruk tentang gadis itu. Gadis pembawa sial itu tidak bisa kan ia enyah dari kehidupan adiknya? Tidak bisakah keluarga sialan mereka hilang dari keluarganya? Namun lagi-lagi semua cemoohan dan tanya dalam kepala hanya bisa mengendap disana. Di sebuah ruang yang Nuha namanakan dengan kebencian.
Ozric Nuha Renoir : I'ts good tapi daripada abang simpen mungkin akan lebih baik abang jual : ))
Nuha meletakkan ponsel di atas meja. Mengabaikan tanggapan adiknya. Ia pandangi halaman teras rumah yang penuh dengan tanaman gantung. Pandanganya lalu jatuh pada pagar usang di depan sana. Cukup lama sampai akhirnya matanya menatap sosok Ray dari muncul dari sana.
"Rumah baru lo?"
Itu suara pertama yang terdengar ketika Ray menapaki teras dan memainkan beberapa pot tanaman gantung. Nuha tak punya reaksi berlebih selain memandangi Ray dengan penuh kebingungan dan kebencian. Setelah menedengar nama Rea otomatis membuat Nuha merasa mual dengan keberadaan Ray.
"Bukan urusan lo" jawab Nuha singkat.
"That's my bussinnes. Anyways sebelum lo mengusir gue karena lo pikir gue hanya datang untuk menginjak-injak harga diri keluarga lo, I just wanna tell you something. You can hate me as much as you want, but you must realize that I come with all of my forgiveness. If you think I just wanna playing game with you, maybe you are false. I didn't like play game with life, cause life gaming with us."
Nuha menghela napas, "Bullshit you are" ucap Nuha sarkatis.
"Anything in your mind dude. I tell the trurth. Oiya, soal orang tua lo…." Bersamaan dengan laimat itu mengudara bersamaan dengan itu pula kepalan tangan Nuha mengerat. Jika benar itu adalah sebuah kebenaran dan jika itu sebuah rumor yang beredar, maka akan sangat bahaya jika hal itu jatuh ke tangan Ray. Sebab saat ini eksistensi Ray lebih berpengaruh dari keluarganya.
"The fucked journalis ever I had met is your mom. Setelah nyembunyiin fakta tentang tragedy keluarga Wijaya dan menghilang bertahun tahun ternyata masih masih ada banyak kebusukan lain yang ibu lo sembunyiin. Kebakaran hutan yang katanya Wijaya dalang utamanya, who know kalo itu pengalihan isu tentang skandal peredaran obat telarang. Then if you want know that…"
"Stop!" Nuha memejamkan matanya. Menelan ludah sambil menelan kebencian terhadap kenyataan. Meski ia lebih percaya akan orang tuanya terkadang omongan orang lain ada benarnya. "Diem atau lo…"
Nuha belum selesai bicara namun Ray memungkas kembali. "Your parents seems like to much show their bright side. I hate your mom, so I search her mistake. And the end is boom cause I found her big sin in this life." Alis mata Ray tak simetris, senyumnya makin menyudutkan. Kebencian tergambar jelas disana, "alasan kenapa perusahan orang tua lo perlahan-lahan hancur adalah karena orang-orang sedikit demi sediki tau sebusuk apa orang tua lo. Keluarga lo dan keluarga gue ngga jauh dari kata aib yang di ciptakan Tuhan. So stop be naturaly hoy, cause you are a big sin right now."
Nuha menelan ludah sebanyak yang ia bisa. Entah mengapa apa yang di katakana ray saat ini begitu masuk akal di kepalanya. Seakan ia lebih percaya Ray daripada kedua orang tuanya. Meski ia pun tau orang tuanya bukan manusia seperti apa yang di katan Ray. Hati dan kepala terus berkelahi tanpa Nuha sadari seorang monster seperti tertawa telak akan kemenangan dirinya.
Kali ini Ray benar-benar memberi makan banyak monster yang bersemanyam dalam dirinya. Persetan dengan hidup orang ambisi menguasai dirinya.
*
Italia, 2020.
Kepala Ara masih di isi penuh dengan adegan yang memutari kepalanya. Semenjak mengantar Kar menuju penginapannya semenjak itu pula pikirannya penuh. Meski begitu ceria, Kar yang baru saja ia temui bukanlah Kar yang ia kenal setengan mati. Senyum, tawa, dan ceria bukan lagi perkara bahagia.Entah hanya saja Ara merasa asing dengan suasana. Belum lagi melihat Kar begitu akrab dengan sosok bernama William. Semuanya menjadi asing seketika.
Lamunan Ara terhenti ketika Rehan yang berada di bangkar hendak mengambil gelas di atas nakas. "Belum tidur bang?"
Rehan mengembangkan senyum. Ini sudah menginjak pagi hari meski langit di luar sana masih gelap. "haus, lo sendiri kenapa belum tidur?"
Ara membasahi bibirnya, ia bangkit meraih gelas dan menyerahkan kepada Rehan sebelum ia mengambil duduk kembali. Tak ada sepatah katapun untuk membalas Rehan. Ara benar-benar menjelma menjadi dinginnya udara pagi.
Hening.
Rehan berdeham, ia membenahi posisi duduk. Menenggak air sampai tandas, lantas tersenyum kecut. Yang jelas seorang kakak lelaki akan sangat memahami apa isi kepala adik lelakinya. Tanpa perlu bicara Rehan sudah tau siapa yang memenuhi kepala adiknya itu. "Di luar masalah yang kita hadapi akan selalu ada masalah besar lain yang sedang orang lain hadapi. Beban manusia nggak punya sekala, dan kepala nggak akan selamanya bisa menyimpan semua beban hidup ini sendirian. Selagi orang itu masih ada di dunia, masih bisa di temui fisiknya, masih bisa di ajak bicara, kenapa lo nggak coba buat kejar aja?"
Ara mengalihkan pandangan pada Rehan, sebentar karena selanjutnya pandanganya jatuh ke tirai pembatas bangkar. "Hanya karena gue dekat dengan fisiknya bukan berarti gue dekat dengan hatinya. Lo yang dulu bilang sama gue buat lepas hati dan fisiknya sekarang seolah-olah lo nyuruh gue genggam hati dan fisiknya. Setelah apa yang gue lakukan ke dia, apa masih pantas gue mentunut lebih?��� Ara menajamkan tatapan pada Rehan. Pria itu santai menanggapi denga helaan napas.
"We have learned much in this life. Ada yang pernah bilang kalau cinta yang paling tulus bukan lah cinta orang tua kepada anaknya, orang tua mencintai kita karena kita punya sebagian darah dari mereka. Mereka orang tua punya alasan buat mencintai kita karena kita adalah sebagian dari perjuangan hidup dan mati mereka. Sebaliknya cinta anak kepada orang tuanya juga bukan cinta yang tulus. I was wrong, ketika gue bilang lo harus melepas orang yang lo cinta demi keluarga, I think I was wrong. And today I realize that the true love, is the love when you found someone who make you want to fight with your destiny. When you found someone that always sure you have not reason to love. You cant explaint why you cant go back, back, back again for the same place. Is the true love is something you cant explain, what, where, who, when, why dan how"
Ara tak membalas. Ia meresapi kata-kata dengan baik, selanjutnya sebuah tangan jatuh pada bahunya. Tangan kekar mirik Rehan. Kakaknya lantas tersenyum lebar, "Lo sudah menderita begitu lama untuk hidup yang singkat ini. Semua karena gue…"
"Bang…"
"Kejar dia tanpa peduli siapa lo dimasa lalu, kejar dia tanpa peduli bagaimana caranya, dan kejar dia tanpa peduli dengan waktu yang dia punya. Gue merestui kalian berdua" Rehan menarik senyum manis semanis madu. Di bola matanya ada genangan air mata yang mengumpal. Mereka tertahan di sana.
Di sisi lain Ara membasahi ludah, lantas memeluk Rehan dengan erat. Pagi menjadi hangat, semua beban serasa menguap. "For the all my mistake, I just want to say sorry and thank you for always being my brother. Akan selalu ada hari-hari sulit saat kita bernapas, tapi selama gue liat lo, selama itu pula gue masih punya harapan. Ra, jangan takut jadi apa yang ada di nama lo. Karena lo adalah cahaya bagi gue, dan gue adalah raja yang payah bagi hidup kita."
Ara melepas pelukan. Ia tatap Rehan begitu dalam, "No, you are good. Lo hebat, lo keren, lo…"
Rehan menarik senyum, "Itu bukan hebat Ra, hanya saja gue melakukan apa yang harus gue lakukan. I try"
Senyum terkembang di wajah keduanya. Pagi masih gelap dan tanpa mereka sadari di balik tirai ada seseorang sedang membasahi pipi. Tanganya terkepal sempurna. Seseorang itu adalah Rea dengan sebuah selimut yang gagal ia berikan untuk Ara. Di sisi lain di ujung ruangan langkah Kar terhenti, bersama dengan beberapa koper ia memilih mengurunkan niat berpamitan kepada Rehan karena melihat Re.
Persetan dengan dingin, Kar akhirnya tetap menuju bandara.
Italia sampai jumpa : )