Sadar nggak sih?
Makin dewasa, orang-orang makin nggak peduli sama perasaan kita
*
Selain rasa sakit yang bersarang di sekujur tubuh, rasanya gue nggak bisa ingat apa-apa lagi. Terakhir gue cuma bisa mendengar suara dentum mobil yang menghantam tubuh gue. Setelahnya gelap mengisi bahkan sampai saat ini mata gue terbuka rasanya dunia begitu gelap. Beberapa kali gue mengerjap, beberapa kali gue mengusap mata, namun sayang cahaya tak kunjung datang. Gue berteriak namun gema yang membalas, gue meronta namun kesunyian yang datang.
Gue nggak mungkin buta kan?
Gue nggak mungkin mati kan?
Gue… nggak tau apa yang sedang terjadi di diri gue. Satu-satunya hal yang gue bisa andalkan dalam kegelapan ini hanyalah tangan, kaki, dan pendengaran. Tubuh gue masih sakit, masih lemas dan nggak berdaya. Tapi dengan konsidi kayak gitu gue masihh mencoba buat bangkit. Gue berusaha buat menyelusuri ruang gelap di depan gue. Gue coba berjalan tanpa tujuan.
Gue terus berjalan, terus mendengar namun Cuma langkah kaki yang bisa menyusupi. Waktu yang gue lalui saat ini semuanya terasa sangat lama. Semenit bagai seabad, setitik bagai segaris, sejengkal bagai sedepa, semua yang gue rasakan seperti meremukan setiap inci dalam tubuh gue. Badan gue rasanya nggak mampu lagi untuk berjalan. Ruang gelap ini bagai ruang tanpa ujung.
Sunyi, sepi, mencekam dan menakutkan, tidak ada yang bisa gue lakukan selain bernapas dan berjalan. Hampir gue menyerah kalau saja suara gemercik air tidak terdengar. Suara air itu bak pertanda kehidupan yang membuat gue terus berjalan sampai akhirnya perlahan setitik cahaya muncul dari ujung sana.
"Gue nggak buta"
"Gue nggak mati"
Itu yang bisa gue ucapkan ketika titik cahaya itu menyapa kornea mata. Perlahan namun pasti gue bisa ngeliat sekeliling gue. Sungai mengelilingi gue. Kegelapan mengelilingi gue. Tapi beruntung satu titik cahaya itu memberi harapan. Harapan yang patut gue pertanyakan karena apa akhirnya gue sadar kalau ini bukan alam kematian. Ini semacam ruang kenangan yang ada di dalam alam bawah sadar manusia.
"Bang Rehan!" Teriakan itu menggema mengisi telinga.
"Sini dong, katanya kangen Lilis. Sini!"
Gue menelan ludah, "Lilis, kamu…" tercekat, semua kalimat tidak bisa keluar dengan sembarangan. Seperti ada nyeri yang membuat gue tidak bisa bersuara ketika melihat Lilis ada di depan mata gue. Segala penyesalan kembali menyerang, rasa riindu menguap. Gadis itu benar-benar masih hidup?
"Lilis?"
Grep.
Dengan sisa tenaga yang masih gue punya, gue berlari memeluk gadis itu. Medekapnya dalam pelukan hangat. Perlahan namun pasti tangan gue membelai rambut gadis itu. Lantas gue pandangi wajahnya yang berseri. Tubuhnya berbalut dress putih penuh dengan noda cat warna. Ia masih cantik dan akan selalu cantik bagi gue meski beberap memar di wajah terlihat nyata.
Tanpa gue sadari ruang gelap itu tiba-tiba di penuhi dengan lampion-lampion yang mengisi setiap sudutnya. Titik cahaya berubah menjadi tangga yang menjulang tinggi hingga menggapai lampion-lampion di atas sana. Temaram mengisi seluruh sudut pandang.
"Bang lilis kangen abang" ucapan lilis sukses menghangatkan hati gue.
"Me to baby. Gimana, seneng disini?"
Lilis menarik senyum, mengangguk puas. " Seneng sih. Liat deh udah berapa banyak lukisan yang aku buat di langit hehe"
Giliran gue menarik senyum hambar. Satu sisi gue marasa bahagia tapi sisi lain sesuatu seperti menghujam. Akan sangat egois kalau gue meminta dia berdiskusi dengan tuhan untuk memutar waktu. Karena pada akhirnya tadkir sengasara akan tetap bicara.
"Banyak banget lis sampai abang harus keliling dunia buat liat lukisan kamu…" gue menglulum senyum. Selain sebagai ajang pelarian diri traveling juga merupakan upaya gue untuk menyembuhkan diri dari penyesalan. "Kamu tau kan abang paling sayang sama kamu" lanjut gue sambil mengembangkan senyum. Mata gue menatap hangat mata lilis, berharap dia tau seberapa gue merindukan kehadiran dia dalam hidup gue.
"Bang..." Lilis meraih tangan gue. Menggenggamnya erat tak lupa dengan senyum manis di wajahnya. Kemudian ia berucap, "Kalo abang paling sayang sama lilis, abang nggak boleh loh ninggalin bang Luksa sendirian."
Gue terdiam.
"Abang tau nggak kenapa lilis ngelukis di langit?"
Gue menggeleng, mencoba menemukan jawaban jujur dari mulut gadis itu. Bagaimanapun berpikir seribu kali nggak akan membuat gue menemukan jawaban atas pertanyaan itu.
"Lilis ngelukis di langit biar abang inget lilis dimana aja dan kapan aja. Mau itu malem mau itu pagi, mau itu cerah mau itu mendung, langit akan selalu punya lilis buat abang. Dimanapun abang berada disitulah abang bisa liat langit. Dimanapun abang liat langit disitulah abang liat lilis. Lilis pengen jadi sesuatu yang sederhana seperti langit supaya abang nggak perlu jauh dari mama, papa, dan bang luksa.Lilis akan selalu ada di sini…" Tangan lilis terulur menuju dada gue.
"Ada disini"
Gue mengigit bibir,rasanya gue makin ingin menyalahkan diri sendiri. Sekian lama gue melarikan diri baru kali ini gue marasa bahwa gue harus berhenti. Apa yang lilis bilang adalah benar.
Hidup itu sederhana, keinginan manusia yang terlalu rumit.
Hening. Gue masih bergeming. Kepala gue sedang berdiskusi dengan logika dan hati. Mereka saling berontak satu sama lain. Namun disisi lain Lilis melepas genggaman tangan. Membuat gue sadar bahwa dia itu telah menaiki tangga cahaya. Ia mengambil sebuah lampion dan seketika lampion lain redup kehilangan cahaya. Tangga itu perlahan pudar, tersisa satu cahaya yang berasal dari lampion di tangan lilis. Sorot cahaya itu membuat wajah Lilis terlihat lebih terang dan bercahaya.
Lilis tersenyum. Sorot matanya mengingatkan gue pada perpaduan ketegasan papa dan kehangatan mama tak lupa juga keseriusan milik Luksa.
"Bang Rehan tau arti nama abang?"
Gue menggangguk, ���Rehan artinya raja"
"Bang Rehan tau arti nama bang Luksa?"
Gue tersenyum, bagaimanapun pertanyaan itu mengingatkan gue pada memori masa kecil yang indah. Kehadiran luksa adalah keajaiban bagi gue, detak jantung pertama yang gue dengar darinya adalah detak yang membuat gue yakin bahwa kehadirannya adalah seperti cahaya. Saat itupula gue memaksa mama memberi nama bayinya dengan nama Luksa. Artinya cahaya.
"cahaya" jawab gue tersenyum. Gue pandangi lampion bergantian dengan wajah lilis.
"Seorang raja yang kehilangan seluruh dunia harus ingat bahwa selama dia masih bisa melihat cahaya selama itu pula dia masih punya harapan. Abang tau nggak, kalau selama ini bang Luksa butuh abang? Abang nyadar nggak kalau selama ini abang butuh bang Luksa? "
Gue tersenyum miris. Tak bisa menanggapi sepatah katapun.
"Abang nggak bisa selamanya terjebak dalam penyesalan. Ada banyak orang yang butuh bantuan abang."
"tapi lis, abang nggak bisa nerima kalau…"
"Kalau lilis udah nggak ada?"
Gue mengangguk pelan. Dia menyerahkan lampion ke tangan gue. Lantas tersenyum makin manis.
"Suatu hari lilis pernah mencoba buat bunuh diri tapi gagal karena lilis bertemu dengan orang yang membuat lilis menghargai hal-hal kecil dalam hidup lilis. Meski hidup begitu berat tapi lilis sadar selama kita masih bernapas selama itu pula kita masih punya hal-hal kecil yang membuat kita tersenyum. Walaupun hidup nggak punya harapan asal masih bisa liat langit dari jendela, asal masih bisa makan nasi sama mi instan, atau asal masih makan telor asin buatan abang, lilis masih mau bertahan buat hidup. Nggak peduli seberapa banyak bullyan dan tekanan dari papa, lilis akan tetap bertahan. Abang tau kenapa? Karena lilis tau kalau bertemu dengan kalian hanya akan terjadi sekali dalam hidup lilis. Kehidupan lilis di masa depan nggak akan seperti kehidupan lilis di masa sekarang."
"Lis…"
"Perjalanan abang belum selesai. Lilis mau abang mengantarkan malaikat lilis pulang dengan tenang"
"ma..laikat?" Jujur gue nggak ngerti siapa yang lilis maksud malaikat. Diantara keluarga gue yang paling pantas di sebut malaikat adalah luksa dan mama. Tapi apa gue akan kehilangan mereka berdua? Seperti gue kehilangan lilis?
Lilis mengangguk, menyita semua kebingungan dalam kepala gue. "Abang…" ada bulir air mata yang mulai bergumul di mata lilis seiring dengan cahaya lampion yang mulai meredup. Perlahan namun pasti cahaya padam, bersamaan dengan itu kehadiran lilis menghilang. Ruang menjadi gelap. Hitam mengisi mata.
"LILIS!!"
Teriakan gue menggema. Sedetik selanjunya gue hilangan kesadaran. Cahaya lampion itu membawa gue pada ingatan di hari pertama gue bertemu dengan sosok bernama Khariskara Renoir.
"Nggak selamanya kehidupan kita bercahaya, tapi akan selamanya kita punya cahaya. Pulang ya bang…"
Bogor, 2019, hari dimana seharusnya gue menyambut kehidupannya dengan lebih baik.
*