Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 15 - 14.00

Chapter 15 - 14.00

Sama seperti hari yang lalu, hari ini juga akan berlalu

Yang tak mungkin kau gapai mungkin juga tak akan tergapai di masa depan

Jadi untuk apa kita saling berusaha

Kalau semuanya Cuma tentang menerima

Menerima diri kita, orang lain, dan kuasa Tuhan.

*

Italia, 2021

Batak menarik senyum sempurna. Auranya secerah matahari siang ini ketika ia menemukan gadis bernama Kar di salah satu sudut gallery. Gadis itu nampak sedang takjub dengan lukisan di depannya.

"Udah nyampe kok nggak bilang?"

Batak memecah konsentrasi Kar. Membuat gadis itu praktis mengalihkan pandangan pada Batak.

"Sengaja karena gue tau lo sibuk. Lagian kalau gue kabarin lo, bukannya kerja lo malah mendadak ngintilin gue kesana kemari hehe"

Gadis itu menenggelamkan senyum pada matanya. Praktis membuat Batak merasa ada sesuatu yang menghangatkan satu bagian dirinya. Meski begitu ia masih belum tenang karena diam-diam ia belum memberitau Re tentang keberadaan Kar. Bukannya tidak mau memberi tau hanya saja seharian ini Re sibuk dan sulit di hubungi. Mungkin juga sedang balas dendam karena seharian kemarin Batak mendiamkan Re.

Batak mengacak rambut Kar. Tak bisa menahan hasrat dalam dirinya.

"Kebiasaan deh" sewot Kar sambil merapihkan ikat rambutnya yang mulai longgar. Lagi-lagi Batak hanya bisa menahan diri. Pemandangan di depannya terlalu indah dan terlalu cerah. Gadis itu benar benar bisa mengalihkan sebagian dunianya hanya dengan sebuah utas sennyum polos di wajahnya.

"Udah sarapan?"

Kar mengangguk, ia kembali sibuk untuk takjub pada lukisan di depannya. Hanya dengan melihat lukisan di depannya Kar dapat melihat seberapa luas dunia, disisi lain ia juga merasa ada satu sudut kosong yang selelu tergambar di setiap lukisan di pameran ini. Lukisan di pameran ini terlalu luas, suka cita penerimaan sebuah keluarga, dan juga bagaimana cara keluar dari penyesalan dan penyalahan diri adalah ciri khas pameran lukisan ini.

Satu hal yang selalu Kar suka tentang lukisan ini adalah bagaimana pelukis membuat dirinya begitu bebas untuk menebak siapa penciptanya. Dan juga hanya dengan sekali tatap ia merasa bahwa ia begitu dengan dengan pelukisnya. Lukisan ini terlalu familiar buat Kar.

"Mau temenin makan siang nggak?" Batak memutus imajinasi Kar. Gadis itu setengah menimang.

"Masih jam kerja kan?"

"bentar lagi kelar. Gimana?"

Kar mengigit bibir, "Tapi gue nggak laper, gimana? Gue temenin ya?"

Lagi-lagi kerling mata itu membisukan dunia Batak. Sekejap dalam duapuluh empat jam miliknya semua sirna. Tinggal kerling mata gadis itu.

"Makasih loh…" Batak mengacak rambut Kar membuat gadis itu sedikit risih. Ada banyak pasang mata memperhatikan mereka. Namun Batak bertingkah seolah dunia milik berdua, lagi-lagi ia hanya bisa mengisih wajahnya tengan senyum termanis yang ia miliki, "Sebagai gantinya gue ajak lo ketemu sama pelukis yang nyelenggarain pameran ini. Gimana, lo mau kan?"

Dengan penuh semangat gadis itu menggangguk puas. Aura terang memasuki seluruh dirinya. Terlihat jelas bahwa kebahagiaan sedang melingkupi dirinya.

"But…apa beliau nggak sibuk?" Kar menyernyit menanyakan.

"Beliau…?"

Kar mengangguk, "Lukisan ini yang bikin pasti orang tua yang punya pengalam dan jam terbang yang udah berpuluh-puluh taun kan? So it mean, beliau lebih tua dari kita. Nggak sopan lag kalau gue bilang "Dia"…"

Giliran Batak menyernyit, "lo serius percaya pelukisnya orang tua?"

Kar mengangguk, "Sense dia dewasa. Guratan dia bener-bener merepresentasikan seberapa dalam makna kehidupan. Gue sih bisa bayangin seberapa lama beliau sudah hidup"

"Serius?"

"Serius, tak"

"Terus kalau gue bilang dia nggak jauh beda dari kita lo masih percaya?"

Kar membasahi bibirnya, disisi lain Batak ingin ngakak. Pasalnya secara tidak langsung Kar bilang Re sudah seusia sesepuh. Walaupun salah tetap ada benarnya karena lukisan Re selelu punya makna kehidupan yang begitu dalam. Entah sebarapa banyak rasa sakit yang sudah ia terima, sehingga lukisannya begitu nyata.

"Ngaco lo. Look…" Kar menunjuk lukisan di depannya. "Forgiveness. Cuma liat lukisannya doang gue bisa belajar banyak apa itu arti memaafkan. Ngga mungkin kalau beliau pelukis awam, nggak mungkin pula beliau ada di seumuran kita. Usia kita tuh belajar tapi beliau sudah bisa ngasih pelajaran. "

"Pffftttt.."

Batak menahan tawa. Terbayang semua sikap konyol Re. Bagimanapun "Beliau" yang di gambarkan oleh Kar sepertinya hanya penokohan fiksi yang tak akan terjadi. Re jauh dari kata dewasa. Apa yang dia lukisan tentang kehidupan adalah bentuk kekesalannya kepada semesta.

"Ih kok ketawa sih? Gue serius tau"

"Iya..iya…"

"Terus kenapa masih ketawa?"

"Hmmmmm" Batak menggaruk tengkuk rikuh, "Kayaknya gue nggak laper deh. Jokes lo lebih ngenyangin daripada pancake resort heheh"

Kar melotot, "Serius ih!"

"serius deh. Daripada gue makin kenyang kita ketemu pelukisnya sekarang aja yuk"

"Hah" setengah melongo Kar takjub. Senang bukan kepalang, akhirnya ia bisa menghadiakan tanda tangan pelukis terkenal untuk sahabatnya di Indonesia. Ini moment langka, "Sekarang?" kar masih melongo.

Batak mengangguk, "sekarang"

"Serius?"

"iya"

"Woahhh makasihhh, makasihhh"

Lagi-lagi Batak Cuma bisa menarik simpul senyum, manis. Pemandangan di depannya makin menarik. Bagaimanapun lewat senyum Kar ada sedikit cara untuk belajar kebahagiaan yang sempurna.

"Emang beliau nggak sibuk?"

"Maybe not" Batak menyelipkan anak rambut Kar di belakang telinga gadis itu. Membuat Gadis itu seketika membeku. Batak mengulum senyum, "Kayaknya meeting dia udah kelar. Dan well, pasti dia bakal dengan senang hati kasih tanda tangan ke lo."

"Kenapa?" Kar menelan ludah. Gugup, lagi-lagi tatapn Nadev berhasil menguasai dirinya. Meski begitu tak ada debaran di luar normal. Bagi Kar hubungan mereka berdua adalah sebatas teman.

"Karena lo temen gue, otomatis lo juga temen dia."

Kar mengembangkan senyum cerah. Memundurkan diri dari kungkungan tatapan Batak. "Oke deh kalau begitu. Makan siangnya gue ganti makan sore, setuju?"

Tanpa banyak menimang, Batak mengiyakan. Semesta sepertinya mendukung keduanya. Pertemuan dengen sang pelukis adalah satu dari ribuan jalan yang Tuhan siapkan untuk memberi pembelajaran tentang kehidupan. Meski tak seutuhnya lancar, meski tak seutuhnya manusia bisa berencana, setidaknya Tuhan memberikan manusia keberanian untuk menentukan pilihannya. Dimana keberanian itu akan membawa manusia memahami bahwa ketika satu pintu terkunci maka satu pintu lain akan terbuka.

Manusia dengan segala keberanian mereka, mencoba menentang takdir. Sedangkan semesta dengan agungnya membuat manusia menukar keberanian dengan sebuah kebahagiaan. Siapa yang berani menentang takdir maka mereka lah yang paling siap berani kehilangan sebagian dari kebahagiaan yang sudah semesta ciptakan.

"setuju"

*

"RE!!! "

Suara Batak menggelegar, lebih keras dari debur ombak di tepi dermaga yang tak jauh dari tempat pameran.

"RE!!"

Batak terus bersorak seperti orang yang kegirangan. Ia bak anak hilang yang baru saja menemukan ibunya. Batak terus berjalan menuju Re. Sementara itu di sisi lain Kar kehilangan fokusnya. Kar yang sedang mencari botol obat miliknya mendadak terdiam karena sosok Re yang ada di depannya.

"Kar sini, katanya lo mau ketemu sama pelukisnya!"

Batak terus menyeru bangga. Sesekali ia menahan tawa mungkin teringat apa yang Kar bicarakan tadi.

Jadi benar kalau pelukisnya itu sepantaran dengan gue?

Jadi benar kalau..

Jadi pelukisnya itu Re?

Re sejak kapan lo bisa sejauh dan sehebat ini?

Re sejak kapan lo berhenti cerita tentang kehidupan lo ke gue?

Re—

Semua pertanyaan dalam benak Kar sejak menghilang entah kemana. Pertemuan dengen Re adalah hal yang Kar syukuri. Setidaknya di tempat yang asing ini Kar merasa semesta sedang memeluknya melalu orang-orang yang menyanyanginya.

"Khariskara Renoir, sini kataknya mau tanda tangan pelukis "Forgiveness" sini... mumpung beliau masih hidup hehe"

Batak terus berseru, melambaikan tangannya sambil tertawa puas. Tak butuh waktu lama untuk membuat Kar berada di sisi pelukis idolanya. Bahkan tanpa sungkan gadis itu tersenyum bahagia dan berhasrat untuk menyapa.

"Rhea?"

Re masih bergeming.

"Rhea Ibrahim ? Ini lo kan?" Kar meraih bahu Re. Fokusnya tertuju pada sabahat di depanya. Kar tidak menyangka bahwa sabahatnya akan tumbuh menjadi seorang pelukis ternama. Tubuh Re sudah tumbuh beberapa senti lebih tinggi dari sebelumnya, raut wajahnya juga sangat dewasa, Re tumbuh cantik dan mandiri. Sosok Re tumbuh menjadi gadis yang berbeda dari apa yang tersisa di kepala Kar.

"Lo kok nggak bales pesan gue sih? Kejutan?" Sorrot mata Kar begitu bahagia. Meski sesekali cahaya matahari membuat kulit bocah itu terlihat pucat tanpa alasan.

Re melepas tangan Kar. Menelan ludah, langkahnya mundur menjauh. Entah mengapa hanya dengan menatap gadis di depannya Re merasa begitu takut. Takut jika suatu hari pertemuan ini kan mengantar Kar jatuh untuk kedua kalinya.

"Gue sibuk"

Hening. Kar mencoba mencerna. Di sisi lain Batak menyennyit agak tida paham. Kenapa tiba-tiba atmosfer beliau yang dituakan hilang?

"Jadi…."Batak melempar pandang pada Kar dan Re, "Kalian udah saling kenal?"

Berbanding terbalik dengan Kr yang mengangguk semingrah Re malah melontarkan kalimat dengan bahasa Jerman. Kalimat itu keluar dengan nada sarkas khas Re, "Ich hoffe das passiert nie" (gue berharap itu tak akan pernah terjadi)

Praktis membuat Batak menyernyit. Ia yang tau artinya kebingungan dengan apa masud Re mangatakan kalimat sarkas itu di depan gadis lugu, polos dan sebaik Kar.

"Re.."Batak menyikut Re. " so kannst du nicht mit ihmraden. Er ist zu net" (lo nggak bisa bicara kayak gitu ke dia. Dia terlalu baik)

"mir egal" (gue nggak peduli) jawab Re sekenanya membuat Batak menyernyit minta kejelasan. Di sisi lain Kar yang tak tau arti pembicaraan dengan bahas Jerman itu hanya bisa menerka. Meski begitu Kar tak curiga kalau kedatangan dirinya adalah hal Re tidak suka. Kar memaksa dirinya terus mengumbar senyum.

"Rhea kalian ngomong apa sih?"

Re tesenyum smirk, merendahkan, "Call me Re. Just Re, not more. Ngerti?"

Kar keberatan, "Tapi kan dari dulu lo juga nggak pernah mempermasalahkan nama panggilan lo. Toh Rhea Ibrahim sound pretty good kok hehe"

Re menghela napas, senyum gadis itu membuatnya lemah. Bahkan untuk meluapkan amarahnya dengan kembalinya nama Ibrahim yang bersarang di telinganya, Re tak sanggup. Wajah pucat gadis itu membuat Re kasian. Re tahan emosinya.

"Just call me Re. Susah banget buat lo?"

"Dih , nggak mau Rhea sound suit than Re. Cukup inisial lo yang Re, buat gue tetep Rhea Ibrahim yang gue kenal hehe"

Re memutar bola mata jengah, "terserah lo"

"Hehe kalau gitu…." Kar mengacak isi ranselnya, ia mengeluarkan sebuah buku harian dan pena dari dalam sana. "Gue kan udah jauh jauh sampai Italia buat ketemu lo, boleh nggak gue minta foto sama tanda tangan lo?"

"For what?"

Kar mengulum senyum, "Tadinya gue mau kasih ke lo, cuma berhubung pelukisnya itu diri lo sendiri jadi gue mau minta buat gue simpen. Emmmm atau mungkin gue bakal kasih ke bang Nuha. Lo masih nge fans kan sama bang Nuha?"

"Nuha?"

Sial. Re tak bisa menyembunyikan seberapa ia tak menyukai orang itu. Sejak setahun yang lalu ketika Re ingin mengetahui keadaan Kar, manusia itu malah balik menyalahkan Re. Ia bahkan memblokir semua akses yang Re miliki untuk bertemu dengan Kar. Bukan Re yang tak mau menemani sabahatnya, tapi brengsek itu yang menginginkan kehadirannya. Dan juga, bagi Re buat melanjutkan menjadi seseorang yang tak diinginkan. Lagipula benar kata Nuha, Re pembawa sial bagi Kar.

"Rhea" kar tesenyum manis. "Mau kan?" tangan pucat gadi itu menyerahkan pena dan buku harian pada Re.

"Oke"

Re meraih buku itu, mencoba memenuhi permintaan Kar agar pertemuan ini segera selesai. Bagaimanapun dekat dengan gadis itu bukan menjadi hal yang nyaman untuk saat ini. Satu dua tiga belum sempat pena menggores sempurna sosok yang Re harapkan tidak muncul akhirnya muncul di antara mereka bertiga. Susana jelas makin canggung.

"Ini siapa Re?"

Pertanyaan Batak membuat Re menelan ludah. Ia kehilangan ketenangan. Bagaimanapun semesta tak boleh mempertemukan Kar dengan pria di sebelahnya. "Kenalin, dia…"

"Pacar lo?" tukas Kar dengan senyum kecut di wajahnya.

"What?" Re kaget. "Otak lo kemana? Seenaknya lo bilang gitu"

Volume bicara Re yang keras membuat Kar kehilangan sedikit kesadarn diri. Sejenak ia merasakan pusing, ia jelas telat minum obat dan juga Re dan pria di sampingnya seperti membawa kembali kenangan yang hilang dari ingatan Kar.

Kar mengerjap, mencoba sadar. Di sisi lain Batak meraih bahu Kar. Ia tau ada yang tak beres dengan Kar. "Lo nggak papa?" Batak khawatir.

"Ga papa" kar mengangguk. Lalu ia mengarahkan pandangan ke arah pria di samping Re. Mengembangkan senyum miris, "Congratulation, harus lo bilang lo nggak bisa ketemu gue karena mau nemenin pacar lo buat nyelenggarain pameran. Harusnya lo bilang, kalao gue tau Re pacar lo pasti gue bakal ngerti hehe"

Pria itu Cuma diam. Tatapannya tak bisa beralih dari wajah Kar. Pria itu tak lain dan tak bukan adalah Ara.

"Atas dasar apa lo bilang Ara pacar gue? Lo masih salah paham? Kurang jelas dulu gue jelasin apa ke lo?"

Kar hanya tesenyum, dunia seperti baik baik saja walau dipertemukan dengan dua orang di masa lalunya. "Nggak papa kok. Gue nggak salah paham kok. Selamat ya Re"

Re kehilangan kesabaran. Tanpa pikir panang gadis itu meluapkan amarahnya dengan melempar buku harian milik Kar ke lautan. Jelas itu membuat semua orang termasuk Batak ingin bersuara. .

"Re!"

"Diem lo tak, lo nggak tau masalahnya, dan lo…" Re mengalihkan pandanganya pada Ara. Kecewa. "setidaknya lo jelasin apa yang sebenernya terjadi di antara kita. Lo bener-bener ya masih seperti pecundang yang gue kenal. Dan lo…" Re mengarahkan pandangan pada Kar. Gadis di depanya masih mengembangkan senyum. Jujur Re sebal. Kenapa juga dia bisa tersenyum di saat semuanya seberantakan ini?

"Sehat-sehat buat lo."

Ck. Sial, lagi-lagi Re tidak bisa mengumpat gadis itu. Jangankan untuk marah, menatap gadis itu saja rasanya berasalah.

Menghela napas Re meninggalkan mereka di dermaga tanpa penjelasan. Ara masih memandangi Kar, Kar memandangi Re, dan Batak membagi pandangan kepada ketiga orang yang ada di sekitarkanya.

Sebenarnya apa yang telah terjadi di antara mereka?

Brak!

Semua pertanyaan, semua perhatian tiba-tiba teralihkan ketika suara dentuman mobil terdengar keras. Dentuman itu akibat dari sebuah mobil yang menabrak tepian pembatas jalan. Mobil itu oleng dan tak sengaja hampir menabrak seorang gadis. Gadis itu adalah Re.

"Lo nggak papa?"

Re mengerjap matanya, "Rehan?" Re mengingit bibirnya, matanya baru saja menangkap ada darah yang mengalir dari tubuh Rehan. Darah itu membahasi Re. "Lo nggak papa?" ucap Re ragu.

Rehan hanya bisa mengangguk karena sedetik setelahnya ia tak sadarkan diri. Hanya ada suara teriakan Ara, dan Re yang di padu dengan seorang yang sibuk menelpon polici dan ambulance sekitar. Sore itu ombak mengisi kekosongan.

Di sisi lain Kar tak beranjak satu incipun dari tempatnya. Ia pandangi kecelakaan yang di depannya dengan tatapan kosong. Ia bak batu yang tak berperasaan. Satu hal dalam kepalanya terus menggaung.

Kenapa Cuma Re yang di kelilingi oleh cinta?

Kar menelan ludah, menghirup napas dan membuangnya berat. Sambil membiarkan ingatan memenuhi kepalanya yang mendadak pusing, Kar berjalan ke sisi pantai untuk mengambil buku hariannya yang sudah basah tersapu ombak. Wajah pucat dan tubuh yang ringkih di terpa oleh angina laut sore ini.

Gadis itu duduk. Ingatanya berjalan jauh.

Disuatu tempat di dalam ingatan gue, gue melihat Ara mencium Re. Gue nggak kenal Ara, tapi Ara kenal Re. Itu artinya perkenalan gue dan Ara adalah berkat Re. Gue dan Ara nggak lebih dari sekedar teman pacar gue. Apapun kedepannya, gue akan selalu support mereka. "

Tes.

"Sial, mimisan lagi." Kar menggerutu. Tak perlu genap sepuluh menit gadis itu sudah kehilangan kesadaran. Di basahi oleh ombat laut, tubuhnya tergeletak bak mayat tak berdaya.

Kenapa gue enggak di cintai?

*

Satu jam sebelumnya

"Re, katanya investor lo mau ketemuan di dermaga" Batak masih mengoperasikan kameranya ketika sedang bicara dengan Re.

"Tumben banget loh investor ngajakin ketemuan di dermaga."

"Haha kayaknya investor lo yang ini rada beda. Katanya seumuran sama lo."

"Serius?"

Batak mengacak rambut Re, "Yuhuuu…makanya kalian berdua gampang klop, padahal ini project kalau sama investor lain bakal ribet. Makanya lo kudu banyakin bersyukur deh"

"Idihh" Re mengambil dokumen di meja, "sebagai rasa syukur, boleh lah gue dateng dengan semangat. Siapa tau kan next project bisa sama dia lagi hehe. Tak gue cabut dulu ya bye.."

"Bye.."

Semangat Re begitu menggebu. Tak ada sepuluh menit ia sudah sampai di dermaga. Ia menemui sang investor dan senyum paling manis. Sekalipun sudah tanda tangan kontrak Re ingin bertemu langsung dengan investor yang bekerja sama dengannya. Setidaknya Re ingin berterimakasih dengan tulus. Re sangat professional dan punya etika kerja yang baik.

"Selamat siang…"

Brak!

Re menjatuhkan dokumen di tanganya sebab tanganya seketika Remas ketika melihat siapa sebenarnya yang akan ia hadapi. Bukannya bersykur Re malah ingin menguktuk semesta. "Ngapain lo kesini? Ngapain lo…"

Investor itu dalah Ara.

"lo pelukisnya?"

"Anjing! Ngapain lo kesini?! Belum puas lo ngancurin idup Kar sama gue?"

Respon Ara dingin. Ia sama kagetnya dengan Re. Keduanya sama sama tak mengerti apa yang membuat semesta mengtar keduanya ke sebuah takdir pertemuan. Barangkali ini pertemuan yang salah.

"Sorry gue nggak tau kalau gue invest di proyek lo. Sorry karena…."

"Sorry? Anjing lo Ra, abang lo kemaren ngikutin gue sampai penginapan sekarang lo—"

Belum sempat Re melanjutkan Ara membuka suara, "Gue bisa jelasin. Pertama, gue sama sekali tidak merencanakan ini. Investasi gue ke proyek lo murni karena gue suka dengan prinsip dan lukisan lo. Kedua, gue nggak ada hubunganya dengan Rehan. Gue bahkan baru tau kalau dia ada di sini setelah lo bilang. Jadi berhenti bilang kalau semua yang terjadi seolah olah gue yang menginginkan. Gue tau lo dan lo tau gue, di masa lalu gue tau gue punya salah besar ke lo. Gue minta maaf dan untuk menebusnya lo bisa batalin kerja sama kita"

Re mengigit bibirnya erat, "Sorry, gue nggak bisa maafin cowok pecundang kayak lo. Lo pikir dengan lo begini Kar bakal maafin lo? Lo pikir apa yang lo lakuin ke dia di saat terendah dihidupnya bisa ngembaliin segalanya? Saat menghadapi lo, gue nggak pernah berpikir diri gue sendiri, gue selalu berpikir tentang Kar. Anjing lo Ra!"

Berulang kali Ara menelan ludah. Makian Re semuanya benar. Setelah ciuman dengan Re. Ara tak pernah meperlakukan Kar sebagai ke kasihnya. Ara sibuk dengan kuliah, sibuk mendekati gadis lain tanpa memperhatikan perasaan Kar. Hingga akhirnya mereka berpisah, dan semua beban mental Kar seolah menjadi berita lalu lalang di telinga Ara.

"Kalo lo nggak bisa jelasin seengaknya jangan berani buat datang ke kehidupan barunya. Nggak lo, nggak gue, kita semua nggak pantes buat dia. Oiya…" Re menelan ludah, menelan pahit kehidupan, "Gue nggak mau bekerja sama dengan pecundang seperti lo. So, this contract just broke right now. "

"Oke. Gue urus semuanya sesuai keinginan lo."

Re tesenyum kecut, "Jam dua di dermaga ini, lo bisa serahin buktinya. Setelah itu gue harap kita menghargai masing-masing. Paham?"

"I know"

*