Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 7 - 06.00

Chapter 7 - 06.00

Jerman, 2021

Hari ini Jerman sedikit lebih terang. Udara diluar sana masih dingin. Ditemani secangkir coklat hangat Kar duduk di tepi ranjang. Ia pandangi jendela kaca yang mengembun pelan. Sesekali membagi pandangan pada ponsel. Tak ada yag menarik kecuali direct message yang terbaca tanpa terbalas.

Waktu terus berputar, tiada henti dan tiada ampun. Mungkin taka da yang menyadari bahwa waktu begitu menyakitkan buat Kar. Ia baru saja bangun, baru saja bisa tersenyum namun harus memendam banyak tanya dalam dirinya. Tentang bagaimana ia bisa tertidur lama, tentang berapa banyak yang ia lupakan serta tentang siapa saja yang pernah menyapa dikehidupannya. Belum lagi segala keterbatasan fisik yang menerpa tubuhnya.

Sebulan berlalu begitu cepat. Gadis itu bahkan tidak tau kalau dokter memvonis dirinya hanya bisa bertahan hingga lima bulan kedepan. Begitu menyedihkan karena pada akhirnya Kar yang malang harus mencari apa yang telah hilang. Menemukan dan menggabungkan potongan ingatan yang terpendam. Dan juga, tanpa pamrih harus membuat semuanya belajar apa itu mengikhlaskan dan memaafkan.

Kar menghela napas berat. Ponselnya baru saja berbunyi.

"Iyya bang.." Kar menjawab pelan.

"Kamu udah selesai terapi?"

"Udah" Kar mengigit bibirnya. Menyembunyikan segala khawatir dalam satu genggaman tangan sambil memandangi kedua kakinya.

"Syukurlah kalo gitu. Ehh.. besok abang pulang, adek jadi kan ikut jemput di bandara?"

"Jadi dong, eh tapi bunda sama ayah nggak bisa ikut. Soalnya masih harus ngurus berkas di kedutaan. Nggak papa kan?"

"nggak papa. Asal ada Kara abang udah bahagia kok"

"Yee gombal mulus banget bang hehe.." Gadis itu tersenyum lebar. Sabit terbentuk di wajahnya. "Ngomong-ngomong nih bang, gimana nih itunya…" Nada bicara gadis itu menggoda.

"Itunya apa Kara…" Nuha membalas lembut. Meski ia paham betul apa arah pembicaraan ini.

"Ih pura-pura nggak tau" Kar sewot, ia jelas sedang membawa Nuha pada sosok Binta. Sebab dikepala gadis itu Binta masih kekasih Nuha. Ia bahkan tidak tau kepergian Nuha ke Singapura hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Binta dengan orang lain yang bukan abangnya. Hal ini terjadi karena ingatan Kar terheti tepat setahun sebelum sebelum di pergi ke Bogor selain itu Tuhan seakan menghapuskan segalanya.

"Gimana sama kak Binta, ketemu kan?" Kar antusias. Sebaliknya helaan napas terdengar samar diujung panggilan. Hening mengisi.

"Bang… kok diem sih?"

"eh…" Nuha menyahut.

"Ketemu kan sama kak Binta?" Kar mengulang kembali.

Tanpa rasa bersalah karena gadis itu benar-benar tidak tau kejadian apa yang terjadi antara mereka berdua selama dirinya koma. Bukan itu saja, nyatanya semua hal berubah seiring berjalannya waktu. Orang-orang disekitar Kar berubah namun gadis itu tanpa sadar tejebak dalam fantasinya.

Nuha telihat seperti menengguk ludah, dari suaranya terdengar bahwa ada sesuatu yang berusaha ia simpan. Sesuatu yang tertahan dan disembunyikan. Bagaimanapun ia tidak akan membuat Kar kembali pada setahun yang lalu. Apapun itu, siapapun itu, dan dimanapun segala hal yang berkaitan dengan masa lalu Kar akan selalu menjadi rahasia bagi Kar.

"She look good, seperti biasa" jawab Nuha.

"Syukur deh kalo gitu. Oiya bang, kenapa kak Binta ngga nengokin aku? Apa gara-gara Jerman-Indonesia jauh?"

Ada helaan napas yang lagi-lagi terdengar. Andai manusia tercipta untuk mengerti satu sama lain lewat helaan napas. Pasti semuanya akan sederhana.

"She have lot bussines. Maybe kalo kamu udah balik ke Indonesia dia bakal jengukin kamu."

"Ohhh…" Panggilan telfon ia duakan dengan bermain instagram. Masih memandangi laman direct message dari seseorang. "abang nggak kenapa-napa kan sama kak Binta?" Kar pelan menanyakan. Takut salah paham.

Hening.

"Bang?"

"Kara…"

"Iya bang"

"Abang baru inget kalo abang belum makan. Udah dulu ya telfonya. Sampai ketemu besok dibandara, see you …"

"See you.."

Kar menggigit bibir. Panggilan telah terputus. Layar kembali menampakkan laman direct message. Ada satu pesan masuk. Dari seseorang yang bahkan hanya mengingatnya membuat gadis itu tersenyum.

Rumah sakit.

Kursi roda.

Dan senyum tengil bocah itu.

Williamayomain: I found you.

Williamayomain: /T.T/

Ternyata sebulan berjalan begitu cepat. Ruang dan waktu mengantar gadis itu bertemu dengan seseorang yang akan membawanya bertemu dengan pertualangan baru.

*

Jakarta, 2021

Baru saja Ara mematikan lampu kamar ketika suara jeblakan pintu terdengar. Malam sudah menyetubuhi pagi dengan mesra. Ara sudah membersihakn diri, sudah terbaring diranjang setelah menenggak beberapa pil tidur. Namun semuanya gagal begitu saja ketika suara itu datang. Padahal beberapa jam lagi ia harus sudah tiba di bandara untuk perjalanan bisnisnya ke Jerman.

Setelah menimang berapa lama akhirnya Ara memutuskan untuk pergi kedapur. Mengambil segelas air sambil mengecek siapa yang baru saja pulang. Ya walopun ia tau kalo orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Rehan.

Blak.

Pintu kamar terbuka. Ara yang hendak kembali dari dapur harus terhenti karena Rehan keluar dari dalam kamar. Ia menggenggam sebotol alkohol. Sebotol yang membuat pupil mata Ara melebar karena botol itu adalah miliknya.

Nyatanya tumbuh dewasa membuat Ara makin frustasi, selain rokok tak jarang Ara menumpahkan kesedihannya melalui sebotol alkohol. Persetan dengan kata sempurna, manusia tetap akan jadi manusia dengan segala ketidak sempurnaanya.

Ara berdeham pelan mememcah kecanggungan. Sedetik selanjutnya menghilangkan canggung dengan kembali normal menuju kamar. Namun langkah Ara terhenti ketika Rehan menahan dirinya dengan tepukan bahu. Pelan namun begitu menyengat.

Ara tau ini tidak biasa. Ara paham siapa Rehan. Ia mungkin sedang marah namun bukankah hari ini ia bilang pergi ke Bandung untuk menenyok Wijaya? Mengapa begitu cepat kembali ke Jakarta? Apakah sebotol alkohol menjadi masalah besar bagi Rehan?

"Besok lo jadi ke Jerman?"

Suara itu terdengar dingin. Rehan masih membelakangi Ara begitupula Ara yang membelakangi Rehan. Tak sepatah katapun hadir. Sejak insiden chat keduanya memutuskan untuk tidak saling bicara walaupun hidup satu atap. Mereka kembali membangun pertahanan masing-masing. Dalam luka masing-masing selalu ada kata hampa yang sama.

Rehan menghela napas, "oke brarti kita harus bicara" Rehan serius. Ia lantas mengambil duduk di sofa depan televisi. Ada koper dan tas besar tang tergeletak disana. Ara pikir Bandung kali ini tak bisa menahan pria itu lebih lama.

"What you want to ask to me?" Ara meletakkan gelas di atas meja. Ia tak menatap Rehan sama sekali. Begitupula Rehan yang hanya bisa menatap tas-tas besar di depannya.

"Hari ini gue ketemu papa di Bogor" Rehan membuka pembicaraan.

Ara masih diam tak begitu berselera menanggapi.

"Dia keliatan lebih kurus dari yang terakhir kali gue lihat. Selain nggak bisa makan teratur dan tidur dengan nyaman, papa bilang dia dihantui rasa bersalah karena lilis.." Ada jeda yang begitu jelas disela-sela kata-kata Rehan. "Dia… juga kepikiran lo"

Kali ini Ara mengeluarkan senyum smirknya "Lo terdengar sedang menghibur gue bang. Entah itu beneran atau bualan yang lo buat… gue selalu berpikir dia nggak akan pernah memikirkan gue."

"Dengerin gue…" Rehan pelan ingin menjelaskan namun Ara sudah berapi diujung sana.

"I don't need to talk again. Udah jelas bang… bahkan lo sendiri nggak pernah memikirkan gue, apalagi papa. Dia Cuma mikirin bagaimana perusahaan dia bisa terus menghasilkan uang. Selama ada uang dia ngga akan pernah resah memikirkan apapun termasuk dosanya. Dosa dia ke gue, dosa dia ke lo, dosa ke mama atau ke lilis, jangan harap papa bakal mikir itu adalah sesuatu yang dia sesali. Udah jelas kan?"

Rehan menghela napas berat. Menghembuskannya secara perlahan. Ia meletakkan botol alkohol di meja. Bunyinya nyaring penuh emosi.

"Jadi itu yang lo rasakan selama ini Ra…?"

Ara tak membalas bocah itu mengigit bibir kuat-kuat. Sama sekali tak ingin membalas. Terlalu menahan diri untuk tidak menyakiti seseorang dengan kata-katanya.

"If you think papa seperti itu maka papa akan jadi seperti itu. Tapi pernah nggak lo berpikir papa juga sama sakitnya kayak kita"

"Kita?" Ara berontak. "Lo nggak pernah ada untuk rasa sakit itu sama kayak si bangsat itu. Saat gue butuh lo buat jagain lilis, saat gue butuh lo buat jagain mama dari tangan iblis itu, atau bahkan saat gue butuh lo saat lilis udah nggak ada, apa lo pernah ada disaat –saat itu?" Ara membuang muka. Tanganya terkepal sempurna.

"Maaf. Gue…"

"Bang…Lo bahkan nggak ada disaat gue butuh lo sebagai sosok yang menguatkan gue. Gue marah, gue kesal, gue sedih, gue bingung, gue frustasi, itu yang gue rasakan sampai detik ini bang. Setelah lo tau ini apa lo masih peduli?"

"Ra…"

Ada gumul air mata di pelupuk mata Ara. Bersembunyi begitu tenang. Bocah itu masih mengigit bibir pelan. Enggan menangis karena esok harus pergi ke Jerman.

"Di masa lalu semua orang pernah berambisi entah untuk dirinya atau untuk orang lain. Di masa lalu juga semua orang punya cinta entah untuk dirinya atau untuk orang lain. Semua orang berambisi untuk cinta mereka entah itu salah atau benar, tapi satu hal yang perlu lo tau kalau semua ambisi yang telah terjadi bukan ada untuk disesali. Kita semua punya salah, begitu pula papa. Nggak ada orang tua yang sempurna, nggak ada type ideal buat jadi seorang papa atau mama. Kalo papa sama mama bisa nerima adanya lo didunia ini dengan rencana atau tanpa rencana sampe detik ini, kenapa lo nggak bisa mencoba menerima mereka. Terlepas dari semua kesalahan mereka sampe detik ini, lo tetap anak mereka. Lo tetap darah daging mereka. Datang tanpa diinginkan bukan berarti lo akan kekal dalam kemurungan. Untuk semua kebahagian yang lo alami sampai detik ini apa lo pernah tidak menerimannya?"

Rehan menghela napas.

"I know…" Ara membalas lemah, "But at least kasih gue waktu buat benci sama papa, kasih gue waktu buat belajar nggak menerima apa yang ada dengan keluarga kita. Karena bahkan lo sendiri pernah minta waktu itu untuk diri lo dan membebankan semuanya ke gue. Bang… lo pikir gue sekuat itu? Lo pikir gue setenang itu? Lo pikir gue… sesempurna itu jadi manusia…" Ara menelan ludah samar. Ia mengengguk kekecewaaan bersama ludahnya. Tatapnya nanar menghadap alkohol di meja.

"Gue tau gue emang brengsek buat jadi abang lo. Gue brengsek karena pergi saat badai datang. Gue nggak akan melakukan pembenaran atas semua yang telah gue lakukan ke kalian semua. Maaf…gue udah bikin banyak masalah buat kalian." Rehan tersenyum perih.

Denting jam terdengar keras disela-sela hembusan napas.

Rehan menghembuskan napas pelan. Menggigit bibir dengan kuat, menahan emosi yang sedang bergejolak. "Sorry…karena ambisi gue telah menghancurkan hidup lo. Sorry.. karena ambisi papa lo jadi harus menanggung segalanya sendirian. Sorry... karena…"

Ara memangkas cepat dengan meraih botol alkohol di depannya, "This mine"

"Ra…"

"I bought this last year in Moscow. You can get other"

"Ra!" Rehan melotot tak percaya ketika adiknya mulai membuka tutup alkohol dan meminumnya tanpa rasa berdosa. "Bukan gini caranya, Ra!"

"Cih" bocah itu berdesis frustasi, " gimana hah!"

Rehan menggaruk kepala yang tak gatal. Lebih frustasi dari Ara. Ia renggut alholoh itu dengan sekali sambar. Kemudian membantingnya tanpa ampun. Botolnya pecah menjadi kaca-kaca kecil yang tajam. "Sejak kapan lo…" Rehan meraih kerah baju Ara. Melayangkan tatapan tajam ke bocah itu. Namun sayang Ara membuang muka kecewa. "Denger ya Ra! Sebejad bejadnya gue jadi kakak buat lo gue ngga akan pernah minum didepan lo. Sebejad-bejadnya gue jadi kaka gue nggak akan ngajarin lo buat ngelawan perintah tuhan lo. Sebejad-bejadnya gue jadi…"

Plak!

Ara melayangkan tamparan pada Rehan. Matanya merah. Ada amarah di dalam sana. "Pernah lo menganggap diri lo sebagai kakak, hah! Apa masih pantes orang kayak lo jadi kakak? Hah!"

Teriakan itu mengisi seluruh ruangan dalam rumah. Pagi yang seharusnya tenang kini seakan menjelma jadi ruang yang penuh dengan gaungan kemarahan.

"Gue..Cuma.. mau nyicipin apa itu surga…" Ara mengusap hidungnya. Menyembunyikan isakan.

Disisi lain Rehan tertawa getir, "Lo bisa mendapatkannya bukan cuma mencicipinya, Ra. Bukan…bukan gini caranya" Rehan frustasi.

"Ra..."

Ara menghela napas, frustasi. "We don't need to talk again. We didn't have much sorry to accept each other. So we are better to not caring each other." Ara diam sebentar, lalu mengarahkan tubuhnya menuju kamar. "I will go to Jerman today. I hope you… enjoy your traveling as well as I saw."

Bocah itu berlalu dengan tatapan terakhir yang mengarah pada koper besar di samping Rehan. Rehan hanya bisa bergeming. Andai semesta mau menjelaskan bahwa koper besar itu berisi semua oleh-oleh yang Rehan kumpulkan untuk Ara. Andai semesta mau menjelaskan bahwa barang-barang yang ada di tas itu adalah pemberian papa untuk dirinya dan Ara. Dan juga, andai Ara mau sedikit menunggu maka Rehan akan bercerita apa yang telah terjadi pada gadis bernama Kar. Tapi semuanya adalah seandainya yang tak pernah terjadi. Pada akhirnya semuanya masih terkuci dalam hening malam penuh kemarahan.

Rehan diam-diam menjambak rambut frustasi. Bagaimanapun dirinya, ia tetap ingin menjadi sebaik-baiknya kakak untuk adiknya.

Dibalik pintu kamar Ara mengehela napas. Ia terduduk di dekat nakas. Mengambil beberapa pil tidur dan mengenggaknya dengan segelas anggur merah yang tersembunyi di dalam mejanya. Genggaman tanganya makin erat, hingga buku kukunya memutih kekurangan darah.

Beberapa jam lagi ia harus pergi ke Jerman. Namun bocah itu masih memandangi langit-langit kamar. Berhalusinasi tentang masa depan. Berhalusianasi tentang kebahagiaan sampai akhirnya suara ombak muncul. Menggema dalam pikiran dan telinganya. Matanya terpejam membayangkan bayang gadis kecil sedang bermain di tepi pantai. Gadis itu adalah lilis.

"Abang kangen kamu, lis.."

Batin ara begitu lara. Tak sadar setitik air mata meleleh dipipi mengganti satu mimpi ke mimpi lain. Mimpi dimana ia melihat dua anak kecil sedang bermain di tepi pantai. Satu perempuan dan satu laki-laki lucu. Si anak laki-lagi memarahi adik perempuannya karena hampir lari ke lautan. Disisi lain ada seorang perempuan dengan topi pantai tersenyum manis. Membawa semangka dan menghampiri dirinya.

"Kamu tuh seneng banget liat anak-anak berantem. Bukanya bantuin malah ketawa. Sini… atuh kamu kan Papa mereka... sini..sini…"

Perempuan itu terus tersenyum. Mengisi seluruh lingkup bahagianya. Matanya penuh dengan cinta. Penuh dengan hangat bahagia. Perempuan itu tak lain adalah mantan kekasihnya. Khariskara Renoir.

"Sayang sini anak-anak mau main kamu."

Rasanya Ara ingin menjawab, ingin bergegas memeluk perempuan itu namun makin lama ia makin tersadar kalau semua bahagia di matanya hanya sebuah halusinasi. Efek samping dari pil tidur yang dikonsumsi secara berlebihan.

Ara membuka mata. Menyadari bahwa segalanya telah berakhir. Bahagia bagi Ara hanya halusinasi belaka. Entah dosa apa yang telah ia lakukan di kehidupan sebelumnya, sampai hati tuhan menghukum dirinya segila ini.

*

Jerman, 2021

"Lo serius pake baju ginian?" Kar menyernyit. Alisnya jelas tidak simetris ketika mengamati bocah bernama William mengenakan pakaian super casual padahal hari ini udaranya begitu dingin.

"Serius. Emang kenapa?" Jawab William enteng.

Kar menghela napas, "Yah… masa gini aja perlu gue jelasin sih. Ini kan musim dingin emang lo nggak dingin apa?"

"Ya dingin sih… lo mau gue peluk?" William meringis kuda.

"Dih…kagak! Nih pake!" Kar melepas syal dilehernya. Ia berikan pada William namun bocah itu hanya meringis kuda. Menerimanya kemudian memasangkanya kembali di leher gadis itu. Ya itung-itung modus meluk secara halus gitu.

"Pakek lo aja, nanti kalo lo kedinginan gue yang susah"

Kar bedecih. Sama sekali tidak risih dengan perlakuan William walopun bandara sedang ramai. Nyatanya mereka berdua sedang menunggu Nuha di bandara. William mengantarkan Kar untuk menjemput Nuha berhubung supir keluarga mereka mendadak terkena flu dan transportasi umum sedang terhenti karena dibeberapa daerah saljunya terlalu tebal dan membahayakan.

"Terus lo mau pake apa batak?"

Kar melipat tangan di depan dada.

"Gue kan bisa beli" Jawab William enteng.

"Ih gila, harga baju di toko deket bandara kan mahal. Lo mahasiswa rantau mau makan gochujang tiap hari? Nggak deh nggak usah ngaco kasian orang tua lo di Indonesia. Bukannya irit malah…"

"sssttt" Wiliam meletakkan jarinya di depan bibir Kar. Membuat gadis itu bungkam dalam sedetik berikutnya. "Hemat pangkal kaya. Orang kaya nggak perlu hemat, soalnya orang kayak pantang hemat. Lagian apa salahnya makan gochujang tiap hari kan gue makan di restoran punya gue sendiri"

"Dih ngaco, mimpi!" Kar menganggap Wiliam membual.

"Serius deh jangankan baju musim dingin satu set, satu toko aja gue bisa beli kalo lo mau. Perlu bukti?"

Kar masih menyernyit meremehkan, namun sedetik berikunya terngaga ketika Wiliam mengeluarkan black card. Ya, Black card adalah kartu yang identik dengan kalangan orang tajir melintir yang tidak akan peduli apa itu uang lima ratus recehan.

Berulang kali Kar mengarahkan matanya ke William dan black card ditangannya. Masih kagum. Masih tidak percaya dengan tampang William yang ternyata titisan sultan batak yang nyasar di Jerman.

"Woahhhh" Kar masih melongo.

"Percaya kan?"

Kar mengangguk seperti anak anjing yang diberi tulang oleh majikan.

"Karena lo udah percaya, sekarang lo temenin gue beli toko baju"

"What?!" Kar melotot belum siap melihat ketajiran ini. "Lo…"

William tersenyum menggoda, "Atau lo mau peluk gue gantiin baju anget?"

Kar menelan ludah. Sialan, kenapa sultan nyasar ini mulus banget ngardusnya. Bukannya deg-degan karena wajahnya Kar lebih deg-degan karena duitnya. Tapi Kar tangguh, Kar dapat menghidar dari godaan setan yang terkutuk.

"NGIMPI!"

Teriak Kar sambil meninggalkan William.

"Yah kok…"

Tanpa menunggu jawaban William mengejar Kar.Melindungi gadis itu dari desakan orang-orang di bandara. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk membeli baju hangat serta minuman hangat sambil menunggu kedatangan Nuha. Seharusnya satu jam lagi Nuha akan tiba.

"Woahhhh"

"Ya ampun…bisa nggak sih lo ngga usah lebay gitu. Nih minum dulu.."

Wiliam menyerahkan cup coklat hangat kepada Kar. Gadis itu masih tersenyum lebar. Masih belum bisa mencerna apa itu transaksi dengan black card yang baru saja ia liat.

"Nggak bisa nggak lebay, abis lo tajir banget…" Mata Kar memancarkan aura hijau hijau mister crab..

"Emang. Dari muka gue kan udah keliatan sesultan apa gue"

"Nggak tuh malah kayak tukang kredit" Kar menjawab singkat

Wiliam hampir emosi, "hhhh… wajar sih lo kan Cuma bisa liat batu akik bukan berlian kayak gue"

"Tapi sekarang gue bisa wle…Brarti lo berlian yang kayak akik dong"

"Kar…" William menyipitkan matanya. Sudah habis kesabaran.

"Apa?"

"Mau gue peluk?"

Kar hampir muncrat mendengar kata-kata itu, "Dih.. nggak mau. Lagian cowok kayak lo pasti modusnya udah tingkat dewa. Kanan kiri, depan belakang, timur, tenggara, selatan barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut ada semua. Nggak mau sama yang udah tebar benih dimana-mana"Kar sewot. Ia bahkan masih menyeruput coklatt hangatnya saat dengan mengata-ngatai William.

"Ck!" Wiliam gemas ia mengacak rambut Kar. Membuat gadis itu makin sebal. "Andai aja cari cewek segampang cari arah mata angin" William menghembuskan napasnya.

"Lah emang iya kan?"

William menggenggam cup coffenya di depan dada. Menerawang kedepan di tengah keramaian. "Percaya nggak percaya nih, ngejar cewek bagi gue tuh susahnya minta ampun. Sekalinya dapet yang pas eh mata duitan, sekalinya dapet yang tulus eh malah udah ada yang punya. Adalagi yang udah pas eh kejebak friendzone…" Wiliam tersenyum miris.

"Ckckckck.." decakan Kar dibalas dengan sapuan lembut tangan William di rambutnya.

"Susah kan?"

"Susah sih" Kar menjawab.

"Tapi yaudahlah… eh lo sendiri emang ada yang mau sama cewek kayak lo?"

Kali ini pertanyaan Wiliam membuat Kar makin menyipitkan matanya. "Yang suka sama gue tuh bejibun ya, nggak Cuma lo doang. Cuma… abang gue galak banget kayak algojo. Genit dikit tebas tuh kepala. Hah…" Kar mengehela napas, " Sekalinya dapet yang nggak genit eh bisex…"

"Bisex?" Wiliam melotot. Masih mencoba menerima.

"Iya bisex. Sehari suka gue sehari suka cowok lain."

"Serius?!"

"Serius" Kar mengangguk lemah.

"Woahhh"

Bruk.

Seseorang menabrak Kar dari belakang membuat coklat yang di tanganya loncat kea rah Wiliam. Begitu pula coffe milik Wiliam yang tumpah mengotori bajunya.

"Yahh…" ucap Kar sambil menelan ludah. "Duh kotor nih." Kar masih berusaha membersihkan baju William dengan tissue basahnya. "Maap ya gara-gara gue lo jadi kayak gembel…" Kar cemberut.

Wiliam tersenyum. Mengacak rambut gadis itu. "Nggak papa. Tunggu disini gue ke kamar mandi dulu"

"Loh nanti dingin. Emang lo bawa baju lagi?"

Gara-gara ekspresi Kar William ingin meledak. Ia mengacak rambut gadis itu, "gue bisa beli lagi. Udah lo tungguin disini ya… Inget jangan kemana-mana. Ngerti?"

"Ngerti"

"Oke tungguin"

Kar mengangguk pelan. William telah hilang di tengah keramaian. Sekarang tersisa Kar dengan orang-orang yang berlalu lalang di bandara.

Kar mengecek pergelangan tangan, melihat jam. Seharusnya Nuha sebentar lagi tiba. Setelah delay beberapa jam karena cuaca seharusnya Nuha akan segera tiba. Kar membalik badan ingin menuju bagian kedatangan. Sebelumnya ia sudah mengirim pesan pada William.

Khariskara Renoir : Pindah lokasi

Williamayomain : dimana?

Khariskara Renoir : Di..

Kar belum sempat membalas dengan sempurna karena tiba-tiba saja seorang pria menjatuhkan ponselnya. Jatuh secara tidak sengaja. Jelas membuat Kar kesal dan melampiaskannya dengan bahasa Indonesia.

"Lo kalo punya mata di pake anj…"

"Sorry…sorry mbakkk. Its my fault. Saya lagi buru-buru soalnya…"

Kar menyernyit. Dalam hati membatin oh orang Indonesia. Tapi kenapa juga mendadak Jerman jadi lokal begini.

"Mbak.."

Lamunan Kar buyar. Ketika ada suara lain yang menyusup diantara keramaian. Suara yang asing namun menenangkan. Sepeti melodi lama yang digubah jadi music yang baru. Melodi yang bahagia namun terdengar menyedihkan. Atmosfer yang asing namun dirindukan.

"What's wrong?" suara itu memecah pikiran

"Ini mas saya nggak sengaja nabrak mbak ini. Saya yang salah saya buru-buru soalnya katanya mas harus tepat waktu. Saya takut telambat jadi…"

"Hhhhh" Kar jengah, "Yaudahlah… udah-udah gue maafin kok. Lain kali hati-hati" Sambil menepuk-nepuk ponselnya hendak membalik badan. Pria itu berterimakasih sedang pria lainnya ingin melengkapi kata maaf asistenya. Namun ucapan itu tercekat tat kala Kar membalikkan pada dan menatap dirinya.

"Lo juga gue maafin" ucap Kar membuat pria itu terdiam lama. Tatapannya masih tak percaya. Pria itu adalah Ara.

"Kenapa?"

Kar mengibaskan tanganya di depan Ara. Menyapu lamunan Ara. "Lo nggak papa kan?"

Ara masih terdiam. Mengedip beberapa kali. Wajah yang ia rindukan berubah menjadi sesuatu yang asing. Bahkan gilanya Kar seperti tidak mengenali dirinya.

"Woi…jangan bengong dong. Gue kan bukan setan"

Ara menelan ludah. Aneh. Kenapa gadis ini bisa sesantai ini dengannya? Kenapa gadis ini…

Brak!

"Aw"

Kar berteriak baru saja seseorang mendorong koper yang ada didekatnya hingga melindas kakinya. Kiranya bagian terdasyat yang terkena adalah jempol. Tapi ada yang lebih dahsyat dari itu.

"Lo nggak papa kan?" Praktis Ara memeluk gadis itu. Membuat jatung Kar meloncat sampai Himalaya. "Nggak papa kan?"

Kar mengangguk pelan.

"Kaki lo…"

Ara membungkuk mengamati kaki Kar. Takut sekali ada luka yang membekas disana. Disisi lain Kar merasa aneh. Sesuatu begitu familiar namun entah pada bagian mana. Aroma tubuh serta cara bicara begitu terngiang. Namun sayang dalam ingatan gadis itu Ara selalu dikutuk untuk dilupakan. Kar tidak berhasil menemukan clue apapun.

"Kaki lo…" Ara masih berjongkok.

Kar menarik senyum, "Ada dua, kenapa? Udah keliatan pintu surganya? Hehehe"