Rasanya akan sangat tidak adil ketika kita memilih diri kita untuk urusan orang lain
Diri kita dikendalikan kondisi
Diri kita berjalan maju melawan banyak kontradiksi
Diri kita yang sering kali lupa untuk siapa kita hidup
Untuk penyesalan?
Untuk penghormatan?
Atau untuk balas budi?
Eksistensi manusia ternyata hanya bergantung darimana asal mereka
Kau yang burung akan selalu bisa terbang
Kau yang melata selalu direndahkan
Dan Kau yang berdiri mungkin menjijihkan
*
Italia, 2020
Hal pertama yang Ara lakukan ketika sampai di bandara adalah mengaktifkan ponselnya untuk tehubung dengan koneksi internet yang ada. Bahkan saat asistennya hilir mudik mencari koper miliknya, Ara merasa tidak peduli. Pria itu sibuk memandangi ponselnya. Membaca pesan yang bersarang di ponselnya.
Kurang lebih satu jam yang lalu pesan itu masuk. Pesan itu berasal dari Kar.
Khariskara Renoir : Apa kenal sama gue adalah kesalahan buat lo?
Ara menelan ludah. Ia tau ia salah, namun lagi-lagi ia tak punya banyak solusi untuk semua masalah yang ia timbulkan. Ara tau kalau ia terlalu memberi harapan pada gadis itu. Ara tau itu salah, karena lagi-lagi ia hanya memberi makan egonya tanpa berpikir panjang untuk perasaan Kar.
Khariskara Renoir : Maaf karena kecacatan gue udah melukai harga diri lo : )
Khariskara Renoir : : )
Kali ini Ara benar-benar hancur. Setelah kehilangan ingatan tentang dirinya, kini Kar kehilangan kepercayaan dengan dirinya. Hanya dengan membaca pesan Ara sudah tau bagaimana perasaan Kar. Ara bisa menebak bagaimana kecewanya gadis itu. Namun lagi-lagi Ara mati rasa. Ia hanya bisa mengatur napas sambil mengaburkan pandangan ke sekitar.
Bandara malam ini begitu ramai kontradiktif dengan hatinya yang merasa sepi. Sudut hatinya begitu ngilu. Tak ada manusia yang bisa menjamin dirinya baik-baik saja. Berulang kali Ara mengehela napas frustasi. Ia tak membalas pesan Kar takut membuat gadis itu makin sakit hati.
"Sorry" lirih Ara sambil memasukkan ponselnya kedalam jaket abu yang sedang ia kenakan. Merapatkan syal Ara berusaha pergi membuang segala ilusi di dalam kepalanya. Entah kenapa Ara ingin menyerah untuk mendapatkan ingatan gadis itu kembali. Kenyataan ia sudah banyak menyakiti Kar membuat Ara tak mampu membayangkan hal apa lagi yang akan menyakiti Kar bila ia bersamanya.
Semesta sudah baik. Hal yang seharunya berpisah memang tak harus bersama. Seperti mereka berdua. Jika semesta bilang berpisah maka itulah yang terbaik untuk mereka berdua. Keputusan Tuhan mengambil ingatan Kar adalah yang terbaik. Dan bagi Ara saat ini ia baru menyadari bahwa ia tak akan bisa melawan waktu Tuhan. Ara menyerah sepenuhnya. Hidup gadis itu bukan lagi harus dengannya.
Ia telah menyakitinya, maka dengan ini kuasa Tuhan untuk menyembuhkannya. Nama gadis itu adalah lantunan doa yang selalu Ara sebut dalam shalatnya. Maka Ara percayaakan hidup gadis itu pada sang kuasa, walaupun tak harus bersama dirinya Ara adalah yang selalu percaya bahwa gadis itu selalu hidup dalam dirinya.
Bukankah manusia hidup dan mencinta tanpa memiliki subjeknya?
Waktu terus berputar. Ara hidup dalam putaran kerja yang membuatnya kehilangan cinta dan harapan hidupnya. Lagipula tak ada masalah hidup yang akan selesai tanpa bekerja, kan?
*
Manusia tak pernah lahir bagai lembar putih tanpa noda. Sebab manusia lahir dengan segala ketidaksempurnaan dan ketidakmurniannya. Namun lagi-lagi semesta menuntut manusia menjadi sempurna. Semata mata ingin membuat manusia lain takjub bahwa manusia sempurna adalah yang paling dekat dengan nirwana.
Ambisi menjadi yang tak berdosa menjadikan manusia lupa bagaimana cara memaknai diri sendiri. Hidup mereka Cuma di kejar oleh surga dan neraka yang manusia pikirkan. Padahal Tuhan punya seribu cara menggambarkan bagaimana itu surga. Tuhan juga punya seribu cara menggambarka jalan untuk menggapainya.
Hal lain yang menarik dari manusia adalah eksistensi mereka kebanyakan ditentukan dari mana mereka berasal. Seakan mereka tak pernah bisa menjadi pribadi yang bebas untuk dirinya sendiri. Sejak manusia lahir, darah mereka selalu ditentukan orang tua seperti apa mereka dilahirkan. Cantik, buruk, baik, atau nakal dan hal manusiawi lain selalu disangkutkan dengan orang tua mereka. Darah kotor yang mereka bawa bukan sekedar darah biasa melainkan ada cerita gelap di dalamnya. Dosa anak adalah dosa orang tua, namun pernahkan semesta berpikir bahwa dosa orang tua menyulitkan anak-anak mereka untuk bebas dari jeratan dosa selanjutnya?
Re menengguk sebotol bir ketika malam menghadang. Pekerjaanya harus selesai mala mini karena esok gallery resmi di buka. Bukannya pergi mempersiapkan diri untuk acara esok gadi itu malah memilih menenggak bir dingin di balkon bangunan yang dia jadikan sebagai gallery. Balkon itu menghadap ke arah pantai sehingga debur ombak terdengar dengan jelas. Re bersykur karena ombak telah memecah kesunyian. Udara malam cukup dingin, walaupun musim dingin segera berakhir.
Sembari menghabiskan kaleng bir di tangannya, kepala Re dipenuhi banyak hal. Mulai dari urusan sepele hingga urusan yang lumayan memusingkan. Meski sudah hampir 90% persiapan tetap saja ada hal yang yang membuat otak gadis itu bekerja lebih dari seharusnya. Contohnya adalah perkara snapgram milik Kar yang tiba-tiba muncul di berandanya.
Belum lama ini gadis itu mulai rajin mengunggah postingan di instagramnya. Re curiga jika saja akun Kar di bajak, namun jika di telisik lebih jauh sepertinya pengguna akun itu benar-benar Kar. Dari typing dan gaya bahasa yang digunakan benar-benar seperi Kar yang Re tau. Iya, ini agaknya lucu karena Re tidak tau keadaan gadis itu semenjak setahun berlalu.
Re menghilang, ia memilih memutus kontak dengan keluarga Kar. Semenjak kejadian dirumah sakit ia tak pernah mencari tau keadaan gadis itu. Meski diam-diam Re sering berdoa agar gadis itu tetap hidup panjang dan di penuhi kebahagiaan.
Cekrek!
Untuk memastikan semua praduga yang ada di kepalanya Re memutuskan mengunggah snapgram, berharap Kar akan membalasnya. Dan benar saja tak berselang lama gadis itu membalasnya.
Khariskara Renoir : Rhea lagi di Ancol? Salam ya buat mamang jagung depan ruko taichan hehe
Khariskara Renoir : Rhea kok jarang kontak gue sih?
Khariskara Renoir : Ummm sorry gue belum sempet ke Bogor. Soon deh ya kalo gue balik hehe / : D /
Re tak menjawab, gadis itu terlalu bingung. Ia tatapi aksara di ponselnya. Masih belum merasa bahwa semuanya begitu nyata. Ditengguhnya bir sampai tandas, hampir ia mengetikkan jawaban kalo saja Nadev tidak datang. Daripada membalas pesan penuh kebingungan sepertinya semesta mengirim manusia yang tepat untuk menjelaskan semuanya.
Jovian Nadev Sanjaya adalah keponakan Kar, jadi besar kemungkinan bocah itu mampu menjawab semua pertanyaan yang memenuhi kepala Re saat ini.
"Kenapa liatinya gitu?"
Nadev menaikan alisnya, nampak menerka pikiran gadis di depannya. Di luar sana ombak makin memecah batuan yang berdiri kokoh di sisi pantai. Pasir utih berkilauan karena serpihan cangkang kerang yang bertaburan di sana. Mala mini udara makin dingin.
"I wanna ask you something?" Nada bicara Re serius.
"What?" Nadev belik bertanya namun tatapan mata pria itu jelas tak mengintimidasi. Ia hangat dalam senyum dan tatapan matanya.
Re ragu-ragu mengatakan, "Keponakan lo apa kabar?"
"Keponakan?" sambil berpikir Nadev mengusap hidungnya. "Keponakan yang mana?" lagi-lagi pria itu hanya bisa melontarkan tanya. Soalnya jumlah keponakanya tergolong banyak. Ia memang anak tunggal namun keponakannya bisa puluhan, wajar jika pertanyaan Re begitu ambigu baginya.
Re menelan ludah, tak ada kata yang keluar. Ia hanya menunjukkan ponselnya yang menampilkan snapgram milik Kar. Praktis membuat Nadev mengulum senyum. Nadev pasti tau betul apa yang ada di kepala Re. Kebimbangan Re masih sama. Ia masih terjebak dalam kubangan yang sama. Dimana ketakutan, penyesalan dan trauma menjelma menjadi dirinya saat ini.
"Khara baik" Nadev menjeda, ia mengarahkan pandangan kea rah lautan yang begitu luas. Lantas melanjutkan kalimatnya, " Desember tahun lalu Khara bangun untuk pertama kalinya. Semua orang jelas bahagia, gue pun tau lo bakal bahagia mendengar ini tapi satu-satunya hal yang bikin gue takut bilang ini ke lo adalah… dia kehilangan sebagian ingatannya. Fungsi tubuhnya berkurang, kesimbangan tubuhnya juga terganggu dan juga emosi dia juga belum stabil setelah koma."
Re diam mencoba mencerna. Syok pasti namun gadis itu bisa mengontrol emosi dirinya. Angin laut membekukan hatinya. Sikap Re jauh dari kata hangat ketika mendengar nama Kar. Ia cenderung skeptis karena di kelilingi rasa bersalah.
"Tante Dinda bilang setelah Khara bangun dia jadi orang yang begitu berbeda. Itu yang bikin gue takut untuk bilang ke lo. Gue takut lo nggak bisa menerima dia yang sekarang. Lagi pula dia mungkin nggak inget apa yang udah dia lakuin selama kalian di Bogor. Tentang lo, keluarga wijaya dan jembatan cahaya, dia lupa semuanya. Dan lagi…" Nadev mengigit bibirnya, mencoba menghentikan bibirnya mengatakan sebuah rahasia yang mungkin akan membuat gadisnya makin terluka. Dinda Juang memberi tau semuanya tapi Nadev tak bisa mengatakan semuanya pada Re.
Re menghela napas, berat.
"Bukan maksud gue menutupi ini semua dari lo, tapi hati dan perasaan lo lebih penting dari apapun Re. You prepare this show so well, and I cant destruct it. Pameran ini berarti banget buat lo, jangan Cuma karena masa lalu yang bukan salah lo, lo harus berjalan mundur. Gue nggak mau liat lo begitu Re. Gue…"
Lagi-lagi Re menghela napas, kini ia menghentikan Nadev dengan tatapannya. Ia remukkan kaleng bir di tangangnya. Mencoba melenyapkan emosi di tubuhnya. "Jadi dia masih hidup?"
Nadev mengangguk.
"I'm blessed" Re mengulum senyum kecut. Perih menjalari tubuhnya.
"Re…" Nadev berusaha menenangkan.
"Andai lo bilang ini lebih dulu, mungkin belakangan ini gue akan lebih tenang. But anyway thank's sudah jawab pertanyaan lo tentang keponakan lo. Next time jawab sesuatu seperlunya."
Helaan napas Re terkesan begitu berat. Ada beban yang terhempas bersama beban itu. Walau begitu menyakitkan tetap saja kembalinya Kar adalah hal yang Re syukuri. Bukan sebagai sahabat namun sebagai sesame manusia.
Di sisi lain Nadev mencoba mengunci mulutnya. Ia pandangi pasir pantai yang di tepi laut. Mencoba menenangkan pikiranya yang tidak kalah semrawut dengan Re. Malam terus menggelapkan kota. Cahaya rembulan hilang entah kemana. Tersisa bintang yang malu-malu menampakkan diri di atas pesisir pantai Ischia.
"Jov… lo tau nggak kenapa gue benci laut?"
Pertanyaan Re membuat Nadev memalingkan wajahnya untuk bertaut memandang gadis wajah di sampingnya. Gadis dengan raut dingin dan sadis itu mungkin bisa menjadi manusia kekanakan saat melukis namun bisa juga menjadi manusia paling mengerikan ketika bertemu dengan pantai dan debur ombak di depannya.
"Karena lo benci Ara?"
Nadev mencoba menebak, namun gagal karena gadis itu menggeleng.
"Terus?"
Re membasahi bibirnya, " Gue benci laut karena laut selalu mengingatkan gue dengan ketenangan. Saat gue memikirkan ketenangan selalu terlintas di benak gue untuk mengakhiri hidup gue. Untuk alasan yang nggak logis, gue selalu berpikir bahwa dinamikan hidup gue begitu nggak normal. Saat orang lain berhasil mendapatkan apa yang mereka punya saat itu juga kehilangan apa yang gue miliki. Saat langkah gue begitu lebar orang lain membuat gue berjalan sendirian dengan langah mereka yang begitu lamban. Gue pikir… nggak ada yang benar-benar nyaman dari hidup ini, sampai suatu saat Ray ngajakin gue buat ke laut."
Nadev tersenyum. "Laut emang indah, jadi wajar mereka buat manusia nyaman. Gue tau Ray juga pengen ngajarin itu ke adeknya."
"Bukan" Re menyela. Praktis membuat Nadev menyernyit. "Nggak ada yang ngajakin gue buat liat indahnya dunia lewat laut. Satu hal yang gue ingat di masa kecil gue, Ray pernah ngajakin gue buat ngenggelim diri di laut."
"Ray…?
Re mengangguk, "Dia bukan manusia yang jahat bukan juga manusia yang baik. Lewat dia gue belajar apa itu untuk menyerah. Lagi pula hidup bukan untuk di kejar, kan?"
Giliran Nadev mengehela napas. Tanpa ambil banyak waktu pria itu meraih Re dalam pelukannya. Mencoba merontokkan semua trauma yang masih bersarang di memori gadis itu.
"Harusnya lo bilang ini langsung ke Ray, bukan ke gue Re…"
Ucapan Nadev membuat Re meleraikan pelukan mereka berdua. Gadis itu jelas keras kepala dan punya ego tinggi. Buat apa juga mengatakan hal tak berguna pada Ray yang bahkan tak peduli terhadap dirinya? Gila, Re tak akan melakukannya.
"Re…"
"Jov…gue nggak bisa. Itu akan ngelukai harga diri gue. Tolong lo ngertiin gue"
"Tapi Re…"
"Karena gue berterimakasih atas eksitensinya bukan berarti semuanya bakal baik-baik saja." Re tersenyum pait. Lantas meninggalkan Nadev di balkon sendirian. Sementara itu di balik sebuah pilar balkon seseorang tengah menikmati sekaleng bir dan menghisap rokok dengan khikmad. Tanpa spengetahuan Re dan Nadev, orang itu mendengar semua percakapan mereka. Angin laut penghantarnya. Tanpa sepengetahuan mereka berdua, orang itu juga mengembangkan senyum kecut karena melihat Nadev memeluk Re.
Orang itu adalah Rehan.
*
Keesokan harinya semua seperti baik-baik saja. Setelah percakapan tadi malam dengan Nadev tentang Kar, Re berusaha untuk baik-baik saja. Hari ini adalah hari yang bahagia, sebab hari ini adalah pembukaaan pameran pertamanya. Meski ada beberapa lukisan yang belum di pang, namun hari ini pameran sudah bisa di kunjungi.
Pembukaan berlangsung singkat. Re ditemani Nadev dan William menyambut mengunjung. Mereka antusias dengan hasil karya Re. Tak jarang banyak kolektor yang menawar dengan harga tinggi untuk satu lukisan. Kebanyakan pengunjung berasal dari kalangan seniman. Mereka takjub dengan lukisan Re yang berkarakter dan penuh makna.
Galery pagi ini sungguh sangat ramai.
" Ntar siang bisa makan siang kagak ya? Rame banget nih jangan sampe lo pingsan di depan lukisan lo sendiri hehe" Wiiliam menggoda lantas mendapat pelototan tajam dari Re.
"Kalo ngomong di jaga ya. Kebiasaan mulut tong sampah" Re sarkas.
"Cihh bukan lagi tong sampah dia mah udah TPA sodara deket TAI" Ndev nimbrung membela Re.
"Anjing! Ngapa bawa-bawa TAI sih dasar uban tikus!"
"Denger lo memaki jadi pengen nyanyi lihat kebunku" Nadev masih mendebat William. Bocah itu nampak sangat senang dengan eksprsi yang dihasilkan oleh William kala marah.
"Apa lo bilang?" William nyolot.
"Pengen nyanyi liat kebunku soalnya depan gue penuh dengan buahayaaaahahahaha" Nadev hampir terbahak kalo saja William tidak menyandung dirinya agar terjatuh.
"Mampus rasain anjing! Gue daripada dengerin lo nyanyi mending mengheningkan cipta sambil mengenang pahlawan yang telah gugur mendahului kita"
Re yang sedari tadi mendengar keribuatan itu akhirnya mendekat membari pencerahan, "Makdud lo nyanyi sewu kuto terus lo ganti jadi thousand city? Ck! Batak, udah berapa kali sih gue bilang buat jangan ribut. Malu tau di liatin orang."
William nyolot, di sisi lain Nadev cengengesan karena Re membela dirinya. "Dih pilih kasih. Ngebela es serut mulu, padahal yang ribut duluan si anjing."
"Bukan Re bukan gue yang mulai batak dulu"
"Mulut…."
Sebelum timbul perang barathayuda jilid 2 Re menghentikan perdebatan dua manusia itu. "STOP… Sekarang yang mau makan silahkan makan, yang mau nyanyi silahkan nyanyi. Pokoknya jangan ribut, sekali lo pada ribut…. JANGAN HARAP…"
Nadev dan Batak kompak menelan ludah. Sial, Re kalau sudah mengancam foto haram memang tidak main-main. Bukan takut di hajar mereka berdua lebih takut foto haram mereka ke sebar. Tanpa aba-aba keduany langsung ngacir ke arah masing-masing. Nadev yang katanya mau nyanyi dan Batak yang katanya mau makan. Sisanya tinggal Re yang di datangi asistennya untuk rapat kerja sama dengan salah satu brand fashion.
"Sepuluh menit di ruang rapat. Saya tunggu nyonya"
Re mengembangkan senyum. Lantas berlalu menuju ruang rapat.
*