Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 10 - 09.00

Chapter 10 - 09.00

Jakarta, 2021

EdzharRehantrulala: Ischia-Italia

EdzharRehantrulala: kayaknya dia sibuk ngurus pameran. Baru aja setahun tapi udah tambah keren aja

EdzharRehantrulala: eh gimana jadi?

Georgio Ray Ibrahim was read

Ray meletakkan ponselnya. Di loby bandara ia menghela napas berat. Kemudian meremas tiket penerbangan yang berhari-hari lalu sudah ia pesan. Ya, penerbangan untuk ke Italia menemui adiknya. Sayang, Ray merasa dirinya tak pantas bahkan hanya untuk sekedar menyapa adiknya. Ia akhirnya memilih membatalkan penerbangan tepat setengah jam sebelum keberangkatan.

Kamu yang udah tau brengseknya abang kamu, apa masih mau kamu maafin abang?

Ray membasahi bibir, ia membalik badan untuk berlalu meninggalkan tempat check in. Langkahnya lunglai sambil mengayun koper besar. Sebenarnya koper itu tak berisi apapun selain baju-baju yang ia masukan secara asal. Semenjak Rehan memberitahukan keberadaan Re melalui sebuah foto, Ray jadi kehilangan logikanya. Ia seperti dikuasai iblis paling egois. Semua yang ada di kepalanya hanya tentang bagaimana menemukan adiknya. Sayang, semuanya segera sirna ketika ia sadar sebegitu mengerikan dirinya. Ada monster yang telah tumbuh bersama dirinya.

Ray meninggalkan bandara dengan kepalanya yang lebih riuh dari suasana bandara sore ini. Nyatanya ia tak akan memberi makan monster itu, nyatanya ia memiih untuk mengekang kemauannya sendiri, mungkin memang sudah saatnya bagi Ray untuk belajar mengikhlaskan sesuatu yang bukan miliknya.

Pada akhirnya keluarga hanya omong kosong belaka buat Ray. Pada akhirnya Ray menyadari kalau sejauh apapun ia melangkah, seerat apapun ia menggenggam, apa yang bukan miliknya pasti akan pergi juga. Karena manusia selalu menggenggam apa yang mereka inginkan sampai manusia lupa kalau apa yang mereka genggam ternyata hanya pinjaman tuhan. Dan milik manusia yang sebenarnya adalah apa yang mereka lepaskan secara cuma-cuma.

Ray menghela napas. Sebentar lagi malam akan datang. Ray harus memikirkan rencana untuk menghabiskan malam nanti. Di tengah-tengah pikirannya yang riuh tiba-tiba saja seseorang menabrak tubuhnya. Spontan membuat cowok itu meminta maaf. Namun tak disangka ketika Ray menemui bola mata orang di depannya, Ray malah menyenyit tak percaya. Sebaliknya dua bola mata itu penuh dengan kebencian yang membara.

"Sorry…" ucap Ray kikuk. Ia tau sedang menemukan manusia yang mungkin punya tingkat kebencian yang lebih dari adiknya. "Saya tidak sengaja" lanjutnya.

Manusia itu menyisir pandangan, lantas tak bersuara. Ia ketara memendam kebencian pada Ray karena sedetik selanjutnya ia berlalu meninggalkan Ray yang penuh dengan tanya di kepalanya.

"Nuha" bibir Ray bergetar. Ia tak tau apa yang baru saja membuatnya berani menyapa manusia itu. Yang jelas ia punya seribu alasan untuk tidak bicara dengan manusia itu. Namun lagi-lagi semesta ikut campur dengan menyediakan pertemuan tak terduga ini.

"I wanna talk to you."

Ucapan Ray membuat Nuha berhenti menyeret koper. Sejenak ia ketara menghela napas. Tanganya terkepal sempurna, genggaman tangan pada koper juga makin erat. Sebenarnya Ray tau apa yang membuat Nuha sebenci itu pada dirinya, namun lagi-lagi monster dalam dirinya begitu egois karena ingin membuat semuanya seakan baik-baik saja. Ray ingin Nuha memaafkannya walau Ray tau tidak ada kata maaf untuk orang yang telah membuat seorang Khariskara Renoir hampir meninggal dunia.

"Saya ingin bicara dengan kamu."

Nuha menyeret kopernya tak peduli dengan apa yang diucapkan oleh Ray. Nuha benar benar menganggap Ray sebagai orang asing .

"Beri saya waktu untuk bicara dengan kamu."

Ray masih menunggu Nuha memberi respon.

Di ujung sana Nuha lagi-lagi menghela napas begitu berat. Tangannya terkepal makin erat. Kalau bukan tempat umum mungkin Nuha sudah melayangkan tinju pada Ray. Pasalnya penerbangannya ke Indonesia sama sekali tidak menyertakan nama Ray dalam tujuannya. Pulang ke Indonesia adalah hal terpaksa. Ia sampai harus menunda kepulangannya ke Jerman hanya untuk urusan di Indonesia. Jelas urusan itu bukan tentang Ray dan segala masa lalu diantara mereka berdua. Nuha jelas sudah membuang jauh semua memori mereka berdua.

"Sorry, gue rasa kita nggak seharusnya bicara satu sama lain. Kita bukan seseorang yang harus saling bicara, dan yang terpenting…gue merasa nggak kenal dengan lo" Nuha membalikkan tubunya. Ia cengkram erat koper untuk meredam kemarahannya karena menatap sosok Ray. Sosok yang hampir membuat Kara-adiknya-kehilangan napas didunia.

"Okay…"Kini giliran ray menggulir napas berat. "I know this must be happen between us. I know…but I think I have something that you must know about us." Ray mengulum bibir.

"I don't care" Alis nuha terangkat meremehkan singkron dengan senyum sarkasnya. "I don't care about us. We didn't have business. Apapun yang ada dikepala lo saat ini sudah bukan urusan gue."

Ray menelan ludah, "Terus kalau dikepala saya ada cuma ada adek kamu, itu masih bukan urusan kamu?" Ray tersenyum kecut.

"Brengsek. Lo…"

"Ha…Kasih saya kesempatan." Ray memohon. Jelas itu membuat seluruh pasang mata mengerahkan pandangan pada Nuha dan Ray.

Nuha mengigit bibir, meredam emosi. Kalau saja bukan di bandara sudah ia habisi Ray dengan puluhan pukulan. Sayang, ia tak mau nama baik keluarganya tercemar dan lagi ia tak mau Kara bertemu dengan brengsek bernama Ray.

"Kasih saya kesempatan, saya…" Belum sempat Ray melanjutkan permohonannya Nuha membalas.

"Oke"

Tak berselang lama Nuha beralih memimpin berjalan di depan. Ada senyum yang terkembang di wajah Ray. Mereka berdua akhirnya meninggalkan bandara menuju ke sebuah kafe yang tak jauh dari bandara.

"I don't have much time." Nuha membuka pembicaraan. Ia lantas menenggak gelas americanonya, mengalihkan pandangan ke jalanan kota sambil mengatur hembusan napas yang kacau.

Ray menghembuskan napasnya begitu berat lantas menenggak segelas bir yang tersaji di depannya. Pelan ia memajam mata, menghilangkan titik air mata yang mungkin membucah. Bayangan kejadian ketika ia menenggelamkan gadis itu perlahan mengisi ingatannya. Ini serupa dengan hukuman yang tak akan pernah terselesaikan. Disisi lain ia sangat menyanyangi gadis itu disisi lain penyesalan begitu besar menghantui.

"Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu. Tapi sebelum saya bicara keintinya saya punya satu pertanyaan"

"What?"

"Kara udah bangun dari koma?" Ray menelan ludah.

Nuha menghembuskan napas, "Apa gue harus jawab pertanyaan ini untuk orang yang membunuh adik gue?" Nuha nyolot.

"Sorry" Ray makin merendahkan suaranya. Ia tau ia salah. "Bu I hear she wake up" lanjut Ray.

Nuha menyernyit.

"Beberapa hari lalu saya ketemu Rehan, dia bilang kalau Kara masih hidup. Tapi jauh sebelum itu saya sudah tau kalau adek kamu masih hidup. Awalnya saya ragu, soalnya saya hanya menebak dari pesan yang dikirimkan dia lewat dm ke Rehan sampai akhirnya saya menyadari ada sesuatu yang janggal dengan media sosial adikmu. Saya liat adik kamu hanya menfollow Rehan dan Re tapi tidak dengan akun saya. Saya tidak bermaksud egois tapi bukankah akan lebih masuk akal kalau hal pertama yang harusnya ia cari itu Ara? Kenapa jadi Rehan? Lalu gaya typing dan topic yang ia bicarakan terasa begitu asing. Saya merasa aneh dan saya Cuma nggak tau apa yang sedang terjadi, tapi saya bersyukur dia bangun dan hidup kembali sehingga saya punya kesempatan untuk membayar apa yang saya perbuat. Jadi Ha… kasih saya kesempatan buat memperbaiki semuanya"

Nuha mengalihkan pandangan pada wajah Ray. Wajah penuh harap itu ia tatap dengan begitu dingin. "Nggak perlu. Lo nggak perlu meminta maaf atau membayar kesalahan di masa lalu karena gue nggak mau lo melakukan hal gila lain buat adik gue."

"Tapi Ha…"

Nuha mengehela napas, americano dingin membantu dirinya mengendalikan emosi sore ini. "Apa yang ingin lo bayar itu bukan apa yang dia butuhkan. Gue harap lo berhenti ngasih makan ego lo dengan memanfaatkan adik gue. Jangan bikin kacau hidup dia lagi. Biarin dia mulai hidup yang baru. Please, Ray… Semesta udah ngerenggut semua ingatan dia tentang kalian, wich is good to forget past and its good to forget you"

Mata Ray membulat sempurna, "Maksud lo?"

Nuha mengangguk, ia tau apa yang ada di kepala Ray. Mana mungkin juga orang sekelas Ray tidak bisa membeli informasi tentang adiknya.

"Kara amnesia, dia kehilangan beberapa kenangan di masa lalunya. Mungkin ini cara tuhan untuk bikin dia ngga sakit lagi ketika dia bangun dari koma. Lo jangan pura-pua bego Ray, gue tau lo udah tau ini. Oiya, thanks lo udah kasih tau kalau ada kemungkinan adik gue bakal berhubungan dengan bocah bernama Ara lagi. Tapi tenang gue nggak akan biarin itu semua terjadi lagi."

Hanya ada suara tenggukan bir yang mengisi atmosfer keduanya.

"Gue emang bego"

Ray memecah keheningan. Kali ini ia kehilangan control akan dirinya. Bahkan untuk sekedar mengatakan dengan gaya bicara saya dan kamu semuanya seakan menjadi lupa. Ia menenggak bir lalu bicara.

"Waktu itu gue nggak mikir panjang. Apa yang gue lakukan sama adik lo itu murni karena gue kira pelaku terror itu adalah nyokap lo. Dengan semua bukti yang gue dan Rehan kumpulkan semuanya mengarah ke nyokap lo. Gue sayang sama Kar, gue sayang banget sama dia, tapi sejak gue tau Kar anak Dinda Juang Renoir gue mencoba nyerah buat sayang sama adik lo. Bukan tanpa alasan, asal lo tau sebrengsek-brengseknya gue, gue akan tetap jadi kakak buat adik gue. Sama kayak lo yang pengen ngelindungin kar dari segala mara bahaya, gue juga gitu buat Re. Walopun gue tau hubungan gue dan Re sebatas saudara tiri tetep aja gue sayang dia. Cara gue negelindungin dia terlalu salah, cara gue negelindungi adik dia terlalu menyakiti banyak orang, jadi wajar kalo semua orang bilang gue salah. Gue ngaku dan gue nerima itu. Gue emang bego dan lebih bego lagi gue masih pengin ketemu adik lo…"

"Jaga bicara lo sebelum gue abis kesabaran!" Nuha membentak pelan. Pasalnya ia tak habis pikir dengan orang di depannya. Tak ada kata maaf untuk Ray. Tidak satu kata pun pantas untuk pembunuh seperti Ray.

"Lo boleh marah sama gue tapi gue akan tetap jadi gue."

Grep. Nuha mengcengkram kerah baju Ray. Tatapanya mengintimidasi membuat Ray kehilangan kata untuk beberapa saat.

"Masih ada masalah yang belum kita selesaikan dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat." Ray menghela napas. Ia mengumpulkan keberanian untuk menatap wajah Nuha. "Masalah nyokap lo dan Ratih Ibrahim nggak selese hanya dengan memenjarakan Dante dan Wijaya. Selama dia masih bebas berkeliaran semuanya belum selesai, dan juga…" Kaitan Tangan Nuha makin erat. Hampir mencekik leher Ray.

"It will be crazy but…some of us try to trapped us on dejavu. Itu artinya cepat atau lambat kita bakal balik ke moment setahun yang lalu. "

Nuha menyenyit, sedetik selanjutnya membuang pandangan. Ia lepas cengkramannya membiarkan Ray bernapas lega. Kemudian ia mengambil duduk sambil mengatur logika. Apapun yang Ray bicarkan saat ini terdengar sangat masuk akal. Tapi soal Kar…sepertinya Nuha masih belum terima.

"Saya dan Rehan akan tetap di jalan kami yang gelap. Maka untuk dapat cahaya saya dan Rehan butuh kamu. No matter how much you hate me, masalah ini adalah apa yang harus kita selesaikan. Orang tua kita mewariskan darah kotor dalam kehidupan kita."

Nuha menelan ludah, "maksud lo?"

"Dendam, benci dan kehancuran. Kita terperangkap bersama di dalam sana."

Lagi-lagi Nuha menghela napas berat. "Apa ini semua gara-gara …"

Ray tersenyum kecut. Tanpa harus melanjutkan kalimatnya, Ray sudah tau apa yang ada di kepala Nuha. Suka tidak suka apa yang telah disembunyikan akan muncul juga. Secara tidak sadar mungkin Nuha telah menemukan kesalahan apa yang telah orang tuanya lakukan.

"Shit"

Kesekian kalinya Nuha tak bisa menahan amarah. Ia membanting gelas tanpa mempedulikan manusia di sekitarnya. Cairan gelap mengisi lantai disekitar mereka. Ray Cuma bisa membuang muka ke arah jalanan kota. Lagi pula ia sudah menduga apa yang sedang dilihatnya saat ini, hanya saja Ray tidak menyangka bahwa hari ini semesta memberinya waktu untuk bicara lebih cepat dari apa yang ia kira. Ray bahkan tak yakin dengan apa yang baru saja ia katakan. Mendadak hatinya gelisah. Mungkin ia telah melakukan hal yang salah?

Lagi-lagi saya memberi makan monster dalam diri saya?

Kenapa juga saya melibatkan orang lain dalam masalah saya?

*

Jerman, 2021

Kar baru saja memutus panggilan dengan abangnya. Kali ini lagi-lagi gadis itu menjadi korban harapan palsu dari abangnya. Pasalnya bang Nuha kembali menunda kepulanganya ke Jerman karena alasan pekerjaan.

"Payah si lebih milih kerjaan daripada nemenin aku"

Kar menggerutu. Meski sudah terbiasa menjalani sesi terapi sendiri namun tetap saja Kar merindukan abangnya itu. Semenjak ia bangun dari koma tak sedetikpun bang Nuha mengalihkan padangan pada dirinya. Nuha selalu ada bahkan dimomen dimana orang tua Kar sibuk. Setiap perkembangan Kar adalah kebahagiaan Nuha. Namun semenjak izin untuk pergi mengurus pekerjaan di Singapura, Kar seperti dilupakan. Meski keadaan Kar semakin membaik tak bisa dipungkiri gadis itu juga sedikit kecewa.

Khariskara Renoir update her story

*Winter will be over : ) Do I created memories with you?"

Tak berselang lama setelah story itu mengudara dilaman instagram, sebuah pesan berlayar membalasnya.

Williamayomain: you did. Anw masih winter jangan kelamaan diluar nanti lo masuk angin. Gawat ntar

Kar menarik senyum semanis madu. Meski hanya bertemu beberapa kali bagi Kar William adalah orang yang begitu menyenangkan untuk diajak berteman. Seringkali dimoment ia membutuhkan teman untuk bicara William dengan senang hati menemaninya. Sayang hari ini William sedang tidak di Jerman. Sama seperti Nuha ia juga punya pekerjaaan. Kiranya Cuma Kar yang hanya menghabiskan waktunya untuk menjalani terapi dan hidup seperti pengangguran yang penuh ketergantungan.

Kar mengulum senyum. Beranjak dari segala pikiran buruk dikepalanya.

Khariskara Renoir : Gawat kenapa?

Williamayomain: nggak ada mak eroh. Kalo masuk angin bukanya di kerok malah suruh minum teh anget satu galon

Khariskara Renoir: Hahah bisa aja lo batak. Gimana kerjaan lo?

Williamayomain: bosen banget

Khariskara Renoir : Loh?

Williamayomain : Iya bosen soalnya nggak ada lo. Terus di sini deket pantai gitu jadi dinginnya lebih nusuk. Nyesel banget ngga ngajak lo.

Khariskara Renoir: Dih nggak mau, kan dingin. Kata lo ngga ada mak eroh nanti kalo gue masuk angina siapa yang ngerokin?

Williamayomain: Gue bisa ngerokik kok hehe

Khariskara Renoir : -_

Williamayomain: haha

Kar mengabaikan pesan itu. Ia menghirup udara sebanyak yang ia bisa. Bunda dan Ayah masih di ruang dokter. Mungkin masih melakukan konsultasi tentang Kar. Jujur Kar tidak tau apa yang terjadi pada dirinya, semenjak koma selain amnesia dan penurunan fungsi tubuh, Kar tidak tau apa yang embuat orang-orang begitu khawatir dengan dirinya. Bunda, ayah dan bang Nuha tidak pernah bicara apapun namun Kar tau betul dari tatap mata ketiganya selalu ada katakutan akan kehilangan. Mereka berusaha keras seakan akan dirinya akan segera tiada. Padahal dokter bilang amnesia dan perkembangan tubuhnya semakin membaik dari waktu kewaktu. Ya meskipun sesekali Kar masih kehilangan keseimbangan saat berjalan dan juga suka lupa dengan tempat yang baru ia kunjungi.

Ting!

Lamunan Kar buyar, ia mengalihkan pandangan pada ponsel. Tersenyum hangat membaca pesan dari William.

Williamayomain: Kar besok kalo gue pulang lo mau gue bawain oleh-oleh apaan?

Khariskara Renoir : haha tiba-tiba semua orang nawarin oleh-oleh. Basi banget, mending lo pulang dari pada oleh-oleh : /

Williamayomain: haha baca gini aja gue baper : (

Khariskara Renoir : Dih sunat dulu baru boleh baper!

Williamayomain: yaelah banyak syarat juga ya kalo mau sama kaum solimin

Kharikara Renoir : Muslimim, batak, bukan solimin

Williamayomain: hehe sorry, sorry typo

Kharikara Renoir: Jauh banget. Dasar

Williamayomain: Ya mana saya tau saya kan Kristen hehe

Kharikara Renoir : -_

Kar memutar bola mata jengah. Meski Cuma lewat chat berbicara dengan Willliam memang sangat menyebalkan. Pesan terakhir Kar tak di balas. Mungkin bicah itu sedang sibuk dengan urusannya. Di sisi lain angina berhembus kencang. Meski musim salju hampir berakhir udara hari ini masih cukup dingin.

Ting!

Ponsel kembali bertenting, Kar kira pesan itu berasal dari William namun nihil karena pesan itu berasal dari orang yang tak terduga. Pertama dari sanga idola dan yang kedua dari orang yang selalu membuatnya menyernyitkan aslis tak paham. Kar memilih membaca pesan dari orang kedua. Sambil mengatur napas mencari kehangatan.

Cakraluskawijaya: I try

Cakraluskawijaya: kamu masih inget orang yang nabrak kamu di bandara?

Benar saja orang itu membuat Kar lagi-lagi menyernyit. Tak paham apa arah pembicaraan ini.

Khariskara Renoir : Inget.

Cakraluskawijaya: Kalau saya bilang itu saya kamu masih mau percaya?

Khariskara Renoir : Percaya nggak percaya, tapi kamu yang mana?

Cakraluskawijaya: yang peluk kamu

Khariskara Renoir : Sumpah?

Cakraluskawijaya: Iya

Kar menelan ludah. Memori otaknya memutar segala yang baru saja orang aneh itu ucapkan. Kalau memang benar orang itu adalah yang memeluknya. Maka…

Khariskara Renoir : Nggak mungkin, kan kita Cuma temen magang?

Sekitar sepuluh menit pesan itu hanya di baca tanpa dibalas. Pengirimnya sibuk mengetik tanpa ada jeda dan pesan yang terkirim. Kar pikir pesan itu akan panjang. Hantinya sudah tercampur aduk namun sia-sia penantiannya karena manusia itu tetap menjadi manusia paling aneh yang pernah Kar temui.

Cakraluskawijaya: : )

Kar melotot ingin memaki.

Khariskara Renoir : Brarti lo lagi di Jerman kan? Bisa kita ketemu sebentar? Ada banyak yang pengen gue tanya ke lo. Lo temen gue kan?

Cakraluskawijaya : bukan

Khariskara Renoir : terus, kenapa lo peluk gue?

Lagi-lagi pesan itu terbaca tanpa terbalas.

Khariskara Renoir: Apa karena gue cacat lo nggak mau ketemu gue?

Khariskara Renoir: Apa karena gue sakit, lo nggak mau ketemu gue?

Kharikara Renoir: Lo malu ngaku jadi temen gue?

Khariskara Renoir : Kita saling kenal kan?

Kar mengigit bibir. Baru kali ini ia merasa sekesal ini dengan apa yang tidak bisa ia ingat dari masa lalu. Tiap kali Kar mencoba mengingat semuanya hanya akan berujung nihil. Kosong. Taka da satupun yang ia ingat dari orang itu, ingatannya berhenti pada saat ia melihat senyum getir matan kekasihnya, Dipa. Tapi mengapa, wajah manusia itu, tatapan mata itu begitu penuh dengan dirinya di masa lalu.

Ting!

Cakraluskawijaya: Besok saya akan temui kamu.

Khariskara Renoir: Serius?

Cakraluskawijaya: Iya

Kar menelan ludah. Tak percaya.

Ini bukan mimpi kan?

Mendadak udara dingin terasa begituhangat dalam sekejap. Setidaknya manusia itu akan sedikit memberi pencerahan tentang apayang sudah ia lupakan di masa lalu. Semoga saja manusia itu bisa membuka pintu yang terutup di dalam otaknya. Semoga, karena pada akhirnya manusia yang pandai berencana cuma bisa di kalahkan oleh realita