Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 13 - 12.00

Chapter 13 - 12.00

Italia, 2021

Kalau semesta sudah bersabda memang manusia bisa apa?

"Batak?"

"Khara?"

"Lo?!" mereka berdua tampak begitu antusias ketika menemukan satu sama lain. Kebetulan William menemukan gadis itu ketika ia sedang ingin mencari makan di dekat tempat Re mengadakan pameran.

"Kok bisa di sini? Jatoh pula?"

William menaikan alisnya. Ia pandangi gadis di depanya dengan tatapan seduktif. Meski Re di hati tapi tetap saja tiap melihat Khara selslu ada hal yang menarik yang membuat William ingin menarik senyum diwajahnya. Kali ini gadis itu sedang membenarkan posisi tubuhnya yang baru saja terjatuh.

"Ya gimana orang jatuh masa salto ke atas" Kar menepuk bajunya. Membersihakan diri dari debu jalanan. Ia baru saja terjatuh lantaran tubuhnya kehilangan keseimbangan. Semenjak bangun dari koma lambat laun fungsi tubuh Kar memang menurun secara perlahan. Salah satunya adalah perkara keseimbangan. Bagi Kar jatuh begitu adalah sebuah kebiasaan baru.

"Hehehe iya sih."

"Dih ketawa terus lo sampe kering" Kar sewot. Ia membenarkan syal di lehernya. Meski sudah memasuki musim semi udara siang ini lumayan dingin. Ya walaupun salju tak turun.

"Sorry sorry soalnya lo cute banget. I cant hide deh heheh, anyway pertanyaan yang pertama belum dijawab loh"

Kar menyernyit, "yang mana?"

"Hhhh" Giliran William mengacak rambut gadis itu lantaran ekspresinya yang begitu polos. Mungkin warga lokal yang tidak mengenalinya akan mengira gadis itu adalah bocah kecil yang tersesat mencari induknya. Soalnya selain ekspresi polos, postur tubuh dan cara berpakaian gadis itu masih kekanakan. Jujur saja kalo di lihat lebih detail Kar bukan tipikal cwek idaman William. Tapi entah mengapa meski begitu ada hangat yang menjalar ketika menatap gadis itu.

"Apaan si?"

Kar cemberut membuat William menggambar senyum di bibirnya untuk kesekian kali. Ada hangat dalam hatinya.

"Heh nggak ada yang nyuruh lo cemberut."

"Tapi lo bikin gue cemberut"

"Idih enggak ya"

"Tuh kan nyebelin. Batak serius tadi lo tanya apaan, gue lupa?" : (

"Lo…" Batak menjeda ia membenahi syal Kar. Memangkas jarak membuat keduanya begitu dekat. Hangat, sebab matahari terlanjur malu karena senyum batak merebut setengah kehangatan dunia milik gadis itu.

"pikun separah itu?" senyum smirk Batak meruntuhkan semua fantasi semesta.

Ada dengusan napas yang terlihat jelas di sela sela kekehan Batak. Jelas itu milik Kar yang telah mengatur emosinya. "Hell, ngga lucu tau, bukanya bantuin buat sembuh dari pikun malah di ledekin. Nyesel gue cerita sama lo!"

"Lah kalo nggak cerita sama gue emang ada yang mau dengerin lo?"

"Ih!"

Kar implusif menjijit untuk mencubit pipi batak. Nggak atau kenapa emang bawaanya juga pengen ngunyel-unyel pipi orang itu. Kalo bisa sekalian mulutnya, biar nggak sepedas bon cabe.

Di sisi lain batak membeku. Menelan ludah sebanyaknya. Barusan yang di lakukan Khara nyata kan? Nyata, kan?

Plak!

Batak menampar pipinya, lantas mentap Kar hiperbolis membuat gadis itu setengah takut dengan tingkah Batak. " Gue nggak lagi mimpi kan?"

"Nggak!" ketus Kar.

"Syukur deh" Batak mengelus dadanya. Nampak bahagia.

"Kok bersyukur sih, gue kan tanya pertanyaanya apa, kok malah bersyukur"

Batak nyengir puas, "Hehe ada deh"

Berhubung batak udah di batas kenormalan. Akhirnya Kar memutuskan unuk membuat bocah itu tersadar. Ia mencoba memastikan, "Tak, nggak mau mati kan?"

"Tak?"

"Tak!"

"HAJI BATAK!"

Teriakan Kar membuat Batak tersadar dari fantasinya. Lantas mengacak gemas rambut Kar. Sambil berbisik, "I think I found my home" lantas tersenyum mengisi seluruh pandangan mata Kar. Di sisi lain mata Kar membulat sempurna. "Tapi lo masih kecil " :( Batak mengigit bibirnya, menunjukan raut gemasnya.

"Lo…" Kar ragu. Taku batak lagi kesambet hantu pedofil.

Belum sempat keraguan itu tuntas Batak sudah lebih dulu berucap, "Lo kok bisa di sini?"

Ada senyuman yang terkembang begitu cerah di wajah pria itu. Sebaliknya tak begitu lama senyuman lain terpicu untuk terkembang.

Sepertinya musim semi telah tiba di antara keduanya.

Lantas bunga milik siapa yang mekar duluan?

*

Williamayomain: Kayaknya gue nggak bisa balik gallery ada urusan

Williamayomain: Kalo ada apa apa telfon gue ya : *

Just Re: emang lo bakal dateng gitu kalo gue telfon?

Williamayomain: jelas

Williamayomain: nggak hehehe

Just Re: sialan. Di sini ada Nadev

Williamayomain: terus gue harus bilang waw gitu?

Just Re: terserah

Wiliamayomain: gue kira lo bakal kehilangan gue huhu ternyata enggak

Just Re : lebay

Williamaayomain: Dih jangan nyesel nanti kalo gue udah punya gantinya lo

Just Re: emang ada yang mau sama sugar rush kayak lo? Gue aja ogah

Williamayomain : Solimi banget kamu. Awas aja lo!

Just Re: Ck! Awas aja lo balik suka sama gue

Williamayoamain: Solimi banget kamu.

Just Re : hahaha

Williamayomain: terakhir deh.

Williamayomain: I love you. Will you marry me?

Just Re was block Williamayomain.

Re mematikan ponsel. Ia mengalihkan pandangan pada jendela yang menampakkan lautan luas di sebrang sana. Hari pertama pameran berlangsung begitu lancar meskipun gara-gara Nadev dan Batak pameran jadi jauh dari kata damai buat Re.Tapi tak mengapa sebab saat makan siang keduanya kompak menghilang. Mereka seakan tau kalau rapat dengan klien segera di mulai.

Ngomong-ngomong tentang rapat, hari ini rapat juga berjalan dengan lancar. Meskipun pimpinan perusahaan baru bisa datang besok untuk meninjau karya Re tapi secara visi dan misi tujuan kerja sama yang mereka ajukan, Re merasa tidak keberatan. Selama sesuai dengan prinsipnya dalam berkarya selama itu pula Re akan setuju.

Jovian Nadev : Re, sorry kayaknya aku ada kerjaan mendadak. Kunci mobil aku taruh kamar nanti kalau aku udah selesai kerja aku kabarin. Sampe ketemu nanti Re… : )

Re : Ok

Re menghela napas, ia menggerakkan jari jemarinya. Mencoba menimang nimang apa yang akan ia lakukan. Pekerjaanya hampir selesai, dan gallery untuk hari ini akan di tutup lebih cepat karena ada beberapa karya yang akan di perbaharui sesuai permintaan klien tadi.

Semenit, dua menit, tiga menit akhirnya Re memilih untuk pergi ke kota. Memanfaatkan mobil Nadev untuk menjelajah Italia dan menemukan beberapa insipirasi. Selain itu ia juga ingin membeli beberapa perlengkapan lukis.

*

"Total $45, metode pembayaran cash atau debit?"

"De…"

Shit!

Re ingin memaki dirinya sebab di seluruh pakaian yang menempel pada tubuhnya tak ada satupun uang yang bersarang disana. Jangankan kartu debit uang cash pun tak ada. Re baru ingat kalau dompet dan kartu debitnya tertinggal di gudang kanvas.

"Oke wait"

Re menelan ludah, mulai panik, ia menghubungi siapapun yang ada di ponselnya untuk menyelesaikan masalah sepele ini. Namun sial tak seorang pun mengangkat termasuk si Batak yang entah pergi ke mana. Biasanya kalau di saat genting begini Batak akan tiba tepat waktu namun kali ini karma melanda. Akibat Re yang jarang berterimakasih dan menghargai jasa Batak, orang itu hilang di telan bumi.

Re tidak menyesal hanya saja, akan sangat memalukan jika koleganya tau ia tak bisa membayar sepotong paperoni pizza. Padahal hari ini Re baru saja mendapat investasi dengan dana yang luar biasa.

Just Re : Haji Batak, kalo lo nggak jawab terlfon gue mampus lo!

Just Re : Jov, can you transfer some money for my paypal?

Just Re: Woy tolong bayarin gue paperoni pizza. Gue nggak bawa duit

Just Re : Woi

Just Re : Woi!

Just Re : fvck!

Membasahi bibir, Re sudah siap mengembalikan box pizza di tanganya ke pegawai sambil menahan malu. "Sorry I cant.." Re kicep tiba-tiba saja sebuah card melintas di depan matanya.

"I will pay for this girl"

"Thanks"

Re terdiam beberapa lama saat pria itu pergi. Daripada mirip pahlawan ia lebih mirip dengan malaikat kematian. Sebab pria itu adalah yang familiar namun menyakitkan. Re menelan ludah lantas beranjak keluar. Mencoba mencari keberadaan pria itu. Namun nihil sebab keberadaanya hanya berlalu seperti angin.

Rehan?

Re menggaruk tengkuk rikuh. Semesta yang begitu luas kenapa rasanya hanye berisi mereka berdua? Kenapa selalu bertemu? Kenapa juga pria itu datang saat dimana Re di posisi paling memalukan? Ini sengaja? Atau ulah Ray?

Sementara otak Re makin penuh dengan pertanyaan tentang pria itu, langit di kota mulai menenggelamkan matahari. Sore datang, dan Re harus segera pulang. Sepertinya misisnya untuk membeli beberapa perlengkapan alat lukis akan tertunda, berhubung ia lupa membawa uang dan debit cardnya.

Mobil Re melaju membelah kesunyian sore ini. Dalam perjalan pulangnya berhubung resort yang Re gunakan untuk menginap berada di pulau Ischia Ponte dan sekarang ia berada di kota maka ia akan melewati jembatan yang menghubungkan keduanya. Ischia Ponte adalah sebuah pulai cantik yang jauh dari kota sehingga untuk mencapai sana harus melewati jembatan kecil yang menhubungkan keduanya.

Pemandangan di sisi kanan dan kiri ketika melawati jembatan berupa kapal feri dan hamparan lautan yang begitu indah. Dipadu sore ini langit menampakkan jingga yang begitu indah. Sayup angina menambah syahdu. Sial itu tak bertahan lama karena baru dua pertiga berjalanan melewati jembatan mobil yang di kendarai Nadev terhenti. Mogok.

"Hah? Lupa? Bisa bisanya lo pinjemin gue mobil ginian. Sialan, sekarang gue gimana dong?!"

"Hah?"

"Anjir jangan dimatiin. Tanggung jawab Jov. Jov…Jov…"

Panggilan terputus. Sinyal hilang. Langit makin menghitam. Taka da yang bisa Re lakukan selain menendang nendang bemper mobil di depanya. Nadev jelas tak bisa datang, Batak jelas tidak tau penderitaaanya maka habis sudah nasibnya. Selain berjalan sampai penginapan taka da pilihan lain sebab taka da satupun taksi yang melintas di sana. Mobil tumpangan pun taka da. Semesta menjebak Re dalam kesialan.

Sambil mengunyah paperoni pizza di tangannya Re berjalan menyelusuri jembatan. Berharap dia nggak akan mati agar bisa melanjutkan pameranya.

Di tengah-tengah kepalanyayang meruntuk hebat karena kebodohanya, fokus Re terhenti. Terhenti pada satu titik dimana ia menemukan manusia paling ia hindari selama setahun terakhir ini. Manusia yang hanya dengan siluet senja sudah bisa membuat Re merasa sakit dan senang dalam satu waktu. Manusia penuh kecewa yang tidak pernah menyerah membuat Re bahagia. Manusia itu adalah Rehan.

Rehan dengan kaus putih dan kemeja kotak-kotak yang di ikat di pinggangnya. Rambut yang berantakan serta tanganya yang lihai membidik pemandangan senja di jembatan kecil menuju kota Ischia Ponte.

Re menelan ludah. Ia harap Rehan tak mengenalinya. Re ingin berjalan dan berlalu saja tanpa menyapa. Menjadi orang asing di pertemuan kali ini. Dari membuang mata, mengalihkan pandangan, mempercepat langkah hingga pura-pura tak kenal sudah ia lakukan namun sial lensa pria itu terarah pada Re. Tanpa permisi Rehan mengambil foto Re. Lantas tersenyum.

"Awet banget jeleknya" celetuk Rehan ringan.

Praktis membuat Re melotot. Bagaimana bisa seringan ini. Bagaimana bisa setelah setahun berlalu semuanya hilang begitu saja?

"Re…"

Re menelan ludah, ia tak mau terjebak begitu lama. Re melanjutkan jalan kakinya. Ia berharap superman segera datang menyelamatkanya. Bagaimanapun Re belum siap bicara dengan manusia yang satu ini. Bagaimana pun…

Re terus mempercepat langkahnya. Bodoamat dengan Rehan di belakang sana. Namun pertahanan Re runtuh ketika teriakan Rehan menggema.

"Gue temenin jalan mau?"

Deg.

Re membalikkan badan, menemui senyum Rehan.

"Gue temenin jalan mau?"

Selang berapa detik sebuah box pizza melayang ke arah Rehan. "Pergi lo babi!" Re mengatur langkah menjadi lari. Di belakang sambil meringis Rehan ikut juga lari mengejar Re. Sore terus menggelap dan keduanya basah oleh keringat. Bukannya saling tonjok mereka berdua malah suka rela jadi altet marathon.

"Jangan lari nanti kalo gue kejar gimana?

"Bodo anjing!"

"Re?"

"Jangan ngomong sama gue. Gue capek!"

"Air akuarium udah lo kuras?"

"Ikan gue mati anjing!"

"Re"

Mereka berdua terus berlari, mengejar satu sama lain. Re mengejar resortnya dan Rehan mengejar rumahnya. Di temani dengan angina langut yang berhembus hangat, musim semi sepertinya juga akan mekar pada rumah lama. Pada lahan yang sama mungkin dengan bunga yang berbeda.

Karena sejauh apapun kamu menghindar, kalau takdir bilang dia untuk kamu, memang kamu bisa apa?

Kamu mau merebutnya?

Atau menolaknya?

*

Jakarta, 2021

"Seminggu lagi semua urusan bakal selesai. Minggu depan kita bakal pulang. Maaf ya Kak, udah ngrepotin kamu."

Suara bunda terlihat begitu lembut dan meluluhkan. Meski lewat telfon Nuha bisa merasakan apa yang wanita itu rasakan. Jelas wanita itu penuh dengan kegelisahan. Nada bicaranya penuh penyesalan.

Nuha tersenyum mendengarnya, "Nggak papa bun, Nuha seneng bisa bantu Khara."

"Nanti kalau bisnis Papa udah lebih baik, Bunda janji uangnya pasti Bunda ganti."

Ada helaan napas ketika Nuha mendengarkan kalimat itu meluncur. Rasanya Nuha belum memberikan apapun kepada Bunda. Hal kecil yang ia berikan ke bunda tak seberapa dengan apa yang Bunda berikan ke Nuha.

"Uangnya simpen aja Bun buat pengobatan Khara. Kalo perlu Nuha juga ikut kerja. Ya, walopun nggak seberapa seengaknya bisa buat jajan Khara sama nambah tabungan biaya pengobatan Khara. Inget ya bun, Bunda ngga sendiri, ada ayah ada Nuha yang selelu nemenin Bunda sama Khara. "

"Tapi Ha…"

"Bun, percaya deh. Khara pasti sembuh " Nuha meyakinkan diri meski dirinya pun begitu ngilu mengatakan hal itu. "Kita nggak pernah tau sejauh apa kemungkinan itu akan berhasil kalau kita nggak pernah coba buat berusaha. Kita pasti bisa bun"

Isakan tangis terdengar di baling telefon. Nuha hanya bisa terdiam begitu kaku. Di depanya ada buku tabungan dan laporan keuangan perusahaan yang membuatnya makin tak karuan. Bagaimanapun hidup manusia adalah roda kehidupan. Ada saatnya kita dia atas da nada saatnya kita di bawah. Saat ini Nuha merasa dirinya sedang di bawah.

Setelah Khara menjalani pengobatan selama setahun di German. Keuangan keluarga Renoir sedikit demi sedikit kurang stabil. Biaya pengobatan, biaya hidup, dan sewa apartemen sepertinya adalah penyebab utama. Belum lagi banyak usaha milik keluarga Renoir yang gulung tikar.

Keuangan mereka semakin melemah, ini juga yang membuat Nuha merelakan Binta. Nyatanya membangun keluarga bukan Cuma tentang cinta dan komitmen. Menikah adalah tentang kesiapan fisik, mental dan finansial. Secara mental dan finansial Nuha rasa ia belum siap. Dan ia tak akan siap melihat Binta menderita dengan keadaan keluarga. Saat ini yang terpenting bagi Nuha adalah kesembuhan Kar.

"Nuha?"

"Iya pa?"

"Maaf ya papa ngga bisa mempertahankan rumah kita"

Nuha menelan ludah. "It's okay, kita bisa ambil lagi setelah semuanya baik baik lagi. Rumahnya nggak kemana, Nuha titipin ke orang yang tepat. Jangan khawatir pa"

Terdengar helaan napas, "I know kamu sangat bisa diandalkan."

Nuha tersenyum, "Rumah kita yang sekarang nggak kalah nyaman dengan yang di semarang. Nuha jamin Khara bakal suka."

"Really?"

"Hm" Nuha mengangguk mencoba mengilangkan genangan air di matanya.

"Khara pasti bangga punya abang kayak kamu. Ayah bangga sama kamu"

Hening

"Ha…" Ayah bersuara.

"hm?"

"Maafin ayah sama bunda karena belum bisa kasih kehidupan yang terbaik buat kamu. Maafin ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu. Ayah juga mau minta maaf karena kamu nggak pernah bisa dapet apa yang kamu mau hanya karena kamu pengen liat adik kamu bahagia. Sorry…"

Nuha mengigit bibirnya, menarik napas sebanyak mungkin. Lantas mengatur nada bicara agar terlihat tenang. "Pa, aku ada kerja malem . Nanti aku telfon, bye"

Klik.

Panggilan terputus.

Hal pertama yang Nuha lakukan adalah mengusap air matanya. Ia tak mau banyak menangis karena malam ini ia harus bekerja di sebuah kafe. Setiap kesedihan yang datang pasti akan berlalu, Nuha yakin itu. Seberat apapun hidup, akan selalalu ada sisi dimana manusia menemukan apa itu harapan. Selagi Khara hidup, selama itu pula harapan selalu datang.

Persetan dengan bahagia. Hidup terus berjalan. Tak perlu menjadi dewasa karena waktu pasti terus melindas dirimu. Tanpa ampun. Tanpa siap. Sebab hidup kita bukan lomba. Hidup kita hanya bagian dari perjalanan waktu di dunia.