Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 9 - 08.00

Chapter 9 - 08.00

Bogor, 2021

"Makasih bos, sering-sering kasih bonus"

"Bos saya pamit dulu"

"sehat-sehat bos"

"Cabut dulu bos"

Satu persatu pegawai café meninggalkan Ray. Sekarang ia sendirian, masih merapihkan beberapa meja sambil mengunyah permen karet yang sudah sepah. Ia tak tau apa yang harus ia lakukan ketika malam datang. Alasan utamanya adalah ia tak bisa tidur tenang. Sering kali ia memejamkan mata namun merasa ketakutan. Bukan karena gelap namun karena bayangan yang disajikan dalam gelap begitu nyata. Sampai-sampai seluruh tubuhnya seperti di bawa ke dalam bayangan itu. Bayangan yang penuh penyesalan dan ketakutan.

Ray tidak tau apa yang harus ia lakukan ketika malam datang. Dari mencoba memforsir tenaganya agar capek dan kehilangan akal hanya berujung pura-pura tidur. Pindah tempat tinggalpun sudah pernah Ray jalankan. Bogor, Jakarta, bandung, Surabaya, Singapura hingga seminggu di Papua tak membuatnya bisa tidur tenang. Malam selalu saja menyajikan mimpi buruk bagi dirinya.

Soal obat penenang? Maaf itu juga tidak mempan. Tapi belakangan ini Ray punya cara gila untuk melampiaskan itu semua. Cara gila itu memang tidak bisa menghilangkan bayangan buruk itu hanya saja bisa sedikit membuatnya bahagia. Ya walaupun tetap saja Ray hanya menghabiskan tidur selama 2 jam dalam 24 jam miliknya.

Cara gila itu adalah bermain wanita. Sama seperti kali ini, setelah menutup café ia pergi ke salah satu gang yang menjajahkan pekerja seks komersial .

Ray membuang permen karetnya saat memasuki sebuah bar. Ia menemui salah satu kenalannya. Sedikit minum dan melajutkan langkahnya menuju ruang yang telah ia pesan. Jangan tanya apa yang akan Ray lakukan untuk menghabiskan malam ini.

"Thank's bro"

"Anything"

Pria itu meninggalkan Ray tepat setelah Ray memberi setumpuk uang kepadanya. Kini giliran Ray menghela napas berat. Segala upaya telah Ray lakukan untuk melupakan bayangan itu namun rasa bersalahnya terlalu besar hingga menjadi ketakutan yang menghantuinya. Apapun yang ia lakukan, dimanapun, dan kapanpun bayangan itu akan selalu muncul.

"Honey, are you tired?"

"No"

Ray sungguh tak peduli. Malam ini telah berlalu dan Ray tak menikmati permainan malam ini. Berapapun yang mereka lakukan semuanya hanya berlalu begitu saja.

"Kok kamu kayak ngga puas gitu?"

Ada dengusan sebal dari wanita yang sedang berbaring di sebelah Ray. Praktis membuat Ray meraih rambut gadis itu, membelainya lembut. Tersenyum sarkas.

"You know that I never want…" Ray menjauhkan tangannya dari wanita itu. Lantas meraih pakaiannya yang berhamburan dilantai dan mengenakannya. Ia mengambil duduk di dekat jendela kamar.

Suara berisik masih menusuk telinga. Padahal ini sudah menginjak dini hari namun bar rupanya masih beraktivitas dengan normal. Sama seperti malam sebelumnya, Ray akan duduk di tepi jendela hingga subuh datang. Sebenarnya tidak ada yang ia lakukan saat itu, selain menghela napas dan menunggu pagi datang dan merutuki semua kebodohannya menghabiskan malam untuk bercinta dengan wanita yang bahkan tidak ia cinta.

Ray memang brengsek namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia juga pernah menyimpan banyak kebaikan. Sayangnya semua kebaikan itu hangus dalam sekejap gara-gara kedua orang tuanya. Ray memang brengsek namun ia tetap punya hati untuk memikirkan keluarganya. Bahkan untuk seseorang yang tak sedarah dengannya.

"Sex doesn't make you escape form your problem, Ray. Kalo lo ada masalah lo harus menyelesaikannya, bukan malah lari ke gue, bego. Se najis najisnya gue, gue juga tetep wanita. Kalo lo ngga menikmatinya ngapain lo melakukannya, hah?"

Wanita itu berteriak memecah keheningan. Ia masih berada di balik selimut, menyembunyikan tubuhnya yang telanjang.

" Menurut lo, apa dia bakal mau maafin saya kalo sama minta maaf?"

Wanita itu menyenyit, "mungkin? But tergantung sebesar apa kesalahan lo ke dia."

"Kesalahan saya amat besar. Jadi…"

Wanita itu menungkas tajam, "emang kesalahan lo apa hah?"

Ray terdiam, sedetik setelahnya membasahi bibir, "Saya punya niat membunuh dia. Saya benci orang tua mereka, jadi saya dengan sengaja menghanyutkanya di sungai dengan harapan orang tua dia menyesali apa yang mereka perbuat. Saya tidak berharap dia mati karena sayapun menyukai dia, tapi perasaan saya tidak pernah berharga dimata dia, jadi saya pikir…"

Prang!

Wanita itu murka, padahal bukan dia yang merasakan semua kejahatan Ray. Tapi dia murka, dia membanting botol wine dengan penuh amarah, "Lo tau bangsat? Lo lebih bangsat dari bangsatnya bangsat, ngerti?!"

"Tapi Mir…"

Wanita itu bernama Mira. Mira si pekerja seks komersial dengan bayaran mahal perjamnya.

"talk to your self. Lo emang pantas dapet mimpi buruk itu. Tuhan ngga mungkin salah ngasih hukuman ke dajal kaya lo. Pantas banget kalo dia ngga maafin lo, itu pantes benget Ray. Brengsek! Bajingan! Asal lo tau, cewek yang hampir lo bunuh itu selalu lo sebut setiap kali lo nyentuh gue. Kurang bangsat apa lo Ray. Kurang bangsat apa lo!"

Ray menghela napas, meraup wajahnya frustasi. Tak ada pembenaran.

"Mulai hari ini gue nggak akan nerima lo lagi. Nggak akan ngelayanin lo lagi dan nggak akan nemenin orang brengsek kaya lo. Paham?" Mira benjak dari ranjang. Tubuhnya sudah mengenakan pakaian lengkap. Lantas menuju pintu hendak meninggalakn Ray. Sebelum ia benar-benar menghilang Mira sempat berucap.

"Sebagai senior dan sebagai teman gue Cuma mau ngasih tau yang terakhir kali. Buat kebaikan lo, gue harap… lo jauhin dia. Jangan pernah muncul lagi di kehidupan dia. Lo nggak berhak sama sekali buat andil lagi dalam hidup dia. Lo cukup tau seberengsek apa lo, jadi gue mohon jangan rusak hidup orang lain dengan kebrengsekan lo dan keluarga lo."

"As a friend, gue selalu menolak percaya lo akan melakukan ini semua. Gue kecewa, Ray. Kecewa sama lo"

"Mir…"

Blak!

Jeblakan pintu mengahiri pagi ini. Ray berulang kali menjambak rambut frustasi. Entah sudah berapa botol alkohol yang memasuki tubuhnya pagi ini. Ray masih belum bisa memejam mata dengan tenang. Pikiranya masih melalang buana, jiwanya hampa dan mati rasa. Hingga di sela-sela frustasinya sebuah panggilan menderingkan ponsel miliknya.

Layar menampakkan nama Rehan disana.

Ray tak berselera mengangkat. Puluhan panggilan masuk dan mungkin Rehan menyerah menghubunginya. Itu berakhir dengan pesan yang membuat setengah kesadaran Ray di bangkitkan.

EdzharRehantrulala send a photo

EdzharRehantrulala : who is the girl?

Georgio Ray Ibrahim : where are you ?!

EdzharRehantrulala : heaven

*

Dua hari sebelum keberangkatan ke Jerman

Bogor,2021

Rehan baru saja sampai, ia baru saja turun dari angkutan umum tepat di depan sebuah rumah tahan di Bogor. Bocah itu mengirup napas sebanyak banyaknya sebelum masuk ke dalam lapas untuk menemui papa. Hampir setengah tahun Rehan tidak bertemu dengan papa. Sejak perjalannya mengelilingi dunia, Rehan rasanya lupa apa itu berbakti pada orang tua. Tapi itu hanya sekejap karena setiap ia pulang ke Indonesia, Rehan selalu menyempatkan ke bertemu mama dan papa. Mama di rumah sakit jiwa di daerah bandung dan papa di rumah tahanan di Bogor.

Setahun sudah berlalu tanpa kabar. Tak terasa setahun pula papa menjalani hukuman di penjara. Menjadi tahanan untuk kasus pembakaran hutan dan korupsi di tempat kerjanya. Papa menerima hukumannya begitu pula dengan keluarganya. Tak mengapa, Rehan tak pernah malu dengan itu semua. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini, baginya kenyataan saat ini jauh lebih baik dari ekspektasi di kepalanya. Meski harus memperbaiki dan membangun semua dari awal, sungguh bagi Rehan tak mengapa.

"Dominic?"

Bersama dengan seorang sipir papa keluar dari sel penjara. Kemudian mereka duduk berhadapan untuk bicara. Tangan papa masih di borgol. Baju tahanannya cukup lusuh, namun yang lebih membuat Rehan miris adalah wajah papa yang kian kusut dan hitam.

"Dominic?"

Papa memastikan sekali lagi.

"Rehan pa…"

Rehan segera menyahut karena jujur saja ia benci dengan nama baptisnya. Bukan kenapa hanya saja ia tak suka dianggap agamis.

Kebaikan baginya adalah seuatu yang tak pernah terlihat namun akan terasa pada orang yang menerimanya.

Papa yang paham lantas tersenyum miris, "Ah maap aku hampir lupa kamu tidak suka dengan nama itu. Aku memang ayah yang payah, begitu saja tak ingat"

"Bukan begitu pa…" Rehan menghela napas.

Hening.

Atmosfer mendadak begitu canggung. Rehan berusaha memecah keheningan dengan dehaman kecil, lantas berinisiatif membuka percakapan. "Sudah makan pa?" Rehan tampak kikuk. Disisi lain merutuki kebodohannya atas basa basi nggak penting itu.

Sialnya Papa Cuma tersenyum. Tak menanggapi.

Rehan memutar otak begitu keras.

"Apa yang mau kamu bicarakan denganku ?"

Tingkat kepekaan papa memang tidak bisa diragukan lagi. Sekali lihat raut wajah pasti sudah tau isi kepala anaknya. Rehan tak bisa menutupi, ia bersyukur karena papa sudah menjembati percakapan kali ini. Selanjutnya bocah itu mengeluarkan ponsel. Menyerahkan sebuah foto pada papa.

"Papa kenal anak ini?"

Rehan tampak menimang begitu hati-hati, diseberang sana papa Cuma tersenyum.

"kenal"

Rehan menghela napas begitu suara papa keluar.

"Anak yang tenggelam di kali karena menolong anaknya Ibrahim kan? Anak malang yang kelewat tolol itu sudah meninggal?" Papa tampak begitu meremehkan dengan senyumnya.

Rehan menarik simpul senyum terpaksa, tanganya sudah mengepal sempurna. Hendak melayangkan tinju namun tertahan begitu saja. "She still alive. She wake up again"

Papa nampak menghela napas berat. Tatapan matanya berubah serius. Berulang kali papa terlihat menelan ludah.

"Pa.." Rehan khawatir.

Tak berselang lama papa bicara. "Luksa tau?"

Rehan mengangguk tanpa ragu, "cepat atau lambat dia akan tau"

"oke" jawaban itu begitu singkat. Papa langsung membuang pandangan matanya. Dilain sisi Rehan coba mencari makna dari raut wajah ayahnya. Namun nihil karena terlalu rumit.

"Kamu gimana kuliah kamu? Kerjaan kamu?"

Papa seperti mengalihkan pembicaraan.

Rehan paham. Rehan mengeratkan kepalan tangannya. "good" singkat Rehan tak berselara.

"Mama kalian gimana kabarnya?"

Rehan menelan ludah, "also good"

"Luksa?"

Kali ini Rehan diam. Rehan tak mengerti apa yang ada di kepala adiknya. Selama di Jakarta mereka berdua tak pernah bertegur sapa setelah insiden chat dari Khara. Selain itu bocah itu juga terlalu gila kerja. Pagi pergi pulang dini hari. Tak ada sedikitpun waktu untuk saling bicara. Semuanya lewat begitu saja.

"Aku dengar dia akan menikah dengan Lyra"

"papa percaya hoax?"

"Awalnya aku menolak percaya berita itu, tapi sipir di sini terus menggosip anakku. Mereka bilang perusahaan jauh lebih baik ketika Ara yang pegang. Mereka juga bilang perusahaan akan jauh lebih baik jika ara segera menikah dengan Lyra."

Rehan Cuma tersenyum kecut. Walaupun Ara dan Rehan tak seakrab itu, rehan masih ingat betul semarah apa bocah itu ketika diminta putus dengan Kar. Jangankan mencintai gadis lain, untuk mencari waktu sehari tanpa memikirkan Kar itu adalah mustahil bagi Ara. Sebab yang paling Ara inginkan untuk melengkapi dirinya hanya Kar.

"Aku terus menolak percaya sampai hari ini rapat saham menyatakan bahwa perjanjian pertunangan telah di ajukan. Lyra dan Ara, mungkin itu yang terbaik untuk perusahan kita"

Kini giliran Rehan berontak, "papa bisa nggak sehari aja nggak usah mikirin uang. " Rehan kesal.

"Bukan begitu. Tapi rasanya akan tidak mungkin lagi bagi luksa mendapatkan hati keluarga Renoir mengingat apa yang telah keluarga kita lakukan sejauh ini. Aku tau aku salah, aku yang melibatkan kalian semua dalam kehancuran ini. Aku tau, aku memang tak pantas jadi kepala keluarga kalian."

Rehan bergeming.

"Tapi jauh dari lubuk hatiku, aku ingin melihat kalian semua bahagia walau aku tau caraku salah" Ada nada yang meluruh begitu perih. Keduanya Cuma bisa terdiam dalam luka masing-masing.

"aku bukan ayah yang baik buat kalian"

Rehan mengigit bibirnya, erat. Menelan ludah. Sebisa mungkin menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Lantas bicara, "he trapped by poison that we made in our life. Luksa adalah orang yang paling tersakiti. Kalau papa brengsek itu juga nggak jauh beda dengan aku yang brengsek. Aku kakak yang brengsek buat kedua adikku. Aku tidak pernah ada disaat mereka membutuhkan aku. Saat lilis ada atau saat lilis pergi semua beban seperti di limpahkan pada Luksa." Rehan memejam mata, menikmati ngilu yang menghantam dadanya.

"Aku sibuk melarikan diri sampai aku lupa adikku juga manusia yang bisa terluka dan lelah." Kepalan tangan Rehan begitu erat. "Setiap anak adalah harapan buat orang tua mereka, tapi buat luksa harapan Cuma sebuah angan. Satu-satunya harapan yang dia punya Cuma Khara. Kalau sampai harapan itu nggak dia dapatkan, apa papa bisa jamin luksa masih utuh buat hidup?"

Ada penekanan di kalimat akhir bicara Rehan.

"Pa…kita udah ngehancurin orang yang seharusnya nggak hancur. Asal papa tau, luksa yang dulu kita kenal sebagai anak baik dan manis udah berubah jadi anak yang berani sama agama dia. Bukan Cuma ngerokok dia juga mabuk pa. Bayangin pa, mau sehancur apa lagi dia kalo harapan dia pergi?"

Papa bergeming. Ia berusaha menahan gumul air mata turun dari pipnya.

"Pa… jawab pa?!"

"Pa!"

"heh brengsek jawab!

"lo!"

Rehan hampir saja menghajar papa namun sipir menahan tanganya. Sipir memisahkan mereka berdua. Papa kembali ke sel tahanan dan Rehan diminta pulang. Sepanjang jalan Rehan Cuma bisa frustasi. Kepalanya penuh sampai tak tau apa yang harus ia lakukan setelah menemui papa. Yang jelas ia harus menenangkan diri sebelum bertemu dengan Ray. Disisi lain ia juga harus menyusun kebohongan untuk membuat adiknya percaya bahwa papa merindukannya. Bagaimanapun sebagai anak pertama keluarga Wijaya, Rehan ingin keluarga kembali seperti semula.

Di sisi lain papa hanya bisa meringkut di dalam toilet penjara. Pikirnanya di penuhi dengan kata-kata Rehan tentang Luksa. Jujur saja, sebelum Rehan tau semua tentang Luksa, papa adalah orang pertama yang menyadari kalau anaknya sudah hancur bahkan sebelum kakaknya tau.

Waktu itu, sekitar dua tahun yang lalu papa pernah merihat luksa mengisap rokoknya. Hampir tiap malam saat dirinya bertengkar dengan istrinya, bocah itu selalu menghabiskan sebatang rokok. Tak hanya itu, papa juga sering menyaksikan anaknya tak bisa tidur hingga dini hari. Mengerjakan tugas, hingga larut malam sampai tertidur di meja belajar besama adiknya.

*

Jerman, 2021

Berlin malam ini sangat bersalju. Namun Rehan memilih untuk meninggalkan peninapan walaupun ia tau mencari penginapan berikutnya tak semudah yang orang –orang bayangnkan. Salju, gelap, dingin dan badai, Rehan tetap mengangkat ranselnya untuk meninggalkan penginapan.

"Serius, anda ingin melakukan check out saat cuacanya gila seperti ini?"

"Akan sangat susah mencari penginapan berikutnya. Anda yakin?"

Resepsionis terus menanyakan hal yang sama. Rehan hanya menawarkan senyum. Setelah membayar ia pergi begitu saja.Tak berselang lama seorang laki-laki datang mencari kamar untuk menginap. Dan benar, seperti dugaan Rehan laki-laki itu adalah adiknya. Luksa.

Rehan tak keberatan sebab ia sengaja mengosongkan kamarnya untuk luksa. Hanya saja kali ini Rehan menelan kecewa karena melihat adiknya begitu pengecut di depan gadis yang ia suka. Bagaimana tidak? Terpaut lima meja namun Luksa hanya memandangi gadis itu tanpa suara.

Gila.

Luksa benar-benar mati rasa.