"Eh lain kali ati-ati ya…gue duluan. Bye"
Suara itu masih menggema di kepala Ara selama seharian ini. Di setiap jalan di Jerman suara itu selalu menemaninya. Bahkan ketika ia sampai di penginapan hari ini, suara itu masih begitu manja menggelayuti telinganya.
Ara menghembuskan napas. Kehilangan selera untuk merapihkan baju-baju ke dalam lemari. Dilemparkanya baju secara serampangan, lalu ia mengambil duduk di atas sofa yang menghadap jendela kaca yang menampakkan pemandangan kota Berlin. Terdiam cukup lama sampai akhirnya ia mengambil ponsel dan mencoba membalas direct message dari Kar. Mencoba mengelabuhi diri untuk berfikir semuanya seperti apa yang ada di otak gadis itu. Ya, Ara sebagai orang asing yang bahkan tidak bisa mengeja siapa nama gadis itu.
Cakraluskawijaya : kita cuma saling tau, kebetulan dulu saya pernah magang di kampus kamu.
Cakraluskawijaya : nggak lebih dan nggak kurang. Nggak sedeket yang kamu bayangin
Akhirnya Ara menyelesaikan ketikannya. Ia membuang pandangan ke arah jendela. Berusaha menghirup udara sebanyak mungkin. Menetralkan segala pusing yang ada di kepala. Sedetik setelahnya hening. Tak ada suara apapun selain helaan napasnya yang terdengar berat dan mengenaskan.
Sampai detik berikutnya sebuah pesan berdenting diponselnya. Dari Khariskara.
Khariskara Renoir : ahahah kalo gitu mulai sekarang kita bisa jadi temenan. Nggak peduli apa yang udah terjadi di masa lalu kita mulai dari awal.
Khariskara Renoir : okay?
Lagi-lagi Ara hanya bisa tersenyum tipis saat membacanya. Entah sebuah kesempatan atau sebuah hukuman. Bersama dengan gadis itu untuk kedua kalinya dalam kondisi yang begitu menyedihkan. Ara tak tau harus apa. Kenyataan gadis itu harus kehilangan sebagian ingatan yang ia punya adalah mimpi buruk bagi Ara. Hal tersebut karena sebagian dari ingatan yang hilang adalah seluruh ingatan yang Ara simpan dengan baik-baik semasa hidupnya. Ingatan yang kekal, ingatan yang membuatnya mampu menggenggam kehidupan sampai detik ini.
Melihat gadis itu hidup tidak akan cukup baginya, setidaknya harus ada dirinya disetiap bahagia yang tercipta. Egois, karena ara ingin membayar kesalahannya di masa lalu.
Ara membasahi bibirnya, meletakkan ponsel di atas nakas. Lantas meraih dokumen yang berisi agenda kerja hari ini. Sejenak hanya bekerja yang bisa membuat bocah itu lupa dengan segala sesal dan masa lalunya. Menyibukan diri adalah cara terbaik menutupi luka.
Bukan kah hal hal menyakitkan di dunia ini akan lewat begitu saja? Bukankah hal-hal paling mengerikan akan berlalu begitu saja? Mengisi waktu, menyibukan diri adalah agenda penyambutan terbaik ketika kesedihan datang. Tak mengapa hampa, sesekali memang pada dasarnya manusia Cuma ruang gelap yang mencari penerangan dalam hidup mereka.
Ting.
Panggilan telfon masuk. Layar menampakan nama Lyra Nasution. Perempuan yang sejengkal lagi akan menjadi tunangan Ara.
Semesta memang lucu, setelah bertemu dengan Kar sekarang ia harus berhadapan dengan calon tunangannya. Ya calon tunangan sebab tanpa sadar rapat direksi saham menjebaknya untuk menikah dengan gadis bernama Lyra.
"Kamu udah nyampe?"
Suara itu lembut menyapa telinga. Namun Ara mati rasa, di kepalanya hanya ada suara Kara.
"udah"
"Syukur deh kalo gitu. Kamu bilang mau ngabarin aku kalau udah sampe disana. Aku nungguin kamu loh Ra.."
Hening.
"Serius ya kamu tuh kalo—"
"Saya masih harus bekerja. Nanti saya hubungi kamu lagi."
Klik!
Panggilan dimatikan secara sepihak oleh Ara. Persetan dengan perasaan Lyra. Hari ini terlalu kacau, ada banyak hal yang harus ia coba terima. Memaklumi hal-hal diluar keinginan dan kebahagiaanya adalah melelahkan. Belum lagi berupaya membahagiakan orang lain hingga lupa kebahagiaan diri sendiri.
Ada banyak harapan dalam kehidupan kita namun bagi Ara untuk menemukan satu harapan yang membuatnya bertahan sejauh ini hanya membuatnya terasa hampa.
Hidup yang panjang namun begitu melelahkan. Manusia terus berusaha bertahan dengan menggenggam harapan. Tapi bagi Ara harapan yang sedang ia genggam hanya membawanya pada gelap yang mencekam.
*
Italia, 2021
Dalam hidup William Cuma ada satu hobi dalam sepajang hidupnya. Hobi itu adalah buang-buang uang sembarangan. Namun semuanya berubah ketika ia bertemu dengan Re. Seratus delapan puluh derajat berubah karena selain sombong dan suka buang-buang uang William alias batak jadi punya hobi baru yaitu memperhatikan Re yang sedang mengangkat kanvas dan mengatur display di galeri seni.
Seperti saat ini, nggak terhitung berapa kali William bakal nyengir puas ketika satu lukisan terpasang di display galeri. Dari tata letak, pencahayaan dan tema yang dipilih, William akan selalu kagum dengan pemikiran gadis itu.
"Ngapain lo nyengir-nyengir?" Re sewot. Ia baru saja menyelesaikan satu display lukisannya. "Gila lo tak?" Re menyentil dahi wiliam dengan jarinya. Sebab bocah itu masih tidak merespon. Malah nyengir makin lebar.
"Hehe"
"Lah malah ketawa. Nggak ada yang lucu woi!" Re menyentak.
"Emang"
"Lah terus kenapa ketawa kaya domba anjir" Re kesal
Kini batak terkikik kecil. Ia mengacak rambut sahabatnya itu dengan gemas. "Gue ketawa karena gue seneng. Seneng bisa liat akhirnya lukisan lo nggak membusuk di dalem gudang. Ya well meskipun lo menolak sponsor dari gue dan memilih si tukang es serut buat nge handle semuanya. Tapi not bad lah" William mengibaskan jari jemarinya masih belagak sombong walopun pada akhirnya juga mengakui kehebatan seorang Nadev Sanjaya.
"Idih di jaga ya mulut lo. Jangan karena lo tajir lo pikir semua hal bisa lo beli."
"Ya emang gitu…ahaha tapi oke deh, anything for your happiness majesty" William tersenyum tengil. Ia melipat tangan di depan dada.
Re tak membalas, ia sibuk mengambil beberapa cat untuk mendekorasi display lukisannya.
Setelah pindah ke Jerman Re memutuskan untuk menyibukan diri dengan menjadi seniman dan mengambil kuliah seni. Semua ia lakukan untuk melupakan apa yang terjadi setahun yang lalu. Bersama dengan Nadev re berharap jerman dan lukisan dapat membawanya menuju kedamaian.
Awalnya begitu sulit, awalnya begitu menyakitkan, namun Re yakin taka da yang lebih menyakitkan daripada tidak melepas ikatan yang penuh dengan kebencian itu. Apa yang bisa gadis itu harapkan dari marga keluarga yang bahkan tidak menginginkannya? Re sadar betul bahwa ia harus segera melepasnya. Bukan hal yang mudah untuk sampai di detik ini. Ada banyak pengorbaanan, dari waktu, usaha hingga perasaan. Dari menjadi pelukis jalanan yang sering diremehkan hingga masuk galeri seni dengan bayaran yang bahkan tak cukup untuk membeli sepotong roti sudah pernah ia lalui.
Melepas nama belakang keluarga sama saja melepas mimpi buruk bagi Re. Meski pada kenyataanya hidupnya jauh lebih buruk setelah ia memutuskan keluar dari lingkaran keluarga Ibrahim. Walau sulit Re membuktikan ia mampu berdiri hingga titik dimana orang-orang mengakui dirinya diatas kerja kerasnya sendiri.
"Katanya lo benci sama pantai tapi kenapa lo pilih galeri yang deket dengan pantai?"
William berceletuk membuat Re menghentikan kesibukannya. Ia meletakkan kuas di atas kaleng cat. Menepuk kedua tangannya.
"No reason." Jawab Re
"Baru kali ini gue nemuin seniman nggak berprinsip"
"haha bukan nggak beprinsip coy."
"tapi…"
Re menyapu pandangan ke arah laut yang ada di sebrang sana. Tersenyum miris, "karena ngga semua yang ada punya alasan mengapa mereka ada. Sama kayak kejadian kali ini. Gue pun ngga punya alasan mengapa pilih tempat ini. Aneh kan?"
"aneh sih" William berdecak. "eh tapi katanya lukisan lo banyak yang udah di keep sama beberapa kolektor ya? Denger-denger juga bakal ada beberapa perwakilan perusahaan yang mau ngajakin collab sama lo. Bener, gitu?"
Re tak menjawab, ia mengabaikan William begitu saja. Tak senang jika membawa topic lukisannya ke ranah uang. Karena bagi Re lukisan dan seni adalah sesuatu yang terpisah dari bagian kapitalisme. Seni adalah murni, terapan dari seni seharunya tidak menghilangkan kemurnian seni itu sendiri. Walaupun benar suatu saat karyanya akan di komersilkan oleh perusahaan , Re ingin perusahaan itu mampu membawa kemurnian yang ada dalam lukisannya. Sehingga siapapun yang melihatnya mampu merasakan apa makna yang ada dalam lukisan Re.
"Hello miss, lo dengerin gue nggak sih?!" Wiilliam kesal.
"Iya.. gue dengerin batak. Tapi bisa nggak kita ngga usah bahas itu. Gue ada banyak kerjaan. Lo kalo mau ngeributin doang mending pulang aja deh."
"Loh kok jadi ngusir gue sih? Lo siapanya sultan medan emang? Berani banget ngusir gue"
"Gue…" Re menganggat kuasnya, lantas nyengir puas, "Gue bukannya menantunya sultan medan?"
William ingin teriak girang tapi gengsi. William ingin blushing tapi sangsi. Akhirnya bocah itu hanya bermain-main dengan isi kepalanya. Bermain-main dengan fantasinya. Tidak bisa disembunyikan lagi kalo bocah itu naksir berat sama Re. Sejak jumpa pertama hingga detik dimana mata mereka saling bertemu tiap saatnya. Ya meskipun sering kali William goyah sana sini, ya meskipun William sering patah hati tapi William tetap jatuh hati pada Re.
"Heh batak!" Re berseru, "Ngapain lo senyam-senyum ga jelas. Lo pikir gue patung sinchan apa?"
William mengacak rambut Re. Gemas tak tertahankan. "Nada ngusir lo kayak lagi cemburu sama gue hehe"
"Cemburu?" Re syok bukan main. Sejak kapan Re bisa cemburu dengan manusia labil kayak batak.
"Iya cemburu. Kan kemaren gue nggak bisa nemenin lo ngurus pameran."
"dih kagak peduli gue anjir…"
"Lah kaga peduli tapi dateng-dateng langsung ngusir kayak babon lagi sensi" William nyengir tak berdosa. Tidak mau kalah berdebat.
"Bukan gitu batak. Realistis aja nih, lo dateng cuma mau ngrencokin, haha hihi sana sini, tebar pesona sana sini, ga jelas tau! Dari pada ketidakjelasan lo menggganggu kinerja gue mendingan kan lo pulang. Tidur, rebahan, makan indomie kuah soto sambil sambil main papji."
"Ohh.. gitu, gue kira beneran cemburu" William masih menggoda.
"Nggak!" Re membentak
"Serius?"
"Hhhhh… gue kapan ada waktu buat cemburu sama cowok salib kayak lo!"
"bukan salib ayang tapi plus"
"Hah?"
"Cowok plus..plus… plus tajir..plus tampan…plus baik..plus—"
Plak!
"gue tabok pantat lo kalo masih promosi di depan gue. Mau?"
"Dih ayang mah galak. Promosi aja masih ngga di keep apalagi kaga. Gimana ini mau di keep atau engga akunya?"
Lagi-lagi Re hanya bisa menyipitkan mata. Harus sabar karena masih di arena kerja. Disisi lain William Cuma bisa tertawa puas. Belum sempat godaan lain terlempar dari mulut William, sebuah kuas yang dipenuhi cat melayang ka arah William. Mengotori sebagain baju milik William. Re masih syok begitu pula dengan William.
"Sianjir..." Wiliam melotot mengarahkan telunjuk tangan pada pelaku yang ada di depannya. Sementara itu Re mengalihkan pandangan ke arah belakang dan mendapati pelaku itu. Pelakunya adalah Nadev. Si tukang es serut yang entah datang darimana.
*
"Oke bos sampai ketemu di makan malem nanti"
Ara membuang pandangan dari layar ponselnya. Ia beralih menuju bangunan megah yang ada di depan matanya. Bangunan yang menjulang tinggi dengan salju yang mengisi seluruh sudutnya. Bangunan itu adalah bangunan dimana terdapat unit apartement milik Kar.
Entah sihir apa yang membawa bocah itu bisa sampai di sana. Sudah hampir satu jam berlalu dan Ara masih menunggu di balik kemudi. Berulang kali ponselnya berdenting menandakan panggilan dari Lyra namun Ara bergeming. Ia memilih mengabaikan pesan itu dan membiarkan matanya berkenala keseluruh sudut ruang di depan matanya. Berharap barang kali semesta merestui dirnya untuk melihat gadis beranma Kara. Sayang semuanya nihil, sejam berlalu dan dirinya hanya mendapati dingin yang kian menggerogoti tubuhnya.
Hembusan napas tedengar berat. Tiba-tiba salju turun begitu lebat. Seluruh area parkir dan jalan mulai dipenuhi dengan tumpukan salju. Sebelum semuanya semakin buruk akhirnya Ara memutuskan untuk kembali ke penginapan. Tentu saja itu ia lakukan dengan berat hari.
Ara melonggarkan dasi yang mencekat lehernya dengan satu tangan, satu tangan lain memegang kemudi mobil. Diinjaknya pedal gas untuk bergegas pulang. Berlin sore ini cukup gelap dan berawan. Sisi jalanan kota ini sempurna tertutp oleh salju. Semuanya masih lancar sampai akhirnya sebuah kecelakaan menutup badan jalan. Antrean kendaraan sangat panjang. Polisi berdatangan silih berganti dengan petugas damkar.
Situasi itu seperti membawa dejavu bagi Ara sebab ia pun pernah mengalami ini setahun yang lalu. Tepat di halte angsa saat kecelakaan bus yang ia kira mencelakakan gadis yang ia cinta. Sudah setengah mati panic, perasaan kacau balau hingga mendadak jadi brutal eh ternyata Kar tidak ada dalam daftar nama korban. Frustasi pasti, tapi bagaimanapun itu akan selalu jadi kenangan yang manis untuk di kenang.
Ara menarik senyum tipis. Sedetik selanjutnya sebuah ketukan kaca jendela membuyarkan senyumanya. Itu ketukan dari seorang petugas kepolisian yang mengabarkan bahwa sementara jalan akan ditutup. Semua kendaraan dianjurkan untuk putar balik dan mengambil jalur alternative yang sialnya jaraknya lebih jauh ber kilometer untuk menuju penginapan.
"Okey thank you sir"
Hhhh
Ara menghembusakan napas berat merutuki kebodohan dirinya yang tidak mengecek cuaca sore ini. Sepertinya putar balik dan menggunakan jalur alternative bukan hal yang baik juga, pasalnya salju makin lebat. Jalanan makin tertutup salju belum lagi rawannya resiko tergelincir dan pandangan yang terganggu selama mengambil perjalanan pulang. Terpaksa setelah menghubngi asistennya ia bergegas mencari penginapan di dekat sana.
Cukup sulit karena cuaca begini membuat kamar-kamar peningapan penuh. Ara harus berkeliling ke beberapa penginapan untuk mendapatkan satu kamar untuk berlindung dari dinginnya salju malam ini.
Meski tidak tinggal dalam satu bangunan yang sama dengan aparteman milik Kar, setidaknya bocah itu dapat bangunan tepat di depan apartemen milik gadis itu.
Ara tak berencana namun semesta tampaknya serius untuk menghukumnya kali ini.
Cakraluskawijaya :lo lagi ngapain ?
Ara Cuma basa-basi karena sebenarnya ia tau apa yang sedang gadis itu lakukan. Sayang Ara pengecut, ia lebih memilih diam daripada menyapa. Lebih memilih mengamati tanpa mau mendekati. Padahal keduanya sedang berada di minimarket yang sama. Ya, minimarket gedung penginapan Ara. Ara tak menyangka kalau niatnya untuk membeli beberapa makanan ringan di minimarket malah membawanya bertemu dengan Kar.
Khariskara Renoir : liatin salju. Anw tumben banget lo bales dm gue
Ara tersenyum tipis. Sambil menjentikan jari pada layar ponsel untuk membalas pesan Kar, ia masih sempat mencuri pandang secara langsung ke arah gadis itu. Gadis itu sedang duduk tepat lima kursi di depannya.
Cakraluskawijaya : sendiri?
Khariskara Renoir : haha iya nih. Tapi kalo ada lo pasti gue suruh lo nemein gue hehe
Lagi-lagi ara tersenyum tipis. Hatinya hangat.
Cakraluskawijaya : belum tentu gue mau.
Khariskara Renoir : Ya namanya juga usaha si…
Cakraluskawijaya : usaha ngapain?
Khariskara Renoir : Sok bego, gue lagi usaha jadi temen lo lah.
Cakraluskawijaya : yakin kamu mau temenan sama saya?
Khariskara Renoir : yah kok jadi pake kamu saya sih? Kita kan seumuran, pake lo gue aja kenapa sih? Berasa gue ditolak berapa kali sama lo : (
Cakraluskawijaya : ha2x
Khariskara reinor : ketawa aja hemat cermat bersahaja
Cakraluskawijaya : tapi saya skrng serius mau tanya
Khariskara Renoir : ???
Cakraluskawijaya: kamu beneran mau jadi teman saya?
Khariskara Renoir : iyya beneran la, dikira boongan : (
Cakraluskawijaya: kalo nantinya kamu jadi temen saya dan saya Cuma bisa nyakitin kamu, kamu masih mau jadi temen saya?"
Khariskara Renoir: haha, nggak mungkin lah. lo baik dan gue percaya sama lo J
Ara membasahi bibirnya. Ngilu menghantam dadanya. Bagaimanapun di masa lalu dirinya telah membuat gadis itu terluka. Kenyataan Kar masih mau menerimanya adalah sebuah hadiah yang menyenangkan sekaligus menakutkan. Takut kalau suatu hari ia kan melukai Kar untuk kedua kalinya.
Khariskara Renoir : kok diem ?
Khariskara Renoir : Lo yang nggak mau jadi temen gue kan?
Khariskara Renoir : haha…its okay dude. Udah biasa kok nerima penolakan gini. Jangankan strangers kaya lo. Nyokap bokap gue aja suka nggak terima punya anak kayak gue. Hehehe ga usah kaku gitu, nggak temenan kita masih bisa kirim chat kan?
Lama Ara membaca lalu memandangi Kar yang ada di depannya. Dari belakang ia terlihat tenang. Tak ada yang mecurigakan. Jelas ini membuat Ara berpikir bahwa gadis itu benar-benar gadis yang berbeda dengan gadis yang ia kenal setahun yang lalu. Kar yang penuh dengan ketakutan dan suka memendam segalanya sendirian perlahan berubah menjadi Kar yang terbuka dan ceria.
Semesta benar-benar menghukum Ara. Perasaannya pada Kar adalah perasaan yang sama. Tapi melihat kenyataan membuatnya tertampar, sebab berbagai pertanyaan mulai muncul dikepalanya. Salah satu yang terbesar adalah apakah dirinya mencintai Kar sebagai masa lalu? Atau mungkinkah mencintai gadis itu hanya sebatas bagain memaafkan penyesalan?
Khariskara Renoir : kalo lo nggak nyaman dengan semua ini nggak papa kok. Let it flow, tapi lain kali kalo lo ngga nyaman sama seseorang kasih tau ya di bagian mana lo nggak nyaman. Biar nggak salah paham.
Ara masih belum bereaksi hingga gadis itu beralih dari duduknya. Kar berdiri dengan susah payah, tampak mengatur langkahnya dengan hati-hati. Dia jelas jauh dari kata baik-baik saja. Ara tau kondisi gadis itu namun lagi-lagi hanya bisa bertindak seperti pengecut. Hanya diam dan khawatir dari belakang.
Sekarang Ara sadar bahwa semuanya tak akan lagi sama seperti apa yang ada di fantasinya. Mencintai tubuh yang sama namun dengan orang yang berbeda. Hal yang sulit yang harus Ara terima.
Perlahan namun pasti Kar menghilang pandang. Bersamaan itu pula pandangan Ara buram. Menarik napas Ara meraih ponsel, ia menjentikan jari mengetikan pesan pada Kar.
Cakraluskawijaya : I try.
Persetan dengan Lyra, persetan dengan saham, pesetan dengan perusahaan bahkan persetan dengan pertunangan. Pada akhirnya ia memutuskan untuk mengurai kembali benang kusut itu. Membentangkan permulaan yang mungkin juga menjadi perpisahan.
Apa Ara dan Kar ditakdirkan untuk bersama?