Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 5 - 04.00

Chapter 5 - 04.00

And when it gets dark

I get little brighter now and I get little wiser now

-Little Brave-

Singapura 2021

"Jangan lupa oleh olehnya bang"

"oke. Kamu mau apa?"

"Minnion cake sama tsirt cukup"

"Beneran?"

"Iya udah itu aja emang ada yang lain?"

"NCT tour tiketnya nggak mau?"

"Kara…?"

Setelah lama terdiam suara itu kembali menyeru dari balik panggilan telfon, "nggak deh, kapan-kapan aja hehe" Nuha menarik senyum masam. Bahkan untuk percaya bahwa gadis itu tertawa karena bahagia masih sulit untuk ia yakini.

"Oke"

Nuha mejawab pelan. Ia sembunyikan napas beratnya di sela-sela dinginnya langit malam. Singapura malam ini begitu sunyi. Ia pandangi Singapore flayer yang ada tepat di depan matanya. Sambil mengenang beberapa memori yang berputar di dalam pikirannya. Satu jam yang lalu ia baru saja menghadiri pernikahan mantan tunangannya.

"Hihi makasih bang. Aku tinggal makan dulu, bye jaga diri abang baik-baik. See you as soon as possible… muah"

"See you dek"

Klik.

Panggilan terputus. Ada helaan napas berat setelahnya. Nuha menelan ludah, merenggangkan dasi yang meilit leher. Menghirup napas sebanyak banyaknya untuk menenangkan segala topan yang ada di pikirannya.

Pikirannya melayang pada memori lama yang membekas begitu dalam. Tentang perpisahan dan tentang mengikhlaskan. Karena pada akhirnya cinta bukan tentang siapa yang terlama, siapa yang paling tulus, atau siapa yang paling mencinta. Cinta itu luas dan penuh tekanan. Cinta itu tentang siapa yang bisa memenangkan.

"Gue, apa pernah gue meminta kepastian sama lo?"

"Apa pernah gue menuntut lo begitu banyak dari hubungan ini?"

"Atau apa pernah lo menuntun kita lebih serius?"

"Harusnya gue yang tersakiti dari hubungan ini. Lo mana tau rasanya nungguin kepastian. Lo mana tau gimana berjalan di balok es yang rapuh. Lo dengan segala ketakutan lo gue dengan segala tekanan yang gue hadapi."

"Ozric Nuha Renoir, lo percaya kan sama gue?"

Nuha menggigit bibirnya begitu erat. Tanganya terkepal sempurna. Lantas ia tatap wajah Binta dengan tatapan paling menyakitkan, "Ijinin gue buat melepas lo"

"Nuha!" Bita berteriak tak terima. Gadis itu mengacak rambutnya nampak frustasi. "Seberapa lo takut hingga lo mengorbankan hubungan kita, hah? Kara pasti hidup, dia kuat. Apapun yang terjadi dengan dia bukan salah lo. Berhenti menyakiti diri sendiri atas kemalangan orang lain. Berhenti, Ha…"

"Nggak bisa" Nuha memejamkan matanya sekilas. Ia tak mampu melihat gadis itu terus menangis. "Ijinin gue melepas lo. Gue takut lo semakin sakit dengan hubungan ini. Gue nggak bisa ngasih lo masa depan diatas rasa takut gue. Gue nggak bisa membangun masa lalu yang baik dalam hubungan kita, jadi ijinin gue melepas lo"

Binta tak menjawab gadis itu masih terbenam dalam sakit yang menggeogoti tubuhnya. Bagimanapun hubungan yang mereka pertahankan sudah diujung batas seharusnya. Hubungan yang yang seharusnya membahagiakan nyatanya hanya bisa menyakiti keduanya. Terlebih untuk Binta yang selalu mencoba mengerti Nuha.

"Ta.." Nuha lembuh memanggil.

"Kalau kita memulai semuanya dengan baik-baik, bisa kan kita mengakhiri semuanya dengan baik baik?"

Gadis itu terus terisak. Jujur itu membuat Nuha gila karena ia harus menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu. Berulang kali Nuha menahan tangannya untuk tidak meraih tubuh Binta. Berulang kali menahan hasrat untuk tidak menjatuhka gadis itu dalam pelukannya. Rasanya makin gila ketika gadis itu terisak tanpa harapan.

"Semua salah gue…"Binta bersuara, "Gue yang terlalu menaruh harapan besar ke hubungan ini sampe-sampe gue lupa kalau ternyata kita masih terlalu kecil untuk semua ini" Binta terisak.

"Ta…"

Gadis itu mengigit bibirnya, frustasi. Mengalihkan pandangan kemana saja asl tidak pada Nuha."Gue capek Ha… ternyata ngebangun kepercayaan ngga cukup buat kita karena lo lebih percaya rasa takut lo."

"Ta…"

Binta terdiam cukup lama. Mengatur degub jantung dan isak tangisnya. Sesekali menghela napas sengsara. Kemudian ia menarik senyum terpaksa dengan air mata yang bersarang di sudut mata.

"Gue akan selalu ingat hari dimana lo menyatakan perasaan lo. Sebaliknya gue juga akan selalu ingat hari ini. Setelah semua yang gue lakukan, setelah banyak hari yang gue lewatkan dengan menunggu lo, akhirnya hari ini gue sadar kalau gue tidak akan pernah menjadi orang nomer satu dalam kehidupan lo. Barang kali sekali atau sedetik mungkin nggak pernah, kan?"

Angin berhembus mengisi kekosongan. Nuha menahan diri untuk memeluk gadis rapuh di depannya karena ia terlalu mencintainya.

"Setelah semua yang gue lakukan untuk hubungan kita dan setelah semua yang gue lakukan nggak akan berarti buat lo, gue mau minta satu hal untuk lo lakukan buat gue…" Binta berdiri. Ia menatap nanar Nuha. Ada getar disetiap napas yang ia hembuskan.

"Izinkan gue yang melepas lo karena gue rasa itu adalah hal terakhir yang bisa gue lakukan untuk lo." Binta tersenyum masam. Disisi lain Nuha seperti di hancurkan.

"Gue melepas lo, Ha"

Nuha masih ingat raut wajah Binta saat itu. Masih ingat senyum nanar gadis itu. Senyum yang terus menghantuinya dalam setiap tidur panjang Nuha. Namun hari ini Nuha harus lega. Karena akhirnya Binta bisa mengganti senyum itu dengan senyum lain yang lebih bahagia.

Dengan cinta yang baru, dengan hubungan yang lebih sehat, dan dengan pria yang menyuguhkan masa depan dan masa lalu penuh kepastian. Apapun asal gadis itu tersenyum dan bahagia, Nuha selalu mendukungnya. Karena pada akhirnya Nuha menyadari bahwa perasaanya pada Binta tidak akan pernah berubah. Terlalu besar dan susah untuk di ubah meski untuk bersama hanya akan terasa menyakitkan.

"Selamat atas pernikahannya"

*

Jerman 2021

"NCT tour tiketnya nggak mau?"

Praktis ponsel gue bisukan karena gue menghela napas terlalu kencang. Gue nggak ingin bang Nuha mendengar gue yang nampak kecewa dengan pertanyaan itu. Ah atau lebih tepatnya lebih kecewa dengan diri gue sendiri.

Semenjak bangun dari koma yang cukup panjang, gue punya banyak gangguan dengan tubuh gue. Mulai dari tangan dan kaki yang sulit digerakkan sampai otak gue yang bermasalah. Gue sih nggak masalah karena pada dasarnya gue emang nggak ada otak. Tapi masalah tubuh kayaknya lebih bikin gue insecure. Apalagi pas bang Nuha nyebut NCT Tour, rasanya ada sesuatu yang sengaja dia tusukkan ke dalam dada gue. Nyeri pisan buset.

Gue nggak baper cuma tau diri. Dengan kondisi tubuh gue sekarang ini mana mungkin buat gue dateng ngonser. Ya kali baru fanchat udah pegel-pegel dulu. Bukannya bau wangi mau ketemu bias malah bau koyo kaya nini dan aki. Pokonya gue nggak mau. Nggak mau terlihat lemah di depan orang lain.

"Kara…?"

Suara itu menyadarkan gue kalau panggilan belum di akhiri. Gue menyalakan mic dan melanjutkan obrolan. Nggak lama karena selanjutnya mama mengingatkan gue untuk makan.

Klik.

Gue memutuskan sambungan telfon dengan bang Nuha. Secara nggak sengaja tubuh gue menghadap kaca besar. Gue pandangi diri dalam pantulan kaca, wajah pucat, tubuh yang tak begitu sehat, sampai pandangan gue jatuh pada kursi roda yang ada di samping gue. Kursi roda yang sebulan ini menemani gue kesana kemari karena gue lumpuh sementara. Tapi nggak apa karena mulai minggu lalu gue sudah bisa berjalan walau kadang jatuh dan gemetaran.

Nama gue Khariskara Renoir, tidak banyak yang bisa gue banggakan sekarang. Sekedar sehat saja jadi hal paling mahal. Apalagi dengan ingatan. Gue benci dilupakan tapi fakta bahwa gue melupakan banyak kenangan membuat gue lebih benci dengan diri gue. Mungkin nggak sih ada seseorang yang ingin gue inget secara nggak sadar?

Tanpa sadar gue menggaruk lengan.

*

Jakarta 2021

Remember when you taught me fate

Said it'd all be worth the wait

Seminggu berlalu setelah Ara tau gadis bernama Kara masih bisa menghirup udara. Ara hanya bisa berharap bahwa napasnya tak begitu berat setelah kejadian setahun lalu. Adapun Ara selalu berharap gadis itu mengingatnya. Entah sebagai kenangan baik atau sesuatu yang buruk. Yang jelas Ara ingin gadis itu tau bahwa selalu ada dirinya yang menunggu untuk disapa barang kali hanya lewat tatap mata yang asing.

"Dua hari lagi kamu ke Jerman?"

Lyra menyibak satu persatu stel pakaian. Ara duduk menemani gadis itu. Mereka sedang menghabiskan waktu disela-sela jam kerja untuk belanja keperluan Ara selama di Jerman. Ini bukan kemauan Ara, namun Lyra terus memaksa. Tanpa alasan keduanya menjadi telihat dekat akhir akhir ini. Meski tuhan pun tau bahwa dalam hati pria itu tidak akan pernah bisa menggantikan sosok Kara.

"Udah siap semuanya?"

"Hmm" Ara masih sibuk dengan ponselnya.

"Sayang banget aku ada kerjaan, coba aku free pasti aku temenin kamu sekalian ambil liburan musim dingin" Lyra mengambil stelan baju musim dingin. Meneliti dengan seksama sesekali menggunakan feeling berharap itu paling cocok dengan Ara. Meski belum resmi menjadi kekasih, public sudah di gemparkan oleh kedekatan mereka berdua. Itu semua karena Ara tak menyangkal praduga public terhadap hubungan mereka.

"Terima kasih. Lebih baik kita fokus dengan urusan masing masing. Saya tidak akan mengambil waktu lama di Jerman" Ara membalas namun masih terarah pada ponselnya.

"Loh kok gitu sih, aku nggak papa kok. Serius kalo kamu mau ambil liburan juga ngga papa" Lyra nampak tersipu. Malu-malu ia menunjukkan betapa bahagianya ia jadi prioritas Ara. Namun sayang sedetik setelahnya tatapan Ara memperjelas semuanya. Manusia itu tetap menjadi manusia terdingin yang pernah ada.

"Saya harus mengurus proyek selanjutnya. Kamu kira itu buat kamu?"

Meski kecewa Lyra tetap mencari celah untuk menggoda Ara, "Mungkin?" Ia meringis cerah.

Hening, karena Ara kembali memandangi ponselnya.

Terhitung dua jam Ara fokus memandangi laman direct massage yang ada instagram untuk menunggu sosok Khariskara active. Nihil karena bocah itu active sehari yang lalu. Mungkin Ara terlalu naïf mengakui persaanya. Bahwa ia pun iri dengan Rehan yang mendapat pesan langsung dari Kar. Sedang dirinya tidak.

Lo benci gue Kar?

Ara mengetik lalu menghapusnya. Bagaimanapun ia tidak punya hak untuk mengirim pesan pada gadis itu.

"Nanti malem ke rumah ya… Aku mau siapin makan malam sebelum kamu pergi ke Jerman"

"Ra…?"

Ara tersentak, Lyra sudah di depannya. Dengan berat hati pria itu mengembangkan senyum. Mengangguk mengiyakan sebab beberapa hari lagi rapat direksi pemegang saham akan diadakan. Ara tidak ingin merusak suasana.

"Oke"

Ara membalas. Ia bangkit dari posisinya untuk menyambar stelan pakaian yang diberikan oleh Lyra. Hendak mencobanya di fitting room. "Saya coba dulu" ucapnya halus membuat siapa saja praktis tersipu tak terkecuali Lyra.

Langkah kaki Ara terdengar begitu berat. Lamat-lamat pria itu meninggalkan gadis bernama Lyra yang sedang mengembangkan senyum paripurna. Tanpa sadar kepergian Ara menyisakan jejak. Jejak yang mungkin akan membuka segala pintu yang sebelumnya telah tertutup.

Cakraluskawijaya: adghfkgdjal

Khariskara Renoir was read

Khariskara Renoir : ???

*