It's not going to be the end of our story
Because I'm going to meet you again
Peterpan
Jerman 2021
Suara pintu kamar terjeblak keras ketika wajah Jovian Nadev Sanjaya atau yang lebih kerap disapa dengan Nadev itu memasuki salah satu kamar yang ada di rumah sakit Jerman. Napasnya ketara ngos-ngosan ketika berhasil sampai di sebuah kamar dimana seorang gadis tengah duduk di atas bangkar. Gadis itu nampak telaten menggoreskan kuas di atas kanvas, ia tampak tidak peduli dengan infuns yang terpasang di salah satu sudut tangannya. Jendela kamar masih menampakkan pemandangan kota yang tertutup dengan salju.
Gadis itu adalah Re.
"Jovian…"
Sapa lembut Re mengudara bersamaan dengan wajah Nadev yang sempurna memerah karena harus berlarian dari lobby sampai kamar Re.
"What are you doing? Bukannya kamu ada kerjaan?"
Nadev belum sempat manjawab namun pertanyaan lain sudah terucap dari gadis manis di depannya. Re nampak pucat dengan piyama yang menyelimuti dirinya. Ada rasa sesal di dalam diri Nadev tiap melihat hal tersebut.
"I'm free right now" jawab Nadev. Jarak keduanya makin terkikis. Nadev mengambil duduk di samping Re. Sedang gadis itu kembali sibuk hanyut dalam lukisan yang ia buat. "Masih ngejar lukisan buat pameran bulan depan?"
Nadev mencairkan atmosfer yang semakin canggung di antara keduanya. Sayang, Re terlalu sibuk dengan kanvas dan cat minyak di paletnya. Ia lebih memilih memoleskan kuas pada kanvas daripada menanggapi pertanyaan Nadev. Bicara dengan Nadev untuk saat seperti ini bukanlah hal yang baik. Terlebih ada banyak hal yang sedang berputar dalam otak Re.
Setahun berlalu, Re selalu berharap semuanya hanya mimpi buruk. Setahun berlalu dan Re selalu berharap Jerman bisa membuatnya bangun dari mimpi buruk yang ia alami. Setidaknya sekali dalam hidupnya ia ingin egois untuk tidak memikirkan perasaan manusia lain selain dirinya.
Melukis, melupakan mimpinya tentang Jepang, melupakan nama belakang, Re harap semuanya bisa berjalan lancar. Toh katanya cara terbaik untuk menghapus sebuah kenangan adalah membuat kenangan lain yang lebih menyakitkan. Hal menyakitkan yang Re lakukan adalah kehilangan dirinya sendiri.
Re meletakkan palet dan kuasnya dibarengi dengan Nadev yang menatap penuh harap. Kemudian gadis itu menghela napas berat.
"Mau ngapain?" Nadev menyernyit.
"Lo yang mau ngapain Jovian?" Re memutar bola mata jengah. Soalnya sedari tadi Nadev memberikan tatapan yang terlalu hiperbola.
"jagain lo lah"
"Jagain matamu, lo tuh dari tadi pelototin gue mulu bukannya jagain. Nih, lo tuh jagain apa mau ngerusak lukisan gue sih. Tatapan lo bikin gue kehilangan feel sama lukisan gue, ngerti?"
Re ketus namun Nadev terkekeh penuh kelegaan. "Yee, mana gue tau soal lukisan. Abisnya lo tuh ditanya malah diem bae. Takut lah gue lo kesambet setan Jerman kaya tahun lalu"
"Dih" Re berdecik, ia berniat mengambil kembali kuas dan palet lukisnya kalau saja Nadev tidak menghentikkannya. Re melotot, "Apaan sih" sinis Re.
"Jujur deh, lo lagi PMS kan?"
Lagi-lagi gadis itu menghela napas, "Sorry kayaknya dari minggu lalu, lalu sama lalunya lagi lo bilang gitu mulu. Nggak kreatif tau! Lagian lo kira PMS tuh seminggu empat kali, hah?!"
Re melepas genggaman tangan Nadev secara serampangan. Persetan kata orang, mereka memang punya hubungan yang cukup rumit untuk dijelaksan. Sejak tragedi satu tahun lalu Re memang lebih memilih Nadev daripada Ray. Pergi ke Jerman dan memulai hidup bersama Nadev. Mereka hidup satu aparteman. Bahkan, pada awal hidup di Jerman semua kebutuhan Re ditanggung oleh Nadev, namun seiring berjalannya waktu Re sudah mampu membiayai dirinya sendiri dari hasil kerja kerasnya menekuni bidang desain dan seni lukis.
Nadev tidak pernah menyatakan perasaanya pada Re, sebaliknya Re tidak pernah menganggap hubungan mereka di taraf yang serius. Keduanya hidup bersama diatas perasaan nyaman dan aman. Cinta? Mereka lupa bagaimana menaruh itu dalam hubungan mereka berdua.
"Mungkin?"
Nadev tersenyum hampir membenamkan seluruh bola matanya. Sial, ia tampak lebih gemas sesaat dengan meledek gadis di depannya. "Siapa yang tau?" tambah Nadev dengan nada penuh menggoda.
"Apa lo bilang?!"
"Siapa—"
Bugh!!
Re sigap mengambil bantal yang terletak di sampingnya lalu mengadukan permukaannya dengan kepala Nadev. Persetan sih Re tidak akan termakan pesona Nadev kalau sudah ngerdus begini. Bagaimanapun hidup setahun degan cowok, mengajarkan bagaimana dirinya harus menempatkan diri didepan cowok. Re tau kapan harus menjadi ukhti dan tau kapan menjadi naugthy atau menjadi crazy seperti saat ini.
"Sekali lagi lo bilang gue PMS, jangan harap lo aman Jovian" Re menajamkan sorot matanya. Nianya menggertak, namun Nadev makin cengengesan. Pakaian kerja yang ia kenakan sangat tidak kontras dengan perilakukannya yang seperti bocah.
"Paham!!" Re menggertak. Kedua tangannya siap mengantam Nadev.
���Nggak" Nadev cenge-ngesan.
"Sialah, awas aja lo—"
Grep.
Jovian Nadev Sanjyaa memeluk Rhea. Hangat dan membisukan. Re kehilangan suara, ia menelan ludah, "Awas aja lo bakal—"
"Gue boleh nggak sih khawatir sama cewek gue…" Sepersekian detik Re membeku. Ada gerangan apa bapak es serut ngardus di musim salju? "At least, lo pikir walopun gue jauh lo boleh gitu seenaknya sakit, Re? Nggak lah, gila, gue yang bakal ngrasa lebih sakit lait lo sakit. Ngerti?"
Re menelan ludah. Dalam hati membatin, iyain aja kali ya biar cepet tapi kalau cepet kapan lagi dipeluk Nadev. Doi kan sibuk hehehe.
"I meant I know lo sibuk ngurus pameran buat bulan depan, but always your healthy first. Sejauh apapun gue kalo lo sakit gue akan selalu berusaha buat ketemu lo, ngerti? Jadi jangan sakit, please gue masih butuh orang yang bisa ngerokin gue tiap kali gue masuk angin. You know, ga ada tukang kerok di Jerman selain lo, you know…"
Anjir, Re kira bakal jadi adegan romansa penuh cinta, eh ujungnya tetep bobrok juga. Akhirnya Re memilih mendorong tubuh kekar Nadev dengan paksa. Walaupun tidak ikhlas karena wanginya memang sangat candu seperti dewa. Tapi apa boleh buat Re masih ingin hidup lebih lama.
"Heh, lo pikir—"
Grep.
"Gue, boleh nggak sih kangen sama lo?"
Entah mengapa dingin perlahan berubah menjadi hangat yang menjalar. Padahal Nadev perlahan melepas dekapan dirinya dengan Re. Perlahan namun pasti hingga Nadev dapat melihat wajah Re. Mata mereka bertemu satu sama lain, kehangatan menjalari keduanya. Persetan dengan salju di luar sana.
Namun, pernahkan mereka tau bahwa tepat ketika keduanya saling terkunci satu sama lain, seseorang tengah menarik napas kecewa.
William Aoyama Barbara Sirajaguguk, dia datang tepat saat semesta mempermaikan perasaan mereka bertiga.
Kalian percaya cinta pandang pertama?
Sialnya bocah itu selalu percaya apa itu cinta pandang pertama. Terutama pada Rhea gadis Indonesia yang menyelamatkannya dari gerombolan warga lokal yang mencercanya. Satu tahun yang lalu saat Jerman membawa gadis itu bertemu dengannya, William selalu percaya apa itu cinta pandang pertama.
Camillia Elysha Rhea, bahkan ketika hari berganti bulan, bulan berganti tahun, detik mengubah menit menjadi satuan masa penuh penolakan, William selalu percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Selalu ada kesempatan untuk mendapatkan gadis itu walaupun lebih dari sekali ia menerima penolakan.
"Re, lo percaya nggak kalau gue suka sama lo?"
"Hah" gadis itu hampir memuntahkan seluruh isi mulutnya. "Nggak usah bikin mual, lo tau kan lo tuh bukan tipe gue"
"Terus tipe lo yang kayak gimana?"
"Hmmm" Re menyedot Americano di tangannya, "Ganteng, tajir, pinter, good looking, good attitude, good…"
"Lah kan itu gue?"
"Dih, pede banget. Kalo itu lo udah dari dulu aja lo gue jadiin pacar"
"Terus yang kayak siapa? Kaya Nadefuck gitu?"
Re terkekeh, "Mungkin…?" gadis itu menyernyit mengalihkan pandangan, "Maybe someone who love their family more than everthing or maybe someone who always try to be honest for me nor someone who always make me on shit conversation like why im supposed to life?"
"Like I have everything shit on my mind just looking their eyes. I'm falling deeper but I always breathe just looking their eyes. It's just I have no sense to not falling in love with him"
William menelan ludah, ia menutup pintu kamar dengan keheningan. Meninggalkan totebag berisi hotpack kesukan Re. Lantas pergi menyelusuri keheningan koridor kamar di rumah sakit. Untuk kesekian kali, bocah itu masih percaya bahwa Re akan jatuh ke tangannya, suatu saat nanti meski tiap hari ia harus mencoba memahami bahwa gadis itu selalu punya lelaki yang begitu hangat dan diberkati.
Jovian Nadev Sanjaya. Dia terlalu sempurna untuk menjadi lawannya.
*
Jakarta, 2021
Ara menggaruk tengkuknya lebih dari tiga kali saat menunggu Lyra merampungkan masakannya malam hari ini. Lyra mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan pembatu dirumahnya. Ia bilang ingin menyiapkan steak spesial untuk Ara. Persetan Ara memang malas untuk membatu gadis itu. Ara suka memasak tapi tidak untuk orang-orang yang bahkan membuatnya dalam kata terpaksa.
"Finally, I made it for you"
Lyra tersenyum semringah, meletakan piring berisi steak di depan Ara. Ara membalasnya dengan senyum tipis. Lantas ketika semuanya sudah tersaji dengan lengkap keduanya berdoa dan melangsungkan makan malam dengan keheningan. Hanya suara piano yang menelisik makan malam keduanya. Ara tidak banyak bicara walapun ia tidak suka piano yang berdenting, namun semua itu sirna ketika lagu yang mengingatkannya pada Lilis terputar. Ara meletakkan pisau dan garpu secara bersamaan.
"Makanannya enak tapi saya rasa saya sudah kenyang. Bagaimana? nggak papa kan?"
Ara menarik senyum semanis madu. Raut wajah Lyra yang semula masam akhirnya membaik secerah bunga matahari. Bagi Lyra senyum Ara adalah segalanya. Nampaknya gadis itu terpesona dengan putra kedua Wijaya.
"Nggak papa, aku juga udah selesai kok"
Lyra meletakkan pisau dan garpu ketara bohong kalau di sudah selesai karena ia bahkan baru makan sepotong kecil daging steak miliknya.
"Saya kira kamu belum selesai, lanjutkan makan malamnya saya tidak keberatan"
"Bohong kamu pasti mau pulang kan?" Lyra menuduh, ada emosi yang gagal ia sembunyikan. Wajahnya kembali kecewa. Sial, Ara tidak bisa mempermainkan perasaan perempuan di depanya tapi ia lebih tidak bisa mepermainkan perasaanya.
"Kalau aku makan pasti kamu pulang kan?"
Ara menelan ludah. Iya saya pulang, namun kata kata itu hanya terhenti sampai tenggorokan. Ara melipat senyum manisnya, kalau bukan untuk pekerjaan yang lebih cerah ia tidak mau menjadi budak perempuan seperti Lyra.
"Tidak saya akan menunggu kamu sampai selesai makan"
"Serius?"
Ara mengangguk, entah ada beberapa hal pada diri Lyra yang mengingatkannya pada sosok Khariskara. Beberapa yang entah mengapa selalu muncul dibenak Ara. Entah, Ara selalu merasa bahwa gadis itu akan selalu hidup dipikirannya. Walaupun banyak kabar buruk menerpa kalau gadis itu telah pergi untuk selama-lamanya.
"Janji?"
Ara menelan ludah. "Saya janji, nanti saya yang mencuci piring buat kamu. Sekarang kamu makan"
Senyum merekah di bibir Lyra. Ia menyantap makan malam dengan penuh kebahagian. Rasanya semua rencana di kepala Lyra berjalan lancar. Ara makan malam denganya, Ara menawarkan mencuci piring untuknya dan Ara, dia akan segera menjadi suaminya. Sempurna.
"Aku udah selesai, yuk kita cuci—"
Ara bangkit dari tempat duduknya, ''Biar saya saja" ucapnya sambil mengambil apron di dapur. Ia memakainya tampak sangat terbiasa. Lantas mengambil tumpukan piring di meja dan mencucinya dengan begitu ulet. Lyra dibuat terbungkam. Apapun yang Ara lakukan begitu menakjubkan.
"Kamu ganteng juga kalau lagi nyuci piring"
"Mungkin?"
"Aku jadi penasaran, kamu kalo lagi masak pasti lebih ganteng kan?"
…
"Nggak sabar liat kamu masak, apalagi masakin buat aku hehe"
Ara tak menjawab ia sibuk meredam bunyi yang masuk ke telinganya. Sialan rumah ini memutar lagu-lagu jahanam. Denting piano terus memenuhi telinga Ara. Suara Lyra tak pernah masuk sempurna dalam tubuh Ara.
Sial, lagu kematian Lilis.
*
Jam menunjuk pukul sembilan malam ketika Ara pulang ke rumah. Suasana rumah begitu sunyi. Mamang bilang Rehan tidak keluar seharian. Bibipun bilang Rehan tidak menyuruh bibi untuk masak atau memebeli makanan kesukaan Rehan. Delivery mekdi atau KFC tidak juga menyambangi rumah mereka. Entah, mustahil kalau Rehan melewatkan makan siang hingga makan malam. Sekalipun ada banyak bahan makanan di lemari pendingin Rehan adalah manusia nomer satu yang tidak akan mengolah mereka menjadi makanan. Rehan lebih hobi membuat mereka jadi pupuk kompos di dalam kulkas.
"Huhhh"
Ara mengembuskan napas, meletakkan tas kerja di atas meja pantry. Lantas menggulung lengan kemejanya. Mengenakan apron dan mencuci kedua tangannya hingga bersih. Ia meraih beberapa sayuran, buah dan daging untuk dijadikan makan malam. Sejujurnya Ara sudah kenyang, namun ia lebih memikirkan perut Rehan. Besar kemungkinan Rehan akan makan malam dengan makanan yang di buat Ara. Sejak dulu Rehan adalah fans berat masakan Ara. Di bandingkan dengan makanan buatan mama Rehan lebih memilih makanan buatan Ara.
Setengah jam berlalu dan Rehan tidak menunjukkan ketertarikannya pada soup buatan Ara. Padahal aromanya sungguh menguggah selera. Nasi hangat pun sudah menyapa di atas meja makan. Rehan tak kunjung datang.
Ara menghela napas, bahkan ia tak punya banyak keberanian untuk menghampiri kakaknya sendiri. Setahun berlalu dan bagi Ara Rehan akan tetap menjadi pecundang di matanya. Rehan pergi saat Ara membutuhkannya, saat semuanya hancur dan Ara butuh tempat untuk saling menguatkan. Rehan pergi meninggalkan dirinya sendiri untuk menanggung semuanya sendiri. Keluarga? Bahkan Ara sulit percaya dengan kata keluarga diantara mereka.
"bang turun"
"Bang makanannya udah siap"
"bang makan"
"Bang makan bang"
"Ekhmmm, makanannya udah siap"
"Lo nggak laper"
"Makan sanah"
"Makan –"
Di tengah-tengah sesi latihannya untuk mengajak Rehan makan malam setelah membuang semua ego miliknya, Ara harus terhenti. Pintu kamar terbuka dan menampakan Rehan dengan rambut berantakannya. Ia tampak menguap beberapa kali seperti orang habis mabuk. Sampai matanya menangkap mata milik Ara.
Mereka berdua terjebak dalam keheningan.
"Mau ngajakin gue makan ?" Rehan mengalah, ia menampakkan senyum tipis. Di sisi lain Ara masih terdiam. Terlalu canggung. "Oke" Rehan mengerti, bahkan tanpa ada jawabanpun ia sudah mengerti apa yang ada di kepala Ara. Langkah lunglai Rehan melewati tubuh Ara, tertuju pada meja makan.
Ara menghela napas, lega. Tak berselang lama Ara bergegas menuju meja makan. Mengambil duduk di depan Rehan. Sambil menyuap sesendok soup Ara mengamati Rehan yang begitu berantakan. Meski tak secanggung tadi keduanya masih enggan bicara. Mereka berdua terkurung dalam pikiran mereka masing-masing. Sampai akhirnya..
Ting
Sebuah notifikasi masuk.
Georgio Ray Ibrahim : P
Georgio Ray Ibrahim : P
Georgio Ray Ibrahim : Ga jawab murtad
Ara mengeluarkan ponsel milik Rehan yang sedari tadi terwaba olehnya. Menyernyit, "I think you have message"
"What?" Rehan menyuapkan nasi, memenuhi seisi mulut.
"Dunno, I think old friend?"
"Who?"
Ara mengedikkan bahu, ia membalikan layar ponsel pada Rehan. Lantas giliran Rehan menyernyit. Shit, Ray? What the meaning of this message? Ketika Rehan masih mencerna pesan Ray notifikasi intagramnya menampilkan hal yang lebih mengejutkan. Bukan, ini bukan Naeyon ini fangirlnya Naeyon cabang Jihyo.
"Shit"
Rehan berdecak, hampir menyemburkan seisi mulutnya. Ia meletakkan alat makan dan buru-buru merebut ponselnya. Matanya melotot membuat Ara menyernyit heran. Mungkin dia shock karena sudah lama tidak melihat Rehan yang heboh itu.
"Why?"
Ara bertanya.
"Look!"
Rehan membalikkan ponselnya. Membuat Ara menahan kaget refleksanya, "Khariskara Renoir send chat to me. What the…" Rehan menjeda, melihat Ara meletakkan alat makannya. Dia nampak pucat seketika, bersamaan itu ada senyum yang tergambar sangat tipis. "Did you know this?"
…
"Dia send chat ke lo?"
Ck.
Sial.
Mana mungkin gadis itu mengirim pesan pada Ara.
Khariskara Renoir : Sombong amat nder : (