I'm not sure where this could go
But all I, all I know is that
Falling
Jakarta, 2021.
Karena hidup adalah sebuah keajaiban maka Ara selalu berharap keajaiban itu akan datang pada Kara.
"Saham kita naik dalam beberapa jam setelah berita lo sama Lyra keluar. Bayangin, keren banget nggak sih lo. Modal duduk sama ngerdusin cewek bisa naikin dolar. Ini baru loh baru gini gimana nanti kalo lo nerima tawaran Doi"
Heri, pria itu nampak semangat membahas berita pagi hari ini saat Ara sedang merapihkan meja kerjanya. Ia nampak tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh asistenya. Ia lebih sibuk dengan pikirannya pagi hari ini.
"Ra lo bisa banyangin kan betapa cerahnya masa depan perusahaan kita kalo lo nikah sama Lyra!!"
Lagi-lagi Heri berseru memekak telinga.
"I know, than I see"
Ara menanggapi, ia meraih tempat duduk lantas memijit pelipisnya. Pusing, karena ada banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan gara-gara bertemu Lyra kemarin siang. Dan lagi kedatangan Rehan yang tak terduga.
"Nah kebetulan sekali karena lo sepertinya sudah menyadari peluang besar ini, hehe..gue Cuma mengingatkan bos nanti sore jangan lupa lo ada janji sama Lyra. Jangan lupa ya boss"
"iya" Ara menjawab lemah lantas mengambil beberapa berkas untuk diteliti.
"Sip bos, gue balik kerja lagi. Semangat semangat."
Seruan itu lagi-lagi hanya berbalas helaan napas samar. Ara sungguh tak pernah bernapsu dengan pekerjaan di perusahaan ini. Menggantikan papa bukanlah hal yang ia inginkan. Kerja kantoran, bergelimang harta dan kehormatan bukan sesuatu yang Ara ingingkan. Ara, Cuma ingin jadi manusia yang penuh dengan kebebasan. Seperti laut yang tenang namun penuh kebebasan bukan seperti istana yang gila dengan kehormatan.
Setahun berlalu dan semuanya makin menyakitkan. Mama masuk rumah sakit jiwa di Bandung, Papa mendekam dipenjara sebagai tersangka pembakaran hutan dan dalang korupsi, lalu Rehan, si brengsek itu hanya bisa pergi tanpa memberi pertanggung jawaban. Semua terasa merepotkan karena hanya dirinya yang bisa diandalkan dari sisa sisa kejayaan Wijaya.
Cita-cita? Rasanya Cuma akan jadi omong kosong belaka. Hidup sesuai keinginan juga Cuma akan jadi dongeng panjang yang membosankan. Kemudian cinta, rasanya Ara sudah tidak berhak menyentuh perasaan itu. Di tangannya sekarang hanya ada ambisi untuk menyibukkan diri. Persetan, hidup terus berjalan dan luka terus menyelimuti.
Ara menghela napas. Menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Lantas pandanganya jatuh pada satu sudut dimana sebuah lukisan terpasang disana. Lukisan itu milik Lilis, lukisan terakhir yang bisa ia selamatkan dari kegilaan mama.
"Lis, hari ini ujan, kamu ngga lagi nangis kan?"
*
Rehan membuka mata untuk pertama kalinya ketika jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Di luar sana hujan masih terdengar nyaring menyusup pendengaran. Cowok itu tak bergegas bagun melainkan sibuk rebahan di atas sofa sambil mencari telepon genggamnya. Nihil, ia tidak menemukannya.
"aishh"
Cowok itu medesah sebal. Lantas bagun dan bergegas mengisi perut dengan apa yang ada di dalam lemari pendingin. Meski sudah lama tidak pulang ia masih yakin 100% bahwa lemari pendingin rumah Ara pasti memiliki isi yang lengkap. Cakra Luksa Wijaya, apa sih yang tidak bisa bocah itu lakukan. Jangankan sebuah kehancuran, kehilanganpun ia jadikan sebagai teman.
Secercah senyum miris terlukis di wajah Rehan. Ia mengambil sekaleng coke yang berjejer rapih di anatara tumpukan sayur dan buah buahan segar di dalam lemari pendingin. Lantas pergi dan mengambil duduk di atas sofa sambil menyalakan televisi. Waktu jarum jam berputar dengan cepat hingga waktu menyusun siang hari menjadi sore selepas hujan. Tidak ada yang menarik dari tayangan televisi sore ini selain berita Arad an Lyra yang di kabarkan akan menjalin hubungan lebih serius.
"Yaelah sempet-sempetnya ngurusin idup orang"
Rehan berdecak lantas meraih koran yang sedari tadi terkapar di meja yang ada di depannya. Tidak ada yang menarik sampe pandangannya jatuh pada headline berita mengenai Dante Ibrahim yang menerima amesti dari pemerintah. Rehan melena ludah, samar. Tanpa sadar koran itu tercengkram erat membuat sisi-sisinya kusut tak berbetuk.
"Sialan" Rehan berdecik membuang pandangan. "Dari semua waktu yang ada di dunia ini mengapa si brengsek ini muncul saat Ara berada di atas? Dari semua kedailan yang ada mengapa seperinya semesta membuat semua kesalahan itu menjadi pengampunan yang mudah di dapatkan?"
"Aishh!!" Rehan melempar koran yang ada ditangannya secara serampangan. Meluapkan emosi yang mengelilingi dirinya. Semuanya telah berubah. Sudut telah berubah, derajat telah berputar ke titik awal, tidak ada lagi yang bisa menahan Rehan. Rehan kehilangan Ray, dan semua beban terasa begitu berat di tanggung sendirian.
Lagi-lagi Rehan menghela napas. Pikiranya melayang entah kemana. Emosi mengelilingi dirinya. Membekar segala sepi menjadi api-api kebencian yang makin mendalam. Sial, Brengsek, Pecundang, kali ini Rehan berjanji akan meyelesaikan semuanya dengan tangannya sendiri. Demi Luksa, Lilis, Papa, Mama, Ray dan Rea.
"Brengsek!"
Rehan menendang meja di depannya. Tak berselang lama laci meja terbuka secara spontan menampakkan beberapa botol minuman keras. "Luksa?" Rehan meraih botol minuman keras itu, menyernyit tak mengerti.
Sial, rupanya ia pergi terlalu jauh hingga ia tidak bisa mengenali seberapa brengsek adik laki-lakinya. Pecundang, sejak kapan Luksa menyimpan minuman keras? Sejak kapan ia minum-minuman yang dilarang agamanya sendiri? Sejak kapan ia tak patuh tuhan lagi? Ah, atau mungkin Rehan lupa kalau manusia selalu punya nilai tidak sempurna dalam kehidupan mereka.
"Bangsat!"
Prang!
Rehan meluapkan emosinya ia membantik botol itu. Sekali dalam hidup Rehan ia tak pernah merasa sekecewa ini dengan Luksa. Rehan tak pernah menuntut Luksa untuk sempurna di mata manusia setidaknya Luksa harus menjadi sempurna di mata Tuhannya. Bukan, bukan untuk keluarga, namun buat dirinya sendiri.
Perlahan namun pasti sebuah ingatan muncul memenuhi otak Rehan. Masa lalu ketika mereka kecil dulu.
"Kita hidup mengejar surga ya bang?" Luksa kecil bertanya pada kakaknya.
Rehan nampak menimang sebelum menjawab pertanyaan adiknya, "Hmm mungkin?"
"Yah, brarti kita ngejar sesuatu yang beda dong. Soalnya surga kita kan beda…"
Rehan tak menjawab malah mengacak rambut adiknya sambil membenahi peci yang dikenakan adiknya itu.
"Ga seru ih kan luksa pengenya satu surga sama bang Rehan biar bisa main bola bareng…"
"Hehehe, abang juga maunya gitu tapi gimana lagi mama sama papa nggak mau kita gitu…"
"Hihh" Luksa cemberut "itu namanya egois" luksa kecil melipat tangan di depan dada sambil ngambek.
"Lebih egois mana sama orang yang nganggep hidup Cuma tentang mengejar surga"
…
"Hmm gini, hidup tuh bukan kejar-kejaran, siapa yang paling cepet, siapa yang paling bener terus dia yang bakal masuk surga. Bukan, bukan gitu Ra. Hidup itu berjalan kadang lelah, kadang bersemangat, kadang barengan, kadang sendirian, kadang lurus, kadang belok dan ujungnya semuanya tentang berjalan mencari apa itu makna dari sebuah perjalanan. Bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling bermakna" Rehan tersenyum
"Tuhan kita memang beda, surga kita memang beda, tapi bukan berarti kita bukan saudara kan? Suatu saat Luksa bakal ngerti kok, kalau hidup itu bukan tentang surga dan neraka, bukan tentang mana yang sama dan beda, tapi tentang seberapa bermakna menjadi menjalani hidup. Jadi, selama abang bisa dukung luksa buat jalan ke surga Luksa abang akan selalu dukung luksa, ngerti"
Rehan menghela napas, ia meraih koper dan tas-tas yang berserakan di sekitarnya lantas menyeret menuju kamar. Sial, apa Rehan sudah gagal menjadi kakak yang mendukung luksa menuju surga?
*
Jakarta 2021
Saya baru saja memarkir mobil saat hujan mulai berhenti mengguyur kota Jakarta. Udara dingin tidak terasa karena basement yang sesak terisi dengan asap mobil yang datang dan pergi memenuhi parkiran. Hari ini masih terhitung hari kerja namun mall penuh dengan pengunjung karena bertepatan dengan waktu pulang kerja.
Samyang. Samyang. Samyang. Samyang.
Hampir sepuluh bungkus Samyang memenuhi troli belanjaan. Saya sebenarnya tidak terlalu butuh Samyang hanya sekedar suka memakannya setiap kali suasana hati saya tidak baik. Persetan nilai kalori kalau sedang dongkol saya bisa menghabisakan 2 pack Samyang ditaburi boncabe. Perih dan pedih mungkin terasa begitu saya memakan Samyang namun tetap saja air mata saya tidak bisa menetes. Gila, rasaya saya sudah mati rasa sampai sampai saya terobsesi untuk menangis. Menonton goblin dan crash on landing you sudah saya lakukan, the king enternal monarch pun sudah katam apalagi descendant of the sun saya sudah jadi pakar namun tetap saja saya tidak bisa menangis. Sampai kadang saya berpikir untuk menonton sinetron adzab agar sedikit takut dan merenungi dosa saya. Nihil, saya malah menertawakan apa yang sudah saya buat satu tahun yang lalu.
Satu tahun berlalu dan bagi saya, menemukan air mata sama susahnya dengan menemukan adik saya. Ya, Rhea ku sayang Rhea ku malang. Rea pergi tak lama setelah gadis yang saya suka pergi juga. Seperti sahabat yang memang bersekongkol ingin menjauhi saya. Kejam memang, di tambah setiap kali saya berhasil menemukan keberadaan Rea setiap kali itu pula ia berhasil hilang kembali. Sia-sia dia tak mau menemui saya, menerima semua uang saya tanpa menggunakannya. Entah dia hidup menggelandang menjadi apa tanpa uang saya, yang jelas saya akan terus berusaha menemukan adik saya. Bagaimanapun caranya.
"Kamu steak nggak?"
Suara itu menyusup memudarkan lamunan Saya. Perlahan namun pasti saya mulai mengamati sis umber suara yang ternyata adalah seorang perempuan yang sedang bicara dengan pria di depannya. Mereka nampak serasi dan saya sama sekali tidak iri. Ya gimana, mudah saja bagi saya mendapatkan hal-hal sesepele pergi belanja dengan perempuan cantik.
"Oke kalo kamu suka aku bakal masak steak hari ini" perempuan itu tersenyum manis sedangkan pria yang diduga kekasihnya hanya diam seribu bahasa. Kalau dilihat-lihat dari postur tubuhnya bagi saya sedit familiar. Namun lagi-lagi saya enggan menebak. Saya sibuk memasukan daging kedalam keranjang belanjaan saya. Namun lagi-lai terdistraksi karena ibu-ibu disebelah saya membicarakan perempuan itu. Begini bisik-bisiknya,
"Itu Lyra Nasution itu kan?"
"Wah cantik banget"
"Iya lebih cantik liat secara langsung"
"Eh itu sama calon suaminya itu"
"Heeh yang pengusaha itu kan? Waw banget ga sih sis can get bojo ganteng dan muda"
"Heem, ihhh gemes ya belum nikah aja udah belanja bareng"
"hxhxhxh iya nih sis, gemes banget. Jadi pengen kapan kapan ngajak suami"
"Hihihi iya nih masa iya belanja bareng Cuma di shopee, aduhhh gemes"
Ck!
Sialan.
Iri bilang boss!
Oh itu Lyra Nasution yang famous itu. Bukannya iri y abos tapi saya kok malah penasaran dengan pasangannya. Soalnya memang terlalu familiar bagi saya. Jadi saya memutuskan untuk makin mendekatkan diri pada target sambil mengambil apapun yang tangan saya pegang. Persetan sin, nanti saya balikin lagi daripada busuk di kulkas.
"Kerjaan kamu udah selesai?" tanya perempuan itu.
"Hmm"
"Sorry ya kalo aku bikin jadwal mendadak gini, tapi beneran aku lagi pengen masakin buat kamu" lyra nampak antusias mendapatkan perhatian pria di depannya. Miris sih saya liat pria itu lebih suka meliahat seisi rak sayuran daripada lyra.
"Nggak papa, katanya kamu pinter masak?"
"Ah kata siapa, aku mah nggak pinter masak, Cuma beberapa menu doang, kalo kamu?" Lyra menatap penuh damba pada pria itu.
"Saya terlalu sibuk untuk itu" Pria itu menjawab polos. Ia mendorong troli setelah tersenyum terpaksa pada Lyra. Entah menurut saya ada sebuah terpaksa diucapan pria itu.
"Brarti bisa kan?"
"Bisa"
"Ah nanti kapan kapan kamu masakin buat aku, gimana?"
Seruan gadis itu terhenti bersamaan saat mata saya mulai mengenali siapa kekasi Lyra Nasution. Saya menelan ludah, buru-buru menundukkan kepala saya. Saya tidak ingin dikenali oleh siapapun terutama oleh Cakra Luksa Wijaya. Setahun berlalu dan saya tidak akan pernah berada dalam kata siap menghadapi pertemuan ini.
Saya mendadak tersenyum miris, sesak mengisi dada saya. Ara mengingatkan saya bapada Kar. Pada kejadian di halte bus saat saya bisa memeluk gadis yang saya suka.
Brak!
Semesta menjebak, pada saat Ara melintas melewati saya sebuah ponsel jatuh di depan saya. Semenit, dua menit, tiga menit, saya terhenti beberapa saat membiarkan dua pasangan itu pergi meninggalkan saya begitu pula meninggalkan ponsel yang ada di depan saya. Saya menelan ludah. Saya raih ponsel itu berniat mengembalikan di bagian informasi. Namun lagi-lagi mata saya dibuat terhenti beberapa saat. Sesak mengisi dada. Mungkin saya pucat.
Khariskara Renoir menyukai foto anda
Khariskara Renoir menyukai foto anda
Khariskara Renoir : Anyyeong nder!
Tangan saya bergerak menyetubuhi ponsel membuka secara tidak sopan. Sial ini ponsel milik Rehan. Instagram milik gadis itu mengunggah sebuah foto di instastory.
Take a breathe and I hope every memories come.
Akan selalu ada degub yang tidak bisa saya jelaskan ketika melihat gadis yang saya suka bangun dan menghirup udara. Akan selalu ada senyum yang tidak pernah absen ketika melihat gadis itu. Gadis itu Khariskara Renoir. Setahun berlalu akhirnya dia kembali. Saya menggigit bibir seraya menundukkan kepala, rasanya mimpi buruk yang tiap malam saya rasakan terbayar juga. Gadis itu hidup, gadis itu kembali, napasnya adalah keajaiban bagi saya. Meski…sayapun tau semuanya tak akan lagi sama selain perasaan sesal saya kepada gadis itu.
**
Jerman 2021
Jerman hari ini begitu buruk bagi Kar. Ia baru saja merampungkan sesi fisioterapi sendririan karena hari ini semua keluarganya punya kepentingan. Nuha yang harus terbang ke Sinagpura untuk mengurus konser pianonya. Mama dan Papa yang harus pergi ke kedutaan RI mengurus berbagai keperluan mengenai kependudukan. Jadilah Kar mendorong kursi roda menelusuri lobby rumah sakit sambil menaham nyeri yang begitu hebat dari punggung sampai kaki akibat fisioterapi.
Sekarang ia sedang menunggu seseorang menjemputnya.Padangan gadis itu tak pernah lepas dari halam rumah sakit yang di penuhi dengan salju.
Take a breathe and I hope every memories come.
Kar baru saja membuat mengapload story di instagram miliknya setelah sekian lama hiatus karena abangnya yang tak pernah membolehkan dirinya menggunakan ponsel. Tapi berhubung bang Nuha sedang sibuk mama dan papa membolehkan Kar menggunakan ponsel sesuka hatinya. Itung-itung upaya mempercepat penyembuhan diri.
Kar mengayuh kursi roda untuk bergerak ketika sopir suruhan mama sudah ada di depan lobby rumah sakit. Sekuat tenaga melawan nyeri ia mengayuh kursi roda. Kakinya masih belum bertenaga untuk berjalan karena koma terlalu lama. Begitupula dengan bagian tubuh lainnya. Yang lumayan berfungsi adalah tangannya.
"Aish!!"
Kar benci menjadi lemah. Hanya karena roda pada kursinya tersangkut seseuatu pada lantai ia harus terhenti dan kesulitan memindahkan kursi roda. "Mama…"Kar merengek namun tetap sekuat tenaga mengayuh kursi roda, alhasil ia hampir terjatuh tapi untung hanya hampir. Ponselnya terseok jauh di depan Kar. Ada panggilan masuk, dan itu membuat kar frustasi setengah mati. Bagaimana tidak? Ia tidak punya kuasa meraih ponsel itu. Sementara semsta membuat orang orang sekeliling Kar tak peduli.
"Anjir"
Kar masih memaksa, hingga akhirnya tubuhnya hampir terjatuh kalau saja…
"You must be carefull miss" seorang cowok bau kembang muncul menahan badan Kar. Ia dengan wajah cerahnya lengkap dengan sunglass. "I will take it for you" Setelah mendudukan Kar cowok itu mengambil ponsel dan memberikannya pada Kar.
"Take it carefully" ucapnya.
"Okay, thanks" Kar mengatur perasaaanya yang campur aduk.
"William Aoyama Barbara Sirajaguguk, and You?"
Kar tidak membalas karena mendadak sebuah panggilan masuk. "Iyya mang ini betar lagi keluar lobby, mamang dimana? Oh iya iya tungguin, bentar. Oke" Kar mematikan telpon hendak menjawab pertanyaan cowok bernama Willliam. Namun alih alih menjawab Kar malah dibuat diam karena cowok itu menyimpulkan senyum.
"Oh orang Indonesia juga?"
"Iya, baru aja gue mau tanya gitu ke lo. Soalnya nama guguk Cuma ada di Indonesia hehe… oiya kenalin panggil aja Kara. Sekali lagi terimakasih banyak ya udah jagain gue biar ga jatoh"
"Anything baby" William cuma tersenyum. Sebab pandanganya terdistraksi pada kursi rodan dan gadis cantik yang duduk disana.
"Lo kenal gue?" Kar bertanya.
"Kenal"
"hah serius?"
"Serius"
"Sejak kapan kita kenal?" Kar antusias.
Sebaliknya William nampak menahan tawa, "sejak tadi lah hehe"
"Yee si guguk, beneran nih gue tanya serius."
"Ya gue juga serius Kara. Kita kan emang baru kenal tadi pas kita kenalan. Lagian kenapa lo tanya gitu si hehe"
"Yahh" Kar mencebik, "Gue kira benaran kita temen lama yang nggak sengaja ketemu di Jerman hehe. Gue tanya gitu karena gue nggak punya cukup ruang ingatan yang bagus. Gue takut gue melupakan orang-orang yang dekat dengan gue hehe. But anything deh thank you sekali lagi udah nemenin gue ngobrol���
William menyernit. "Lo sakit kanker?"
Kar berdecik, "Sialan, mana ada gitu"
"Soalnya lo bilang gitu, gue kan keinget adegan film film Indonesia hahah. Oiya, lo mau pulang atau mau—"
Sebuah panggilan masuk, lagi-lagi membuat percakapan kedua manusia itu terhenti. Kar sibuk menjawab rentetan omelan dan William sibuk memandang gadis di depannya. Menit berlalu menjadi untaian waktu yang terasa penuh makna. Benar memang semesta selalu mengganti apa yang bukan milik kita dengan apa yang sudah tuhan siapkan. Tiga puluh menit yang lalu mungkin William sadar bahwa Re bukan untuknya dan tigapuluh menit kemudan tuhan mengganti ketidak kesadarannya dengan gadis bernama Kar.
Kalian percaya cinta pandang pertama?
Jatuh cinta hanya dengan melihat senyumnya, kalian percaya?
"Sorry kayaknya gue harus cabut. Sekali lagi makasih banyakk" Kar tersenyum lebar seakan akan nyeri pada tubuhnya meluap bersama senyuman itu. Disisi lain hati William menghangat.
"Okay duluan ya, babay…"
"Bye…."
Kepergian Kara menyisakan senyum tipis di bibir William. Sial, apa-apaan ini mengapa dirinya menjadi pria yang mudah berpaling? Bukankah selama ini hantinya hanya untuk Rhea seorang mengapa kini telah berubah? Rhea mengapa hari ini kamu gagal menyakiti hati William? Padahal tiga puluh menit yang lalu William melihat Rhea bersama Nadev sedang berpelukan. Sakit pasti, namun gilanya sakit itu terobati hanya dengan senyuman orang yang bahkan ia tak pernah begitu dalam.
Kara. Nama gadis itu pasti tercatat dalam kesalahan semesta.