Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 2 - 01.00

Chapter 2 - 01.00

We were beautiful

we were so tragic

Never Not

Bandung 2021

Akan selalu ada hari dimana kamu harus tersenyum tanpa alasan atau bahkan akan selalu ada hari dimana kamu memangis tanpa alasan. Hal yang menjadi wajar, karena kita manusia, karena kita hidup maka kita akan selalu menemukan kebahagiaan dan kesedihan.

At the blues sky we are looking your smile from the dirty earth

Hari ini langit begitu cerah ketika Rehan baru saja turun dari mobil. Udara Bandung hari ini agaknya sedikit panas walau sesekali angin berhembus menyejukkan. Dibanding dengan Mongolia yang tiap harinya menghidangkan matahari terik Bandung sepertinya adalah kebalikannya. Kota kembang yang bahkan akan sangat cocok ketika dapat julukan kota hujan. Entah tiap harinya pasi ada waktu yang tersedia untuk ujan. Entah hujan air mata, kenangan atau kebahagian.

Bandung begitu romantika.

Seperti kali ini, Rehan menandaskan air mineral di tanganya. Kemudian meraih satu set alat makan di tangannya ketika seorang perawat datang menghampirinya.

"Nyonya Saras Dian Wijaya?"

Rehan mengangguk, tersenyum semanis madu hampir membuat perawat itu kehilangan kesadaran.

"Kesini ya kak" ucap perawat muda itu.

"Kemana aja kalau sama teteh mah saya mau mau aja. Hayuk mah, sekalian saya bawa ke pelaminan hehehe"

Godaan Rehan sempurna membuat perawat itu merona. Disisi lain seisi ruangan menatap penuh cinta pada makhluk bernama Rehan. Ya gimana ya, Rehan pulang dari Mongolia bukan Cuma makin macho tapi juga keliatan makin tampan. Lihat saja warna kulitnya yang sunkissed di padu dengan kaos hitam polos serta wajah tampannya, beuh di jamin kiamat bagi kaum hawa.

"Mari kak"

Perawat itu tersipu malu ketara sekali sudah terpikat pesona Rehan.

Langkah Rehan terhenti beberapa senti di depan sebuah pintu yang menghubungkan langsung dengan balkon dan taman rumah sakit. Ya, sekarang Rehan sedang berada di sebuah rumah sakit jiwa di Bandung. Rumah sakit jiwa yang setahun lebih telah merawat perempuan kesayangannya.

Mama.

Angin berhembus lembut menyapu anak rambut yang tak sengaja jatuh ke dahi cowok itu.

Ma, apa kabar?

Udah lama ya kita nggak ketemu

Terakhir natal tahun lalu

Rehan masih inget, waktu itu mama nolak makan dan berujung di pasung di ruang lily

Lily yang seharusnya membuat mama teringat lilis malah membuat mama sakit karena pasung. Hehehe, ma maaf ya Rehan baru bisa balik hari ini. Bukannya kenapa ma, Rehan nggak bisa lihat muka mama, Rehan nggak bisa liat mama jadi gila, Rehan nggak bisa menerima kalau kita semua hancur hanya karena masa lalu. Tapi ma, Rehan hari ini balik. Rehan hari ini—

Perempuan paruh baya dengan piyama biru yang membungkus tubuhnya tiba-tiba membalikkan kursi rodanya sehingga ia tepat menghadap Rehan. Seketika saja mata mereka berdua terperangkap satu sama lain. Asing dalam sebuah hubungan. Asing dalam sebuah pertemuan. Setelah sekian lama, apakah semuanya akan tetap sama?

Perempuan itu tersenyum.

Bukankah senyum seorang ibu adalah kado terindah untuk kepulangan anakknya?

"Mama…"

Ada gumpalan cairan hangat yang bersarang pada Rehan. Genggaman tangan pada alat makan entah mengapa menjadi makin kuat.

Mama, Rehan pulang

Kalimat itu terhenti pada ujung bibir Rehan. Terkulum sempurna dengan senyum pilu ketika perempuan itu beranjak mendekatkan diri pada anak kucing yang dekat dengan Rehan. Ternyata kado terindah selamanya tidak akan pernah Rehan dapatkan. Senyuman itu kini telah berubah menjadi mahal.

"Mama"

Rehan menyapa lembut namun perempuan itu mengabaikan.

"Ma, makan dulu ma"

"Ma…"

Perempuan itu akhirnya menatap Rehan. Dengan tatapan mendalam, "Kok kamu ganteng sih" celetuknya yang hanya bisa melukis senyum pilu di bibir bocah itu.

Ingin rasanya Rehan menjawab Kan anak mama namun tidaklah ia terlalu egois? Memaksa masa lalu hadir sebagai masa depan?

"Ma, makan dulu ya…"

"Makan? Apa itu makan?"

Rehan mengehela napas, "Makan itu memasukkan makanan kedalam tubuh kita. Makan itu—"

Prank!

"Kamu pikir saya bodoh! Kamu pikir kamu bisa membunuh saya dengan cara seperti ini! Dengar ya anak muda, nggak semua hal bisa kamu takhlukan dengan cinta dan harta. Nggak semuanya bisa kamu hancurkan! Kamu—"

"Mama dengerin Rehan dulu, mama harus makan. Mama nggak boleh sakit. Dengerin Rehan mah…"

Kecuali pada Mama Rehan akan menjadi manusia paling lembut di dunia.

"Ma…"

Rehan penuh harap. Memandangi perempuan di depannya membuatnya merasa menyesal. Menyesal karena banyak hal yang terlewatkan saat ia mengejar Lilis. Mama, Papa dan Luksa apakah mereka masih cukup hati menerima dirinya yang pergi dari kenyataan?

"Wajah kamu mengingatkan saya pada pria brengsek yang menghancurkan hidup saya. Wajah kamu—mata Mama memanas—mengingatkan saya pada orang yang membunuh putri saya. Wajah kamu… saya benci wajah kamu. Pergi kamu!!!"

Byur.

Rehan mengigit bibirnya erat. Astaga, apakah ia memang pantas mendapatkan air di wajahnya. Baru saja mama mengguyur wajahnya dengan air kaldu sop pada menu makan siang.

"Saya bilang pergi kamu. Pergi!"

"Ma…"

"Pergi"

"Ma.."

Prank!!

Sebuah mangkok baru saja terbang, ia menghantam kaca jendela. Membuatnya pecah berkeping-keping. Beberapa serpihan mengenai punggung Rehan. Nyeri namun lebih nnyeri ketika melihat mama segila ini hanya karena melihat dirinya.

"Ma ini Rehan mah, anak sulung mama. Ma ini Rehan mah!"

"Ma"

Mama menangkis tangan Rehan ketika berulang kali bocah itu merah bahu ibunya. Cairan hangat telah luluh di pipi perempuan itu.

"Ma.."

"Kalau kamu nggak bisa pergi, biar saya yang pergi. Saya, muak liat muka kamu, ngerti?!"

Rehan menelan ludah. Tanganya terkepal sempurna. Buku kuku tanganyannya memutih. Aliran darah sempurna mengalir ke otak. Emosi berat, namun demi mama semuanya hanya sebatas itu saja. Tak ada gaya aksi reaksi, Rehan hanya terdiam memandangi Mama yang mengayun kursi roda menjauhinya.

Perlahan namun pasti terik matahari terganti menjadi mendung. Bukan, bukan mendung yang menyejukkan namun sebuah mendung penuh penyesalan. Atas dirinya, semesta dan hidupnya.

Memang terkadang kita perlu sebuah sedih yang tercipta dari ribuan perasaan yang susah dijelaskan.

Lis, jangan sedih ya. Anggap aja kamu nggak liat kejadian barusan. Okay?

*

Jakarta 2021

"Saham kita turun 0,15 persen dari minggu kemaren. Lo tau kan resikonya kalau ini terus menerus terjadi selama minggu ke depan. Bukan cuma lo yang bakal rugi tapi karyawan juga bakal susah buat cari uang tambahan"

Hening.

"Ngerti nggak sih lo Ra. Jangan mentang-mentang lo punya banyak saham lain di perusahaan lain tapi apa iya lo mau lupa saham perusahaan fashion. Inget ya ini saham punya nyokap lo, nggak seharusnya lo bikin semuanya nyerah begitu aja. Toh, ya Ra, just going to German, we will fx in on week, okay?"

Ara bergeming. Ia masih pandangi jendela café dengan pikiran yang entah sedang pergi kemana. Mendengar Jerman membuatnya tak berserela di temabhan pertemuan hari ini.

"Tuan Cakra Luksa Wijayalo denger kan gue ngomong apa? Lo cukup ikut jadi salah satu model buat desain baju koleksi musim ini. Apa itu terlalu berat buat lo Ra?"

Ada yang lebih memberatkan Ara daripada menjadi sebuah model untuk koleksi busana musim ini. Ini tentang Jerman dan semua kemungkinan sebab ia masih yakin kalau gadis itu pasti bangun dan hidup dengan baik. Entah di Jerman atau di belahan dunia lainnya.

"Ara!"

Ara mengehembuskan napas berat, "okay, kasih gue waktu buat mempersiapkan semuanya."

Ucapan itu membuat seorang pria di sebrang sana melukis senyum seterang rembulan. Ia tampak bahagia karena bosnya menyetujui pilihan yang ia ajukan. Dengan penuh semangat ia menyeruput bubble tea.

Bubble tea? Sial kenapa situasi makin mengingatkan Ara pada seseorang. Belum sempat ia makin jauh suara pintu membuyarkan segalanya. Seorang perempuan berbalut dress putih lengkap dengan balzer putih menuju ke arahnya.

Sial, Ara kira pertemuan ini tidak akan terjadi. Sial, mengapa ia terus berkorban untuk pekerjaan yang bahkan tidak ia sukai.

Ara bangkit dari duduk di barengi dengan asistennya yang mangkir pergi. Kini tersisa Arad an perempuan di depannya.

Senyum Ara menyambut ramah.

"Lyra Nasution"

"Cakra Luksa Wijaya"

Keduanya melempar senyum setalah tatapan dan jabat tangan yang cukup panjang. Lyra gadis manis keturunan konglomerat yang diam-diam menganggumi sosok Ara. Gadis ambisius yang bisa mendapatkan apa saja yang ia inginkan dan sialnya ia menginginkan Ara. Apapun caranya ia akan mendapatkan pria di depannya.

"Saya nggak nyangka kamu bakal menerima pertemuan ini"

Ara tersenyum, "saya juga sempat berpikir begitu"

"Kalau di lihat-lihat kamu lebih tanpan dari pada di foto majalah yang beredar"

Omong kosong. Ara menelan ludah, memaksa senyum terbit di wajahnya.

"Sepertinya kamu bukan orang yang suka basa basi, jadi langsung saja" Lyra mengeluarkan sebuah map berisi dokumen yang ia tawarkan. ���Saya hanya butuh ya atau tidak. Tidak ada jawaban lain."

Ara meraih dokumen tersebut, lantas menghela napas.

Surat Perjanjian.

Hening.

"Kamu mau mencoba menyukai saya?"

Ada tatapan tajam yang menghunus mata Ara. Tatapan mengungkung dari seorang Lyra Nasution. Jika di tanya apa yang kurang dari perempuan seperti Lyra mugkin jawabannya adalah nihil. Lyra sempurna, sangat sempurna. Namun ada stu sudut hati Ara yang menutup semua kesempurnaan pada gadis itu. Bukan karena ia ambisis dan terlalu berani tapi…

"Apa perlu saya mencoba itu?"

"Tentu kamu harus mencoba itu. Kamu dan saya bukan kah akan menjadi sempurna jika bersama?"

Ara terdiam, "Lalu bagaimana jika saya hanya mencoba karena saya ingin melupakan seseorang yang begitu berarti dalam hidup saya. Apa kamu masih mau membuat saya mencoba menyukai kamu?"

Lyra tersenyum miring, "Seseorang?"

"Hm. Seorang wanita"

"Mama?"

Ara tak menjawab ia malah terdiam memandangi jendela café yang menampakkan plang besar yang terpasang di sisi jalan. Palang yang menunjukkan tempat ia sedang berada. Tempat yang menjadikan saksi bisu bagaimana seorang perempuan membuat ia tak bisa menentukan Ya atau tidak.

Ya atau tidak.

Bagaimana ia bisa memutuskan sesuatu yang jauh dari kemungkinan.

Ketidakjelasan.

Apa gadis itu masih hidup?

Rainbow Café.

Nama café yang menyimpan segala rahasia pengunjung di dalamnya. Atau juga rahasia milik pemiliknya. Kenapa tidak ?

*

Jerman 2021

"Fucking Father son!"

Teriakan itu mengelegar mengisi seluruh penghuni taman Paleten un Blomen. Kebetulan hari ini taman sangat sepi jadi yang mengdengarkan teriakan Re hanya beberapa angsa dan kumbang. Di tampah si Batak yang sedang asik membidik pemandangan dengan lensa kameranya.

"Kalo lo bolos kuliah terus ntar mau jadi apa lo hah?"

"Heh batak!"

Bocah itu hanya nyengir lebar. Lantas mendekat dan mengacak rambut Re. Terhidung setahun sudah keduanya saling mengenal. Berawal dari pameran yang di danai keluarga Nadev akhirnya mereka bertemua. Batak alias William sebagai peserta pameran dan Re sebagai penikmat pameran.

Waktu itu Re kagum dengan jepretan William yang terkesan surealistik dengan sentuhan natural. Jepretan yang cukup emvawa setiap pengunjung pada rasa yang di cipta dalam foto itu. Pemandangan dan skill yang luar biasa.

"Ntar kalo gue cepet lulus lo nggak ada temen clubbing hehe"

Batak nyengir selebar lima jari, sedang Re memasang muka sebal.

"Ya nggak dengan bolos kuliah batak. Lo nggak bolos aja begonia udah mendarah daging apalagi pake acara bolos. Plis yah punya otak di pake jangan cuma buat hiasan"

Re kesal.

"Emang orang ganteng dan tajir kaya gue masih butuh otak?"

"heh terus ngapain lo kuliah hah?" Re tambah kesal.

"Sedekah aja sih" batak menjawab enteng praktis mendapat tinju dari Re. Sial juga sih punya temen yang passionnya sombong.

"Lo kalo mau sedekah sama orang yang tepat jangan sama uni yang banyak korup, negri?"

Batak nyengir, mengarahkan kameranya pada langit biru seolah olah mengabaikan keberadaan Re. Namun jauh dari itu ada sesuatu yang sedang ia coba ungkapkan pada Re.

"Abisnya gue nggak suka liat lo cemberut Re"

"Hah?" Re menyenyerit. "Lo kalo ngomong tuh ngadep gue, dikira gue gaib kali"

Hening.

"Heh batak!"

"Gue mau ngalus nih, tapi takut lo jijik" Batak menurunkan kameranya. "Lo tau nggak ini apa?" ia menunjukkan foto langit hasil jepretannya.

Re menyernyit, "Langit kenapa?"

"Hehe kok pinter sih, nah kalo ini?" Batak mematikkan kameranya. Ia mengangkat kamera menunjukkan pada Re. Spontan membuat gadis itu naik emosi. Dikiranya dia anak TK yang lagi memenghafal nama benda di sekitar.

"Asu lo kira gue bego. Itu kamera"

"Aw—" Batak memang malang ia kena toyor untuk kesekian kalinya. "Fucking moeslim, yang bilang ini tempe siapa anjir!"

"Terserah"

Re putus asa, ia kehilangan napsu untuk marah keinget sama cabe yang nyelip di gigi batak sehari yang lalu saat mereka nggak sengaja makan di warung asia. Makan nasi padang bukannya makin padang malah ada cabe ijo nyelip di gigi bocah itu.

"Oke. Ini gue serius ya , jadi gini Re. Ada beberapa keindahan yang emang tercipta buat di abadikan oleh lensa kamera dan ada kebahagiaan yang emang Cuma bisa kita abadikan Cuma pake lensa mata. Langit adalah contoh pertama sedangkan contoh yang kedua adalah senyuman lo"

Re terdiam. Bingung mau bereaksi apa.

"I saw you yesterday, gue tau lo sedang nggak baik-baik saja. Dan gue tau apa alasnnya. Tapi gue juga paham gue nggak berhak memaksa lo bahagia dan baik-baik saja. Apa gue masih egois buat tetep kuliah saat lo sedang merasa nggak baik-baik saja?"

"Tak…"

"I know u have Nadev tapi lo juga punya gue Re. I will give my ears to listen million story from you. If there are nothing special between us , you are still my favorite friend. As long I can see your happiness, apa itu masih melukai privasi lo?"

"Re.."

Re terdiam, matanya berair, "Hell fucking Jesus son's, gue kelilipan"

Batak menyernyit, "wait, kalo mau nangis nangis aja nggak apa-apa. Gue nggak liat kok"

"Serius"

"Asu serius-serius matamu. My eyes, so—"

Grep. Re meraih badan Batak. Jarak mereka sangat dekat " Tiupin mat ague anjing!" Re melotot. Membuat kesan serius yang parktis membuat bocah bernama Willian gelagapan.

Ya gusti beneran kelilipan. Secepat kilat batak memberi pertolongan pertama. Satu dua tiupan hampir selesai namun Re malah merengkuh badan Batak ke dalam pelukan. Membenamkan kepalanya pada tubuh Batak. Lantas…

"Tadinya gue mau nangis cuma…lo nggak mandi berapa bulan sih anjir?!"

Batak hanya nge lag. Pelukan yang begitu mendadak. Di tambah ia tau kalau sebenarnya alasan mengapa gadis itu murung adalah karena kakaknya yang masih berusaha menghubunginya.

Georgio Ray Ibrahim. Bukankah ia terlalu sempurna untuk menjadi kakak gadis bernama Re. Tiap bulan ia masih mengirimkan tunjangan dan uang kepada orang yang bahkan tidak ia ketahui keberadaanya. Kepada orang yang tidak tau cara berterimakasih.

*

Berlin, Jerman, 2021

Langit hari ini cerah setelah seharian mendung. Khariskara masih duduk di atas kursi roda. Ia hampir lupa caranya berjalan setelah sekian lama koma. Tidur panjang yang melumpuhkan semua organ tubuhnya. Termasuk memori yang ada di kepalanya. Ingatannya terhenti pada malam dimana ia melihat senyuman Dipantara.

Kar menggerakkan jarinya, ke kanan ke kiri lantas mengamati denyut jantung pada layar moitor EKG. Denyut yang lebih kuat dari satu bulan yang lalu, kulit yang lebih sehat dari satu bulan yang lalu, semuanya terasa membaik namun tidak dengan perasaanya.

Bagaimanapun mendengar kabar Nuha gagal menikah bukan hal yang menyenangkan baginya. Kak Binta dan bang Nuha bukankah terlalu sempurna untuk di pisahkan? Perjuangan cinta mereka, kasih sayang mereka, pengorbanan waktu yang mereka berikan bukankah terlalu mahal? Lantas mengapa gagal?

"Kara"

Suara itu masuk begitu melembut. Kalau bukan dari Nuha lantas dari siapa?

"Selamat ya sayang, hari ini hasil fisioteraphy kamu bagus banget. Mungkin lusa kita bisa pulang. Ah iya, hari ini karena abang lagi baik hati kamu boleh pakai ponsel kamu. Tiga puluh menit yah?"

Kar tersenyum manis, "Nggak bisa tambah gitu satu jam? Kan kara udah belajar jalan 6 jam tadi"

Gemas melihat adeknya Nuha mengusap pipi Kar, "Katanya kalau mau cepet sembuh kamu harus banyak istirahat. Nggak ya nggak bisa nambah hehe"

"Bang…" Kar merengek.

"Nggak. Abang tinggak dulu nanti abang bawain susu strawberry ya. Bye"

Kepergian Nuha menyisakan kesunyian. Pasalnya Bunda dan ayah sedang ada keperluan di kedutaan besar RI. Kar menatap ponsel di tanganya, dengan gerakan yang masih kaku ia telusuri ponsel itu.

Ponsel baru hanya terdapat beberapa foto lama yang membekas erat di kepala Kar. Semua aplikasi yang terpasang juga baru dan atas nama email Nuha. Tak mengapa sebab Kar akan merubah menuju alamat emailnya. Ia masih cukup hafal untuk urusan ponsel.

"Cakra Luksa Wijaya pengusaha muda yang sedang naik daun dikabarkan berkencan dengan pewaris tunggal Nasution Grup"

"Lyra Nasution bikin patah hati penggemar pengusaha muda Cakra Luksa Wijaya"

"Super! 2021 pernikahan antara Wijaya's Grup dan Nasution Grup akan menggemparkan dunia bisnis Indonesia"

"10 potret pengusaha muda Cakra Luksa Wijaya, ini alasan ngebet nikah!!"

Kar menyimak dengan seksama walau tak paham dengan semua headline berita yang sedang ramai mewarnai beranda berita dan media sosial. Tanpa sadar itu juga membuatnya penasaran dengan sosok Cakra Luksa Wijaya. Ia membuka profil instagram cowok itu namun nuhil ia temukan. Lalu beralih pada akun Lyra Nasution. Ada beberapa postingan yang menunjukkan agenda makan malam. Salah satunya menandai akun Cakra Luksa Wijaya.

"Ya ampun gini aja heboh se Indonesia"

Kar berceletuk, tangannya masih sibuk berselancar pada instagram. Daripada kepippiran si pengusaha muda ia lebih kepikiran boygrup dan girlgrup korea. Bagaimanapun KPopers yang koma pasti telah kehilangan banyak momen. Kar nggak mau kudet dalam per fangirlan.

Satu. Dua Tiga.

"Anjir ih ga dapet idol dapet fanboy juga boleh"

"Dominic Edzhar Rehan Wijaya"

Kar mengeja lantas tanpa pikir panjang tangannya memencet profil akun itu. Tapi sesuatu aneh terjadi, Kar tidak memfollow Rehan namun cowok itu memfollow dirinya.

"Rejeki nomplok!"

Tanpa babibu set Kar mengikuti akun tersebut dan mengirim pesan.

"Ayyeong nder, mutualan kuy. Bias gue Jihyo"

*

Jakarta 2021

Hampir menyentuh pukul 2 pagi dan Ara baru menyelesaikan semua pekerjaanya di kantor. Kini ia telah berada di rumah. Pulang sebentar hanya untuk numpang tidur dan melepas penat.

Ara melonggarkan dasi yang mencekiknya sepanjang hari. Melepas dua kancing teratas pada kemejanya. Hampir meraih gagang pintu kulkas kalau saja ia tidak melihat bungkus Samyang yang berserakan di dapur. Sialan, siapa yang makan Samyang berantakan sih?

Ara yang merupakan budak kebersihan tanpa banyak pikir membersihkan. Sambil berpikir ia memikirkan kemungkinan terbesar akan kejorokan ini.

Bibi?

Mamang?

Pak satpam?

Bibi?

Mamang—

Langkah Ara terhenti di depan ruang TV. Seseorang terkapar di sana. Ada banyak bungkusa makanan yang berserakan. Kaleng bir yang mengisi meja serta koper-koper dan ransel yang menutupi jalan.

Ara tersenyum samar. Ia hampiri orang itu dengan tatapan yang sebisa mungkin dingin. Walau gelap tak menutup kemungkinan ia melihat kan?

Halo bang, akhirnya lo pulang

Kalimat itu hanya tertinggal pada kerongkongan. Bahkan untuk membangunkan orang itu rasanya belum masuk akal untuk Ara. Ada gengsi, ada luka, da nada jarak yang membentang luas diantara keduanya.

Ara menelan ludah, ia tak punya banyak keberanian untuk menyapa bang Rehan yang akhirnya pulang setelah setahun lebih pergi entah kemana. Meninggalkan dirinya yang sedang terpuruk untuk menangangi segalanya secara sendiri.

"Hari ini lo tidur di sofa. Gue nggak ada tenaga buat gotong lo yang kayak paus"

Ucap Ara Lirih. Kemudian ia membersihkan meja dan bungkus-bungkus makanan. Sampai pandaganya jatuh pada ponsel abangnya yang masih menyala. Itu menandakan ia belum lama tertidur. Namun Ara tak mau kepedean bahwa Rehan menunggu dirinya sampe ketiduran. Tidak, tidak akan pernah.

"Lyra Nasution bikin patah hati penggemar pengusaha muda Cakra Luksa Wijaya"

"Super! 2021 pernikahan antara Wijaya's Grup dan Nasution Grup akan menggemparkan dunia bisnis Indonesia"

"10 potret pengusaha muda Cakra Luksa Wijaya, ini alasan ngebet nikah!!"

Bocah itu menarik senyum miris. Sebesar apapun jarak yang terbentang, bukankah darah akan selalu lebih kental dari air? Kadang ada banyak perhatian yang muncul tanpa kata. Dan keberadaan Rehan adalah bentuk perhatian yang lebih berarti daripada ucapan perhatian.

"Jadi lo kepo sama gue?"

Lagi-lagi bocah itu tidak bisa menahan senyum. Entah senyum bahagia karena terbalasnya rindu atau senyum bahagia lainnya.

Khariskara Renoir mengikuti anda

Khariskara Renoir : "Ayyeong nder, mutualan kuy. Bias gue Jihyo"

Sayang pemberitahuan itu tidak sampai pada mata Ara. Pandanganya kini teralih pada luka yang ada pada tangan dan telapak kaki Rehan. Sial, sepertinya Ia akan gagal untuk tidak menyentuh abangnya. Bagaimanapun luka kecil bukan hal yang bisa di remehkan.

Ara meletakkan ponsel lantas mengambil obat merah dan kapas untuk mengobati Rehan. Sediam dan sepelan mungkin agar tidak ketahuan. Di sisi lain.

Khariskara Renoir : "Kok kakak gantengnya michyeoss-eo!!"