Chereads / Matrix Trap : Odyssee / Chapter 1 - 00.00

Matrix Trap : Odyssee

🇮🇩kardykadyah
  • 35
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 72.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 00.00

But this day will be over

When the minute and second hands overlap

The world holds its breath for a little while

Zero o'clock

*

November 2019

Mama/Papa/Kak Luksa/Bang Rehan/Meja makan/Makan malam/Pasar malam/ Boneka beruang/Pesta ulang tahun/Go pay/Kanvas/Kuas/Cat minyak/ Dinding/Gudang/Piano/Tepung/ Busuk/Ranking/Bodoh/ Teman?//

Terkadang banyak hal akan muncul secara acak ketika kita memejamkan mata dan mulai bemimpi. Terlalu bahagia atau terlalu menyedihkan. Terlalu ingin bertahan atau terlalu ingin melepaskan.

Mimpi adalah bunga tidur. Namun bagaimana jika mimpi itu terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi? Masihkah ia akan menjadi mimpi? Perlukah kita memperjuangkannya barang kali sesaat dalam tidur kita?

Gue membuka mata ketika langit telah sempurna menghitam. Bintang-bintang tersebar merata di atas sana. Sejenak gue tersenyum sambil memandangi lampu jalanan yang memberikan semburat kuning pada gelapnya malam. Sama seperti hari-hari sebelumnya gue akan bangun pada tempat ini. Entah sebagai sebuah mimpi atau kenyataan, semuanya masih samar. Yang pasti dalam lubuk hati gue selalu ada kata ini hanya mimpi. Mimpi terburuk yang pernah hadir dalam hidup gue.

Angin mengehembuskan waktu, perlahan namun pasti hari berganti hari. Gue terjebak dalam mimpi yang terlalu panjang pada tempat yang sama. Di sebuah jalan di jembatan cahaya dengan seragam putih penuh noda lengkap dengan payung Winnie the pooh yang entah milik siapa. Gue tidak tau pasti yang jelas tiap gue memejam mata, malam akan berganti menjadi malam selanjutnya. Tanpa kepastian hingga akhirnya malam ini menjadi sebuah jawaban atas mimpi panjang ini.

"Lilis nggak kangen abang?"

Gue tersenyum miris, berulang kali berusaha menyapa wajah bang Rehan. Nihil, abang gue ngga melihat gue. Berulang kali gue berteriak namun abang tetap diam dan memandangi jalanan yang lengang. Satu yang baru gue sadari, berapa lama gue tidur hingga tidak menyadari bahwa ada garis polisi di tempat gue bangun? Berapa lama gue bermimpi dan tidak menyadari keadaan yang ada di sekitar gue?

"Bang Rehan! Abang! Bang!"

Teriakan gue berujung pada sia sia. Gue hampir merengek kalau saja tiba-tiba bang Rehan berucap menenangkan hati.

"Gaellen adek abang yang paling cerewet, dimanapun kamu sekarang, entah di atas sana bersama Tuhan atau di bawah sana bersama semua lukisan, abang harap kamu akan bahagia selamanya."

Bang Rehan nampak menghela napas menahan air mata yang membuat gue bingung setengah mampus. Bagaimana tidak? Ini kali pertama gue melihat abang menangis dan sesendu itu. Padahal mah dulu putus pacaran aja nggak pernah nangis yang ada cabut clubbing sampe subuh.

"Lis-" dia terdiam.

Sementara gue, "Abang, lilis di depan abang. Lilis ngga di atas atau di bawah, lilis Cuma mau di depan abang. Bang—"

"However its hard, in the next life you must alive. Cause you are loved and loved"

Gue bergeming, sebentar karena bang Rehan spontan meletakan bunga Lily pada sisi jalan. Kemudian ia menyeka air mata sambil tersenyum getir. Jujur, gue nggak akan menyangka bisa semenyakitkan ini melihat abang gue menangis. Dulu gue selalu tertawa bila kak Luksa menangis karena gue sakit, tapi kayaknya sekarang gue paham. Akan sangat menyakitkan melihat orang yang kita sayangi terluka.

But, wait, gue nggak merasa sakit bang, gue…

"Rest in beauty place Lilis. Kita ketemu di gereja, kamu dengan Tuhan dan aku dengan segala penebusan dosaku. Abang sayang kamu lis"

Deg.

Gila. Berapa lama gue sudah bermimpi? Berapa banyak kenangan yang muncul secara saporadik dalam titik terakhir hidup gue?

Gila. Mendadak sebuah rasa sakit menghantam seluruh badan. Seperti dihantam sebuah mobil yang mebuat badan gue terpental dan menghantam aspal. Pecah, kepala gue serasa pecah. Bagaimana bisa sebuah kenangan mencekik begitu mematikan. Bagaimana bisa..Tunggu, apakah gue sudah mati? Apakah gue?

"Abang pulang dulu Lis. Sampai jumpa di mimpi"

"Bang!"

"Bang!"

"Abang nggak dengerin aku?"

"Bang lo nggak—''

Bang Rehan berlalu menembus badan gue. Sesuatu terasa begitu nyeri. Titik air mata meleleh secara spotan. Ah, Sial. Ternyata gue sudah mati. Dan semua yang gue lihat selama ini adalah kenangan yang membekas terlalu dalam. Benar memang kata orang kalau yang meninggal tak pernah menyadari mereka telah meninggal.

Lantas kenapa gue belum bertemu dengan tuhan?

Lantas kenapa gue…

"Khariskara Renoir, kamu harus menemui dia"

Sebuah bisikan muncul bersamaan dengan hembusan angin malam. Gadis itu, apakah dia masih berhak hidup?

*

Waktu beputar begitu cepat mungkin tidak dengan apa yang dirasakan mama dan kak Luksa. Dua minggu berlalu dan akhirnya gue bisa beranjak pergi dari tempat kematian gue. Memang ngga elit sih mati karena ketabrak abalagi abis kena bully, tapi yaudah dapet bonus juga masih bisa liatin mama sama kak Luksa.

Dua minggu tuh cepet banget bagi gue, tapi nggak bagi orang-orang yang gue tinggalkan. Nggak ada bukti spesfik yang pasti hari ini gue melihat mama lebih kurus dari sebelumnya. Dia kelihatan murung dan suka meracau di depan foto gue, padahal posisi gue sedang memeluk dia. Meski tidak terasa secara nyata gue berharap dia bisa merasakan kehadiran gue. Tapi bagaimanapun dunia kita udah beda, semuanya udah nggak lagi sama. Termasuk kak luksa. Gue lebih sering liatin dia ngrokok di balkon sambil minum bir pletok. Entah tujuannya apa tapi gue benci lihat kak luksa berantakan.

"Lilis abang mau cerita"

Gue tersenyum miris, andai yah lo bisa lihat kalau tiap hari gue dengerin semua doa dan cerita lo bang. Andai aja lo tau seberapa kangennya gue sama lo, mama, papa dan bang Rehan. Andai ya…

"Hari ini papa masuk penjara, perusahaan berantakan, mama—"bang Luksa menjeda, menghela napas sambil menelan saliva, "mama hampir lompat dari lantai dua buat nyusul kamu tapi syukur bang Rehan ada disana buat cegah mama. Terus—''

…

Hening.

"Terus Khariskara hampir mati?"

Gue hanya menebak dan pasti tidak akan bisa terdengar oleh bang Luksa. "Terus—"

Sepertinya topic beralih, bang Luksa lebih memilih menghisap rokok sambil melalang buana. Pembicaraan tadi terhenti entah kenapa. Percaya atau nggak percaya ini kali pertama gue melihat bang luksa semenyedihkan ini karena wanita. Ya wanita, bukan Cuma karena mama atau gue yang mati mendadak karena ketabrak mobil ferari melainkan karena perempuan bernama khariskara.

Khariskara Renoir, pernah lo berpikir bahwa ada satu manusia yang mencintaimu lebih dari kata gila?

*

Mongolia, Desember, 2020

"Amen"

Kira-kira gimana ya reaksi abang ketika tau kalau gue juga ngucap amen disisi dia. Haha, pasti kaget lah soalnya kan gue muslim dia Kristen.

Dear little star

How was your day?

Gimana, udah gambar berapa banyak di langit sana? Udah berapa bintang yang kamu ajak jadi temen? Pasti banyak kan? Iya lah kamu kan adek abang yang paling keren hehe. Lis, its two years ago chrismast without you. Padahal abang udah siapin hadiah banyak buat kamu. Dari kaos kaki sampe topi, dari ujung kepala sampe ujung kaki hehe. Lengkap pokoknya. Tapi sayang abang nggak bisa bawa keluarga kita lengkap kayak dulu. Luksa sekarang di Jakarta ngengantiin papa jalanin perusahaan, mama masuk rumah sakit jiwa di Bandung. Abang ? Jelas jalan-jalan keliling dunia biar bisa liat langit mana aja yang udah kamu gambar. Papa—Rehan menjeda suara— papa baik-baik aja dipenjara walopun suka kena diare. Lilis di atas sana sama Tuhan, jadi kita semua saling jauh deh hehe. Kamu nggak marah kan? Jangan lah kasian abang udah jauh-jauh ke Mongolia masa dimarahin hehe, lagian Lis, nggak semua yang lengkap itu utuh, dan nggak semua yang utuh itu yang terbaik. Kamu tau kan kalau idup nggak semuanya tentang bersama?

…

Tiga Ratus Duapuluh Lima Hari berlalu dan abang selalu menjadi abang terbaik buat gue. Entah di Mongolia, Indonesia, Afrika, Korea, Jepang, Taiwan, Selandia atau padang Mesir, abang selalu menulis surat dan membakarnya di gereja. Asal abang tau, tanpa abang membakarnyapun lilis akan selalu denger doa abang. Karena doa abang terdengar memantul dari bumi menuju langit. Tanpa peduli siapa pendoanya Tuhan selalu menerima doa yang penuh dengan ketulusan.

"Tiga Ratus Duapuluh Lima Hari, terimakasih Bang. Lilis janji bakal membawa yang sendiri menjadi utuh dan lengkap. Lilis janji kalau tahun-tahun selanjutnya natal nggak akan sesepi ini. Abang, bang Luksa, mama dan papa, pantas bahagia tanpa lilis"

…

"Bang" Gue menelan saliva "Jaga bang Luksa, ajari dia tentang mengikhlaskan."

*

Jerman, 2020

Musim gugur hampir berakhir. Udara mulai dingin sedingin dinginnya diluar sana. Seorang pria memutuskan bangkit dari duduknya untuk menutup jendela dengan tirai berwarna coklat. Lalu ia duduk sambil terbayang daun-daun yang mulai meranggas karena musim dingin hampir tiba. Bisa dipastikan salju akan turun dalam waktu dekat ini.

Musim dingin. Salju pertama. Tidak ada yang ia lebih nantikan dari salju pertama yang menaruh banyak harapan itu. Hampir setahun berlalu dan gadis itu belum membuka matanya barang kali sedetik. Bahkan jarinyapun kian mendingin terbungkus udara kota Jerman. Tubuhnya terbaring lemah di atas bangkar. Seluruh tubuh terpasang alat penopang kehidupan. Tiap menit bahkan detik ventilator berbunyi singkron dengan monitor EKG yang terpasang disisinya.

Sesekali napas terguncang maka dunia seakan runtuh untuk berkali-kalinya. Tidak ada harapan hidup untuk gadis itu. Tidak ada harapan selain keajaiban dari Tuhan. Namun pria itu selalu percaya bahwa hidup bukan perkara menyerah begitu saja. Selagi masih ada yang bisa ia usahakan maka itu adalah doa terakhirnya.

"Hari ini mama yang jaga Kara. Kamu balik apartemen, Papa sudah masakin kamu sup abalone"

"Tapi ma—"

"Nuha.."

"Ma—"

"Mama tau kamu selalu pengen jadi yang pertama di mata Kara. Tapi mama selalu ingin kamu jadi yang pertama buat diri kamu sendiri. Kesehatan kamu lebih penting dari jadi yang pertama dimata Kara"

"Ma—" Pria yang kini diketahui bernama Nuha itu mencebik.

"Its already winter. You cant stand beside her with clothe like those. Pulang nak, Kara nggak akan bangun hari ini"

Nuha menghela napas lantas meraih lengan Kara, mengecup kemudian bergegas meraih ransel lantas pergi meninggalkan perempuan paruh baya itu. Helaan napas terdengar samar.

Dinda Juang Renoir, selalu ada hari terburuk yang kita temui tanpa alasan. Atau selalu ada hari menyedihkan karena sebuah alasan yang benar-benar jelas?

Dinda Juang Renoir, sebarapa yakin kamu tentang hidup?

Mata gue terhenti pada papan nama yang terdapat di sisi bangkar. "Khariskara Renoir" entah nama yang harus gue sebut dengan bahagia atau gue sebut dengan penuh penyesalan. Bahagia karena gue menemukannya atau menyesal karena menunda menemukannya selama setahun.

"Nak, bunda ke kamar mandi dulu ya?"

Semesta memberikan ruang lebar. Kini hanya tersisa gue dan gadis bernama Kharikara yang tergeletak emah di atas bangkar. Gue menghela napas, menarik beberapa urat nadi tanpa sengaja. Bagaimanapun mendekat bukan hal yang gue inginkan. Apalagi dia sebab dari kematian gue. Tapi gue tidak menyesal, tidak marah, hanya saja…

"Sorry Kak, gue telat"

Gue menelan saliva. Membungkukkan bandan gue membisikan kata-kata pada telinganya. Semua cerita kak Luksa, Bang Rehan, Kak Rhea, bang Ray, Jovian dan orang-orang yang menderita karena penantian telah gue bisikan. Percayalah 100 persen kalau dia adalah pendengar yang baik bahkan saat napasnya masih terengah.

"Masih banyak hal yang harus kakak selesaikan. Masih banyak cerita yang harus disampaikan. Masih banyak—gue tertahan—maaf yang harus di utarakan. Atas nama semesta, Tuhan, maka cinta akan membuat kakak hidup lebih lama. Enam bulan. Enam bulan pastikan dalam enam bulan semuanya berakhir dengan lebih baik"

…

"Setelahnya—" Gue menghela napas, "Setelahnya kita bertemu. Saat langit yang biru, cuaca yang bagus, makanan yang enak, saat hari berakhir dengan baik, saat itu kita bertemu kak. Bangun…."

"Bangun…"

"Kak—"

Satu. Dua. Tiga. Jari tangan gadis itu bergerak. Dinda yang baru saja kembali dari kamar mandi terdiam sesaat. Hampir ia mengira itu halusinasi kalau saja ritmenya tidak sesering ini. Ditambah setetes air mata mengalir membasahi pipi putrinya.

"Khara"

Panggil wanita itu terisak.

Bagaimanapun hidup dan mati manusia adalah bentuk kejaiban tuhan. Setahun berlalu dan akhirnya gadis itu kembali kedalam semesta dunia.

Musim dingin, mendadak di luar sana salju pertama turun. Begitu lembut menyentuh ketika tanah. Seperti sebuah mantra, salju pertama adalah bentuk dari ribuan harapan manusia. Musim dingin, namun kehadiran gadis itu membuat hati seorang ibu lebih hangat dari apapun. Tapi.. pernah nggaksih kalian menebak, apa yang menbuat Khariskara menangis?

Gue menelan ludah. Lantas berbisik samar, "You only have six mouth and everything will be the last in your life."

Seperti kata gue, hidup dan mati adalah bentuk keajaiban tuhan. Entah untuk hidup atau untuk mati, sepertinya kenangan akan selalu menjadi hadian terakhir bagi yang mengingatnya.

Semesta, jaga dia agar punya hidup lebih lama.