Walau sulit, Irin tetap menjaga jarak dan berusaha untuk tidak terbawa oleh ucapan Raizel yang memintanya untuk melepas besi-besi di tubuhnya.
"Tetap berbaring, Raizel!"
"Lepaskan semua besi itu. Aku benci saat kau menggunakannya."
Raizel pun mulai mengerahkan seluruh tenaganya. Dia lalu mengulurkan tangan berusaha untuk menjangkau Irin.
Tujuannya hanya satu, melepaskan benda dingin itu dari gadis cantik yang justru beringsut mundur dan semakin menjauhinya.
"Jangan keras kepala, Raizel! Kembali ke ranjang mu!"
"Aku bilang lepaskan besi itu. Harus berapa kali ku katakan padamu untuk melepaskannya?!"
"Kenapa kau bersikeras ingin aku melepaskannya?! Kau ingin pingsan lagi karena bersentuhan denganku?! Hanya benda ini yang bisa membuatmu aman!"
"Aman untukku tapi menyiksa bagimu. Begitu maksudmu?!"
Irin sontak terkejut mendengar pertanyaan dari Raizel.
Gadis itupun terdiam beberapa saat sambil membenarkan posisi baju besi di tubuhnya.
"Hentikan, Irin! Jika kau terus memakai besi itu, maka tubuhmu akan semakin membiru."
"Bagaimana kau.."
Raizel lalu menghela napas sesaat. Diapun mengisyaratkan Irin untuk mendekat.
"Aku mohon mendekat lah. Aku tidak akan terluka. Tolong percaya padaku."
Melihat Raizel yang mulai kelelahan, Irin pun menjadi iba. Gadis itu perlahan mendekati Raizel yang kini tersenyum simpul padanya.
Dengan sabar pria itu melepaskan lempengan-lempengan besi satu per satu dari tubuh Irin.
Tampak sekali dia tak bisa menyembunyikan kesedihannya saat melihat tangan Irin yang membiru.
"Kenapa kau masih nekat memakai baju besi jika tahu tubuhmu menolak benda dingin ini?"
"Karena aku tak ingin orang lain terluka."
"Lalu kau lebih suka jika dirimu yang terluka?"
Raizel pun mencoba meraih tangan Irin, namun gadis itu menolak. Dia lalu menutupi bekas membiru di tangannya dengan baju yang dia kenakan.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Apa kau lupa bahwa darah Zhair mengalir di tubuhku? Syukurlah Tuhan memberiku penglihatan yang tajam. Jadi aku bisa menghentikan tindakan bodoh mu ini."
Irin kembali terdiam. Setelah Henry sang paman dan juga Danthe, kini bertambah seorang lagi yaitu Raizel yang berhasil mengetuk hatinya.
Gadis itu bisa merasakan ketulusan di dalam setiap kata yang Raizel ucapkan dan itu membuatnya takut.
Dia takut suatu saat akan melukai Raizel, entah itu sengaja maupun tidak.
"Kau tak perlu mengkhawatirkan ku. Lagipula selama kau dan orang lain tidak terluka, aku tak keberatan. Aku masih bisa menahannya."
"Tapi aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena aku mencintaimu."
Mata biru Irin seketika membulat. Pernyataan cinta dari Raizel yang tiba-tiba itu membuatnya kaget.
"A-apa?"
"Aku mencintaimu. Aku tak bisa melihatmu terluka. Karena itu aku begitu marah saat ada yang melukaimu dalam penyerangan semalam. Dan jika aku sampai kehilangan dirimu, sepertinya aku bisa menghancurkan seluruh Archard. Jadi tolong jangan pernah menghindari ku. Jangan pula menghilang dari pandanganku. Kau tak akan tahu hal gila macam apa yang bisa kulakukan jika itu terjadi."
"Raizel.."
Tangan Irin spontan bergerak. Indera peraba itu sudah berada beberapa inci dari pipi Raizel.
Ingin rasanya dia menyentuh pria tampan itu. Namun kenyataan kembali menampar dirinya.
Irin hanya bisa memandang Raizel tanpa bisa menyentuhnya. Sebisa mungkin gadis bermata biru itu menguatkan hati dan tersenyum.
"Kau harus melupakanku."
Raizel lantas mengambil sesuatu yang tergeletak tak jauh darinya.
"Kalau begitu bunuh aku." ucapnya sambil menyodorkan sebuah mata panah di hadapan Irin.
"Apa maksudmu?"
"Bunuh aku. Itulah satu-satunya cara agar aku bisa melupakanmu. Kau sudah pernah memanah ku sebelumnya. Seharusnya tak sulit bagimu untuk mengulangi hal yang sama. Kali ini kau harus menancapkan nya tepat di sini. Dengan begitu aku akan langsung mati."
Raizel menunjuk bagian tengah dadanya dimana di sanalah tempat jantungnya berada.
"Apa kau sudah gila?"