Langit berangsur semakin gelap menandakan hari beranjak menuju malam.
Voren beserta seluruh pasukannya telah bersiap di perbatasan Orion.
Pria perkasa itu menatap bulan yang semakin lama keberadaannya semakin menghilang.
Kini bulan itu hanya menyisakan bentuk sabit tipis yang sebentar lagi akan hilang sepenuhnya.
"Bagaimana keadaannya, jenderal?"
Voren menoleh ke orang yang muncul di sampingnya. Segera dia berlutut setelah melihat sosok yang menghampirinya.
"Tuan Henry."
"Hei.. Kenapa kau masih begitu kaku padaku? Bangunlah."
Voren pun berdiri. Walaupun dia adalah putra dari teman baik Henry yang telah gugur saat melindungi Arthur dalam pelariannya, namun Voren tak bisa bersikap santai terhadap Henry.
Sudah berkali-kali Henry memintanya untuk bersikap biasa kepadanya.
Ketua Orion itu telah menganggap Voren seperti keponakannya sendiri dan menyuruhnya untuk memanggil Henry dengan sebutan paman.
Tapi Voren tetaplah Voren. Darah keras kepala dari sang ayah mengalir deras di dirinya sehingga Henry hanya bisa menghela napas panjang setiap kali dia dipanggil 'tuan' olehnya.
"Mereka sudah menunjukkan pergerakan walaupun masih dalam intensitas yang kecil."
"Apakah semua prajuritmu sudah siap untuk hari ini? Apa mereka tidak kuatir akan kalah?"
"Prajuritku bahkan siap mati demi mempertahankan tanah ini, tuan."
"Hah... Jangan selalu mengatakan hal itu Voren! Kau membuatku merinding tiap kali mendengarnya!"
**
"Awas!"
Ratusan anak panah mengarah ke barisan Qhun yang tengah berjalan menuju teritori Orion. Spontan pasukan penjelma itupun menghindar.
Tak berhenti sampai disitu. Tiba-tiba tanah terbelah di tempat para Qhun berpijak dan dari dalam sana keluar muntahan larva panas ke segala arah.
Serangan mendadak itu membuat Qhun tercerai berai. Dari atas pohon, Raizel berdecak kagum melihat pemandangan tersebut.
"Wow.. Pantas saja Orion mendapat kehormatan sebagai bangsa terkuat setelah Bota."
Serangan yang baru saja terjadi berasal dari Irin.
Tugas untuk membuat Qhun terpecah sudah dia lakukan dengan baik sejauh ini.
Kini giliran Raizel untuk melaksanakan tugasnya.
Dalam sekejap dia mengganti wajahnya menjadi orang lain. Irin pun segera menghampiri pria itu sebelum dia terjun ke medan perang.
Irin kemudian menembakkan sesuatu ke mata Raizel tanpa memperingatkan pria itu sebelumnya sehingga dia hampir jatuh dari atas pohon.
Sejenak pandangan Raizel menjadi kabur. Dia merasakan sakit yang teramat sangat di matanya.
"Apa yang.."
"Sstt.. Buka matamu secara perlahan."
Raizel pun membuka matanya sedikit demi sedikit dan mendapati Irin yang tengah tersenyum memandangnya.
Gadis itu lalu membuat sebuah cermin dan menunjukkannya di depan wajah Raizel.
"Matamu harus berwarna merah jika ingin menyamar menjadi Orion."
Raizel pun hanya bisa takjub. Mata abu-abu miliknya kini berubah menjadi merah seperti milik Orion.
Dia tak tahu apa yang baru saja Irin lakukan pada matanya. Yang dia tahu gadis di depannya itu bisa melakukan sesuatu di luar dari apa yang dia bayangkan.
Tanpa sadar semua hal yang dilakukan Irin membuat pria itu jatuh semakin dalam ke lembah yang biasa disebut orang sebagai 'cinta'.
Sebuah perasaan yang kini tumbuh subur di hati Raizel yang ditujukan untuk Irin.
Pria itu lantas terkejut saat Irin menyentil dahinya dan membawa Raizel kembali ke kenyataan.
"Jangan buang-buang waktu. Warna matamu itu hanya bersifat sementara. Bergegaslah!"
Raizel pun memandang Irin lekat-lekat sebelum dia pergi tanpa sepatah katapun.
Dia lalu terjun begitu saja dari atas pohon dan berlari ke arah Qhun yang sudah tercerai berai.
Kepala Irin kini dipenuhi dengan pertanyaan. Dia tak tahu apa arti dari sikap Raizel yang terus memandanginya tadi.
"Kenapa dia memandangku seperti itu? Apa aku tadi terlalu keras saat menembakkan elemen perubah warna ke matanya? Atau jangan-jangan meleset beberapa mili sehingga mengenai otaknya?"