Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Genderuwo Gondrong dan Anak Babi

🇮🇩Therealmakmu
--
chs / week
--
NOT RATINGS
20.3k
Views
Synopsis
Apa yang terjadi kalau seorang? sebuah? seekor? (saya bingung) genderuwo yang tidak bisa move on dari masa lalunya harus menyelamatkan perusahaan peninggalan ayahnya? Dibantu oleh sahabatnya, seorang? seekor? (kayaknya seekor pas) Anak Babi yang hidupnya penuh dengan kekacauan, sang genderuwo berusaha untuk membawa Andhika Production House kepada kejayaan, layaknya Patih Gajah Mada dengan Majapahit-nya, Pep Guardiola dengan Barcelona-nya, dan Yu Sri dengan Warteg Yu Sri-nya (kalo gak kenal gakpapa). Akankah mereka berhasil...? Ya iya lah... Udah, saya capek nulis sinopsis, baca dah sana... p.s. Yang nulis Cina, jadi enggak dihitung rasis.
VIEW MORE

Chapter 1 - Dasar Ibu-ibu

Sabtu, 3 Januari 2015.

Sepuluh tahun yang lalu.

Waktu menunjukkan pukul 11 siang.

Di sebuah perumahan yang cukup elit.

"Silakan masuk, ibu-ibu… Aduh, maaf, rumah saya berantakan ini," kata Bu RT, si tuan rumah, sambil mempersilakan para tamunya untuk duduk di ruang tamunya yang baru saja dirapikan dan dibersihkan.

Kedelapan tamu yang semuanya ibu-ibu itu pun tanpa sungkan lagi masuk. Sepertinya mereka sudah ratusan kali berkunjung ke rumah ini, yang merupakan rumah yang paling besar dan mewah di kompleks ini.

Setelah semua tamunya duduk, si ibu tuan rumah pun pergi ke dapur. Sesaat kemudian, dia pun kembali dan berkata, "Aduh, maaf, ibu-ibu, saya lagi gak ada makanan di rumah ini," sambil membawa sebaki penuh roti dan kue.

"Wah, sudah, gak usah repot-repot, bu RT," kata seorang ibu bertubuh tambun sambil mengambil kue dengan tangan kanan dan roti dengan tangan kirinya.

Bu RT pun dengan cepat duduk, tak sabar untuk menggosip.

Dia pun membuka pembicaraan.

"Eh, eh, ibu-ibu sudah denger belum tentang si Randai?"

"Randai… Randai siapa ya, bu RT," tanya seorang ibu-ibu bertubuh kurus.

"Itu lho, anaknya Almarhum Pak Andhika," jawab Bu RT yang bajunya paling mahal dan make up-nya paling tebal

"Yang sutradara itu? Yang meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan sama istrinya itu? Yang dulu rumahnya di blok C itu," tanya si ibu bertubuh kurus

"Yaom itruma mnan ats iu," tanya si ibu bertubuh tambun.

Bu RT menghela nafas, "Ditelan dulu, bu kuenya."

*Glek.*

"Hehe, maaf, yang istrinya mantan artis itu?"

"Iya… yang mana lagi… Eh denger-denger ya, rumah produksinya, yang habis mereka meninggal terus diurus si Randai itu, sekarang hampir bangkrut."

"Masa, bu? Yang bener?"

"Iihhh... masa gak percaya sih bu, sumber informasinya terpercaya lho... Saya denger dari Pak Sukidi, si tukang sayur, waktu saya belanja Rabu kemarin. Terus Pak Sukidi denger dari ibu-ibu blok C. Jadi informasinya solid, bu, enggak mungkin salah."

"Oooo…"

Rupanya Pak Sukidi adalah Badan Intelijen Nasional ibu-ibu perumahan Bukit Indah.

Ibu-ibu itu belum sempat menjawab, Bu RT sudah mulai bicara lagi.

"Bukannya apa-apa ya, bu... Tapi memang ya, orang-orang di industri hiburan itu gak bisa ngurus anak. Mereka bisanya cuma pesta, hura-hura, tapi anaknya terlantar, manja, bisanya cuma habisin duit. Kayak si Randai itu, dari kecil dimanja sama bapak ibunya. Gak pernah didisiplin. Akhirnya, ya beginilah hasilnya."

Ekspresi ibu-ibu di ruang tamu itu pun berubah. Beberapa tampak kasihan, banyak tampak jijik.

"Lho memangnya anaknya Bu RT sudah dapat pekerjaan," tanya seorang ibu-ibu berambut keriting yang dari tadi diam mendengarkan.

Bu RT merasa pusing karena tekanan darahnya tiba-tiba meningkat, dan hanya bisa menjawab, "Hehe, iya lagi proses interview ini, sebentar lagi dia pasti diterima. Namanya juga hidup, kadang kita harus sabar menunggu kehendak Tuhan."

Di dalam hati ibu-ibu:

"Gosip doang bisanya, padahal anaknya begitu juga."

"Terusin aja jelek-jelekin orang, pengangguran terus anak lo, mampus lo!"

..

Yang keluar dari mulut ibu-ibu:

"Oh ya? Wah selamat ya, bu kalau begitu."

"Kalau sudah diterima traktir dong, Bu RT."

Dasar ibu-ibu.

...

Merasakan suasana di ruang tamu itu menjadi tegang, si ibu bertubuh tambun yang sudah memakan habis kue dan rotinya pun berusaha mencairkan suasana, "Eh, denger-denger juga nih, waktu pembuatan filmnya, dia itu idealis dan egois banget, padahal dia itu masih bocah ingusan, enggak ngerti apa-apa. Dia itu kuliah ambil perfilman, paling cuma buat gaya, itu juga dia di-DO(dikeluarkan)."

"Oh ya?"

Kumpulan ibu-ibu itu semakin haus akan asupan gosip.

"Iya katanya sih, dia itu kalau dikasih masukan sama rekan kerjanya, stafnya, atau teman-temannya itu gak pernah didengerin. Dia udah merasa yang paling bener. Padahal ya, bu, filmnya itu lho, gak jelas apa maksudnya. Judulnya aja aneh, gak nyambung sama ceritanya. Judulnya "Gerhana di Langit Nusantara" tapi di filmnya gak ada gerhananya, isinya malah orang-orang dibunuhin terus dibuang. Terus ya, bikin film malah penjahatnya yang menang. Di mana-mana ya pahlawannya lah yang menang. Masih bagus sinetron hidayah di TV, mengandung nilai-nilai religi, terus juga penjahatnya pasti mati mengenaskan; biar kapok itu… hiihhhh...!

Si ibu tambun kehabisan nafas.

"Huft… huft…"

"Nafas, bu, nafas," kata si ibu-ibu kurus prihatin.

Setelah si ibu tambun mengambil nafas dalam-dalam.

"Terus ya, waktu promosi, si Randai itu bilang kalau filmnya berkelas tinggi, punya nilai seni, menguji nilai moral dan intelektual, apalah itu artinya, tapi ternyata hasilnya sampah. Otaknya itu enggak ada isinya, tapi bicaranya udah kayak orang paling sukses sedunia…"

"Lho bukannya anak ibu barusan dipecat gara-gara proyek di kantornya gagal," si ibu-ibu pendiam berambut keriting menyela lagi.

Si ibu-ibu tambun hampir terkena serangan jantung.

"Hehe, erhm... eh... Ya orang gagal kan biasa. Namanya juga hidup, roda kehidupan kan berputar terus. Kadang kita di bawah, kadang di atas."

Di dalam hati ibu-ibu itu:

"Sama aja ternyata."

"Badan doang beda, isinya sama."

Yang keluar dari mulut ibu-ibu:

"Yang sabar ya, bu. Banyak-banyak berdoa..."

"Wahh, semoga cepat dapet pekerjaan lagi ya..."

Dasar Ibu-ibu.

...

Merasakan suasana kembali tegang, si ibu-ibu kurus bertanya,

"Lho, ibu tahu dari mana itu? Ibu punya kenalan orang dalam kah?"

"Itu lho, om-nya saudaranya pacarnya kakaknya temennya anak saya itu salah satu kru yang syuting film itu, bu."

"Ooooo…"

Entah bagaimana semua ibu-ibu di ruangan itu bisa mengerti hubungan ruwet itu.

Si ibu-ibu bertubuh kurus menyela,

"Tapi lho, bu, anak saya kan kuliah sastra, jadi ya lumayan paham seni lah. Katanya ya, filmnya itu bagus sih, soalnya ada banyak penggambaran-penggambaran simbolis kritik sosial apaan gitu katanya."

Si ibu pendiam berambut kriting pun menambahkan, "Hmm, iya sih, saya juga pernah baca di berita online, katanya kritikus film, film ini sebenernya punya potensi. Terus katanya film ini tuh pengambilan gambar sama teknologinya bagus, terus juga menantang penontonnya buat berpikir gitu lah, bu."

Bu RT langsung menjawab, "Wahh, gitu ya… Tapi kan yang ngerti orang-orang pinter doang, bu. Kalau kita-kita ini ya mana ngerti soal topik aneh-aneh begitu. Kita mah ngertinya belanja, masak, ngurus suami, ngurus anak. Soal seni ya kita cuma paham seni memuaskan suami di ranjang, bu..."

"Eeehh… Bu RT bisa aja…"

Dasar ibu-ibu.