Chereads / Genderuwo Gondrong dan Anak Babi / Chapter 4 - Ini Kesempatan Kita

Chapter 4 - Ini Kesempatan Kita

Pak Budi telah menghilang.

Otak mereka masih belum bisa memproses apa yang terjadi barusan.

Seorang pria aneh datang, menghina mereka, lalu ingin membantu mereka, dan kemudian seketika pergi.

Tidak hanya itu, bos pria itu malah lebih misterius lagi. Mengapa dia mau membantu mereka? Bagaimana dia tahu tentang mereka?

A Liang pun duduk di sofa panjang membaca kartu nama itu. Dia tidak mengenal nama perusahaan di kartu nama itu, jadi dia meletakkan kartu nama itu kembali ke meja.

Randai masih berdiri di dekat pintu.

Setelah hening beberapa saat.

"Ran."

"H...Hah. Ya?"

"Ini kita harus dateng, Ran. Ini kesempatan kita!"

"Bentar, Liang. Jangan langsung percaya. Bisa-bisa ini perangkap."

"Kamu itu kebanyakan nonton film. Siapa yang mau repot-repot pasang perangkap buat kita? . Kita ini cuma dua orang gagal yang gak punya duit. Dapet apa mereka? Gak balik modal blas(sama sekali)."

"Iya sih. Tapi coba lihat Pak Budi itu. Dia itu mencurigakan. Latar belakangnya gak jelas. Ditanya apa jawabnya apa. Masa kamu gak curiga?"

"Ya… bener juga… Tapi kita ini harus bayar sewa, Ran. Kamu mau kita diusir, terus jadi pengangguran, terus jadi pengemis, terus muncul di koran, judulnya 'Anak Almarhum Sutradara Andhika Sekarang Ngemis di Jalan?'

A Liang mengambil nafas dalam-dalam.

Randai diam.

Apalagi si Pak Budi itu bilang kalau bosnya itu kenal kamu dan bapakmu. Terus dia juga mau bantu menyelamatkan rumah produksi peninggalan bapakmu ini. Siapa tahu dia itu temen lamanya bapakmu atau saudara jauh gitu."

Wajah A Liang yang bulat tampak merah dan penuh keringat.

"Hmm… Tapi kalau proyeknya iklan... "

A Liang berdiri dari duduknya.

"Jancuk! Wes tah lah(sudahlah) dicoba dulu aja! Kalau orang itu bener-bener mau bantu, Siapa tahu dia mau bantu bayarin produksi filmmu itu. Siapa tahu dia punya koneksi gede. Kita gak perlu susah cari-cari investor lagi."

Pupil mata Randai menciut dan dia pun diam. Dia tampak berpikir keras, tetapi jelas tatapannya tidak sekeras sebelumnya.

...

"Yaudah, fine! Kita dateng besok."

Pada titik itu Randai merasa harga dirinya runtuh.

Ekspresi A Liang penuh kemenangan. Akhirnya Tuhan melunakkan hati genderuwo gondrong ini.

Ekspresi Randai masih penuh kecurigaan saat dia kemudian berkata, "Omongan lo tadi masuk akal sih. Tapi kenapa gua mikir lo cuma kepingin dateng ke sana supaya lo gak perlu kerja cari investor lagi, terus bisa tidur seharian?"

"Enggak lah... Jangan fitnah kamu, Ran!"

"Masa....? Gak usah ngeles dah lo. Gua udah paham elo luar dalem, Liang."

"Hah? Iya kah? Luar dalem? Kalo gitu tebak, aku hari ini pake daleman warna apa?"

"Putih."

"Salah."

"Item."

"Salah."

"Terus warna apa?"

...

"Aku gak pake."

"Jijik! Ngapain sih kita ngomongin ini?"

"Lha kamu yang nebak."

"Elo yang mulai!"

"Eh, Liang."

"Hm?"

"Fiestas ini merk apaan sih?"

"Kondom.���

"Hah, sumpah? Lo kok gak bilang dari tadi?"

"Kamu gak nanya."

Randai menghela nafas mengelus dada.

...

Keesokan harinya.

Senin, 5 Januari 2015.

Pukul 8.10 pagi.

"A Liang, bangun! Kita nanti telat, goblok!"

"H... hah? Y… ya… ya… Khroookkk… Zzzzz..."

"Woi, babi! Elo yang maksa gua buat dateng hari ini, elo yang molor! BANGUN!"

Randai mengguncang-guncangkan onggokan lemak itu. Lemak di seluruh tubuh yang masih rebah di atas sofa itu pun berguncang dan bergetar, menghasilkan suara *plek plek* yang beresonansi dengan tidak seirama.

Sampai akhirnya.

*Gedebuk, plek...*

"CuuuUUKKK... boyokku pedot...." (pinggangku putus)

A Liang terduduk di lantai separuh sadar. Dia mengelus pinggang belakangnya dan melihat ke sekeliling ruangan, lalu mengambil ponselnya yang berada di meja kopi.

"Hah? Jam 8 lebih 15! Kamu kok gak mbangunin aku sih Ran!? Kita ini udah janji dateng jam 9! Perjalanan dari kantor ke sana itu setengah jam, belum lagi kalo macet!"

Randai sudah menyerah.

"Terserah elo dah."

A Liang pun dengan tergopoh-gopoh pergi keluar ke kamar mandi. Dia mencuci mukanya dengan cepat, lalu menggosok giginya. Beberapa menit kemudian, dia pun masuk kembali dan berjalan dengan cepat ke depan lemari besar.

Randai hanya bisa geleng-geleng sambil berkomentar, "Lo gak mandi? Bau badan elo udah kayak tai sapi."

"Diem kamu, Ran," kata A Liang yang sedang berusaha mengancingkan celananya.

Beberapa detik kemudian A Liang melapor, "Udah."

"Yaudah, ayo cepetan berangkat. Udah jam setengah sembilan ini."

Mereka pun keluar dari kantor dan mengunci pintu. Kemudian, kedua orang yang takut terlambat itu pun menuruni tangga ke lantai 1 di mana motor Randai diparkir.

Randai pun menyalakan motornya dan A Liang membonceng di belakang.

"Alamatnya mana," tanya Randai.

"Lho kamu belum baca kartu namanya?"

"Hehe, belum…"

"Dasar… Gedung TEB, di persimpangan jalan Semar."

"Oke."

Motor pun berjalan dan akan keluar dari tempat parkir gedung, saat kemudian...

"Tunggu, Ran!"

"Apaan lagi?"

"Aku kebelet boker."

"Tahan."

"Udah di ujung ini, Ran!"

"Setengah jam doang, nanti lo boker di sana."

"Gateli kon!" (Sialan kamu)

Motor pun melaju di jalan raya.

Tiga puluh menit yang menyiksa otot anus A Liang pun berlalu dan mereka tiba di depan gedung TEB.

Gedung itu tidak terlalu besar, hanya memiliki 5 tingkat, tidak seperti bayangan Randai dan A Liang yang mengira mereka akan datang ke sebuah gedung pencakar langit. Eksteriornya sangat minimalis, di mana arsitekturnya menggunakan banyak bentuk persegi. Dinding-dindingnya dilapisi oleh cat matte berwarna abu-abu muda dan putih susu yang memancarkan sensasi yang kuat, tetapi juga menenangkan.

Setelah melapor pada satpam, Randai pun menurunkan A Liang yang sudah tidak tahan lagi di depan pintu masuk gedung itu. Dia pun kemudian memarkir sepeda motornya, dan masuk melalui pintu utama itu juga.