"Pagi, Pak," kata Randai dan A Liang serempak.
Pak Budi berjalan di depan, dan kembali menuju ke lift.
Randai dan A Liang mengikuti di belakangnya sambil berbisik.
"Liang, itu Pak Budi kok balik kayak awal lagi ya? Malah sekarang lebih santai dari kemarin."
"Gak tau, Ran. Mending jangan dighibahin."
A Liang pun mencoba mencairkan suasana dengan bertanya, "Lho bapak kok jemput kita sendiri? Biasanya yang tugas jemput-jemput itu kan asisten atau sekretaris."
"Saya gak punya asisten atau sekretaris."
"Lho kenapa gak punya, pak?"
"Gak dibolehin istri saya."
"Oooo."
"Suami takut istri ternyata," komentar Randai dalam hati.
A Liang bertanya lagi, "Lho pak, kantor ini gak ada resepsionisnya kah?"
"Ada, tapi bukan manusia. Itu."
Pak Budi menunjuk ke sebuah mesin di sebelah lift sebelum melanjutkan, "Itu mesin resepsionis interaktif, semua informasi ada di sana.
"Ooo."
"Canggih juga ini kantor."
Ketiga orang itu pun masuk ke dalam lift dan Pak Budi menekan tombol B1.
A Liang bertanya, "Lho kita turun, pak?"
"Iya, kantor saya di basement."
"Wah, saya pikir di atas, pak."
"Lho, kalau di atas kurang keren. Di bawah tanah kan lebih keren, kayak markas rahasia gitu. Saya ngerasa kayak MacGyver (Serial film agen rahasia tahun 80an)."
"Haha, gitu ya, pak," A Liang pura-pura tertawa.
Randai berkata dalam hati, "Garing banget orang ini."
A Liang dan Randai saling tatap. Sepertinya mereka lupa bahwa sekeren apapun Pak Budi, dia tetap adalah seorang bapak paruh baya berusia 40-an.
"Ini sebenernya kantor apa sih, pak? Waktu bapak datang ke kantor kami, bapak bilang dari produk Fiestas." Randai masih tidak terima.
"Sudah, kita ke kantor saya saja dulu. Nanti saya jelaskan di sana."
*ting*
Pintu lift terbuka dan mereka pun berjalan keluar.
Di depan mereka, terdapat sebuah lorong. Walaupun dekorasi di lorong itu mirip dengan yang di lobby, suasananya terasa berbeda. Suasana di lobby tenang dan santai, sedangkan suasana di sini… juga tenang dan santai, namun ada suatu hawa profesional yang terasa di sini.
Di sisi kanan dan kiri lorong berjejer beberapa ruangan dengan desain minimalis, yang setiap pintunya dicat dengan warna yang berbeda.
Namun, di ujung lorong itu, terdapat sebuah pintu yang jelas tampak kontras.
Di ujung lorong itu, terdapat sebuah pintu kayu besar bergaya Eropa berwarna cokelat tua.
"Mari," kata Pak Budi.
Mereka berdua pun terus berjalan.
Melewati satu ruangan...
Tiga ruangan...
Lima ruangan...
Sampai mereka tiba di depan pintu kayu bergaya Eropa itu.
Mereka pun mendengar seseorang berteriak dari belakang.
"Woi sini woi! Kelewatan!"
"Lho?"
Randai dan A Liang pun menoleh ke belakang.
Di sana tampak Pak Budi sedang berdiri di depan sebuah pintu kantor berwarna biru.
"Hah?"
Mereka pun seketika sadar dan berjalan cepat ke arah Pak Budi dengan wajah merah.
"Mau ke mana kalian itu?"
A Liang pun menjawab, "Lhoalah, saya pikir kantornya yang itu, pak."
"Bukan. Kantor saya yang ini," balas Pak Budi.
Randai menggerutu dalam hati, "Sialan. Udah mau keren, malah gagal."
Pak Budi pun membuka pintu kantornya.
"Lha terus itu kantor siapa, pak?" A Liang masih penasaran.
"Oh bukan, itu gudang."
Randai dan A Liang pun melongo.
…
...
"Hahaha… bercanda... Itu ruang rapat."
Randai sudah menyerah dan hanya menghela nafas.
Giliran A Liang yang emosi dalam hati, "Untung sampeyan ini kelihatan keren. Kalo enggak, udah tak banting sampeyan."
"Ayo, silakan masuk."
Mereka pun masuk ke dalam kantor itu.
Pak Budi pun berjalan ke balik mejanya dan duduk di kursinya, lalu mempersilakan kedua orang yang masih kesal itu untuk duduk.
Pak Budi pun menaruh ponselnya di atas meja.
Lalu melepas kacamatanya.
Suasana pun menjadi berat dan serius.
Dan sikap Pak Budi berubah 180 derajat.
Sikap elegannya muncul kembali, membuat kaos polo Pak Budi terasa seperti jas seharga ratusan juta.
Pak Budi pun mulai berbicara.
"Jadi begini…"
Randai dan A Liang diam.
"Seperti yang sudah saya katakan kemarin, bos saya ingin membantu kalian. Tetapi, dia merasa bahwa jika dia hanya memberi kalian uang, kalian pasti akan membuat film sampah lagi. Jadi, dia akan menguji kalian terlebih dahulu."
"M…maksudnya menguji," tanya A Liang.
"Kalian tahu kenapa saya datang sebagai representasi dari produk Fiestas? Sa..."
"Tidak, Pak," sahut A Liang.
"Jangan dijawab, itu pertanyaan retorik."
"Oh, maaf, silakan dilanjutkan, Pak."
"Jadi, bos saya itu adalah pengusaha yang cukup sukses, dan salah satu rekan bisnisnya adalah Pak Subur, pemilik pabrik Fiestas. Kebetulan, produk Fiestas sedang ingin melakukan rebranding (pencitraan ulang), dan membutuhkan konten pemasaran baru. Di situlah bos saya berkata kepada Pak Subur bahwa dia akan membantunya dalam proses rebranding-nya.
Pak Budi pun mengambil gelas di mejanya dan menyeruput teh di dalamnya.
Randai dan A Liang masih duduk manis mendengarkan.
"Nah, maka dari itu, kemarin saya datang sebagai representasi produk Fiestas karena bos saya ingin kalian membuat iklan untuk produk Fiestas. Anggaplah itu sebagai salah satu ujian dari bos saya."
Randai menyahut lagi, "Salah satu? Berarti ujiannya tidak cuma ini. Benar, Pak?"
"Kamu cerdik juga. Benar, ini adalah satu dari beberapa ujian dari bos saya."
"Tapi saya tidak mau, Pak. Saya ini pembuat film, bukan pembuat iklan. Apalagi iklan kondom, tidak bermoral itu!"
"Justru kalimat itu yang membuat bos saya merasa bahwa dia harus menguji kalian. Punya idealisme itu bagus. Tapi bos saya tidak rela kalau idealisme buta-mu itu menghancurkan usaha yang dibangun bapakmu dari nol."
"Memang bos bapak itu siapa, hah!? Saya itu anaknya Pak Andhika, dan saya yang berhak menentukan arah perusahaan ini!"
"Oh, ya...? Ya, mungkin kamu benar. Tapi dari yang saya lihat, arah ke mana kamu membawa perusahaan ini adalah jurang neraka kebangkrutan. Berapa sisa modal di rekeningmu? Dua, tiga juta? Memangnya kamu bisa apa dengan duit receh itu? Jangan sombong, bocah. Bos saya tidak butuh kamu, tetapi kamu butuh bos saya."
"Kurang ajar! Saya pasti akan membalikkan keadaan! Saya akan membuat production house ini berjaya lagi!"
"Kata-katamu seperti Donald Trump; terdengar hebat, tetapi tidak ada dasar logikanya. Memangnya apa strategimu untuk membalikkan keadaan? Membuat film sampah lagi? Saya yakin bapakmu itu berguling-guling di dalam kuburnya. Dia ingin keluar untuk menamparmu, tetapi dia tidak bisa, karena dia sudah mati."
Randai hampir menghajar Pak Budi, tetapi ditahan oleh A Liang.
"Jangan, Ran. Sabar."
"Lepasin gua! Lepas, gendut!"
Pak Budi hanya tersenyum merendahkan.
Randai pun berjalan cepat keluar dari kantor dan membanting pintu.
A Liang pun duduk diam dengan canggung.
Pak Budi menyeruput tehnya lagi.
...
"Nganu… Maaf, pak. Randai memang begitu."
"Saya tidak tersinggung, tenang saja. Saya hanya menjalankan perintah dari bos saya. Saya juga tidak senang membuat orang lain marah sampai seperti itu, tetapi itu adalah tamparan kenyataan yang harus saya berikan kepada Randai. Otaknya berada di awan dan saya terpaksa harus membantingnya ke Bumi."
"Hmm…" A Liang masih tidak tenang.
"Bos saya berkata bahwa Randai itu punya potensi besar, dan saya juga percaya akan hal itu. Filmnya sebenarnya berkualitas dalam segi pengambilan gambar. Ada suatu seni tersendiri dalam teknik pengambilan gambarnya."
"Ya menurut saya juga begitu, pak. Menurut saya dia itu sebenarnya jenius."
"Ya karena itu, saya dan bos saya akan membantu kalian. Besok lusa, datanglah ke kantor ini lagi pada jam yang sama. Kita akan melakukan rapat produksi. Saya mengerti bahwa si Randai emosinya masih belum stabil, tetapi kita harus bergerak cepat."
"Siap, pak," kata A Liang lesu.
"Dan, satu hal lagi."
Pak Budi membuka laci mejanya dan mengambil sebuah amplop cokelat yang menggembung di bagian tengahnya.
Mata A Liang langsung terbuka lebar.
"Duit!" jerit A Liang dalam hati.
"Kami tidak bisa membiarkan kalian diusir dari kantor begitu saja. Anggaplah ini bagian dari bayaran kalian yang kami berikan di depan."
"Oke, pak, siap!" Tangan A Liang meraih ke depan dengan sigap.
Tapi Pak Budi menarik kembali tangannya.
"Eitts, tapi ingat, ini untuk bayar sewa, bukan buat hura-hura."
"I...iya, pak." A Liang merasa Pak Budi bisa membaca pikirannya.
Pak Budi pun menyerahkan amplop itu kepada A Liang sambil berkata,"
"Ya… tapi mungkin ada sedikit duit lebih di sana, mungkin bisa buat kalian jajan cendol."
…
"Ahaha, gitu ya pak, haha."
A Liang pura-pura tertawa lagi.
"Oh ya, ini kontak saya. Kalau kalian butuh apa-apa, langsung telepon saya saja. Ya sudah, kita sudah selesai, silakan pulang."
"Oh, baik. Terimakasih, Pak."
A Liang pun berdiri dan keluar dari kantor Pak Budi.
"Wassseekkkk!!!"