A Liang tidak menemukan Randai saat dia keluar dari kantor Pak Budi.
Setelah menoleh ke kiri dan ke kanan, A Liang pun memutuskan untuk masuk ke dalam lift dan kembali ke lobby.
A Liang pun kembali menoleh ke kiri dan ke kanan.
Dia pun menemukan sebuah sosok berkemeja flanel berambut gondrong sedang duduk di sofa di lounge. Dahinya mengernyit; tampak berpikir dalam.
A Liang pun bingung bagaimana cara berbicara kepada Randai. Dia ingin menjelaskan tentang proyek iklan itu, tetapi Randai pasti menolaknya.
A Liang pun berjalan pelan dan duduk di depan Randai.
Randai tidak peduli.
…
…
"Ran."
…
…
"Ran, halo..."
A Liang melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Randai.
"Hm," sahut Randai.
"Ayo cari makan."
"Males."
"Aku laper ini."
"Gua enggak."
"Ayolah, di seberang ada Mekdi."
"Enggak. Kalo lo laper makan aja sendiri, gua di sini aja."
"Yaudah… aku makan sendiri.
A Liang berdiri, akan keluar dari lobby.
"Ayamnya enak lho, kulitnya kriuk-kriuk. Kentangnya panjang-panjang gurih, es krimnya hmm..."
"Tunggu!"
A Liang pun tersenyum nakal.
"Apa?"
"Gua… gua ikut."
"Hahaha… gitu dong."
Mereka pun keluar dari gedung itu dan berdiri di trotoar, akan menyeberang.
Melihat Randai masih cemberut, A Liang pun meraih tangan Randai dan berkata,
"Aduh, anak mama kok cemberut terus? Sini mama gandeng. Nanti mama beliin mainan deh."
"Diem, lo!"
Randai menepis tangan A Liang dengan ganas.
A Liang cengar-cengir saat mereka menyeberang.
Walaupun masih emosi, wajah Randai sudah tidak sesuram sebelumnya.
Mereka pun masuk ke dalam restoran cepat saji itu dan memesan makanan.
Randai memesan satu dada ayam, satu nasi putih, dan segelas soda.
A Liang memesan satu dada ayam, dua paha ayam, dua nasi putih, dua es krim, dua kentang goreng, dua hamburger, yang satu dengan tambahan keju, dan dua gelas soda ukuran besar.
"Lebaran masih lama woi, mau bayar pake apa ini?" komentar Randai.
"Kamu salah, Ran. Tahun ini lebaran dateng lebih awal."
"Hah?"
A Liang pun mengeluarkan amplop coklat dari sakunya dan membayar pesanan mereka.
"Dari Pak Budi."
Randai pun terkejut, tetapi tetap diam.
Mereka pun duduk berhadapan di sebuah meja untuk empat orang, dengan dua kursi di samping mereka kosong.
A Liang tidak menunggu Randai dan langsung melahap makanannya.
"Makan itu dikunyah dulu, jangan langsung ditelen."
"Yww, aouw touw (Ya aku tahu)," kata A Liang dengan nasi menyembur dari mulutnya.
"Jijik!"
Randai hanya menghela nafas dan mulai makan.
Randai baru makan separuh, sudah terdengar suara soda yang disedot habis dari gelasnya.
Randai pun terpaksa mempercepat laju makannya.
Tidak lama kemudian, mereka mencuci tangan dan kembali duduk.
"Eh, Liang."
"Hm?"
"Itu tadi duit lo nyolong dari Pak Budi?"
"Enak aja, bukan. Ini sebagian bayaran proyek iklan kita, buat kita mbayar sewa, Ran."
"Buat bayar sewa? Dia kasih begitu aja?"
"Iya katanya dari bosnya ini. Mereka itu serius mau mbantu kita. Makanya, Ran kita harus berhasil di ujian ini."
"Tapi produknya gua gak suka. Masa kita bikin iklan kondom?"
"Lha kan kondom itu mbantu mengurangi angka kehamilan di luar nikah. Bagus ini, Ran."
"Tapi kan dari konsepnya seharusnya yang dicegah itu kegiatan sex di luar nikahnya?"
"Gimana caranya coba? Kamu mau datengin semua orang se-Indonesia satu-satu? Terus diceramahi? Terus emang semua orang bakal nurut?"
"Y...ya… emang susah sih tapi… seharusnya enggak gitu."
"Itu masalahnya. Otakmu itu isinya 'seharusnya, seharusnya, seharusnya.' Kamu itu gak pernah ngeliat kenyataan."
"Tapi…"
"Ran, ini juga supaya nantinya lo bisa bikin film lagi. Semuanya butuh proses, semuanya gak bisa balik dalam sehari aja."
"..."
"Sekarang kamu udah ngerti kan, Ran? Kita harus ngambil job iklan ini. Jangan terlalu idealis sama film. Ini langkah yang harus kita ambil biar perusahaan ini gak hancur."
Randai hanya bisa diam.
Kali ini dia harus menerima kekalahan.
Dan kenyataan.
"Besok jam 9 kita disuruh balik lagi ke kantor Pak Budi lagi, katanya buat rapat produksi," A Liang mulai berbicara lagi.
"Hah, gila, cepet banget."
"Ya, katanya mereka harus gerak cepet, soalnya udah ada deadline-nya."
"Yaudah, nanti kita cari-cari bahan dulu biar besok gak kelihatan goblok-goblok amat."
"Lha kita kan emang goblok."
"Elo aja kali, gak usah bawa-bawa gua."
…
Hari yang sama, jam 8 malam.
Kantor Andhika Production.
Randai duduk di meja kerjanya dengan laptop menyala di depannya.
A Liang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya.
Tatapan mereka tampak fokus. Sepertinya mereka sedang serius.
"Eh, Ran."
"Hm?"
"Kamu tau gak, kalau kondom pertama di dunia itu dibuat pada tahun 1839, pake karet asli."
"Enggak."
"Kamu tau gak, kalau ada kondom yang bahannya kulit kambing."
"Apaan sih? Jijik tau."
"Kamu tau gak, kalau ada monumen kondom raksasa di Argentina."
"Lo itu baca apaan sih?"
Randai yang kesal pun berjalan cepat ke samping A Liang dan melihat website Wikipedia terpampang di layar laptopnya.
"Lo ngapain buka Wikipedia, bego?"
"Lha kamu kan tadi nyuruh aku cari-cari informasi."
"Maksud gua itu cari-cari contoh iklan kondom, terus responnya orang-orang Indonesia terhadap kondom itu gimana, udah bagus apa belum? Informasi yang relevan!"
"Lho siapa tau ini relevan?"
"Apaan? Kondom kulit kambing?"
"Hahaha."
"Ngapain lo ketawa?"
"Gakpapa."
"Apaan? Bilang?"
"Kondom kulit kambing, singkatannya kan jadinya KKK, kayak kelompok rasis di Amerika itu."
"Terserah elo dah."