Pintu di depan randai bergeser dengan sendirinya, mempersilakan si pemuda berkemeja flanel itu untuk masuk.
Randai pun mengangguk-angguk sendiri, dan kemudian melangkahkan kakinya melalui pintu itu.
Tampak interior lobby dari gedung itu yang terasa begitu berbeda dari penampilan eksteriornya. Dinding lobby itu memang berwarna abu-abu muda juga, tetapi jika di dinding luar gedung itu sama sekali tidak ada aksesoris apa pun, dinding lobby ini penuh dengan dekorasi bertema perfilman.
Tepat di depan Randai, terdapat dua buah lift. Di dinding di sekitarnya, tampak beberapa poster film lama seperti Rambo-nya Sylvester Stallone, Enter the Dragon-nya Bruce Lee, dan tak ketinggalan juga Darah Muda-nya Rhoma Irama.
Di sebelah kiri lobby, terdapat sebuah lounge kecil yang dilengkapi dengan dua buah sofa putih, tidak lupa dengan meja kopinya. Di dekat jendela terdapat sebuah meja panjang ala bar, lengkap dengan kursi-kursi tingginya yang berjejer. Tampak juga beberapa buah kursi bean bag, yang kalau diduduki orang yang terlalu berat, orang itu akan tertelan, mungkin sampai ke neraka. Di dinding di sekitarnya, tampak karikatur karakter Terminator yang mengatakan, 'I'll be back," Rhett Butler yang mengatakan, 'Frankly my dear, I don't give a damn,' dan yang tak kalah penting, Kasino yang mengatakan, 'Gile lu, Ndro.' Di lounge itu, tampak beberapa orang yang memakai earphone, yang tampak santai di depan laptop atau ponsel mereka.
Walaupun sudah melihat ke depan dan ke kiri, Randai masih belum menemukan meja resepsionis. Berarti, meja resepsionis ada di sebelah…
Randai menoleh ke kanan.
Toilet.
"Lah, mana resepsionisnya? Si gendut juga belum selesai boker... Kencing dulu ah."
Randai pun masuk ke toilet pria, dan dia melihat dinding toilet gedung itu pun tidak luput dari dekorasi poster-poster film. Di sana, tampak dua buah wastafel, tiga buah urinoir, dan dua buah bilik; yang satu pintunya tertutup.
Randai pun berjalan ke urinoir yang paling kiri dan membuka resleting.
Sesaat kemudian, terdengar suara rintihan anak babi dari dalam bilik toilet.
Randai pun senyum-senyum sendiri.
Setelah selesai dan mencuci tangan, dia pun mendengar suara toilet yang disiram. Beberapa detik kemudian, muncullah sosok bulat bucat, yang terseok-seok keluar dari toilet itu.
Randai geli.
"Ngapain lo, abis tawuran?"
"Perutku ditawur sambel krecek."
"Lo gakpapa kan?"
"Gakpapa kok, cuma perut masih panas aja. Eh, kamu kok tumben peduli sama aku?"
"Najis. Kalo lo pingsan di sini, yang mau gendong siapa?"
"Hehehe."
"Udah ayo, udah jam 9 pas ini, kita telat."
Mereka pun keluar dari toilet.
"Eh, Ran."
"Ya?"
"Resepsionisnya mana ya?"
"Kagak tau. Coba lo tanya orang-orang di sono."
Randai menunjuk ke arah lounge.
"Oke."
A Liang pun berjalan ke arah lounge.
Sampai di dekat sana, A Liang diam sejenak. Dia ingin bertanya, tetapi semua orang memakai earphone, dan dia sungkan untuk bertanya kepada orang-orang yang memakai earphone.
Sampai akhirnya matanya berhenti mencari.
Di meja bar, terdapat satu orang yang tidak memakai earphone yang duduk membelakanginya. Sosok itu bertubuh langsing dengan rambut lurus sebahu, dengan sweater merah, celana jeans biru muda, dan flat shoes cokelat muda, memancarkan aura yang cerdas namun santai.
A Liang pun membenarkan bajunya, dan mengangkat tangannya untuk menyisir rambutnya dengan jarinya.
Tetapi jari A Liang tidak merasakan apa-apa.
"Oh ya, aku botak, hehe."
Dia pun berjalan dengan langkah yang ditegap-tegapkan dan dada yang dibusung-busungkan, walaupun si sweater merah tidak dapat melihatnya.
Randai kesal melihat A Liang.
"Dasar jomblo."
Dengan suara yang diseksi-seksikan A Liang pun mulai beraksi
"Erhm, permisi, mbak."
Si sweater merah pun menolehkan kepalanya. Rambut hitamnya mengibas, menampar wajah A Liang.
"Aroma anggur, Assseekkk!" A Liang menjerit dalam hati.
Kejadian itu terasa terjadi dalam gerakan lambat dalam pandangan A Liang.
Tampak sisi wajah si sweater merah. Kulitnya tampak putih bersih dengan make up tipis. Mata bulatnya yang kecil dipagari oleh sebuah kacamata dengan rangka tebal, memancarkan aura cerdas yang kasual. Hidungnya yang kecil tidak mancung, tetapi memberi kesan cantik yang bersahaja. Bibir tipisnya dilapisi lipstik merah terang, menunjukkan sifat kontras yang kuat dan berani.
Jantung A Liang kembang kempis.
Dalam sepersekian detik itu, sangat sulit bagi A Liang untuk bertanya, walaupun dia sudah bersiap sebelumnya. Pesona si sweater merah itu terlalu kuat.
Si sweater merah bertanya, "Ya? Kenapa, mas?"
Dengan detak jantung yang dinormal-normalkan, A Liang menjawab,
"... E… nganu… itu..."
Segala kata mengganjal di mulut A Liang, tidak mau keluar.
Si sweater merah pun mengernyitkan dahi sejenak, tampak berpikir.
Sedetik kemudian, wajahnya melemas kembali, seperti mengerti sesuatu.
Dia pun mengambil gelas plastik Moonbucks-nya yang sudah kosong.
"Oh iya mas, ini udah habis kok, dibuang aja gakpapa," kata si sweater merah sambil menyerahkan gelas Moonbucks-nya.
A Liang pun hanya bisa melongo. Dia pun tanpa sadar meraih gelas plastik kosong itu.
"Makasih ya, mas," kata si sweater merah sambil menoleh kembali ke ponselnya.
"I… iya."
Dengan hati yang ditegar-tegarkan, A Liang berjalan kembali ke Randai dengan lemas, letih, lesu.
"Udah nanya?"
"Belum."
"Lah, kok belum? Terus ngapain lo bawa gelas kosong?"
"Aku dikira Office Boy."
"Hahaha… Tapi pantes sih."
"Asu."
…
*Ting*
Pintu lift sebelah kanan terbuka.
Pak Budi muncul dengan kacamata tipisnya.
Kali ini, Pak Budi muncul dengan kaus polo biru tua, celana cargo cokelat muda, dan sepasang sandal gunung.
Sikapnya sopan saat dia berjalan ke arah mereka.
"Pagi, Randai, A Liang, mari."
...