Minggu, 4 Januari 2015
Pukul 8 pagi
Di depan pintu sebuah kantor, di lantai 2 sebuah gedung kecil.
Tampak berdiri seorang pria berkumis tebal bersarung kusut, sepertinya habis dipakai ronda tadi malam. Dia mengenakan kaus putih polos yang agak kekecilan, menonjolkan perutnya yang subur. Penampilan bapak-bapak paruh bayanya pun dilengkapi dengan sebuah peci buluk di kepalanya, yang sudah dipakai entah berapa tahun lamanya.
*Tok tok tok…*
…
...
*Dok dok dok…*
"Randai."
…
...
*DOK DOK DOK…*
"Rand...!"
*Dhut, preeet, brot… brot…*
"Ahh hehehe.. Mantap."
...
"Erhm."
…
*DOK DOK DOK DOK DOK*
"RANDAI!"
…
...
*DOK DOK DOK DOK DOK*
"KELUAR LO, RANDAI ANJING!"
*DOK DOK DOK DOK DOK DOK DOK*
"BAYAR SEWA, BANGSAT!"
*DOK DOK DOK DOK DOK*
*Krieeet*
Seorang pria berperut buncit, berambut cepak, berkulit putih, dan bermata sipit, dengan kaus yang agak kebesaran dan celana basket pun muncul dari balik pintu.
"Lhoh, ahehe, Pak Broto toh. Monggo, masuk dulu, pak. Saya buatkan kopi ya, pak… hehe, atau teh? Bapak suka yang mana?"
"Saya suka duit sewa!"
"Waduh, jangan marah-marah gitu dong, pak. Pak Broto ini kan terkenal bijak dan sabar. Tenang, pak, tenang...
A Liang tampak seperti seorang kasim yang sedang membujuk sang kaisar.
"Aishhh… Mana si Randai itu?"
"Wah, dia belum datang, pak. Sudah, duduk dulu saja, pak. Santai dulu. Sebentar lagi juga dia datang."
"Hmph gak perlu!"
"Sudahlah, pak. Ngopi dulu lah biar gak salah paham, hehe."
"Gak usah! Saya mau ngopi satu ember pun enggak mungkin salah paham. Yang belum bayar sewa 3 bulan itu kalian. Kalian itu gimana sih. Ini pertama kalinya saya ketemu orang kayak kalian. Sewa dari bulan pertama belum dibayar. Gila ya kalian ini!?"
"Waduh… maaf, pak. Tapi... bapak juga tahu kan situasi kami juga bagaimana, hehe. Bapak kan orangnya terkenal baik hati dan dermawan. Tolong kasih kami waktu lagi, pak. Kami janji…"
"Halah, janji, janji. Saya gak butuh janji. Kamu ya, A Liang, kasih tahu si Randai itu. Ini terakhir kalinya! Karena saya masih baik hati, saya kasih waktu sampai akhir bulan ini. Kalau gak bisa bayar… OUT!"
Pak Broto pergi tanpa menunggu jawaban.
Setelah Pak Broto tidak terlihat lagi.
"Jancuk. Mati aku cuk!"
A Liang pun rebah di sofa.
Suasana di kantor itu begitu hening, tetapi itu bukan keheningan yang menenangkan.
Malah sebaliknya, itu adalah keheningan yang menyiksa bagi A Liang.
…
...
*Tik... tik… tik… tik...*
"Hmph… bocor lagi."
A Liang menatap sebuah pojokan atap di dekat pintu yang menitikkan air, dan tampak berpikir untuk beberapa saat.
"Nanti aja deh, males…"
A Liang kembali menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia pun menatap ke sekeliling kantor itu.
Kantor itu hanya seluas 4x5 meter. Di sisi lebar kantor itu, berjejer dua buah meja kerja. Di samping meja itu, di pojok ruangan, terdapat sebuah dispenser dengan galon yang isinya tinggal setengah. Di depan kedua meja itu terdapat sebuah sofa panjang dan sebuah sofa kecil. Sebuah meja kopi kecil berdiri di antara kedua sofa itu. Di seberang kedua meja kerja itu terdapat sebuah lemari es dan sebuah lemari besar berisi dokumen-dokumen dan pakaian-pakaian.
Ruangan itu bahkan tidak memiliki AC, hanya ada sebuah kipas angin tua yang tergantung di dinding. Cat putih di dindingnya sudah banyak yang terkelupas, menunjukkan plaster semen di dalamnya.
A Liang menghela nafas lagi.
"Kangen kantor lama…"
A Liang menatap ke meja kerjanya.
"Oh ya, proposal proyek Randai… Dua naskah film idealis lagi."
A Liang menghela nafas.
"Dasar gak tahu diri… Mana ada investor yang mau investasi di film-film kayak gitu?
...
"Tapi kalau aku enggak coba cari investor, dapet dari mana duitnya?"
A Liang tampak berpikir.
"Nanti aja dah, males..."
"Tidur aja, dah."
...
"Khrookkk… Zzzzz… Khrooooookkkkkk… Zzzzz…"
Dua puluh menit kemudian.
*Krieett*
Tampak masuk seorang pria dengan tubuh standar orang Indonesia, berkulit sawo matang, dan berambut gondrong sepunggung. Pakaiannya adalah perwujudan dari kalimat "Seni tidak membutuhkan uang untuk bertahan hidup," dengan kemeja flanel abu-abu pudar yang tidak dikancing, kaus band metal "Slayer," celana jeans biru buluk yang sobek-sobek, dan sepatu boots yang sudah berkali-kali dipakai naik gunung.
Sebuah ransel kanvas tua berwarna cokelat muda, yang berisi sebuah laptop, charger, dan sebotol air minum menggantung di punggung sosok itu.
Sosok itu pun berjalan ke samping A Liang yang sedang tidur.
"Bangun, Bagong!" sapa Randai sambil menampar paha A Liang
A Liang mencoba membuka matanya dengan sangat terpaksa. Dia melihat samar-samar sosok sahabatnya sedang berdiri di sampingnya.
Otaknya mencoba memproses beberapa informasi. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang harus dia sampaikan kepada Randai, tetapi apa informasi itu?
Randai berkata lagi, mencoba menyadarkan A Liang, "Dasar tukang tidur, kerja woi! Sudah siang nih! Lo udah dapet investor berapa buat film kita!?"
A Liang tidak menangkap kata-kata Randai, kesadarannya masih berserakan.
Randai sadar jiwa A Liang belum kembali ke tubuhnya. Dia pun berjalan ke dispenser di samping mejanya untuk membuat kopi.
"Lah? Kopinya habis lagi? Lo minum berapa galon, A Liang?"
Mendengar kata 'kopi,' otak A Liang terasa seperti disetrum.
"Hmm… kopi… kopi… biar gak salah paham… Pak Broto… Utang sewa… Oh ya!"
Mata A Liang seketika membelalak.
"Ran, gawat, Ran! Pak Broto tadi dateng marah-marah. Katanya kalau kita gak ngelunasin utang sewa kita akhir bulan ini, kita bakal diusir!"
Randai yang kaget refleks berkata, "H...hah? Apaan? Yang bener aja? Kita kan belum ada kerjaan. Mau bayar pakai apa?"
"Ya ini gara gara kamu, Ran! Kita itu sudah dua kali dapet tawaran proyek iklan, tapi malah kamu tolak semua!
"Lah, lo gak usah ngegas, anjing! Gua ini baru dateng udah lo marah-marahin! Gua ini pengen bikin film bukan bikin iklan! Lo juga males, tidur melulu di kantor! Lo itu bagian pemasaran apaan? Nyari investor seminggu sekali. Ditolak dikit udah nyerah! Kapan kita mau maju?"
"Ya kamu itu yang terlalu idealis, jancuk! Kita itu sudah gagal bikin film, sampai perusahaan ini yang dulunya isinya 50 orang, sekarang tinggal kita berdua! Kita itu sudah ngutang, gak punya pemasukan lagi, terus kamu masih nolak proyek? Mikir apa kamu itu?! Kita mau bayar utang pakai apa? Sempak bapakmu?"
"Gak usah bawa-bawa bapak gua, anjing! Lo pikir lo itu..."
*Tok tok tok…*
"Permisi..."
Mereka berdua pun menahan nafas.
Sesaat kemudian, mereka mengambil nafas dalam-dalam.
Mana mungkin klien datang pada hari Minggu?
Tapi lebih baik jangan mengambil resiko, mungkin saja ini benar- benar klien atau investor.
Demi proyek, marah dan curiga bisa ditunda.