20 September 2025.
"Jadi sekian presentasi keuntungan dari kami. Terima kasih untuk bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah mendukung film kami dalam bentuk apapun. Tanpa kontribusi anda-anda sekalian, film ini tidak mungkin dapat terwujud. Oh ya, bagian dari keuntungan anda semua akan kami transfer paling lambat tiga hari kerja dari sekarang."
Para pria paruh baya berjas berdasi, dan ibu-ibu dengan Blazer dan make up tebal yang duduk mengelilingi sebuah meja kayu panjang pun tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Di antara kerumunan paruh baya elit itu, tampak bapak presiden direktur dari P.T. Toto Steel Indonesia yang duduk di ujung jauh meja kayu itu. Juga ada ibu kepala bagian keuangan dan investasi P.T. Kapal Layar Coffee yang duduk persis di depan sang presenter, bapak Menteri Sosial RI yang duduk di seberang sang ibu dan tampak mengantuk, dan tak ketinggalan bapak office boy yang berdiri menuangkan air untuk pak Mensos.
Tidak lama, mereka pun satu per satu keluar dari ruangan setelah menjabat tangan si presenter dengan senyum lebar di wajah mereka. Beberapa dari mereka bahkan berjanji akan mendanai proyek si presenter, apapun yang dia kerjakan. Janji-janji manis yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan itu pun terus mengalir dan mengalir.
Sampai lima belas menit kemudian.
Di ruangan itu hanya tersisa sebuah meja kayu, kursi-kursi yang belum dirapikan kembali, sebuah layar lebar yang masih menunjukkan tabel-tabel berisi angka-angka, dan dua orang pria yang berdiri diam tanpa kata.
Yang satu adalah si presenter, seorang pria bertubuh standar Indonesia, dengan kulit sawo matang dan rambut yang disisir rapi ke samping. Dan yang lain adalah seorang pria berambut cepak, berperut buncit, dengan kulit putih dan mata sipit.
Kedua pria itu pun saling melirik dengan santai. Mata mereka penuh dengan kepercayaan diri, seolah mereka adalah orang paling sukses di dunia.
Lirikan mereka berubah menjadi tatapan, dan tatapan mereka pun menjadi semakin dan semakin dalam.
Pupil mata mereka semakin melebar, serta bibir mereka semakin melengkung ke atas.
Wajah mereka mulai bergetar menahan emosi.
…
...
Sampai pada suatu titik.
...
"HAHAHAHA...."
"Wooooo..."
"Kelarrrr… kelarrrr…"
"Weeee…. are the championnnsss… my friendsss… jeng jeng jeng jeng jeng…"
...
Lima menit kemudian.
Kedua pria muda itu rebah bersebelahan di atas meja kayu panjang. Jas mereka yang satu berada di lantai dan yang lain menggantung di AC. Rambut mereka acak-acakan dan kemeja mereka keluar dari celana, dengan beberapa kancing terbuka. Beberapa kancing di bagian perut si pria buncit bahkan sudah copot dari tempatnya dan hilang entah ke mana, menunjukkan sebuah bulatan yang menggelambir.
Mereka terengah-engah setelah kegilaan barusan, dengan tawa dan senyum masih tertinggal di mulut mereka.
Detik demi detik terus berlalu...
Sedetik...
Sepuluh detik…
Semenit...
Hingga segala suara lenyap.
Keheningan pun mengisi ruangan.
…
...
Tekanan kesunyian semakin dan semakin berat.
Hingga si pria buncit tak tahan lagi.
"Randai."
"Apaan?"
"Gakpapa… ngetes. "
"Sialan."
…
…
"Randai."
"Apaan lagi?"
"Kita sekarang kayak pasangan gay yang abis gituan."
"Diem lo, gendut!"
…
...
"Eh, Randai... Gila ya…"
"Iya, lo emang gila"
"Gapleki(Sialan). Dengerin dulu, aku serius ini."
"Lah, lo yang dari tadi bercanda, lo yang marah."
"Ya tapi yang ini beneran serius, Ran."
"Oke, oke, koh A Liang… Santai…"
"Iya iya, aku santai kok. Eh nganu… kamu percaya apa enggak sih sama investor-investor itu? Mereka tadi bilang mau investasi di film-film kita selanjutnya, entah kita garap film apa. Kalo menurutku sih itu omong kosong, bullshit, Ran. Jangan langsung percaya."
"Iya, gua paham kok, Liang. Gua udah gak segoblok dulu. Mereka itu mulutnya cuma manis kalau udah dapet duit. Dulu waktu kita masih susah, waktu kita kirim proposal proyek, belum dibaca proposalnya udah dibuang. Bilangnya kita anak muda, gak punya pengalaman, terlalu idealis."
"Ya.. Tapi sebenarnya mereka gak seratus persen salah sih, Ran."
"Maksud lo?"
"Ya… bayangin aja, mereka harus investasi duit ratusan juta, bahkan sampai milyaran. Terus, kamu masih inget gak kondisi kita waktu kita pertama kali bikin film? Menurutmu mereka bakal percaya?"
"Hmm… Heh, iya bener juga sih. Dulu kita kan…"