Chapter 17 - Derita Demir

Dee masih meringkuk seperti bayi di bawah gelungan selimut. Pintu kamar di ketuk dari luar. Demir segera membuka pintu kamar dan mempersilakan pegawai hotel membawa sarapan pagi mereka.

Pelayan hotel meletakkan sarapan mereka di atas meja. Setelah itu pelayan pamit mengundurkan diri. Demir mendekati Dee dan membuka selimutnya. Dee meringkuk seraya memegangi perutnya yang sakit. Demir mengusap kepala istrinya memberikan ketenangan.

"Sayang bangun. Mari kita sarapan dulu," kata Demir membangunkan Dee.

Dee bergeming tetap dalam posisi tidur. Jangankan untuk sarapan, duduk saja sakit. Perutnya sangat nyeri dan kram.

"Sayang bangun. Sarapan dulu biar enggak kosong perutnya." Demir kembali membangunkan Dee.

Dee meringis kesakitan seraya memegangi perutnya. Perutnya seperti ditusuk-tusuk dan sangat perih.

"Mas sakit," pekik Dee menjambak rambut Demir.

Demir memekik kencang ketika Dee menjambak rambutnya dengan kasar.

"Awwwwww," pekik Demir ngilu karena rambutnya dijambak sang istri.

"Mas ini sakit," rintih Dee sambil menangis. Rasa sakit yang ia rasakan dilampiaskan dengan menjambak rambut suaminya.

"Iya, tapi enggak perlu jambak gini," balas Demir berusaha melepaskan tangan Dee dari rambutnya. Bukannya berhenti malah jambakan Dee semakin lama semakin kuat. Setiap kali Dee meringis kesakitan maka ia akan menjambak rambut Demir. Terjadilah aksi jambak menjambak hingga membuat rambut Demir rontok.

"Ya Tuhan apa salah dan dosa hamba? Istri lagi PMS kok gini banget ya." Demir meringis meratapi nasib.

Sekitar tiga puluh menit akhirnya Dee berhenti menjambak rambut Demir. Dee menyadari kezalimannya pada sang suami.

"Mas maaf," cicit Dee memasang wajah memelas.

Demir yang marah akhirnya luluh dan tidak bisa memarahi sang istri. Ia memeluk istrinya dengan erat. Dee menangis dalam pelukan suaminya.

"Maafkan aku Mas. Aku selalu begini kalo hari pertama haid. Biasanya Luna dan Nayla yang jadi korban." Dee menyeka air matanya.

Demir menangkup kedua pipi istrinya, "Kamu selalu begini tiap datang bulan?"

"Hanya hari pertama Mas. Hari kedua sudah tidak apa-apa."

"Jika kayak gitu kamu harus olahraga buat mengurangi kram di perut kamu. Bakal sembuh jika kamu sudah melahirkan."

Dee tertawa terkekeh, "Mas, malam pertama aja belum masa udah mau aku melahirkan. Bikin dulu Mas."

Demir berkacak pinggang pura-pura marah. "Jadi kamu mentertawakan Mas?"

"Bisa dibilang begitu," ucap Dee jujur.

"Dasar ya kamu." Demir ingin menjewer telinga Dee namun gadis itu sudah keburu lari. Terjadilah aksi kejar-kejaran di daam kamar.

"Mas udah," ucap Dee dengan napas tersengal-sengal.

"Aku lapar." Dee memegangi perutnya dan terdengar bunyi kriuk. Demir pun mentertawainya.

"Yuk mari kita makan sayang," ajak Demir mentertawai istrinya.

Mereka berdua makan saling menyuapi. Namanya juga pengantin baru pasti sangat mesra.

"Aaaaaaaa." Demir meniupkan zuppa sup dan menyuapkannya pada Dee.

Dee membuka mulutnya dan mengunyahnya. "Mas."

"Iya."

"Mas tahu nggak cinta aku ke mas kayak kanker, ga ada obatnya?" Dee tersenyum malu-malu.

Demir tahu jika Dee akan menggombalinya, "Kok gitu?"

"Makin lama makin metastase tapi tidak mematikan hanya memabukkan." Lanjut Dee membuat Demir melayang.

Demir dengan lebay memegang dadanya seolah telah menerima hati Dee. Demir tak bisa menyembunyikan tawanya. Sikap Dee sama labil dan alaynya seperti Onya, adiknya. Untung saja Demir sangat dekat dengan Onya hingga ia bisa menghadapi keabsuran Dee.

"Sayang tahu kamu ga? Kenapa Mas paling suka belajar cardiologi?"

"Kenapa?"

"Mas jadi tahu kapan jantung Mas bisa berdetak lebih kencang seperti saat ini."

"Saranghae Mas."

"Apa itu sa-rang-ho-we." Demir mengucapkan tak lancar.

"Bukan saranghowe Mas tapi saranghae. Artinya aku cinta kamu dalam bahasa Korea."

"Berarti Mas Ahjussi rasa Oppa?" Demir terkikik. Ya Allah receh banget sich humor seorang Demir Alfarizy.

"Kok Mas tahu?" Dee malah takjub suaminya bisa nyambung membahas Korea.

"Onya pernah bilang sama Mas makanya tahu. Mas tanya artinya apa dia jawab om-om rasa abang-abang. Mas keplak kepala tu anak. Enak aja bilang Mas om-om. Masih muda tahu."

"Enggak mau mengakui," Dee menjulurkan lidahnya.

"Eh kamu goda Mas keluarin lidah gitu. Nanti Mas slepet baru tahu rasa. Hahahahha." Demir mendekatkan wajahnya dengan Dee. Ingin mencium bibir ranum sang istri yang sangat menggodanya. Memberi hukuman karena rambutnya telah dijambak.

Saat bibir Demir dan Dee hampir bertautan gedoran pintu merusak kemesraan mereka. Suara gedorannya semakin keras membuat Demir frustasi. Demir mengacak rambutnya sendiri. Dengan perasaan dongkol Demir membukakan pintu. Demir mendengus kesal ketika melihat tiga wanita barbar di depan kamarnya. Luna, Nayla dan Onya. Tanpa permisi mereka masuk kamar dan mencari Dee.

"Lo enggak apa-apa Dee?" Tanya Luna khawatir.

"Kami dengar dari mama mertua lo, lo lagi mens. Apa lo sudah menemukan tumbal untuk dijambak? Jika belum ada kami bertiga siap jadi tumbal," ucap Nayla membuat jengkel Onya dan Luna.

"Lo aja kak, gue enggak," lirih Onya sebal.

"Udah," jawab Dee malu-malu.

"Jangan bilang Pak Demir jadi korban PMS lo?" Luna tak dapat menahan tawanya. Ia ingin tertawa tapi tertahan karena melihat wajah dingin dan gelap Demir. Tetap saja Demir memperlihatkan kezalimannya meski mereka sudah lulus.

"Aduh kasian abang gue. Baru menikah bukannya malam pertama malah jadi korban KDRT istri. Kepala abang botak?" Ledek Onya tak bisa menahan tawanya.

"Diam lo!" Sungut Demir kesal. "Kalian ngapain kesini?"

"Anu Pak," jawab Nayla gugup.

"Anu apaan?"

"Anu-anuan Pak," ucap Luna setelah itu menutup mulutnya karena ucapannya ambigu.

"Udah Mas jangan galak gitu. Ilang gantengnya. Kalo lagi senyum nilai gantengnya sembilan kalo jutek gitu nilainya jadi lima," ucap Dee sekenanya.

Demir langsung diam dan tak berkutik. Sikap jinak Demir jadi bahan guyonan Onya.

"Satu hari aja nikah abang gue udah jinak, enggak suka gigit lagi."

"Enak aja bilang jinak memangnya abang binatang?" Demir menyeringai menatap Onya.

"Kak Dee kasih jatah tuch suaminya biar enggak galak lagi eh lupa kalo lagi mens." Onya seakan tak kehabisan bahan untuk membully kakaknya.

"Onya kamu." Demir menggeram kesal.

"Mas jangan marah-marah." Dee mengingatkan suaminya. "Orang suka marah cepat tua."

"Dengerin tuch kata bininya," cibir Onya serasa mendapatkan angin karena Dee mendukungnya.

"Kalian kenapa kesini?" Dee menatap kedua sahabatnya.

"Mertua lo bilang kalo lo mens. Gue khawatir aja sama lo. Hari pertama mens pasti lo minta tumbal."

Dee tertawa terkekeh, "Masih ingat aja lo."

"Tentu gue ingat karena kita sudah empat tahun bersahabat. Apa sich yang enggak gue tahu."

"Sayang kalian," ucap Dee merentangkan kedua tangannya. Luna dan Nayla berlari ke dalam pelukan Dee.

"Enak banget punya sahabat kayak kakak Dee, aku juga mau," ucap Onya terharu.

Dering smartphone menghentikan adegan pelukan mereka. Dee mengambil smartphone di atas nakas.

Clara Calling......….

"Hallo Clara," sapa Dee ramah.

"Happy wedding Dee. Maaf aku tidak bisa datang. Aku sudah berangkat ke Jerman tadi malam."

"Tidak apa-apa."

"Aku hanya memberi tahu jika Citra hamil. Dia hamil anak Bryan," ucap Clara tegar.

Berita dari Clara membuat Dee shock hingga smartphone ditangannya terlepas. Wajahnya pucat dan jiwanya terguncang.