Beberapa menit kemudian, Naomi dan Nick tiba di IKEA, toko perabotan terbesar yang terletak di Brooklyn, di dekat kantor utama Nick berada. Toko itu adalah tempat langganan Nick selalu membeli furnitur untuk apartemen, kantor maupun gedung-gedung yang ia miliki. Selain memiliki harga yang bersahabat, perabotan yang dijual di sana memiliki desain yang modern dan simpel, cocok untuk orang-orang yang gemar menata ruangan seperti Nick.
Naomi sudah berjalan membelakangi Nick sejak mereka tiba di toko sepuluh menit yang lalu. Tak satu pun dari keduanya yang memulai percakapan dan tahu apa yang mereka lakukan di toko sebesar itu. Alhasil, Naomi hanya berjalan mondar-mandir di bagian sofa dan perabotan ruang tamu. Ketika berdiri di depan sofa berlengan berwarna putih, Nick dengan refleks menyeletuk, "Kau bisa menggunakannya di kantormu."
Gadis itu tak langsung menjawab, ia memperhatikan sofa putih tersebut lalu melirik Nick dengan ketus, "Aku tidak mau."
Baiklah. Setidaknya ia sudah mencoba. Nick menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan dirinya untuk tak mengucapkan kalimat bodoh lainnya yang mungkin akan memperburuk suasana.
Setelah melewati belasan menit yang panjang, Naomi tiba-tiba berhenti berjalan, membuat Nick yang membuntutinya hampir menabrak punggung gadis itu. Nick buru-buru melangkah mundur sebelum Naomi berbalik dan menatapnya, "Jadi apa kita hanya akan memutari toko ini sampai tulang kakiku patah atau kau akan mulai memberitahuku apa yang akan kita beli di sini?!"
Pertanyaan Naomi terdengar tajam, begitu juga dengan tatapannya. Namun Nick memberanikan diri, "Aku menunggumu untuk bereaksi."
"Well, kau membuang waktuku. Kau seharusnya memimpin langkah, bukannya berjalan di belakangku seperti penguntit."
"Kaulah yang menghindar dariku dan berjalan sejauh mungkin seolah aku memiliki virus plak mematikan yang menular, Naomi." Nick mengerutkan alisnya, akhirnya kesal dengan segala reaksi yang diberikan Naomi. Kemudian ia berjalan melewati Naomi dan memimpin langkah seperti yang diperintahkan Naomi.
Meskipun Naomi sangat ingin mengambil cangkul yang berada persis di sebelahnya saat ini dan menghantam Nick dari belakang, Naomi menahan dirinya sebisa mungkin, mengingat kalau keberadaannya di sini saat ini adalah untuk membayar hutangnya -yang menggunung- kepada Nicholas Boucher. Dan meski ia tahu ia seharusnya berterimakasih atas bantuan lelaki itu, Naomi justru berharap ia kehilangan segalanya dan kabur ke luar kota.
Nick memimpin langkahnya menuju bagian cat dinding di lorong yang terletak cukup jauh. Begitu tiba di sana, Nick menunjukkan beberapa deretan contoh warna kepada Naomi, "Pilih warna yang kau inginkan untuk restoranmu."
Naomi belum sempat memilih, atau bahkan memegang gantungan kumpulan kertas contoh-contoh warna yang diberikan Nick, ia langsung menyeletuk, "Kau saja yang memilih."
Nick menelan ludah lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Menurutku warna hijau akan-,"
"Hijau?? Aku tidak mau pelangganku berpikir kalau dinding restoranku berlumut."
"Kalau begitu, bagaimana dengan biru muda?"
"Membuat orang mengantuk."
"Kenapa bukan kau saja yang memilih?"
Naomi memandang Nick dengan tatapan tajam, "Terserah kau saja."
Nick melakukan segalanya yang ia bisa dalam dirinya untuk menahan diri dari meluapkan kekesalannya. Sejak pertama kali bertemu, Nick tahu Naomi bukan gadis yang biasa. Tapi kadang-kadang sikap Naomi bisa begitu kelewatan dan membuatnya sangat geram.
"Putih. Mari kita pilih warna putih saja. Warna kesukaanmu," ucap Nick lalu berjalan melewati Naomi, menghampiri seorang karyawan yang kebetulan berada di sana. Naomi masih berdiri di tempat sambil bersedekap ketika ia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Nick. Bagaimana mungkin lelaki itu tahu warna kesukaannya? Benar-benar tidak dapat dipercaya.
Ketika kembali, Nick menyahut, "Kita ke bagian perabotan makan."
Naomi hanya diam ketika mengikuti langkah Nick dari belakang. Ia menjaga jarak setidaknya satu meter dari lelaki itu karena entah mengapa, berada di dekatnya membuat Naomi kesal. Naomi tak tahu apa alasannya, tapi ia lebih baik menjaga jarak daripada harus menjadi pusat perhatian di tempat sebesar ini.
Nick berhenti di lorong yang dipenuhi dengan deretan kursi-kursi makan dan meja makan pasangannya. Lelaki itu kemudian berpaling pada Naomi dan bertanya, "Salah satu dari kursi dan meja ini akan menjadi tempat makan pelangganmu. Pilih satu."
"Terserah kau saja."
Nick akhirnya mengerang sambil mengepalkan kedua tangannya, "Oh, ayolah, Naomi! Kau benar-benar menyebalkan. Kau tahu mengapa aku mengajakmu kemari? Agar kau bisa memilih semua yang kau suka! Untuk restoranmu! Aku benar-benar sedang berusaha di sini. Kenapa kau begitu menyebalkan?"
"Kalau aku begitu menyebalkan, lantas mengapa kau harus repot-repot membawaku ke sini? Kau tahu aku tidak tertarik menata ruangan, apalagi memilih perabotan di tempat sebesar ini. Melihatnya saja sudah membuatku pusing. Jadi aku tidak tahu apa yang kulakukan di sini dan lakukan saja apa yang membuatmu senang!" Naomi ikut mengerang lalu beranjak hendak berjalan meninggalkan Nick ketika lelaki itu menahan pergelangan tangannya. "Apa?!"
"Kenapa kau begitu membenciku?" Nick akhirnya menanyakan pertanyaan yang sejak bertahun-tahun lalu ingin diajukannya kepada Naomi. Sejak pertemuan pertama mereka, sejak kencan pertama mereka yang gagal... sejak lama.
Namun pertanyaan itu justru membuat Naomi terdiam. "Lepaskan aku."
"Tidak, sebelum kau memberikanku jawaban." Nick menarik Naomi mendekat, membuat kedua mata Naomi melotot kaget. "Kau tidak tahu rasanya bertanya-tanya akan sesuatu dan tidak pernah mendapatkan jawabannya. Kau memutuskan untuk selalu menghindariku daripada memberikanku jawaban. Aku tidak tahu apa kesalahanku karena seingatku, aku sangat sopan saat pertama kali bertemu denganmu, aku tidak pernah berteriak, atau melakukan hal yang tidak kau sukai. Seingatku, aku tidak pernah membuatmu membenciku. Katakan padaku apa alasannya karena kalau aku tidak mendapatkannya, sepertinya aku bisa gila!"
Naomi menggertakkan rahangnya lalu menjawab, "Karena aku tidak akan pernah mau menikah denganmu!"
"Tidak ada yang memaksamu menikah denganku!"
Nick masih mencengkeram pergelangan tangan Naomi ketika mengatakan itu, membuat Naomi hampir meringis merasakan tekanan di tangannya.
"Tidak ada yang memaksamu menikah denganku sekarang, Naomi," lanjut Nick, lirih. Ia kemudian melepaskan cengkeramannya dan melangkah mundur. "Aku minta maaf, tapi, orangtuamu sudah tidak ada di sini. Orang yang memaksamu, sudah tidak ada di dunia ini, Naomi. Jadi, tidak bisakah aku mendapatkan kesempatan untuk setidaknya menjadi temanmu?"
Setelah beberapa detik yang lama, Naomi memberanikan diri untuk mengangkat wajah, menatap Nick yang kini memandangnya dengan putus asa.
"Caramu memandang Scott, Kevin atau bahkan supir taksi yang tidak pernah kau temui sebelumnya... tidak bisakah kau memandangku seperti itu? Seperti orang asing, seperti orang biasa. Karena, Naomi, aku bukan penjahat. Aku tidak akan pernah menyakitimu, aku bahkan tak berniat untuk memikirkannya."
Naomi tak pernah melihat kedua mata Nick memancarkan sinar kekecewaan seperti ini sebelumnya. Ia tak pernah tahu kalau lelaki itu bisa merasa putus asa atas hubungan dengannya yang tidak pernah lebih dari beberapa bulan. Naomi baru saja hendak membuka mulutnya, mengucapkan sesuatu namun ia menarik diri. Sebagian kecil dari ingatannya akan Nick membuatnya membungkam mulutnya dan menarik diri, lagi.
Sambil mengerutkan kening, Naomi menggeleng, "Kau saja yang memilih perabotannya. Aku harus pergi."
Naomi menyeret kakinya, berlari keluar dari sana dengan langkah cepat, meninggalkan Nick berdiri mematung sambil mengusap wajahnya dengan frustrasi.