Chereads / Another Winter / Chapter 12 - Sebelas

Chapter 12 - Sebelas

Musim dingin, 2006

"Jadi siapa yang akan kau ajak ke prom tahun ini?" Keiichi bertanya pada kakaknya yang sedang mengemudikan mobil sepulang dari sekolah. "Winter Prom kali ini spesial, mereka akan membuat lapangan ice skating untuk lantai dansanya."

"Entahlah. Aku mungkin tidak pergi," balas Nick sambil memusatkan perhatiannya pada jalanan.

Ucapannya itu mengejutkan Keiichi. "Apa?! Tidak mungkin. Kau anak paling populer di sekolah! Kalau kau tidak pergi, mereka akan membicarakan yang tidak-tidak tentangmu!"

"Memangnya kenapa? Karena mereka tahu kau adikku?"

"Bukan itu, maksudku... ini kesempatan sekali seumur hidup. Semua orang pasti mempunyai kenangan saat mereka muda dan salah satu yang terbaik adalah saat mereka ke prom." Keiichi mencoba membujuk kakaknya dengan frustrasi sambil memandang keluar jendela.

"Akan kupikirkan," ujar Nick kemudian mengalihkan pembicaraan. "Kau sendiri? Kau sudah mengajak seseorang?"

Keiichi mengangguk penuh semangat. "Emma. Emma Adams dari klub seni."

Nick tersenyum mendengarnya. Nick telah mengetahui kalau Keiichi menyukai gadis asal Kanada itu sejak kecil. Sejak berada di sekolah dasar, Keiichi selalu mengumbar-umbar tentang teman sebangkunya, Emma yang baik hati, senang tertawa dan cantik. Dan jika ditanya apakah ia menyukainya, Keiichi selalu mengelak. Dan meskipun adiknya itu tak pernah mengakui perasaannya, Nick selalu tahu kebenarannya dari cara Keiichi memandang gadis itu di sekolah.

Keiichi memiliki pandangan yang dalam, terutama ketika ia mengamati sesuatu yang ia sukai. Nick tahu itu karena ia gemar memperhatikan adiknya itu sejak lahir. Dari sekian banyak orang, mungkin hanya Nick dan orang tuanya yang menyadari kalau Keiichi selalu tersenyum kecil sambil mengusap-usap lengannya dengan kikuk jika berdiri di depan Emma. Tidak jarang pula Nick meledek dan menggoda Keiichi soal Emma.

"Tentu saja aku tahu dia. Teman dekatmu sejak di sekolah dasar. Emma sang penakluk Keiichi."

"Hentikan," erang Keiichi sambil melayangkan tinju ringan pada lengan Nick. "Ngomong-ngomong, aku ingin tahu seperti apa selera wanitamu. Maksudku tipe gadis seperti apa yang kau suka?"

Nick tersenyum sambil menggeleng. "Tidak ada."

"Tidak ada?! Tidak mungkin."

"Kau mungkin tidak percaya tapi, menurutku, kau tidak bisa mengatur bagaimana hatimu merasakan sesuatu. Kalau kubilang aku suka gadis berambut panjang tapi justru gadis yang berambut pendek yang mencuri hatiku, apakah omonganku bisa dipercaya?" Nick melirik Keiichi sesaat sebelum kembali memusatkan perhatiannya ke jalanan. "Cinta itu sebuah kekuatan yang tidak bisa dikendalikan. Jadi, kalau kau tanya aku gadis seperti apa yang kusukai, menurutku aku belum tahu. Karena aku belum menemukan gadis yang... menarik."

Keiichi mendecakkan lidah sambil menggelengkan kepala. "Dalam sekali. Bagaimana dengan sifat wanita? Mungkin kau punya beberapa pilihan?"

"Aku akan tahu saat aku bertemu dengan gadis yang membuatku tergila-gila." Nick tersenyum miring. "Memangnya kenapa kau begitu ingin tahu?"

"Well, karena aku ingin memastikan sesuatu."

"Memastikan apa?"

Keiichi berpaling pada Nick. "Kalau kita tidak akan pernah memperebutkan hal yang sama; orang yang sama."

Tepat saat itu mobil yang dikendarai Nick berhenti di depan gedung apartemen mereka. Setelah mematikan mesin mobil, Nick menoleh pada Keiichi sambil mendesahkan tawa, "Tenang saja, itu tidak akan terjadi."

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Karena kau adikku, aku tidak pernah merebut apa yang menjadi milikmu. Dan aku percaya kau akan melakukan hal yang sama." Nick tersenyum kemudian mengangkat tangannya yang mengepal, menunggu Keiichi yang kemudian membalas salam rahasia mereka sambil tersenyum lebar.

***

Nick mengerutkan keningnya sambil bersedekap di sofa panjang yang terletak di ruang duduk. Entah mengapa ingatan itu membuatnya gelisah. Apalagi melihat Naomi yang sejak tadi terus berbicara dengan Keiichi bersama ibunya yang sibuk membersihkan dapur. Gadis itu sesekali tertawa pada apa yang diucapkan Keiichi... sesekali menyikut lengannya mendengar candaan yang menurut Nick sama sekali tidak lucu... pemandangan itu membuat Nick resah.

Ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Nick bangkit berdiri dari sofa dan meski enggan, menyeret kedua kakinya ke pekarangan belakang rumah, tempat Naomi dan Aiko sedang berbincang-bincang.

Mendengar suara pintu belakang dibuka, Naomi berpaling ke arah Nick. Nick menangkap tatapan Naomi lalu tersenyum tipis, "Kurasa kau harus pulang sebelum ibuku memberikan ide untukmu menginap semalam di sini."

"Oh!! Itu ide yang bagus! Kenapa kau tidak singgah satu malam, Naomi?"

"Oh, tidak. Terima kasih. Aku harus tiba pagi-pagi di restoran untuk memantau renovasi," jawab Naomi, gugup.

"Oh, Nick bisa mengantarmu ke sana besok pagi. Atau salah satu supir pribadinya. Jangan khawatir, aku akan meminjamkan bajuku untukmu malam ini."

"Ma, dia bilang tidak. Jangan memaksa." Nick menekankan dengan wajah malu.

Aiko meringis lalu bersedekap. "Baiklah. Terserah kau saja. Tapi lain kali, Naomi, kau harus menginap di sini semalam, ya? Ya?"

Nyonya Boucher benar-benar sudah mabuk berat. Gerak-geriknya gemulai dan terhuyung-huyung, wajahnya memerah dan omongannya melantur. Dan karena itu, Naomi memaklumi. "Tentu saja, Okaasan."

"Oh, sebelum kau pulang, aku baru ingat ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu. Naomi, ayo, masuk sebentar." Aiko menarik lengan Naomi dan menariknya masuk, meninggalkan Nick serta Keiichi berdiri di perkarangan belakang rumah.

Langit sudah gelap, bunyi jangkrik yang nyaring menemani kekosongan di antara Nick dan Keiichi yang sama-sama memandang langit malam.

"Bagaimana Boston?" tanya Nick pada akhirnya.

"Oh, benar-benar menyenangkan. Dan sibuk. Minggu depan pertandingan antar klub akan dimulai. Jadi aku akan sangat sibuk berlatih." Keiichi mendecakkan lidah. "Pastikan kau datang menyemangatiku kalau sempat."

Nick tersenyum. "Pasti. Memangnya aku pernah tidak datang ke pertandinganmu di New York? Tapi aku tidak bisa janji untuk menjadi pemandu sorakmu dalam pertandingan di luar New York. Agak sulit bagiku untuk menyocokkan waktu."

Keiichi kini merubah hobi utamanya sejak kecil, bermain basket, menjadi profesi utamanya. Ia berhasil direkrut oleh klub Boston League setelah bermain untuk New York Kicks selama lima tahun. Adiknya itu menjadi populer belakangan ini karena menerima julukan King of Three Points, dan tentu saja Nick tak bisa lebih bangga mendengarnya.

"Tidak apa-apa. Aku mengerti." Keiichi tersenyum lebar lalu menepuk bahu Nick. "Aku benar-benar harus berterimakasih pada Naomi."

Nick langsung melirik Keiichi dengan waspada. "Kenapa?"

"Karena kalau tidak ada Naomi, kita tidak akan punya alasan untuk makan malam bersama," jawab Keiichi sambil tersenyum datar. "Aku benci segalanya harus berubah setelah kita dewasa."

"Aku tahu." Nick menundukkan kepala memandang rerumputan.

Hening sesaat sebelum Keiichi kembali menyahut, "Jadi, kapan kalian berencana menikah?"

Nick mengangkat wajah, kaget. "Apa?"

"Kau dan Naomi."

"Kita tidak pernah punya rencana untuk menikah. Itu semua ide Mama dan sahabatnya, ibu Naomi. Aku dan Naomi hanya menuruti keinginan mereka tanpa benar-benar menyetujuinya." Nick mengelak dengan cepat. "Aku bahkan tak begitu mengenalnya. Lagipula dengan kepergian orang tua Naomi, aku tidak yakin Mama sanggup memaksa Naomi untuk membuat keputusan sebesar itu."

"Bagaimana denganmu?"

"Bagaimana apanya?"

"Bagaimana dengan perasaanmu? Kau tahu Mama tidak pernah memaksamu untuk menyetujui pertunangan kalian. Dan di atas segalanya, menurutku perasaanmu yang paling penting."

Nick termenung selama beberapa detik sebelum membuka mulut untuk menjawab, "Aku tidak yakin."

Jawaban yang singkat itu membuat Keiichi tersenyum kecil. "Itu menjawab semuanya."

Nick memiringkan kepala, tidak mengerti. Ia baru hendak bertanya ketika pintu belakang terbuka dan Naomi melongok keluar dan berbisik, "Nick... ibumu tertidur di sofa...."

Nick.

Sepertinya itu kali pertama gadis itu pernah menyebut namanya. Dan ia tahu ia tidak seharusnya tersenyum mendengar kabar yang disampaikan Naomi tapi, ia tak dapat menahan seulas senyum kecil mengembang di wajahnya. Nick berharap Naomi tak melihatnya, tapi adiknya berhasil menangkap itu.

Nick kemudian memasuki rumah, diikuti Keiichi dari belakang. Ia lalu membopong Aiko ke kamar, menidurkan ibunya di atas ranjang sebelum kemudian menyelimutinya. Nick mengusap puncak kepala ibunya perlahan sebelum menutup pintu meninggalkan kamar.

"Keiichi-kun, terima kasih atas makan malamnya. Maaf aku tidak bisa lama-lama." Naomi tersenyum hangat pada Keiichi yang mengantar Naomi dan Nick ke pintu depan.

Keiichi menggeleng. "Tidak, tidak masalah. Aku akan di sini sampai besok. Aku akan menyampaikan salammu pada Mama besok pagi."

"Terima kasih banyak."

Naomi telah tiba di mobil SUV milik Nick yang terparkir di depan halaman rumah beberapa saat kemudian. Nick membukakan pintu bagi Naomi dan sebelum memasukinya, Naomi melambai pada Keiichi. "Sampai ketemu lagi, Keiichi-kun. Hubungi aku kalau kapan-kapan kau ingin mampir ke restoran."

Tunggu. Apa? 'Hubungi aku' ? Nick melirik Naomi dan Keiichi secara bergantian dengan waswas, tak menyadari kedua matanya melebar.

Setelah memastikan Naomi masuk ke dalam mobil dan menutup pintu, Nick mendekati Keiichi yang berdiri beberapa meter dari mobil. "'Hubungi aku'? Kalian bertukar nomor telepon?"

"Ya. Aku memberitahunya kalau aku dan timku mungkin akan mampir ke restorannya kapan-kapan. Ada apa?"

Naomi memberikan nomor teleponnya pada Keiichi. Semudah itu? Sementara ia mencari cara untuk bisa mendapatkan nomor itu, adiknya mendapatkannya dengan begitu mudah?

Kedua alis Nick berkerut. Raut wajahnya begitu serius, seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting. "Tidak apa-apa. Kalau begitu, aku pergi dulu. Telepon aku."

Keiichi melambaikan sebelah tangannya ke arah mobil Nick yang perlahan-lahan menjauh, menghilang ke belokan jalan raya yang masih ramai. Dari kejauhan, Keiichi tersenyum kecil sambil melipat tangan di dada. Lalu, senyumannya mengembang ketika melihat nama Naomi Carter dalam daftar nama di kontak teleponnya.