"Jadi kemungkinan tanah lapang yang berada di dekat Times Square itu akan dibeli langsung oleh Edison Park untuk dijadikan stadiun basket atau sepak bola. Dan menurutku, lokasi itu lebih bagus digunakan untuk membangun semacam flat karena mahasiswa-," James menghentikan presentasi pendeknya lalu meraung, "Bisakah kau fokus sebentar? Kita sedang bekerja di sini, Nick."
"Ya, aku mendengarkanmu." Nick bersandar pada sofa panjang di ruang kerjanya sambil memainkan bolpen di sebelah tangannya. "Sekarang jam berapa?"
"Jam tiga sore. Kau sudah menanyakan itu empat belas kali dalam satu jam terakhir. Waktu tidak akan berputar lebih cepat meski kau mengeceknya setiap satu menit." James duduk di sofa berlengan untuk satu orang di sudut ruangan kemudian memandang Nick dengan frustrasi. "Baiklah, apa yang mengganggu pikiranmu?"
Nick memandang James dengan bingung. "Apa? Tidak ada."
"Kau lebih sering melamun akhir-akhir ini. Tidak pernah menjawab teleponmu dan melempar semua kewajibanmu kepadaku. Apa yang terjadi padamu?" James bertanya dengan kedua alis berkerut, cemas.
Dagu Nick berkerut. Ia tak tahu jawabannya tapi bayangan wajah Naomi selalu muncul di benaknya beberapa hari terakhir, membuatnya hampir gila. Apalagi setelah ibunya memberitahunya kalau ia mengundang Naomi untuk makan malam hari ini, dan fakta bahwa Nick harus pergi menjemput gadis itu dalam beberapa jam lagi. Ia semakin kehilangan kemampuannya untuk konsentrasi pada pekerjaannya.
Tapi, tentu saja James tidak tahu itu. James tidak boleh tahu. "Hari ini hari ulang tahun ibuku. Aku bingung harus membeli apa sebagai kado ulang tahun."
James terdiam sejenak sebelum merespon, "Kau selalu memberi ibumu uang dan meminta beliau untuk membeli kado untuk dirinya sendiri. Setidaknya itu yang aku tahu selama bekerja di sini. Kenapa hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya?"
"Entahlah. Kau terlalu banyak bertanya, aku pusing." Nick bangkit berdiri lalu berjalan menuju meja kerjanya. Sambil berkacak-pinggang menatap jendela yang menunjukkan pemandangan kota New York yang sibuk, Nick bertanya, "James, kau punya pacar?"
"Ya."
"Apa yang kau lakukan untuk membuatnya berhenti marah padamu?"
James menahan tawanya ketika ia tahu kemana arah pembicaraan mereka. "Well, sejauh ini aku jarang membuatnya marah. Kau tahu rahasia agar hubunganmu berjalan dengan mulus? Kau harus lebih sering meminta maaf. Terlebih lagi pada wanita. Meski kau tidak bersalah, kau harus meminta maaf. Karena suka atau tidak, mau tidak mau, kau harus menerima fakta kalau wanita selalu benar. Itulah yang kupelajari dari membina hubungan bersama pacarku selama sepuluh tahun terakhir."
"Sepuluh tahun?!" Nick menoleh pada James dengan mata melotot.
"Ya, mate." James tersenyum bangga seolah ia baru saja membanggakan sebuah prestasi.
"Dan apa yang kau lakukan, tidak menikahinya?"
"Well, karena dia masih ingin menjelajahi dunia, melakukan apa yang ingin dia lakukan sebelum mendedikasikan seluruh hidupnya untukku dan anak-anak kita di masa depan. Kau tahu, menjadi wanita itu tidak mudah."
Ucapan James membuat Nick termenung sesaat. Untuk pertama kalinya selama dua tahun bekerja di The Boucher Corps., James melihat Nick tersenyum dengan tulus padanya. "Thanks."
***
"Jadi kurang lebih seperti itulah ceritanya. Kau harus pura-pura tidak tahu dan lupakan kalau kau pernah mendengarnya dariku. Kau mengerti?" ucap Scott sambil setengah mengancam pada Kevin yang berdiri berseberangan di ambang pintu dapur sambil memperhatikan para pekerja bangunan bekerja di ruang utama restoran.
Scott baru saja menceritakan sejarah pertemuan Naomi dan Nick, dan apa saja yang terjadi di antara mereka kecuali hal terakhir yang diceritakan Naomi padanya.
"Lantas, kenapa Naomi membenci Nick?" Kevin yang tak mendengar cerita lengkap versi Scott bertanya dengan bingung.
Scott hanya mengusap puncak kepala Kevin yang tak berambut sambil berkata, "Kau baru lulus SMA, perjalananmu masih panjang untuk mengerti hubungan antara orang dewasa."
KLING-KLING.
Bunyi lonceng yang tergantung di atas pintu restoran menarik perhatian Scott dan Kevin. Scott kemudian tersenyum usil dan menyikut Kevin. "Lihat, orang yang dibicarakan baru saja datang."
"Wah... dia lebih tampan dari yang kubayangkan," komentar Kevin saat melihat Nick berjalan memasuki restoran sambil tersenyum.
"Hai. Aku datang untuk menjemput Naomi," sapa Nick kemudian menoleh ke arah para pekerja bangunan yang sedang menyemen lantai keramik. "Apa renovasinya berjalan lancar?"
"Ah, ya! Tidak ada masalah. Ketua timnya bilang dalam beberapa minggu ini kita bisa memindahkan perabotan baru," jelas Scott sambil tersenyum puas. "Terima kasih, Nick."
"Senang bisa membantu." Nick mengangguk sambil menepuk bahu Scott. Ia baru hendak mengucapkan sesuatu kita suara seorang wanita yang ia kenal muncul dari balik ruangan di sebelah dapur.
"Scott, apa dia sudah-,"
Ucapan Naomi terhenti ketika ia beradu tatap dengan Nick yang berdiri menjulang di balik pintu masuk. Scott dan Kevin yang berdiri di antara mereka, melirik Naomi dan Nick yang belum mengucapkan apapun secara bergantian.
Canggung. Tiba-tiba suasana di antara mereka terasa canggung dan aneh. Meski begitu, Nick merasakan ada yang berbeda dari Naomi. Entah mengapa tatapan mata gadis itu tampak lebih lembut dari biasanya. Meski hanya sedikit. Terlalu sedikit.
"I-ibuku sudah menunggu," celetuk Nick pada akhirnya, memecahkan keheningan.
"Tunggu di sana, aku akan mengambil tasku." Naomi berbalik kembali ke dalam ruang kerjanya dengan cepat.
Sementara Naomi pergi, Scott mendekati Nick lalu berbisik. "Apa kau masih penasaran tentang alasan mengapa Naomi tidak menyukaimu?"
Pertanyaan itu membuat Nick mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
"Kalau kau masih ingin tahu, aku mungkin bisa membantumu."
Kedua mata Nick melebar, tidak percaya. Ia baru hendak bertanya lagi ketika pintu kantor ruangan Naomi terbuka. "Ayo," ujar Naomi lalu berjalan menghampiri Nick, berhenti sejenak sebelum melewatinya dan membuka pintu. Nick menghela napas lega ketika menyadari Naomi tak lagi menabraknya seperti yang dilakukan gadis itu pekan lalu. Well, setidaknya itu sebuah kemajuan.
Nick memandang Scott dengan kedua mata disipitkan. Lalu sebelum ia mendorong pintu restoran, Nick menyahut pada Scott, "Urusan kita belum selesai."
Scott tersenyum miring sambil melihat Nick berjalan keluar dari restoran dan berlari menyusul Naomi yang sudah berbelok ke persimpangan jalan.
***
Perjalanan menuju kediaman Aiko yang berada di Brooklyn menempuh perjalanan yang cukup jauh dari restoran Naomi yang berada di Upper Manhattan. Suasana di dalam mobil begitu hening dan canggung; membuat Nick tidak betah. Entah mengapa keheningan itu membuatnya sulit bernapas. Tak ingin membiarkan kesunyian itu lebih lama, Nick menekan tombol pemutar musik dan terdengar suara musik klasik tak lama kemudian.
Mobil Nick sedang berhenti di lampu merah ketika ia berdeham. "Aku punya banyak CD musik klasik," ujar Nick, akhirnya memulai pembicaraan.
"Franz Schubert," balas Naomi, mengucapkan nama komposer musik yang diputar Nick. "Standchen Serenade."
"Aku punya Chopin, Beethoven, Tchaikovsky..."
Meski Nick tidak melihat wajah Naomi, ia bisa mengetahui kalau gadis itu sedang tersenyum kecil. Itu bagian dari Naomi yang ingin dilihatnya. Dan sayangnya, pemandangan itu hanya muncul saat Naomi mendengarkan musik klasik, musik favoritnya.
"Aku akan sangat senang kalau aku bisa melihatmu bermain biola lagi." Kalimat itu meluncur dari mulutnya tanpa sempat dipikirkan oleh Nick. Nick melirik Naomi sekejap, memastikan reaksi gadis itu namun Naomi mematung, seperti sibuk dengan isi pikirannya sendiri.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Suasana perjalanan darat mereka hanya dihiasi dengan iringan musik klasik Franz Schubert selama beberapa menit yang lama sampai Naomi tiba-tiba menyahut, "Aku tidak tahu apa yang harus kuberikan pada Okaasan, jadi aku hanya membeli anggur tua. Kuharap beliau suka."
"Ibu pasti suka. Terima kasih." Nick tersenyum kecil. Setelah melewati beberapa belokan dan persimpangan, mobil Nick akhirnya berhenti di sebuah rumah bercat putih dengan pekarangan luas. Naomi sedang mengagumi pemandangan rumah itu sambil melepas sabuk pengaman ketika Nick memanggil, "Naomi?"
Naomi menoleh seketika.
Nick meragu sejenak, berpikir keras sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk berkata, "Maafkan aku."
Naomi menatap Nick dengan kedua mata melebar, kaget.
"Aku tidak tahu apa yang kulakukan yang membuatmu begitu marah tapi aku ingin kau tahu kalau...," Nick menarik napas dalam-dalam, "...aku minta maaf."
Tak ingin membiarkan suasana di antara mereka menjadi lebih canggung dari apa yang sudah ada, Nick buru-buru menambahkan, "Ayo, Ibu bilang dia sudah selesai menyiapkan Sukiyaki. Kau pasti lapar." Nick membuka pintu dengan cepat dan melompat turun dari mobilnya.
Begitu menutup pintu kemudi, Nick tak langsung membukakan pintu bagi Naomi. Ia menggunakan sedikit waktunya untuk mengambil napas yang panjang sambil memejamkan mata karena ia tak pernah menyadari kalau meminta maaf pada seseorang bisa memerlukan begitu banyak energi. Apalagi jika orang itu Naomi, sepertinya tenaga yang terkuras menjadi dua kali lipat lebih besar. Nick tak habis pikir, bagaimana James bisa melakukan ini selama sepuluh tahun?