Naomi sibuk mengamati pemandangan malam dari dalam kaca jendela mobil. Kota New York memang tidak pernah tidur, selalu sibuk. Dan Naomi yakin meskipun waktu sudah menunjukkan jam tiga subuh, New York tetap ramai dan bising. Dan tentu saja, berbahaya.
Setelah melewati beberapa menit melewati lampu merah dalam kekosongan, Nick kembali menyalakan koleksi musik klasik milik Naomi sebagai lagu latar belakang. Kemudian ia menyeletuk, "Jadi, kau menjanjikan Keiichi makan siang gratis untuk timnya?"
Naomi tersenyum kecil mendengar Nick memulai percakapan. "Well, sebenarnya itu hanya basa-basi. Tapi, kalau dia memang datang, aku akan menyambutnya dengan hangat. Dan kuharap kau memotongnya dari tagihan hutangku kalau aku melakukannya."
Nick tersenyum miring dan mengangguk. "Tentu."
Hening, selama beberapa saat yang menurut Nick terasa seperti berjam-jam. Ada barisan mobil-mobil yang tak bergerak di depannya dan sepertinya akan memakan waktu yang cukup lama untuk tiba di Manhattan.
"Kau tahu, kau tidak perlu mengganti nomor teleponmu berkali-kali hanya demi menghindariku." Nick akhirnya tak dapat menahan dirinya untuk tidak mengutarakan isi pikirannya.
Naomi tak langsung menjawab. "Entahlah. Aku membutuhkan waktu untuk bertemu orang-orang yang mengingatkanku akan orang tuaku. Termasuk kau dan ibumu."
"Aku tidak bermaksud untuk menghubungimu atau mengganggumu. Hanya saja, terkadang aku harus meneleponmu untuk... kau tahu, urusan pekerjaan atau semacamnya... tapi, kau tidak bisa dihubungi. Karena kau mengganti nomor teleponmu, tiga kali sejauh ini."
"Aku masih menyimpan nomormu," jawab Naomi, datar. "Jadi, aku bisa menghubungimu kalau aku membutuhkan bantuanmu atau semacamnya. Meski aku ragu aku akan memerlukannya suatu hari."
"Baiklah."
Nick tersenyum masam. Gagal. Usahanya mendapatkan nomor telepon Naomi tak berhasil. Kenapa gadis itu tak menyadari kalau ia sedang berusaha sangat keras?
"Ngomong-ngomong, terima kasih atas makan malamnya. Aku benar-benar menikmatinya," ucap Naomi, mengalihkan pembicaraan. "Keluargamu sangat ramah. Kuharap aku memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang sama dengan keluargaku."
Kalimat itu membuat suasana berubah canggung. Nick mendadak merasa harus mengungkap kebenaran yang tak pernah diketahui Naomi. "Sebenarnya, Mr. dan Mrs. Carter sering mengajakku makan malam, tanpamu."
Pernyataan Nick membuat Naomi memiringkan posisi duduknya menghadap Nick yang balas meliriknya. "Apa? Tanpaku?"
Nick mengangguk. "Aku dekat dengan Mr. Carter. Beliau sering menunjukkanku foto-fotomu sewaktu masih kecil, memberitahuku banyak hal tentangmu."
Naomi mengerjap, kemudian menunduk lemah. "Aku... tidak tahu itu."
"Aku tahu kau pasti menolak ajakan makan malamku maupun orang tuamu. Semua orang tahu kau tidak menyukaiku, tapi aku tetap menganggap kedua orangtuamu sebagai orang tuaku. Terutama ayahmu. Kau tahu aku kehilangan ayahku sejak aku masih kecil, aku sangat menginginkan sosok ayah dalam hidupku. Jadi, aku sering mengajak beliau makan siang, makan malam bahkan menonton pertandingan basket Keichi bersama. Aku... menyayangi Mr. Carter seperti ayahku sendiri." Nick menjelaskan dengan suara parau. Kemudian ia berdeham, "Maafkan aku, Naomi. Karena tidak memberitahumu."
Naomi buru-buru menggeleng. "Tidak," tukasnya. "Aku justru berterimakasih. Ayahku tak memiliki banyak teman, dia penyendiri. Sebenarnya aku sendiri kaget dia mau menerima ajakanmu. Aku benar-benar berterimakasih."
Naomi kemudian hilang ke dalam lamunannya. Ia tahu ia seharusnya merasa marah karena Nick telah menyembunyikan ini darinya tapi, mengapa ia merasa sebaliknya? Membayangkan ayahnya menonton pertandingan basket sambil tertawa bersama Nick yang duduk di sebelahnya, mengenakan topi klub New York Kicks, membuat Naomi tersentuh. Nick telah melakukan hal-hal yang tak pernah dan tak bisa ia lakukan sebagai anak perempuan kepada ayahnya. Hal itu adalah penyesalan terbesarnya setelah kedua orang tuanya meninggal. Seharusnya ia melakukan yang terbaik untuk menyenangkan kedua orangtuanya sebelum semuanya terlambat. Seharusnya ia berusaha lebih baik...
"Naomi?"
Suara Nick membangunkan Naomi dari lamunannya, lamunan yang hampir membuatnya meneteskan air mata. Naomi menelan ludah, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tak menangis. "Ya?"
"A-aku sepertinya masih lapar, apa kau keberatan menemaniku membeli burger?"
Naomi mengangguk cepat. "Ya, tentu!"
Nick bohong. Sebenarnya ia sudah tak memiliki ruang lebih untuk menampung sepotong burger dan kentang goreng serta minuman bersoda di perutnya. Tapi karena ia sudah setengah jalan menuju apartemen Naomi, Nick tiba-tiba ingin menemani Naomi lebih lama. Ia yakin percakapan terakhir mereka membuat suasana hati gadis itu buruk dan biasanya, seseorang yang sedih membutuhkan hiburan atau setidaknya, seorang teman. Naomi tidak baik ditinggal sendirian.
Mobil Nick berbelok ke restoran cepat saji terdekat di pinggir jalan. Nick memilih untuk memesan makanan lewat layanan drive-thru agar ia tak perlu repot-repot turun dari mobil.
"Satu set cheese burger dan chocolate milkshake." Nick menyebutkan pesanannya kemudian mengulurkan kartu kreditnya kepada pelayan restoran.
Dari tempat duduknya, Naomi tersenyum. "Aku berani bertaruh, ayahku yang memberitahumu itu."
"Memberitahu apa?"
"Chocolate milkshake. Itu minuman kesukaanku sejak kecil."
Nick tertawa pelan. "Ya, Mr. Carter yang memberitahuku."
"Dan kau mengingatnya."
Nick mengangguk sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, setelah menerima pesanannya di konter pengambilan makanan, Nick memarkirkan mobil di lapangan parkir restoran lalu memberikan chocolate milkshake milik Naomi. "Jadi, apa saja yang kau tahu tentangku? Maksudku, apa saja yang diberitahu ayahku tentangku?"
Nick membuka lapisan kertas pembungkus burger dan mulai menyantap makanannya. Sambil mengunyah, Nick menyipitkan kedua matanya. "Hmm, coba kuingat-ingat." Nick membasahi bagian bawah bibirnya lalu melanjutkan, "Kau menangis di hari pertamamu masuk sekolah dasar, kau tidak bisa mengendarai sepeda, kau tidak suka makanan pedas, kau pernah terjatuh dari perosotan di taman bermain saat kau berumur lima tahun..."
"Apa ayahku hanya memberitahu hal-hal yang memalukan?"
Nick terkekeh lalu kembali menjawab setelah berpikir sejenak, "Aku ingat Mr. Carter bilang kalau kau gadis yang... maaf, keras kepala. Kau tampak menyeramkan dan tegar tapi sebenarnya, kau hanya gadis biasa yang memiliki kesulitan untuk mempercayai sesuatu." Nick menjelaskan sambil memandang Naomi dalam-dalam. "Kau tahu apa alasanku memutuskan untuk membantumu dan menyelamatkan restoran keluargamu?"
Naomi terdiam, tak bergerak, menanti jawaban Nick.
"Suatu hari, beberapa pekan sebelum kabar buruk itu muncul, ayahmu mengundangku untuk makan siang di restoran Jepang tempatnya bertemu ibumu. Beliau menceritakan padaku bagaimana ia menikahi ibumu, cerita itu sangat panjang sampai aku hampir mengantuk. Maaf." Ucapan itu membuat Naomi tersenyum kecil. "Tapi, cerita itu berakhir dengan sebuah permintaan."
"'Nick, aku tak peduli apa kau akan menjadi menantuku atau tidak. Tapi, aku harap kau bisa menjaga Naomi seperti keluargamu sendiri. Karena, kalau aku tidak ada, aku tidak tahu siapa yang bisa menjaganya.' Itu pesan terakhir ayahmu kepadaku." Nick tersenyum. " Karena itu aku berusaha keras untuk memenuhinya. Aku berusaha untuk menghubungimu, mencarimu, memastikan kau baik-baik saja. Dan begitu Scott datang dan memberitahuku tentang masalah yang kau miliki, aku tidak pikir panjang."
Mesin mobil Nick masih menyala, beradu dengan suara musik klasik di latar belakang yang melantun pelan. Nick dan Naomi menghabiskan beberapa detik saling memandang sebelum Nick kembali menyantap makanannya dan mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Naomi tertegun. Ia tak dapat menemukan kata yang tepat untuk segala yang telah dilakukan Nick untuk ayahnya.
"Ah, kenyang sekali rasanya! Sekarang aku bisa pulang. Apa kau mau-,"
"Terima kasih, Nick."
Nick memandang Naomi sambil mengangkat kedua alisnya, tidak mengerti.
"Terima kasih atas banyak waktu yang kau habiskan bersama ayahku. Aku benar-benar menghargainya." Naomi tersenyum hangat, tanpa melepaskan pandangannya dari Nick. "Dan, maafkan aku telah... membencimu tanpa alasan. Rupanya aku salah tentang banyak hal, tentangmu."
Kedua mata Nick melebar, terkejut seperti baru saja melihat hantu. Mulutnya perlahan-lahan terbuka, terperangah mendengar ucapan yang tak pernah terpikirkan oleh Nick akan diucapkan oleh Naomi.
"Apakah... ini berarti aku mendapatkan kesempatan kedua?" Pertanyaan itu meluncur lebih cepat dari mulutnya dari yang ia pikirkan.
"Kesempatan kedua?"
"Untuk mengenalmu dan memulai semuanya dari awal."
Naomi tersenyum miring dan mengangkat sebelah bahu. "Mungkin."
Senyuman lebar langsung merekah di wajah Nick tanpa sanggup ia sembunyikan. "Itu sudah lebih dari cukup."
"Jadi, sekarang kau akan mengantarku pulang atau tidak?"
"Tentu, tentu. Tadi, kau bilang kau minta maaf, bukan?"
Naomi memalingkan wajah ke luar jendela. "Aku sudah tidak ingat."
"Aku akan menerima permintaan maafmu dengan satu syarat."
"Tidak perlu diterima, tidak apa-apa."
Nick melanjutkan tanpa menghiraukan ucapan Naomi. "Berikan aku nomor teleponmu."
Naomi kembali menoleh pada Nick sambil menahan tawanya. "Syarat macam apa itu?"
"Percayalah, itu syarat yang sangat penting."
"Berikan ponselmu."
Nick merogoh saku jaketnya dan mengulurkan ponselnya pada Naomi yang lalu mengancam, "Jangan menghubungiku kecuali dalam keadaan darurat."
"Aku mengerti." Nick tersenyum penuh kemudian menyalakan lampu mobilnya dan kembali mengemudikan mobil ke Manhattan. "Sekarang, ayo kita antar Tuan Puteri pulang."