Rabu, 10 Juni 2020. Pukul 17 : 00. Oke, sudah satu jam Melodi duduk di halte sendirian. Menatap derasnya hujan mengguyur kota Jakarta tanpa henti. Matanya tanpa henti menatap kagum air yang turun ke bumi itu, segar pastinya jika ia berada di antara tetesan-tetesan air itu. Menari menyorakkan terimakasih pada Tuhan yang telah memberikan anugrah terindah pada bumi dan makhluk-Nya.
Melodi menyukai hujan, gadis itu sudah lama merindukan hujan, dua minggu sudah ia kesepian tanpa hujan. Hujan seakan memberikan kenyamanan, semangat baru dan hari baru untuknya. Setiap tetesan yang mengenainya terasa seperti energi positif yang tersalurkan pada tubuhnya. Segar rasanya.
Lama memerhatikan hujan, matanya tergerak untuk menampung tetes demi tetes air yang jatuh dari langit itu. Hingga terdapat genangan di telapak tangannya. Perlahan mata bulat cantik itu tertutup, memperlihatkan bulu mata tebal yang merapat. Dirasakannya energi itu. Energi dari air yang diturunkan langit yang membuatnya merasa nyaman.
Hingga beberapa menit kemudian 'tak terasa lagi titikan air itu. Seperti ada yang menghalanginya untuk turun. Padahal telinga gadis itu masih bisa merasakan nyaringnya air hujan yang menyentuh tanah maupun aspal.
"Mau sampai kapan mainan air?" tanya seseorang, membuat gadis itu langsung membuka matanya.
Terlihat lelaki tampan berdiri di depannya membawa payung.
"L-lo siapa?" tanya gadis itu mengernyit kebingungan. Lelaki itu hanya diam, melangkah semakin dekat dengan Melodi. Membuka jaket hitamnya lalu memakaikannya di tubuh Melodi.
"Eh apa-apaan nih?" tanya gadis itu tidak paham.
"Ayo pulang!"
"Lo siapa sih anjir?!" kesal Melodi, berdiri dari duduknya. Dibukanya jaket tadi lalu diletakkannya di atas bangku halte.
"Orang yang akan menjagamu," jawab lelaki itu tenang.
"Gak jelas lu!" kesal Melodi lalu berjalan pergi dengan menutup kepalanya menggunakan ransel dari atas.
Melihat hal itu sontak lelaki tadi buru-buru mengambil jaketnya tadi dan mengejar Melodi.
"Hei! Berhenti!"
"Kita pulang sama-sama!"
"Melodi!" Lelaki itu berusaha memanggil Melodi, namun tetap tidak dihiraukan oleh gadis itu.
Lelaki itu berusaha mengejar Melodi hingga akhirnya tangannya dapat menahan baju seragam gadis itu.
"Berhenti," pintanya membuat Melodi akhirnya berhenti. Lelaki itu menghela nafas lega lalu berjalan mendekat. Sakingkan dekatnya payungnya tadipun sudah melindungi keduanya dari hujan.
"Ayo pulang, rumahmu jauh. Hujan. Nanti sakit, loh ...," bujuk lelaki itu, membuat Melodi semakin bingung.
"Saya teman Om Reno. Yang kemarin bertamu di rumahmu," jelasnya membuat Melodi akhirnya mengangguk percaya.
***
Sekarang keduanya sudah berada di mobil lelaki itu, lelaki yang 'tak lain adalah Dareen Oliver Aldari.
Dareen fokus mengemudi, tanpa tau Melodi sekarang tengah bertanya-tanya dalam hati.
'Lu ngapa sih Mel, cuma gara-gara dia bilang dia kenal bokap lu aja lu udah percaya. Gimana coba kalau dia itu sebenernya pencuri yang berkedok sebagai temen bokap lu? Mampus lu!' batin gadis, itu merutuki kebodohannya.
"Kamu kelas berapa?" tanya lelaki itu tiba-tiba.
"12 Om," jawab Melodi gugup.
"Panggilnya jangan Om, saya masih muda."
'Terus gue harus panggil apa njing!' batin Melodi emosi.
"Kita mau pulang 'kan, Om?"
"Emang kamunya mau kemana?"
"Eh g-gak, tanya doang kok."
***
Ternyata ketakutan Melodi tidak benar adanya. Dareen benar-benar mengantarkannya sampai rumah. Gadis itu keluar dari mobil Dareen, ia sudah berpamitan tadi di dalam mobil. Sehingga sekarang ia bisa melenggang masuk ke rumah.
"Hufh ..., untung aja orang baik," gumam gadis itu masuk ke-rumah. Tanpa sadar Dareen menatapnya dari balik kaca mobil sambil tersenyum.
.
.
.
"Dareen itu orang baik budi pekerti dan mapan. Jadi gak ada salahnya kita jodohin Melodi dengan dia Bun," terang Reno, ayah Melodi di ruang tamu.
"Iya, Yah. Tapi apa mungkin dia mau nerima anak kita yang masih berpenampilan seperti itu. Ditambah lagi usianya yang juga masih labil. Bunda gak mau rumah tangga mereka nanti hancur karena kelabilan anak kita. Dan Bunda takut Dareen gak mau sama Melodi," lirih Diana, tanpa sadar Melodi ternyata tengah mengintip di balik tembok ruang tamu.
'Dijodohin? Rumah tangga? Apa-apaan nih?!' batin gadis itu menguping pembicaraan kedua orang tuanya. Melodi baru saja masuk ke rumah dan disambut dengan pemandangan kedua orang tuanya yang tengah berbicara serius.
"Soal penampilan mudah diatur Bun. Dan soal sifat labilnya, kita tau kalau Dareen itu sangat dewasa. Dia akan mengajarkan anak kita bagaimana bersikap dewasa. Jangan takutkan hal itu, yang patut ditakuti itu jika keduanya bersifat labil, karena pastinya ketika ada konflik dikeluarga, keduanya akan sama-sama egois." apa yang dikatakan Reno sepertinya diterima dengan baik oleh Diana. Wanita itu tampak mengangguk setuju.
"Maksudnya apa ini Bunda? Ayah?!" Melodi tiba-tiba keluar dari persembunyiannya.
"Melodi? Kamu sejak kapan datang?" tanya Diana, terkejut.
"Jawab Bunda! Ayah! Maksudnya apa?!" bentak Melodi, mulai emosi.
"Siapa yang mengajarkan kamu masuk tanpa salam dan langsung membentak orang tua?" sela Reno, menatap garang Melodi.
Hembusan nafas itu terdengar dari arah Melodi, gadis itu menunduk.
"Assalamu'alaikum," ucapnya kembali menatap kedua orang tuanya.
"Walaikumsalam," jawab kedua orang tua Melodi.
"Benar, Ayah akan menjodohkan kamu dengan teman Ayah," lanjut Reno, membuat gadis yang berdiri di depannya itu terbelalak.
"Nggak! Apaan sih Ayah! Melodi gak mau!"
"Melodi!" bentak Reno, membuat gadis itu diam. Tidak berani menatap sang ayah.
"Namanya Dareen Oliver Aldari, baik budi pekerti, jelas bibit bobotnya dibanding pacar kamu yang tidak tau sopan santun itu." jelas sekali saat ini Reno tengah menyindir Dito, pacar Melodi.
"Ayah jangan bawa-bawa Dito! Dia gak salah, Ayah sendiri yang benci dia tanpa alasan!" kesal Melodi, terus saja ayahnya ini membanding-bandingkan kekasihnya dengan orang yang jelas tidak ia kenal.
"Aku masih SMA, Yah. Belum pantas berkeluarga. Aku juga masih mau sekolah, aku ini anak Ayah, Ayah harusnya ngerti aku," ujar Melodi, menatap sendu ayahnya.
"Ayah ngerti semuanya, Ayah udah pikirin. Kamu nikah setelah tamat, dan Ayah ingin kamu merubah penampilan kamu. Jadilah anak yang soleha Melodi. Ayah bangga kalau kamu berubah, Ayah ingin anak Ayah sama seperti anak orang lainnya. Berhijab dan rajin beribadah," lirih Reno. Melodi terdiam, hatinya teriris mendengar pengakuan orang tuanya. Ia menunduk menahan air matanya. Tak kuasa menahan kesedihan akan nasib dan kata pedas sang ayah yang tidak menyukai penampilannya. Melodi kembali menatap kedua orang tuanya, berusaha menjaga ekspresinya agar terlihat biasa saja. Ia tersenyum samar lalu berjalan pergi.
"Apa aku sudah kelewatan Bun?" tanya Reno menatap Diana.
"Tidak, Ayah benar. Sudah seharusnya kita beri tau dia sekarang. Ini juga demi kebaikan anak kita," jawab Diana sembari tersenyum cerah.
***
Brak!
Melodi membanting pintu kamarnya lalu melompat ke kasur setelah melepas tasnya. Tubuhnya telungkup, kedua tangannya melipat menutupi wajahnya yang tengah menangis. Ia benar-benar marah, kesal, bersamaan dengan kecewa saat ini.
"Mati aja deh lu Mel! Dinikahin sama temen Ayah. Bayangin coba temen Ayah, temen Ayah njir ... segimana keriputnya? Najis anjay! hiks ... hiks ...."
"Pasti perutnya gede, pasti matanya jelalatan, pasti hidung belang, pasti buaya! Huwaa gue jijik! Gak mau dijodohin!" tangis Melodi pecah, membayangkan betapa tuanya pasti Dareen Dareen itu. Tidak ada temen ayahnya yang masih muda setaunya. Rata-rata perut besar dan keriputan semua. Tetapi ayahnya tidak berperut besar, ayahnya masih bisa dikatakan gagah meski sudah berusia kepala tiga.
"Gue harus berubah gimana lagi coba?! Power rangers? Powerbank? Apaan sih?! Gue tuh udah lumayan juga. Gak brandal, gak bodoh-bodoh amat, gak nakal. Salah dimananya coba! Hiks ...."
Tok tok tok
"Mel ...," panggil lembut seseorang di luar yang Melodi yakini adalah bundanya.
Ceklek!
Diana masuk tanpa permisi, menatap iba anaknya yang tengah menangis di kasur.
"Jangan sedih, anak Bunda jelek kalau nangis."
"Keluar Bunda."
"Udah dong nangisnya, sini dulu sama Bunda." Diana berusaha membujuk anaknya, menarik tubuh Melodi untuk dipeluk.
"Bunda keluar kata Melodi!" bentak Melodi, namun Diana tetap teguh pada pendiriannya. Ia akan berusaha membuat anak gadisnya mengerti.
Diana mencoba merengkuh tubuh Melodi dalam dekapannya, hingga akhirnya anak gadisnya itu pasrah. Menangis tersedu-sedu di pelukannya.
"Denger 'kan kata Ayah? Anak Bunda harus berubah. Jadi gadis yang soleha, anak Bunda udah cantik kok. Cuma kurang hijab sama perbanyak ibadahnya aja. Kita beribadah bersama-sama yah, supaya dosa kita berkurang. Dan Ayah tidak menanggung dosa kita lagi nanti," jelas Diana. Memang benar, dosa anak dan istri itu lebih banyak ditumpahkan pada ayahnya. Meski tidak sepenuhnya, tetapi tetap saja Reno nanti yang akan mempertanggung jawabkannya di akhirat.
"Melodi gak mau dijodohin, Bunda. Melodi punya pilihan sendiri," lirih Melodo disertai isak.
"Apalagi sama laki-laki yang udah tua, Melodi gak mau ...."
"Hahaha anak Bunda ada-ada aja, siapa yang mau jodohin kamu sama orang tua?"
"Ya Bunda sama Ayah lah hiks ...."
"Kamu salah besar sayang, calon kamu itu masih mudah. 25 tahun, udah dewasa juga. Dia pengusaha kaya. Bukan bapak-bapak yang kayak kamu pikirin. Dia juga ganteng, lho ...," goda Diana, tetapi tidak ditanggapi oleh Melodi.
"Tetep aja Melodi gak suka."
"Bunda gak yakin kamu gak suka. Tunggu aja besok, Bunda bakal minta dia jemput kamu sekolah. Supaya kamu tau siapa dia," ucap Diana, mengusap rambut Melodi lalu pergi dari sana.
"Bunda ...! Melodi gak mau! Hiks ... hiks ...."
"Percuma, pokoknya Melodi harus pulang sama Dareen. Jangan nangis lagi ya anak Bunda ...," ujar Diana, lalu menutup pintu. Membuat Melodi semakin kesal jadinya. Tetapi entah kenapa rasa bersalah juga muncul di hatinya. Kata-kata bundanya dan Ayahnya cukup menyadarkannya. Apakah dia harus berubah?
Ting!
Bunyi notifikasi pesan membuatnya tersadar dari lamunannya. Gadis itu turun dari kasur mengambil tasnya. Merogoh ponsel yang ada di dalam dan melihat pesan dari siapa gerangan.
Nomor tak dikenal terpampang disana. Membuat Melodi semakin bertanya-tanya.
+628**********
Pulang jam berapa besok?
Mampus! Ternyata apa yang dikatakan Diana tadi tidak main-main. Dareen akan menjemputnya besok.
Kagak usah jemput gue|
Balas Melodi lalu mematikan ponselnya. Baru saja meletakkan ponselnya dinakas, tiba-tiba suara notifikasi pesan terdengar kembali.
Kenapa?
Gue bisa pulang sendiri|
Kagak usah banyak tanya! |
Satu lagi, tolong batalin|
perjodohan ini!|
Gue gak suka sama lo|
"Perjodohan? Perjodohan apa?" gumam Dareen di seberang sana. Ia sama sekali tidak mengerti dengan balasan Melodi barusan. Siapa yang mau dijodohkan? Dareen sama sekali tidak tau.
TBC.