...
Dunia dan kehidupan ini bagiku hanya sebatas sebuah permainan dunia game arcade.
Sebuah permainan kehidupan yang sering kali alur ceritanya meleset jauh dari apa yang aku rencanakan. Terlebih lagi dengan hidup dalam pengawasan ketat ayah dan ibu, orang tua kandungku sendiri.
Dunia gameku semakin menciut. Tidak lebih besar dari segenggam ponsel yang sekarang ada diatas meja belajar, didepanku, benda pipih hitam itu terus bergetar sejak tiga menit yang lalu karena…salah satu teman yang aku anggap dekat telah menusuk dari belakang. Dalang dibalik semua kejadian baru-baru ini pasti ayah atau ibu. Pasti, aku yakin. Aku tidak bisa menduga tersangka lainnya selain mereka.
Keadaan yang terus berlarut seperti ini membuatku frustasi…
Aku membutuhkan alternatif dan atau apapun itu untuk segera mungkin menyelamatkan dunia yang sudah susah payah aku ciptakan sejak bertahun-tahun yang lalu. Atau setidaknya mengurangi tekanan oleh orang tuaku berikan kepadaku akibat pembangkanganku selama ini.
Dan untuk mencari alternatif tersebut tidak cukup mudah bagiku yang secara dua puluh empat jam terus diawasi oleh CCTV dan pengawal disetiap sudut pandangan mata.
Bahkan teman-teman yang aku punya tidak cukup banyak membantu untuk mewujudkan impianku tersebut. Bebas merdeka dari pengaruh orang tua. Namun, berputus asa bukanlah motto hidupku. Selalu ada jalan keluar untuk semua masalah didunia ini, hanya perlu sedikit melangkahkan beberapa langkah kaki ke depan, keluar dari tempurung, membersihkan kaca mata yang memburam untuk melakukan hal tersebut.
Tetapi, aku enggan untuk melakukannya karena belum ada cukup alasan untuk mengelabuhi mereka tentang pergerakkanku yang sebenarnya.
Bukan tidak mau, hanya...lebih tepat tidak cukup mampu. Mata-mata ayah maupun ibu ada dimana-mana, mungkin saja ada diantara teman-teman yang aku percaya. Semua karena uang dan kekuasaan mereka. Kedua orang tuaku menggunakan kekuasaan dan uang mereka untuk menekan pergerakkanku.
Anak kandung mereka sendiri!
Dan melawan mereka adalah hal terbodoh yang bisa dilakukan. Tetapi menikmati hidup seakan tidak ada apa-apa sama saja menyia-nyiakan hidup. Hidup yang aku miliki terlalu berharga untuk melakukan hal nekad nan tercela tersebut.
-
Tidak banyak yang tahu kalau sekolah SMA Metropol tempat dimana sekarang aku bersekolah dikelola oleh yayasan milik ibu, Yayasan Pelita. Karena aku terlalu enggan untuk menyombongkan diri sebagai anak pemilik SMA Metropol ini. Bagiku bertindak sombong semacam itu hanyalah sebuah kenistaan layaknya tindakan bunuh diri yang dilakukan anak-anak orang kaya.
Masih banyak hal lain yang lebih menantang untuk dilakukan di sekolah, seperti berkencan dengan gadis-gadis cantik satu sekolah.
Eits...
Jangan berpikir macam-macam. Kencan itu hanyalah alibi, kedok, topeng, pencitraan tentang diriku di depan umum saja. Hal yang sebenarnya begitu berat dan terpaksa aku lakukan demi misi rahasia.
Gadis-gadis cantik itu hanyalah boneka untuk melancarkan aksi terselubungku saja. Mereka yang suka berbangga lalu mengaku sudah berkencan denganku lalu detik berikutnya kabar tersebut akan sampai ke telinga ibu dan ayah. Marah mereka yang aku harapkan.
Namun, sialnya belum ada tanda-tanda percikan api dari sikap mereka.
Double sial!
Tentu, aku tidak akan menyerah dan berhenti begitu saja melakukan tindakan menjijikan itu, namun harus terus aku lakukan. Melihat binar-binar dari mata para gadis saja sudah membuat muak dan anehnya ada sensasi misterius tercipta darinya, membuatku seperti merasa ada kepuasan tersendiri. Bodoh bukan?
Lagi pula, jalan untuk kembali kepada aku yang dulu pun mulai terhalang kabut. Dan jika dipaksa untuk berbalik badan tidak akan cukup untuk mengembalikannya.
Sampai diwaktu, disuatu saat aku berharap akan ada jalan untuk menolong dari kenistaan serta ketololan yang aku ciptakan sendiri. Setidaknya membantuku tetap berjalan tegak dan bisa dalam kendali. Tidak membuatku semakin terperosok ke dalam jurang di palung dalam keputusasaan bocah tengik bernama Lyonardo Levi yang aku sendiri membencinya setengah mati.
Menjadi bagian dari keluarga Levi yang terpandang seperti memasungku sejak lahir.
Aku harus hidup dengan jalan yang sudah diatur oleh kedua orang tuaku sendiri. Mulai dari lingkungan pertemanan, tata krama, pendidikan terutama di sekolah mana saja aku boleh memilih dan yang lebih mengerikan dari semua itu adalah masa depan.
Aku merasa seperti tidak punya masa depan yang boleh aku tentukan sendiri. Semua sudah diatur.
Aku percaya adanya Tuhan. Adanya Tuhan yang mengatur semua segi kehidupan di dunia yang fana ini. Namun, aku tidak menyangka kalau dalam kehidupan keluarga pun ada aturan mainnya sendiri. Nyatanya, itu tidak dicipkatan oleh Tuhan melainkan manusia yang sok bijaksana dan berlagak mempunyai tanggung jawab moral terhadap keluarga mereka.
Ternyata, uang dan kekuasaan tidak cukup mampu membuat seseorang menjadi bahagia dan merasakan kehidupan yang sebenarnya. Ternyata, uang dan kekuasaan yang dimiliki orang tuaku berubah menjadi sangkar emas yang mengerikan. Yang mana aku dan Lisa, kakak perempuanku satu-satunya berada didalamnya selama hidup kami. Tanpa bisa melawan.
Lisa contoh nyatanya.
Oleh karena itu aku tidak mau hidup seperti Lisa. Bahkan pernikahan yang skenarionya dirancang dengan sematang-matangnya oleh orang tuaku tidak serta merta membawa kehidupan yang bahagia setelahnya. Bahtera pernikahan yang digadang-gadang akan bahagia, langgeng hingga ajal menjemput, tidak lebih seperti tinggal diantara batu nisan. Sepi. Tanpa cinta. Itu yang Lisa katakana padaku.
Tentu, tentu saja aku tidak ingin hidupku berakhir seperti Lisa. Lebih baik aku tinggal di kutub selatan yang dingin dari pada harus merasakan hal yang sama, seperti yang Lisa rasakan. Walaupun aku tidak percaya akan adanya cinta ataupun cinta sejati atau apalah itu namanya, dapat aku bayangkan jika harus menjalani hidup dikelilingi batu nisan yang dingin. Bisakan keadaan seperti itu akan terus membuat penghuninya menjaga kewarasan?
-
Dia, entah siapa namanya. Anak baru itu, yang berbeda kelas denganku...
Detik itu aku yakin dewa penolong telah menjawab doaku. Mengirimkan gadis biasa-biasa saja yang tanpa malu sangat menyukai uang. Benar, tidak salah. Dia benar-benar menyukai uang. Demi uang dia bahkan mau merendahkan diri bekerja di cafe depan sekolah. Bekerja sebagai seorang pelayan.
Untuk standar siswi SMA Metropol, bekerja sambilan di sebuah cafe itu setara dengan kejahatan. Tindakan kriminal yang mencoreng harkat serta martabat siswa dan siswi satu sekolah, seluruh murid sekolah harus menanggungnya. Sebuah hokum rimba lainnya yang tidak tertulis di tatanan kehidupan masyarakat Metropol. Dan gadis itu, mengacuhkannya. Dengan alasan klasik, untuk bertahan hidup ditengah mahalnya biaya hidup di Metropol.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa gadis itu pindah ke kota metropolitan yang kejam ini?
Dia, gadis itu, salah satu alternatif paling mungkin yang bisa aku gunakan saat ini. Demi cita-cita mulia yang telah lama aku impikan.