...
Sudah dua hari Petra masuk sekolah, begitu pula dengan pekerjaannya di Kohiti Café sebagai pelayan, menguras lebih banyak energi lebih dari yang Petra bayangkan sebelumnya.
Apalagi saat di sekolah, dimana sesi perekrutan calon anggota pengurus organisasi intra sekolah, Petra tidak mengira akan secepat itu waktu pemilihan calon anggota terlebih lagi mereka bahkan mengambil calon anggota dari anak baru sepertinya. Sebagai siswi penerima beasiswa dari Yayasan SMA Metropol, Petra dan siswa-siswi lainnya harus ikut aktif dalam segala aktifitas sekolah, tanpa terkecuali. Salah satu syarat beasiswa yang diberikan oleh pihak yayasan kepada para penerima beasiswa, bagi Petra sendiri hal tersebut tidaklah biasa. Salah satu bentuk persyaratan yang aneh menurut gadis tujuh belas tahun tersebut.
"Pak Manager, apa saya boleh meminta dispensasi waktu kerja yang lebih fleksibel?" tanya Petra kepada manager Kohiti Café sesaat setelah ia berganti seragam kerja.
"Kenapa?" tanya sang manager tanpa basa basi. Ia sudah menduga hal tersebut sebelumnya, bahwa menerima siswi penerima beasiswa seperti Petra tentu akan merepotkan sekalipun Petra anak yang rajin dan cepat tanggap dalam bekerja. Sebab itulah yang membuat sang manager semakin pusing kepala, kalau saja kata dilema itu terlalu menyedihkan untuk ia gunakan dalam keadaan seperti yang sedang ia hadapi.
"Dalam pekan ini ada banyak kegiatan di sekretariat intra sekolah kami pak. Dan, saya dicalonkan sebagai seksi humas, salah satu jabatan dalam kepengurusannya." jawab Petra dengan nada sedih yang tidak bisa ia tutupi. Berat bagi Petra sebenarnya untuk meminta ijin kepada pak manager yang baik hati itu, namun Petra sendiri pun kebingungan terhadap agenda sekolahnya sendiri yang sibuk.
"Oke." jawab sang manager singkat. Meninggalkan Petra dengan wajah berseri karena ijin yang ia minta dikabulkan.
Bagi Petra, bekerja di Kohiti Café sangat menyenangkan. Petra bisa melayani berbagai macam orang dengan berbagai macam karakter yang berbeda. Petra sangat suka berinteraksi dengan orang lain, jiwa sosial dalam dirinya cukup tinggi. Hal itulah yang membuat Petra mudah saja dalam menyesuaikan diri dan juga pemilihan dirinya sebagai calon seksi humas organisasi intra sekolah SMA Metropol.
"Pelayan…dimana pesananku?" tanya seorang remaja laki-laki dengan tatapan mata sedingin es berbicara kepada Petra. Membuyarkan lamunan gadis itu.
"Pesanan?" decit Petra bingung sendiri. Seingat Petra, dia belum pernah melihat pemuda bermata dingin tersebut memesan apapun sejak lima menit yang lalu ia datang dan duduk di meja pojok café.
"Iya. Aku pesan Long Black Coffe dan sandwich tuna. Apa aku harus mengulang hingga lima kali?" geram sang pemuda bermata dingin tersebut. Bibir pemuda itu sudah bergetar menahan amarah.
"Baik, baik, segera saya bawakan." sahut Petra segera pergi meninggalkan meja pemuda tersebut.
Petra yakin betul jika ia belum melayani pemuda bermata dingin yang bisa membekukan benda apa saja dalam tiga detik itu, mungkin salah satu temannya yang tadi melayani namun belum kunjung membawa pesanan pemuda itu. Tanpa berpikir yang tidak-tidak, Petra segera menuju dapur, meminta kepada barista dan koki untuk segera membuat menu pesanan pemuda itu, sebelum seluruh café berubah menjadi istana es.
"Maafkan aku Petra, sebenarnya akulah yang tadi melayani pemuda dari kutub tersebut. Namun, aku terlalu takut kembali ke mejanya untuk membawa pesanan yang dia pesan ini." decit Debbi, teman kerja Petra yang usianya satu tahun lebih tua darinya, menyerahkan nampan berisi Long Black Coffe dan sandwich yang tadi dipesan pemuda bermata dingin itu.
"Oh, Debbi, seharusnya kamu katakana dari tadi." kata Petra dan tanpa membuang waktu ia segera berjalan cepat menuju sudut pojok café, tempat dimana pemuda bermata dingin itu duduk sendirian.
Namun, saat Petra datang membawakan pesanan tampak sudah ada tiga teman lainnya mengisi seluruh kursi didepan dan samping tempat duduk pemuda bermata dingin tersebut.
"Silahkan Tuan, dinikmati." ucap Petra seramah mungkin kepada pemuda yang tidak sekalipun memandang kearahnya. Seolah Petra hanya sosok tidak penting dari seluruh bagian cafe.
"Hei Lyon, kenapa kamu hanya memesan untuk dirimu sendiri? Minum dan camilan untuk kami mana?" seru pemuda yang duduk disebelah Lyon, si pemuda bermata dingin.
"Pesan sendiri." jawab Lyon singkat saja, ia sibuk dengan mengetik sesuati di ponsel miliknya.
"Hmmm, selalu saja begitu…" timpal pemuda lainnya yang duduk diseberang meja Lyon.
"Jadi, Tuan-Tuan pesan apa?" tanya Petra berusaha menghilangkan suasana tegang yang Lyon ciptakan dengan teman-temannya tersebut. Menyunggingkan seulas senyum seramah mungkin dengan sangat terpaksa.
Jika Petra bisa memilih tentu ia akan dengan senang hati menenggelamkan empa pemuda tidak punya tata krama di depannya kedalam samudera terdalam di Pasifik.
"Tiga espresso, satu spaghetti, satu cheese pizza dan dua bistik." kata pemuda yang duduk disamping Lyon. Setelah itu berbicara, pemuda itu tersenyum manis kepada Petra.
"Baik. Segera saya siapkan." ucap Petra kemudian meninggalkan meja tersebut dengan menggeleng-geleng kepalanya sendiri.
Jujur, Petra sangat heran dengan sosok pemuda bermata dingin bernama Lyon tersebut. Sepertinya, Petra pernah melihatnya entah dimana terutama sorot mata dingin yang jelas sekali menggambarkan ketidakpedulian dirinya pada sekitar dan lebih berfokus dengan dunianya sendiri. Selain karena seragam sekolah yang Lyon kenakan sama dengan seragam sekolah Petra, SMA Metropol, ia tidak mempunyai petunjuk apapun perihal Lyon si pemuda es tersebut.
Setelah lima belas menit berlalu Petra membawa semua pesanan dari meja di pojok café itu, selain Debbi ternyata tidak ada yang berani melayani empat pemuda yang mengisi area pojok café. Bagi Petra hal tersebut sepertinya tidak masuk akal. Petra tidak habis pikir dengan teman-temannya itu.
"Bukankan dia masih makan nasi, roti, pasta atau sejenisnya kan?" geruti Petra kepada Debbi yang bungkam ketika ditanya apa alasan ia dan teman-teman lainnya tidak mau melayani meja tersebut.
"Tentu Petra, dia masih manusia dan bukan alien. Hanya kasta kita berbeda." bisik Debbi sambil bergidik sendiri. Debbi seperti menyembunyikan sebuah fakta tertentu yang mana Petra menjadi sangat penasaran karenanya.
"Jika seperti itu kenapa dia yang berbeda kasta dengan kita, mau-maunya datang ke café ini?" balas Petra dengan berbisik pula, sebelum ia pergi meninggalkan Debbi dan berjalan menuju meja Lyon yang saat Petra datang masih sibuk dengan ponselnya sendiri. Sementara teman-temannya yang lain juga disibukkan dengan gadget mereka masing-masing.
"Silahkan dinikmati." ucap Petra sesaat setelah menyajikan seluruh pesanan diatas meja. Hanya lirikan dari keempat pemuda itu sebagai jawaban atas perkataan Petra tersebut.
Sebagai seorang pelayan, Petra sadar diri untuk tidak mengeluh atau menggunjing para pelanggan sekali pun tingkah laku mereka membuat darah mendidih seperti keempat pemuda tersebut. Benar kata Debbi, ada jarak kasta diantara mereka sekalipun Petra tahu jika mereka satu sekolah dengan dirinya.