Petra tidak menyadari kehadiran seorang perempuan awal empat puluhan berdiri dibelakangnya. Dengan rambut cokelat tua tergerai sebahu, agak kusut akibat duduk terlalu lama, hampir tiga jam perjalanan didalam bus dan terjebak macet demi untuk bisa sampai ke kota tujuan. Ia ikut memandang jauh kedepan, menembus tingginya gedung-gedung beton berjejer memenuhi kota Metropol. Mereka berdiri dalam diam cukup lama. Hening. Mematung memandangi jendela kaca dari lantai dua di sebuah rumah, terletak disudut jantung kota Metropol, kota metropolitannya Mestonia yang tidak pernah tidur.
"Kamu yakin tinggal disini sendirian?" tanya perempuan itu. mendesah pasrah seolah tidak ingin Petra benar-benar melakukan apa yang menjadi tekad keponakan satu-satunya itu.
"Iya bi." sahut Petra mantap. Tidak ada keraguan sedikitpun terdengar dari ucapan Petra. Suara Petra begitu tenang, jelas tersirat tidak ada rasa yang membuat bibinya semakin gusar. Justru itu yang membuat bibi Mia semakin khawatir tanpa dasar.
"Tapi..." masih ada keraguan yang tidak bisa disembunyikan oleh sang bibi terhadap keponakan satu-satunya itu. Namun, bibi Mia pun tidak mempunyai alasan yang cukup untuk sekedar mengucapkan kalimat untuk mencegah keputusan Petra, atau mungkin untuk membuat Petra mempertimbangkan kembali tekadnya.
"Hanya tiga bulan kan? Tiga bulan untuk bisa bibi dan paman pindah kemari sepenuhnya...kan?" senyum Petra, sekali lagi mencoba menepis pemikiran cemas bibinya, yang Petra yakini sedang memenuhi isi kepala wanita yang sudah Petra anggap sebagai ibu kandungnya sendiri sekaligus sebagai panutan selama ini.
"Benar. Tapi Petra, kota ini...kita tidak pernah tinggal disini sebelumnya. Dan juga kehidupan disini sangat keras, bibi jelas mendengarnya dari teman bibi yang tahun lalu tinggal disini." Potong bibi Mia mencoba membujuk Petra untuk mengurungkan niatnya. Entah untuk keberapa kali. Atau untuk sekedar mempertimbangkan kembali, untuk melanjutkan beasiswa konyol tersebut. Sangat konyol malah, hingga membuat Petra tidak bisa menolak tawaran itu.
Masih jelas teringat dalam ingatan, tidak kurang dari dua bulan yang lalu kepala sekolah menawarkan beasiswa penuh kepada Petra untuk melanjutkan sekolah di SMA Metropol. Awalnya mereka sekeluarga gembira bukan main mendengarnya dan tanpa berpikir panjang langsung menerima tawaran tersebut. Tidak ada kesempatan kedua bagi Petra untuk bisa melanjutkan sekolah ditempat terbaik di Mestonia. Apalagi dengan beasiswa penuh. Lebih seperti sebuah keajaiban pikir Petra kala itu.
Namun, disitulah masalah datang. Beasiswa penuh yang dikatakan oleh kepala sekolah hanya untuk biaya pendidikan dan penunjang pendidikan di sekolah selama Petra menempuh pendidikan disana. SMA Metropol tidak memiliki asrama untuk siswa yang berasal dari distrik lain nan jauh seperti Finelan, tempat asal Petra berada. Dan itu artinya mereka harus, setidaknya menyewa rumah untuk Petra tinggal selama ia bersekolah di SMA Metropol. Dan itu artinya biaya yang mereka keluarkan untuk menyewa rumah sederhana seperti yang Petra dan bibinya kini berada tidaknya murah. Paman Petra hampir saja terkena serangan jantung mendadak saat melihat nominalnya.
Keajaiban yang berujung petaka.
Seperti nasi yang telah menjadi bubur. Petra harus tetap melanjutkan sekolah apapun alasannya. Yang artinya menyewa rumah tersebut adalah keniscayaan. Pertimbangan utama paman dan bibi Petra memilih rumah lantai dua tersebut selain harganya terbilang murah dari yang ditawarkan pihak lain, juga lokasi rumah tersebut cukup dekat dengan sekolah Petra.
Itu adalah salah satu percakapan serius antara Petra dan bibinya sebelum benar-benar tinggal di Metropol sepekan yang lalu. Hari itu masih teringat jelas dalam ingatan Petra. Tentang kegelisahan bibi Mia meninggalkan dirinya sendirian selama tiga bulan dan pamannya di Finelan yang banting tulang untuk memenuhi biaya hidup Petra selama tinggal di Metropol. Yang artinya, masa-masa awal Petra masuk sekolah ia hanya ditemani bibi selama satu pekan saja. Sisa dari tiga bulan sesuai kesepakan Petra habiskan tinggal seorang diri.
Sungguh, tidak sekali pun Petra persoalkan hal tersebut. Hanya saja, rasa cemas dan khawatir yang jelas ditunjukan bibi dan paman lah yang membuat Petra takut untuk menjalani hari-harinya di rumah sewa tersebut sendirian. Seorang diri di kota Metropol yang asing.
Bukan tidak mempercayai penjaga keamanan lingkungan kawasan tempat tinggal yang Petra pikirkan, melainkan bagaimana caranya dia bisa membuat nyaman suasana rumah yang bagi Petra terlalu luas namun sunyi, setidaknya untuk dirinya sendiri. Petra tidak pernah, dalam sejarah seumur hidupnya, tinggal di rumah berlantai dua nan luas seperti saat ini.
Bagi Petra, rumah itu terlalu luas. Dulu, sewaktu di Finelan ia dan keluarganya tinggal di perumahan milik pemerintah distrik Finelan yang dikhususkan untuk para petani dan keluarganya. Rumah kecil dan sederhana namun sangat hangat bagi Petra. Di rumah itulah Petra bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga, layaknya anak dengan orang tua. Hari-hari berharga bagi Petra yang yatim piatu sejak kecil.
"Apa kamu sakit, Petra?" tanya Debbi membuyarkan lamunan Petra di ruang ganti khusus pegawai Kohiti Cafe.
"Ah, tidak Debbi. Hanya saja, ada suatu hal terlintas dipikiran. Sesuatu tentang pelajaran sekolah." aku Petra berbohong. Petra tidak mungkin bisa menceritakan hal konyol seperti itu kepada Debbi, teman barunya, sekalipun Debbi adalah tipe anak perempuan yang mudah diajak diskusi dan berbagi cerita.
"Benarkah?" ulang Debbi, tangan kanannya sudah terjulur dan menyentuh dahi Petra. Mencoba memeriksa kalau-kalau Petra benar terserang deman akibat pergantian musim. "Suhu tubuhmu baik-baik saja. Lalu apa?" ujar Debbi yang gagal mendeteksi Petra dari gejala demam atau semacamnya, kemudian begitu saja mengalihkan pembicaraan sekenanya.
"Tidak ada apa-apa kakak Debbi." ungkap Petra bersungguh-sungguh. Kadang Petra bingung sendiri, Debbi itu lebih seperti ibu tiri yang baik hati dari pada teman kerja yang menyenangkan.
"Oke, oke, oke." desah Debbi pasrah lalu pergi meninggalkan Petra sendirian.
Gerimis diluar cafe jelas terlihat dari tempat Petra berdiri di belakang meja kasir. Awan kelabu pun ikut bergelanyut menambah suram hari Petra saat ini. Ditambah lagi suasana hati Petra sedang campur aduk antara rumah yang masih berantakan, tugas sekolah yang cukup banyak serta rapat intra sekolah yang berjalan alot entah membahas tentang apa, Petra tadi tidak cukup serius menyimak rapat tersebut. Namun, ada satu hal yang tidak bisa Petra lupakan begitu saja, ada seorang anak laki-laki yang membuat jengkel hampir seluruh peserta rapat. Memaparkan tentang ide-ide tidak masuk akal atas nama perbaikan organisasi intra sekolah yang baginya sudah kuno. Belum lagi kesombongannya soal anggaran untuk hal tersebut akan dia tanggung seluruhnya. Rapat itu hanya menambah kacau pikiran Petra saja karena orang itu.
Ada satu hal yang unik dari Kohiti Cafe dimana pintu masuk cafe terdapat sebuah lonceng dari tembaga seukuran bola golf dan akan berbunyi ketika ada pengunjung yang datang membuka pintu masuk. Seakan memberitahukan kepada para pegawainya ada tamu yang musti disambut dan dilayani.
Dan lonceng pun berbunyi lembut kala seseorang perlahan memasuk kedalam cafe. Petra buru-buru datang menghampiri untuk menyambut tamunya, mengantarnya menuju meja kosong dan menyodorkan buku menu. Tetapi, rentetan aturan dasar pegawai itu tiba-tiba menguap hilang saat mendapati bahwa tamunya adalah orang yang membuat rapat intra sekolah menjadi mimpi buruk bagi Petra selama sisa harinya di sekolah.
"Lyon." desis Petra sangat pelan sembari mencoba memberikan seulas senyum terbaik yang bisa ia berikan kepada pembuat masalah itu.