Petra sangat menyukai kelas sosiologi, salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan perkembangannya. Dalam mempelajari sosiologi Petra pun mendapatkan pengetahuan tentang sifat, perilaku, proses sosial dan perubahannya dari masa ke masa. Karena itulah Petra menjadi mudah bergaul dengan siapa pun serta mudah dalam membaur dengan lingkungan barunya.
Cita-cita Petra ialah menjadi seorang duta besar Mestonia. Dengan itu Petra bisa berkeliling dunia, melihat keanekaragaman kehidupan masyarakat dan keadaan sosial disetiap daerah yang ia kunjungi. Oleh karena itu, Petra memilih kelas Sosial di SMA Metropol dari pada kelas Sains yang hanya berisi dengan angka, rumus dan matematika. Kemudian akan berakhir di kantor pemerintahan, laboratorium dan semacamnya, yang tidak jauh-jauh berhubungan dengan rumus serta kawan-kawannya.
Bukan berarti Petra tidak menyukai hal-hal tersebut. Matematika misalnya, yang mana matematika sendiri merupakan salah satu bagian dari kehidupan sosial. Jual beli membutuhkan rumus matematika dasar dalam melakukan transaksi. Alat komputasi, robot kebersihan dan mesin produksi bergerak terkontrol karena adanya rumus matematika lanjutan.
Namun, hari ini ada seorang pemuda bermata dingin dan memiliki senyum manis yang tidak Petra sukai bertanya tentang matematika kepadanya entah untuk alasan apa. Satu yang Petra yakini betul kalau dia mempunyai firasat yang tidak baik akan hal tersebut.
"Matematika adalah bagian dari kehidupan masyarakat." jawab Petra asal saja. Jujur, Petra enggan untuk melayani ocehan Lyon yang semakin aneh.
"Tentu, tentu, tentu." timpal Lyon mengiyakan. Senyum dibibirnya perlahan memudar. Sadar kalau gadis didepannya tidak tertarik, atau sedang jual mahal.
"Jadi, apa yang tadi tuan ingin katakan?" tanya Petra mencoba membawa kembali ke topik persoalan antara pelayan dengan pelanggan.
"Duduk. Dan bantu aku menghabiskan makanan ini." kata Lyon yang tiba-tiba berdiri untuk memberikan tempat duduk kepada Petra dengan sangat sopan layaknya acara makan malam dalam sebuah acara perjamuan disuatu tempat.
Diperlakukan selayaknya nona muda dalam sebuah perjamuan seperti itu tentu saja membuat Petra tidak bisa berkutik, tidak nyaman. Petra tidak bisa menolak permintaan pelanggan yang sangat sopan tersebut. Lalu Petra duduk berhadapan dengan Lyon yang sudah berubah dengan wajah seriusnya lagi. Wajah putih yang dingin, seperti sorot matanya. Sangat kontras dengan Petra yang berwajah ceria dan ramah alami tanpa dibuat-buat.
"Maaf tuan. Saya tidak bisa memakan ini." kata Petra berusaha menolak permintaan Lyon yang bagi Petra semakin aneh.
"Aku memaksa. Jadi tolong, turuti saja apa kataku. Oke?" desah Lyon seperti kehabisan ide. Menghembuskan napas berat seolah beban hidupnya begitu pelik dan terlalu sulit untuk diurai kedalam kata-kata. Lyon memalingkan muka kearah jendela disamping kanannya, mengarahkan pandangannya jauh melewati rimbunan aneka bunga dan perdu yang terawat. Pikiran Lyon melayang-layang diantara awan putih pada birunya langit sore.
Sembari menyantap makanan yang belum Lyon sentuh, diam-diam Petra mencuri pandang kearah Lyon yang kini sedang sibuk dengan ponsel berwarna hitam ditangan kirinya. Lyon terlihat begitu serius menekan layar ponsel itu, mungkin jika Petra pergi meninggalkan Lyon begitu saja pemuda itua tidak akan menyadari. Namun, Petra tidak sepicik itu. Tidak bisa, setelah pemuda menyebalkan tersebut memberinya makan gratis. Petra tidak mungkin pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata terima kasih kepada orang yang memberinya makan. Sekalipun dia adalah Lyon, pemuda sombong menyebalkan nan angkuh.
"Jika tidak ada lagi yang tuan perlukan, maka saya mohon ijin untuk pergi." decit Petra setelah menelan potongan makanan terakhir dari sendok yang ia pegang dari tangan kanannya.
"Tunggu. Aku belum mendengar kamu berkata 'aku berjanji' bukan begitu?" kata Lyon sambil meletakkan ponsel disamping piring kosongnya lalu menatap Petra lekat-lekat.
"Apa?" sontak Petra kaget. Apa maksudnya itu?
"Kamu harus berjanji padaku." koreksi Lyon tidak mau kalah.
"Berjanji untuk apa?" raung Petra semakin tidak mengerti.
"Untuk makanan yang telah kamu makan barusan." ucap Lyon dengan senyum liciknya lagi.
"Jadi tuan menjebak saya untuk sebuah kata janji yang saya sendiri tidak tahu untuk apa saya harus berjanji dan apa isi perjanjiannya. Begitu?" desah Petra mulai tidak sabar.
Detik itu juga Petra meralat kalimat pujian untuk pemuda licik itu, memanglah kalimat makian lebih cocok untuk Lyon. Tetapi, Petra tidak sanggup mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Dan sebagai gantinya Petra hanya mampu mengeluarkan pelototan dari kedua matanya.
Buru-buru Petra hendak bangkit dari kursi dan meninggalkan Lyon namun berhasil Lyon cegah. Lyon kembali mencengkeram tangan kiri Petra dengan kuat. Menatap tajam kearah Petra. Mau tidak mau Petra kembali duduk, mengatur napasnya perlahan sambil menunggu jawaban Lyon atas pertanyaannya tadi.
"Kamu suka matematika, kan?" ulang Lyon.
"Tidak terlalu." jawab Petra enggan.
"Tapi, kamu bisa matematika dan tingkat yang lebih tinggi kan?" ucap Lyon memberi penekanan pada kata matematika dan tidak mengalihkan pandangan matanya dari Petra.
Ditatap intens seperti itu tentu saja membuat kalang kabut jantung Petra dan membuatnya sedikit hilang kendali.
"Maksudnya?" tanya Petra masih tidak mengerti apa yang Lyon maksudkan.
"Akuntansi." jawab Lyon singkat.
"Oh...begitu. Akuntansi ada dalam daftar kurikulum pelajaran kelas Sosial." kata Petra mulai paham.
"Benar. Dan aku ingin kamu berjanji akan membantuku. Nanti, aku akan memberikan upah untuk setiap laporan akuntasi yang kamu buat. Oke?" jelas Lyon pelan-pelan. Dia takut jika sampai Petra tidak bisa mencerna apa yang menjadi maksud dan keinginannya.
"Tidak oke. Saya menolak." tegas Petra sambil berdiri.
Petra tidak mungkin berniat untuk berurusan dengan orang asing dan tidak dikenal seperti Lyon. Sekalipun mereka satu sekolah. Lagi pula, dengan kekayaan yang Lyon miliki tentunya mudah saja mencari jasa akuntan profesional di Metropol.
"Hhmmm...begitu ya. Asal kamu tahu saja, bahwa situasumu itu bukan berada dalam posisi yang bisa menolak. Aku akan mengajukan keluhan kepada menager cafe dan detik berikutnya kamu bisa saja dipecat." kata Lyon dengan penuh keyakinan.
"Jadi kamu mengancam?" sanggah Petra sudah muak dengan perlakuan Lyon yang seenaknya dan aneh tersebut. Bahkan Petra sudah tidak bisa bersikap baik kepada Lyon dengan memanggilnya tuan, kode etik pelayan dalam menghormati pelanggan cafe.
"Iya, benar." Ucap Lyon serius.
"Kamu...memang benar-benar sesuatu ya." Geram Petra mencoba mengedalikan diri.
Petra kembali duduk di kursinya. Mengatur napasnya perlahan dan memandang Lyon dengan penuh kekesalan yang tidak bisa Petra sembunyikan lebih lama.
"Atau kamu lebih suka aku mengikutimu sampai rumah. Oh...ada kata yang cocok. Penguntit. Kamu yang bukan siapa-siapa pasti senang jika ada penguntit seperti diriku ini kan?" oceh Lyon kembali menunjukkan senyum liciknya.
"Jadi...laporan keuangan apa yang kamu maksud itu?" desah Petra dengan suara lirih. Hampir tidak terdengar.
Hari ini, satu hal yang bisa Petra petik pelajaran dari kejadian yang sedang Petra alami ialah bahwa sejauh dan sekuat apapun dirinya mencoba menghindari mala petaka pada akhirnya akan tetap datang menghampiri, dengan cara apapun.