Chereads / Ardiansyah: Raja dari Neraka / Chapter 10 - Chapter 7: Inferno

Chapter 10 - Chapter 7: Inferno

Langit bergelimpang cahaya, misil-misil sihir melesat melewati asap dan kabut pagi, berkelana mencari mangsa untuk dilahap. Namun ketika buruan mereka tepat di depan mata, semua sihir itu seakan kehilangan apa yang mereka cari.

Seluruh pasukan Api dilindungi oleh baja-baja kuat yang tidak mudah tembus oleh sihir. Baja yang telah dipersiapkan sebelum kedatangan mereka, dibuat khusus oleh para bangsawan suku Tanah. Dinding-dinding kecil ini telah mereka perkuat sedimikian rupa, dispesialisasikan untuk menghentikan sihir dengan durabilitas yang teramat tinggi.

Inilah strategi Backfire. Strategi yang sangat menguntungkan pasukan suku Api apabila musuh menyerang dari jarak jauh. Strategi ini tidak bisa digunakan pada bangsa Penempa Bumi, kecuali suku Alam (walau suku Alam tak pernah memiliki sejarah berperang), karena mereka cenderung menyerang dari jarak dekat dan memiliki mobilitas yang cukup tinggi.

Strategi ini dijalankan seluruhnya dengan senapan api. Pasukan akan melindungi diri mereka dengan baja-baja kuat, dan ketika akan menembak mereka akan membuka pintu kecil yang mereka buat pada baja tersebut dan menembakkan peluru api secara acak ke arah musuh. Lalu ketika mengisi peluru, mereka akan menutupnya kembali.

Sejujurnya seisi dinding-dinding di kota Afaarit terbuat dari tungsten yang sangat kuat menghadapi serangan, karena mereka luar biasa berlimpah di Maksallatan. Terlebih suku Api juga cukup gemar menggunakan benda-benda yang tak mudah meleleh atau terbakar pada bangunan mereka. Menyerang kota yang terdesain bagai benteng tanur tinggi ini, sebenarnya agak bodoh jika tanpa strategi matang.

Terlebih lagi, waktu tidaklah bersahabat pasukan Langit. Jika terus berada di udara, hal yang akan mereka temui hanyalah peluru-peluru api yang siap melahap tubuh mereka. Mau tak mau Indra harus membawa pasukannya mendekat dan turun ke darat untuk melakukan pertarungan di jarak yang tak sedemikian merugikan. Ia tahu suku Api ahli dalam pertarungan jarak dekat, namun ini lebih baik ketimbang terus dihujani dari bawah. Ditambah lagi terbang memakan sangat banyak energi sihir, hal ini akan membuat pasukannya tak akan bertahan jika pertempuran terpaksa berlangsung lama.

Mereka lalu memaksakan diri tuk terjun ke darat. Dengan sebanyak mungkin perisai sihir, mereka berusaha untuk menembus lautan peluru api. Sayangnya terkadang perisai yang mereka buat tak bertahan cukup lama dan banyak penyihir yang berakhir terhantam peluru api.

Tetapi mereka tak punya pilihan.

Begitu sudah sangat dekat, Indra dan penyihir listrik lainnya mengubah diri mereka menjadi kilatan cahaya, menerjang Daratan bersama petir-petir yang timbul dari awan Indra. Serangan ini berhasil menyingkirkan pertahanan Waraney di satu area, dan membuat mereka mundur ke lokasi vital terdekat, untuk mulai menghujani wilayah yang terokupasi, dengan peluru.

Sedikiti demi sedikit, para penyihir akhirnya mencapai Daratan, mereka tidak lagi terganggu oleh terkurasnya energi sihir guna menjaga sayap mereka. Pasukan Langit lalu membentuk perisai sihir raksasa pada beberapa area dengan masing-masing 7 penyihir menjaga ketebalan perisai tersebut ketimbang ikut bertempur. Kini mereka yang bersayap memiliki titik-titik aman bagi pasukan mereka untuk mendarat, menaruh suplai dan mengobati rekan mereka dari pertempuran yang terjadi.

Beberapa Waraney melompat ke dalam perisai sihir, menarik santi mereka, dan mulai membersihkan penyihir yang telah mendarat. Beberapa Area perisai sihir pun menjadi medan pertempuran yang rapat, tidak ada kekuatan dari luar yang dapat masuk ke dalam, karena terlindungi oleh energi sihir yang teramat pekat.

Seperti yang sudah kubilang, Afaarit merupakan kota yang terbagi menjadi tiga bagian, yang terpisah dengan deretan dinding tungsten setinggi 6 lantai dengan atap yang telah difortifikasi dan dipersenjatai. Ketiga bagiannya adalah luar, tengah dan dalam. Dan saat ini, prajurit Ilmuan Langit kini berhasil mendarat di bagian luar kota Afaarit.

Suku Api segera mengganti strategi mereka, membawa semua baja yang mereka gunakan ke bagian tengah kota dan mulai menempati dinding-dinding kedua yang menjadi pemisah bagian luar dan tengah. Kini setelah pasukan Langit berada di darat, Waraney mengambil keuntungan untuk berada di tempat yang lebih tinggi.

Para Santi Waraney yang menyerbu perisai-perisai sihir pun melesat mundur bagai kilatan api, menyisakan jejak-jejak yang bergejolak di tiap langkahnya. Dalam sekejap tiap Waraney yang memegang Santi kini berdiri di tengah kota, di atas dinding kedua.

Senapan Waraney berlanjut menghujani para penyihir dengan peluru api, mengunci mereka di dalam perisai sihir mereka. Terkadang perisai ini melemah dan peluru pun berhasil menembus masuk.

Karena wilayah mereka mendarat sudah tak diisi Waraney lagi, para penyihir pun mulai membaca mantra-mantra mereka untuk memanggil elemental—makhluk-makhluk yang terbuat dari elemen dengan tubuh tinggi dan kuat. Mereka terdesain untuk bertarung pada jarak dekat dengan berbagai senjata tajam. Elemental-elemental yang terpanggil kemudian berlarian menuju dinding-dinding Afaarit meski melewati ratusan peluru yang tak kunjung berhenti.

Penyihir-penyihir Es mulai membentuk bongkahan-bongkahan es yang perlahan menumpuk menjadi tangga ke atap dinding pasukan Api. Dan sayangnya, peluru-peluru Waraney terlalu kecil untuk meruntuhkan bongkahan tangga tersebut. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu hingga para elemental mendapat akses ke tempat mereka berdiri. Begitu juga dengan Angkasa yang mengatapi kota Afaarit, pasukan-pasukan baru nampak mulai berdatangan dengan jumlah yang begitu banyak.

Situasi terus mendingin bagi pasukan Api, Hakan pun sadar ketika melihat jumlah lawan yang terus berdatangan, bahwa situasi mereka mungkin lebih buruk dari apa yang terlihat di depan matanya. Ia lalu memanggil Amartya, dan memberikan satu instruksi khusus untuknya.

"Amartya! Amartya!" Teriakan Hakan menggema di antara suara senapan yang bergemuruh.

"Aku berada di sampingmu ayah, tak perlu berteriak…" Amartya memegangi kupingnya, seakan suara Hakan lebih keras ketimbang tembakan api yang sejak tadi tak kenal henti.

"Bagus, ayah punya satu tugas khusus untukmu."

"Tugas khusus? Apa itu?"

"Pergilah dari sini."

"Per… gi… tunggu— apa!?" Sungguh ucapan yang amat tak ia duga.

"Rumahku sedang diserang dan ayah memintaku untuk pergi? Apa ini klise-klise yang sering muncul di buku cerita? Aku bisa menjaga diriku sendiri, yah."

"Tentu saja kamu bisa, makannya ayah berikan tugas ini padamu." Pria itu berkata lembut.

"Aku tidak mengerti." Raut wajah Amartya terlihat kian tersesat mendengarnya.

"Dengar Amartya, menurutmu siapa sang penguasa yang disebut-sebut oleh Gabriel beberapa hari yang lalu?" Tanya Hakan.

"Seseorang dari suku Api?" Jawab Amartya.

"Ya, dan orang itu adalah…?"

Amartya termenung sejenak di dalam pikirannya.

"Tunggu! Ayah gila!?" Suaranya begitu keras seakan membentak.

"Kamu itu memang anak yang spesial Amartya," Hakan tersenyum.

"Lahir tanpa saudara, memiliki otak cerdas, dihiasi oleh sejuta bakat."

"Bukankah banyak orang yang seperti itu?"

"Maksudmu seorang Penempa Bumi yang menjadi anak tunggal? Cuma kamu seorang diri!" Mata ayahnya nampak sedikit berbinar, penuh kebanggaan.

Anak itu terdiam tanpa kata, ia tak kuasa menghela nafasnya.

"Perdebatan ini hanya akan menghabiskan waktu, baiklah apa yang ayah ingin aku lakukan?"

"Kamu ingat kalau ada satu orang lagi yang disebut oleh Gabriel di pesannya?" Petunjuk kecil dari Hakan.

"Maksudmu gadis dari bangsa yang turun meninggalkan langit? Kalau dipikir-pikir bangsa itu adalah suku Es di Daratan utara bukan?" Amartya terunduk, menaruh jemari di antara hidung dan bibirnya.

"Tepat!" Hakan menjentik.

"Ayah ingin kamu mencari dia, dan lindungi dia. Menurut Gabriel dia akan menjadi permaisurimu ketika kamu memegang tahta."

"Permaisuri?" Pandangan Amartya seketika tertarik omongan Hakan.

"Oke ini menarik, mungkin dia bisa mengobati kutukan sial ini, walau cukup mengecewakan dia bukan orang yang aku harapkan."

Hakan hampir tak mampu berkata-kata, senyum pahit terlihat sekilas di wajahnya.

"Baguslah jika kamu tertarik."

"Ngomong-ngomong bagaimana aku bisa menemukannya, ada ratusan gadis yang menjadi generasi ketiga dari suku E—" Seakan-akan pikiran Amartya mendadak terbuka dengan ribuan lukisan terbentang di benaknya.

"Hmmm?" Keheningan Amartya menarik rasa penasaran Hakan.

"Entah mengapa rasanya aku tahu, siapa yang harus aku cari." Lanjut Amartya.

"Tentu saja kamu tahu, kamu kan anak ayah," dengan ekspresi hangat Hakan mengelus kepala Amartya, kemudian berucap syair pada wajahnya.

"Karena kamu, adalah api"

"Maka jadilah Mentari, dan sinari Bumi ini"

"Naikilah puncak Dunia"

"Dapatkanlah tahta Daratan"

"Karena dengan semangat yang kau punya"

"Dengan kekuatan yang kau punya"

"Kamu takkan terkalahkan"

"Masih ingat kan syair ini? Sekarang pergilah cari dia dan buat kami bangga!" dengan Wajah cerah Hakan membacakan mantra kecil guna membakar semangat putranya.

"Aku tak punya pilihan lain, hah?" Amartya menggeleng-geleng kepala.

Seketika keduanya menjadi tenang dan Hakan mulai tersenyum sayu kepadanya.

"Ayah sayang padamu, nak."

Amartya terdiam, seakan dunianya yang dipenuhi ledakan peluru dan sihir sejenak membisu dan hanya mereka berdua yang tersisa di dalamnya.

"Ayah tahu, mungkin aku bisa mengatakan— merasakan hal yang sama saat kembali nanti, kepada ayah, dan orang-orang suku Api lainnya."

"Kalau begitu, akan ayah pastikan mereka tetap ada di Dunia ini untuk mendengarmu mengucapkannya pada mereka." Sang ayah memeluk anaknya dengan erat, walau ia tahu hal itu tak akan berefek apa-apa pada anaknya.

"Sampai jumpa ayah."

"Sampai jumpa Amartya."

"Sampaikan salamku untuk ibu, aku yakin dia pasti khawatir ketika menemukanku tak ada di sini setelah perang ini usai." Amartya melambaikan tangannya seraya berjalan pergi meninggalkan Afaarit.

"Ahahaha, tenang saja nak, kami tak pernah punya keraguan akan keselamatanmu."

Setelah melihat Amartya pergi, Hakan kembali memimpin para Waraney, mengatur kembali jalannya pertempuran untuk menghabisi invasi Ilmuan Langit.

"Hei Khaira, kamu ingat tentang benda-benda cantik yang kita pasang di dalam dinding kota ini?" Ucap Hakan pada sosok di belakangnya.

"Tentu tuan, apa yang ingin anda lakukan dengan mereka?" Seorang wanita berambut pendek masuk dengan papan dan kacamata di tangannya. Ia merupakan sekertaris dari Hakan.

"Sudah saatnya mereka melontarkan keindahannya di atas rerumputan merah." Senyuman kembali terlukis di wajah sang ayah, namun kali ini, bahkan diriku merasa ngeri hanya dari melihatnya.

"Dimengerti tuan."

Tak lama kemudian beberapa pintu kecil pada dinding-dinding tengah kota Afaarit mulai terbuka. Darinya muncul meriam-meriam langsing dengan moncong yang mulai menggemakan cahaya oranye.

"Sekarang perhatikan, beginilah seni Api yang sesungguhnya." Hakan mengangkat tangan kanan sejajar dengan telinganya.

Tangan itu lalu ia gerakkan, dan seketika meriam-meriam tadi ikut bergerak mengikutinya. Hakan pun mengarahkan mereka pada setiap titik berat bongkahan es yang mulai menumpuk.

"Mengaumlah!"

"Menggelegar!"

"Lahap tanah ini dengan amarah"

"Wahai mahakarya dari Buana Yang Telah Sirna!"

Tangan itu kemudian tergenggam dengan begitu eratnya.

[Seni Api]

[Tingkat 9]

"(Meriam Agung)"

"Lela Rentaka!"

Seluruh meriam serentak menembakkan isi perut mereka. Bola-bola api melesat, meledak, dan tangga-tangga es itu pecah bersama dengan para Elemental yang berusaha menaikinya. Setiap sisi yang sebelumya diisi tangga es, kini disulap menjadi dinding api yang bergejolak, kobarannya begitu pekat dan panas, angankan sang Iblis sendiri yang membawanya ke Daratan. Para penyihir bergeming, mematung di hadapan teror yang seakan tak kuasa haus akan darah mereka.

Tak lama kemudian meriam-meriam ini kembali menyala, mengarahkan diri mereka pada perisai-perisai sihir Ilmuan Langit.

"Lain kali kalau ingin menyerang ibu kota suatu suku, jangan lupa bawa Profisa." Hakan menyeringai.

"Dasar lemah…"

Suara tembakan meriam menggelegar kian kerasnya, melesat, meruntuhkan perisai-perisai sihir yang melindungi Ilmuan Langit. Dengan segala keterbukaam ini, para Waraney kini tak lagi menembak secara acak dan mulai membantai musuh mereka satu demi satu.

Di lain sisi, Amartya bergegas menuju Tarauntalo—provinsi suku Es di Daratan, berangkat untuk mengamankan permaisurinya. Tentu saja ada maksud Hakan menyuruh dirinya untuk bergegas melindungi gadis ini. Jika kota Afaarit mereka diserang setelah pesan Gabriel datang, kemungkinan hal yang sama juga akan menimpa suku Es.

Kebanyakan suku di Daratan tidak membutuhkan kuda untuk menjadi transportasi mereka, karena fisik dan stamina mereka yang sangatlah kuat. Tetapi mereka masih menggunakan kuda-kuda itu untuk membawa pesan, barang yang banyak, keadaan genting atau mungkin tamu yang terhormat, karena kecepatan, kekuatan dan keanggunan kuda yang luar biasa. Namun bagi orang suku Api, kecepatan bukanlah sebuah isu.

Amartya berlari secepat yang ia bisa, berharap ia bisa sampai terlebih dahulu, sebelum pasukan Ilmuan Langit tiba (ya, jika Hakan menyadari sesuatu, kemungkinan besar Amartya juga mampu menyadarinya). Amartya tentu membawa semua perlengkapannya di punggungnya. Sehingga ia tak mampu berlari secepat saat ia tidak sedang terbebani apa-apa. Aku mulai berpikir, mungkin saat-saat seperti inilah di mana menggunakan kuda merupakan hal bijak.

Semua perlengkapannya ditaruh dalam sebuah tas besar. Di dalam tas tersebut terdapat alat menempa/mengasah yang sudah dipadatkan dengan kristal bumi. Terdapat juga peluru serta suplai pangan, dan lain-lainnya. Di pinggang Amartya juga terdapat beberapa kantung kecil untuk menaruh peluru dan beberapa perkakas kecil yang akan membantunya. Suku Api biasanya akan menggunakan tas kecil ini saat pertempuran dan menaruh tas mereka di satu pos sebagai pusat suplai.

Satu-satunya yang ia khawatirkan adalah kenyataan bahwa ia tidak membawa pakaian ganti. Semoga saja gadis ini tidak terganggu dengan bau pakaiannya, Ilmuan Langit biasanya jauh lebih bersih dari para Penempa Bumi (terkecuali suku Alam yang terkenal akan keindahannya).

Kesiapan Amartya sudah bisa dibilang cukup untuk perjalanannya menuju suku Es. Semoga saja tidak ada bandit atau pasukan Ilmuan langit yang akan ia temui, sehingga menghambat perjalanannya.